. 3 2
. 3 2
n 2,
2 2
2, 2
i i
ipr
e n
d G
E T
n e
e n
T n
r
λ λ
ψ λ
λ π
µ π λ
λ π
+ ′
′
′ ′
′ ′ ′ =
+ ′ ′ ′
= −
∑ ∫
∑
p r p r
r r r
r r
p p
p
. .
3 2
2, ,
2
i ipr
i
e e
e n
f r
λ λ
λ π
′ ′
′ ′
=+
∑
p r p r
p p
2.35 dengan :
2
, 4
f T
n
λ
µπ λ
′
′ ′ ′
≡ −
p p p
p
2.36
2.3 Observable
Observable proses hamburan diperoleh dari amplitudo hamburan. Maka melalui hubungan matriks-T dengan matriks hamburan
M
:
2
, 4
T
λ λ
µπ λ
λ
′
′ ′ ′
≡ −
p p p
p
M
2.37 diperoleh hubungan amplitudo hamburan dengan matriks hamburan
M
sebagai berikut :
2 2
, ,
n
f a
λ λ
λ λ λ
′ ′
=−
′ ′
=
∑
p p p p
M 2.38
Untuk hamburan yang bersifat elastic, p p
′ = , sehingga :
ˆ ˆ
, ,
f f
p p
λ λ
′ ′
′ ′
=
p p p
z 2.39
Observable dihitung menggunakan observable spin umum yaitu :
{ }
†
1 4
i f
I Tr
µ α
α µ
α
σ σ
σ σ
=
∑
M M
2.40
dengan :
1 2
3
1 1
1 ,
, ,
1 1
1 i
i σ
σ σ
σ −
= =
= =
−
Jika spin proyektil tidak terpolarisasi, dan keadaan spin partikel terhambur tidak
diukur, maka diperoleh penampang lintang diferensial yang dirata-ratakan terhadap spin spin averaged differential cross section :
{ }
†
1 4
I Tr
= M M
2.41
Universitas Sumatera Utara
Spin partikel terhambur diukur untuk mengetahui apakah proses hamburan menyebabkan proyektil yang semula tidak terpolarisasi menjadi terpolarisasi . Sesuai
persamaan 2.40 dapat diperoleh :
{ }
†
1 1, 2, 3...
4
f
I Tr
µ µ
σ σ
µ
== M M
2.42 serta polarisi partikel terhambur didefinisikan sebagai :
{ }
†
1 4
Tr I
µ µ
σ =
P M M
2.43 Jika arah proyektil mula-ula ditentukan pada arah sumbu-z dan bidang hamburan pada
bidang
ˆ ˆ
x z
−
, maka sesuai sifat invarian proses hamburan terhadap paritas, polarisasi hanya ada pada arah noral hamburan, yaitu :
ˆ ˆ
′× ≡
= ′×
k k n
y k k
2.44 Sehingga polarisasi pada arah normal ˆ
y adalah :
{ }
†
1 4
y y
Tr I
σ =
P M M
2.45
2.4 Persamaan Lippmann-Schwinger Dalam Basis Gelombang Parsial
Untuk menyelesaikan kasus-kasus hamburan pada energi beberapa Mev dan beberapa ratus Mev energi menengah maka yang paling cocok digunakan adalah ekspansi
gelombang parsial. Representasi gelombang parsial dengan basis state
2; p l
jm
adalah representasi yang sering digunakan untuk menyelesaikan persamaan Lippman- Schwinger. Mengenai basis ini dapat dilihat pada lampiran A Maka elemen matriks-T
dan potensial V dalam basis gelombang parsial adalah : 2;
2; 2;
2; p l
j m T p l jm
p l j m V p l
jm ′ ′
′ ′ ′ ′
′ ′ 2.46
dengan m adalah proyeksi momentum sudut total J pada sumbu-z, dan J = L + S.
Karena kekekalan momentum sudut total, maka persamaan 2.46 dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut :
2; 2;
,
jm jj
mm l l
p l j m V p l
jm V
p p
δ δ
′ ′ ′
′ ′ ′ ′
′ =
2.47
Universitas Sumatera Utara
2; 2;
,
jm jj
mm l l
p l j m T p l
jm T
p p
δ δ
′ ′ ′
′ ′ ′ ′
′ =
2.48 baik matriks potensial V maupun matriks-T adalah bersifat diagonal untuk j dan m,
dengan :
, 2;
2;
jm ll
V p p
p l jm V p l
jm
′
′ ′ ′
≡
2.49
, 2;
2;
jm ll
T p p
p l jm T p l
jm
′
′ ′ ′
≡
2.50 Melalui persamaan di atas sebuah persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T
pada basis gelombang parsial dapat dibentuk dengan menggunakan persamaan 2.19 :
2 2
3 2
, ,
2; 2;
, 2;
2; ;
2; 2;
jm jm
ll ll
jm ll
j l m j l m
T p p
V p p
p l j m VG
E T p l jm
V p p
dp dp p p p l
j m V p l j m
p l j m G
E p l
j m p l
+ ′
′ ∞
′ ′′ ′′ ′′ ′′′ ′′′ ′′′
+
′ ′
′ ′ ′ ′
= +
′ ′′ ′′′ ′′ ′′′
′ ′ ′ ′
′′ ′′ ′′ ′′
= +
′′ ′′ ′′ ′′
′′′ ′′′ ′′′ ′′′ ′′′ ′′′
′′′ ×
∑ ∑ ∫
2; j m T p l
jm ′′′
2.51
dengan kondisi pada persamaan 2.47 dan 2.48 diperoleh :
2 2
, ,
,
jm jm
j m l l
l l l l
l l
T p p
V p p
d pd pp p V p p
∞ ′ ′
′ ′
′ ′′ ′′ ′′′
′ ′
′′ ′′′ ′′ ′′′ ′ ′′
= +
∑∫
2; 2;
,
jm p
