Kesimpulan Saran KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Ekstrak etanol 70 teh hitam Camellia sinensis L. dapat dibuat menjadi sediaan krim yang baik dan stabil dengan menggunakan variasi konsentrasi ekstrak 1 , 2 , dan 3 . 2. Krim ekstrak etanol 70 teh hitam Camellia sinensis L. mempunyai efektivitas sebagai tabir surya, dengan ditunjukkan pada panjang gelombang ekstrak yang termasuk dalam daerah UV-B, yaitu 293,4 nm yang dikategorikan sebagai sunblock pada daerah eritema. Sediaan ini juga memiliki nilai fotostabilitas yang dapat dilihat dari hasil statistik, dimana formula uji 3 memiliki aktivitas yang hampir sama dengan formula kontrol positif.

6.2 Saran

Diperlukan penelitian lanjutan mengenai: 1. Uji fotostabilitas untuk pemaparan dengan sinar UV sebaiknya menggunakan sinar UV utuh sinar UV yang sesuai dengan UV sebenarnya agar hasil yang diperoleh lebih akurat. 2. Evaluasi stabilitas fisik nilai pH krim belum sesuai dengan pH kulit maka perlu dilakukan pengurangan penggunaan basa trietanolamin dalam formulasi krim untuk mendapatkan krim yang lebih baik. 3. Dilakukan uji efektivitas tabir surya pada konsentrasi ideal dengan metode in vivo. 4. Ekstrak etanol 70 teh hitam mempunyai serapan panjang gelombang maksimum pada 293,4 nm yang merupakan daerah UV B, maka perlu dilakukan kombinasi dengan bahan aktif yang mampu menyerap sinar UV A untuk menghasilkan sediaan tabir surya yang efektif sebagai pelindung yang baik terhadap UV A dan UV B. 57 DAFTAR PUSTAKA Anief, Moh. 1993. Farmasetika. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. Hal 49, 115, 118-120. Anief, Moh. 1997. Formulasi Obat Topikal dengan Dasar Penyakit Kulit. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. Hal 1-2, 7-8, 58. Anonim. 2007. http:www.kalbe.co.id?mn=newstipe=articles. Diakses tanggal 10 januari 2009 pukul 19.30. Anonim. 2010. http:reshaardianto.ac.id20100204kandungan-teh-hitam. Diakses tanggal 25 februari 2010 pukul 11.45 Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Penerjemah Farida Ibrahim. UI Press : Jakarta. Hal 376, 380, 513. Astuti, Fitria. 2005. Analisis Kimia Teh Hitam Berdasarkan standar Nasional Indonesia 01-1902-1995. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Skripsi Universitas Indonesia, Depok Balsam, MS. And Sagarin E. 1972. Cosmetic Science and Technology. 2 nd ed. John Willey and Sons Inc, New York. Hal. 197-291 Departemen Kesehatan RI. 1978. Farmakope Indonesia Edisi III. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal 9 Departemen Kesehatan RI. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal 122-123. Departemen Kesehatan RI. 1985. Formularium Kosmetika Indonesia. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal 22, 30, 32. Departemen Kesehatan RI. 1993. Kodeks Kosmetika Indonesia. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal 52, 246, 481- 483, 247, 406, 489. Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal 6, 1030 Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat Pengawasan Obat Tradisional : Jakarta. Hal 1, 9-12. Diana. Zoe Draelos, Thaman. Lauren. A, 2006. Cosmetic Formulation of skin Care Product. Taylor and Francis Group. Hal. 3-8 Djuanda, adhi. Hamzah, mochtar. Dan Aisyah, siti, 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi. V, FKUI, Jakatra. Hal. 3-8 Farnsworth, N.R. 1969. Biological and Phytochemical Screening of Plants. journal pharmaceutical science. Hal 255 – 265 Graaff, Kent M Van De R Ward Rhees. 