l l
p l j m G
E p l
jm T p
p
+ ′′′
′′ ′′ ′ ′
′′′ ′′′ ′′′
×
2.52 Persamaan 2.52 di atas dapat disederhanakan dengan mengerjakan elemen matriks
dari propagator dala basis gelombang parsial
2; p l
jm
:
2 2
2; 2;
p p 2;
p p
p p
2; 1
2 lim p p
2; p
p p
p 2;
ˆ
p p
p l j m G
E p l
jm d d
p l j m
G E
p l jm
d d p l
j m p l
jm p
i op
µ
+ +
→
′′ ′′ ′ ′
′′′ ′′′ ′′ ′′′ ′′ ′′
′ ′ ′′ ′′ ′′′ ′′′ ′′′ ′′′
= ′′ ′′′ ′′ ′′
′ ′ ′′ ′′′ ′′ ′′′ ′′′ ′′′
= + −
∫ ∫
²
²
2 2
1 2
lim
j j m m
l l
p p
p p p
i p
δ µ
δ δ δ
′ ′
′′′ ′′ →
′′ ′′′
− =
′′ ′′′ ′′
+ −
²
² 2.53
Maka persamaan 2.53 dapat disederhanakan menjadi :
2 2
2
, ,
, 2 lim ,
jm jm
jm jm
l l l l
l l l l
l
V p p
T p p
V p p
d pp T
p p p
i p
µ
∞ ′ ′′
′ ′
′′ →
′′
′ ′′ ′
′ ′′ ′′
′′ =
+ ′′
+ −
∑∫
²
² 2.54
Melalui persamaan 2.37 maka hubungan ,
λ λ′
′
p p
M dan
,
jm l l
T p p
′
′
didapatkan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
2 ,
, 2
, 4
2 ; ,
2 ; ,
ˆ ˆ
2; 2;
4 2 ;
, 2 ;
,
j m l jml l m
l m jmll
C l j m
C l j m p l
j m T p l jm Y
Y C l
j m C l j m
λ λ λ
λ
µπ λ λ
λ λ
µπ λ λ
λ λ
′ ′ ′ ′
∗ ′ ′ ′
− −
′
′ ′
′ ′ ′ ′
= −
− −
′ ′ ′ ′
′ ′
′ ′ =
− −
−
∑ ∑
∑
p p p
p
M
, ,
ˆ ˆ
,
jm l l
l m l m
T p p Y
Y
λ λ
∗ ′
′ ′
− −
′ ′
p p
2.55 Dalam memudahkan pengerjaan maka ditentukan ˆ
ˆ p = z , maka :
, ,
2 1
ˆ ˆ
4
l m l m
l Y
Y
λ λ
π
∗ −
−
+ =
=
p p
2.56 dengan
. m
λ
=
Sehingga persamaan 2.55 dapat dituliskan sebagai berikut :
2
2 1
ˆ ˆ
, 4
2 ; ,
2 ; 0, ,
4
j l l
l jll
l p
C l j
C l j T
p p Y
λ λ λ
λ λ
µπ λ λ λ
λ π
′ ′
′ ′
− ′
+ ′
′ ′ ′
′ ′
= −
−
∑
p z
p M
2.57
Universitas Sumatera Utara
BAB 3
FORMULASI TIGA DIMENSI
Pengkajian hamburan 2 partikel atau lebih secara analitik pada energi rendah, kita dapat menggunakan teknik perhitungan gelombang parsial Partial waveP.W .
Teknik perhitungan ini menggunakan eigenstate momentum angular total sebagai basis perhitungannya. Pada kasus energi rendah jumlah nilai momentum angular total
tidaklah terlalu banyak atau banyaknya nilai j tidaklah terlalu banyak. Dimana matriks-T diselesaikan sampai nilai j maks. Namun untuk kasus haburan energi
menengah dan energi tinggi nilai j ini sudah terlalu banyak atau jumlah gelombang parsial amat banyak sehingga metode gelombang parsial tidak lagi efektif dan tingkat
akurasi perhitungan juga menurun. Karena itu suatu teknik lain perlu dikembangkan dalam enganalisa hamburan pada energi yang amat tinggi. Hal ini merupakan
konsekuensi dari semakin berkembangnya keingintahuan kita mengenai struktur penyusun dari materi terkecil. Maka teknik yang baru dan terkenal saat ini adalah
teknik tiga dimensi 3D. Dalam bab ini formulasi ini akan digunakan untuk menyelesaikan persamaan
Lippan-Schwinger. Basis teknik 3D ini adalah state vector momentum dan helisitas atau sering juga disebut dengan basis tate momentum-helicity. Petama-tama basis state
momentum-helisitas didefinisikan dengan membahas sifat-sifat basis tersebut. Basis state momentum-helisitas ini dibentuk dari state vector momentum dan state-helisitas.
State helicity adalah merupakan representasi dari keadaan spin. Dalam kasus energi tinggi efek relativistic tidak dapat dihindarkan pada perhitungan-perhitungan , dengan
demikian penggunaan komponen-komponen spin pada arah tertentu adalah lebih rumit dibandingkan dengan penggunaan helisitas. Sehingga state helisitas digunakan untuk
mempermudah pengerjaan. Teknik 3D ini telah dikembangkan untuk beberapa hamburan seperti dalam system nucleon-nukleon spin identik, Kaon-Hyperon spin
Universitas Sumatera Utara
0 dan ½. Pada penelitian ini akan dicoba membuat suatu formulasi untuk hamburan 2 patikel yang berspin 12 dan 32
3.1 Basis momentum-Helicity