2001. Scauhm’s Easy Outlines Human Anatomy and Physiology. McGraw-Hill : New York. Hal 29. G.M.,Rahma. Tabir Surya. Diambil dari URL: http:rgmaisyah.files.wordpress.com200904tabir-surya.pdf. Diakses tanggal 6 Februari 2010, pukul 10.45 WIB Gumilar, Laras. 2004. Skripsi : Penentuan Efektivitas Krim Ekstrak Etanol Daun Singkong Manihot utillisima Pohl Secara In-Vitro Sebagai Tabir Surya, Bandung. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerbit ITB : Bandung. Hal 6-7. Harry, R.G. 1975. The Principles and Practice of Industrial Pharmacy, 2nd ed. Leo and Febiger : Philadelphia. Hal 417, 427-428. Indah Firdausi, Nur. 2009. Isolasi Senyawa Etil Para Metoksi Sinamat Epms Dari Rimpang Kencur Sebagai Bahan Tabir Surya Pada Industri Kosmetik. Karya Ilmiah, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang. Diambil dari URL: http:darsono-sigit.um.ac.idwp- contentuploads200911nur-indah-firdausi.pdf. Diakses tanggal 5 Februari 2010, pukul 14.22 WIB Iswari Trangono. Retno, Latifah. Fatma, 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. PT. Gramedia, Jakarta. Hal. 12, 26-30, 48, 81-86. Lachman L, Lieberman HA, Kanig JL. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri II Edisi Ketiga. Alih bahasa Suyatmi S. UI Press : Jakarta. Hal 1042, 1051, 1064, 1087. Levin, Cheryl BA; Howard Maibach, MD. 2002. Explorationof“Alternative” and “Natural” Drugs in Dermatology. University of California –San Francisco Medical Center. Markham, K.R,. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid, Terjemahan Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB Bandung, Bandung. Hal. 1-10, 15 Martin A, Swarbick J, Cammarat A. 1993. Farmasi Fisik Jilid II Edisi Ketiga. Penerjemah Yoshita. UI Press : Jakarta. Hal 766, 827-843, 1023-1026, 1100-1101. Mitsui, T.Phd. . 1997. New Cosmetics Science. Elseveir. Amsterdam. Hal. 341-351. Mulja, M dan Suharman, 1995. Analisis Instrumental. Airlangga Univ Press. Surabaya. Hal. 26-60 Niazi, Sarfaraz K. 2004. Pharmaceutical Manufacturing Formulations Semisolid Products Volume 4. CRC Press. New York Washington, D.C. Oen, L.H, Dr, dkk. 1986. Dasar-Dasar Kosmetologi Kedokteran. Cermin Dunia Kedokteran No 41. Penerbit : Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma. Outeahealing. 2007. Kandungan Teh Hitam. online http:outeahealing.wordpress.com20071117kandungan-teh hitam, diakses tanggal 9 November 2009 Shaath, nadim. 2005. Sunscreen; Regulation and Commercial Development. 3 rd ed. Taylor and Francis Group. New york. Silverstein, Bassler and Morrill. 1986. Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik, Edisi ke- 4. Erlangga. Jakarta. Hal. 305 Sirait. Midian, 2007. Penentun Fitokimia Dalam Farmasi, Penerbit ITB Bandung. Hal. 129 Sugihartini. Nining, Marchaban, Prammono. Suwidjiyo, 2005. Jurnal; Pengaruh penambahan fraksi etanol dari infusa daun Plantago Major L. terhadap efektivitas oktil Metoksinamat sebagai bahan aktiv tabir surya, Majalah Farmasi Indonesia. Hal 130-135. XQ Zheng, J Jin. 2008. Effect ultraviolet B irradiation on accumulation of catechins intes Camellia sinensis L O. Kuntze. African Journal Biotechnology, vol 7. China. Diakses tanggal 25 Juni 2010 pukul 14,15 wib Tuminah, Sulistyowati. 2004. Teh [Camellia sinensis . K. var. Assamica Mast] sebagai Salah Satu Sumber Antioksidan, Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta Turkoglu, M. Cigirgil, N. 2007. Jurnal; Evaluation of black tea gel and its protection potential against UV, International Journal of Cosmetic Science, vol 29. Istanbul, Turkey. Hal 437-442. Diakses tanggal 15 Mei 2010 pukul 17,32 WIB Underwood, JCE. 2004. General and Systematic Pathology Fourth Edition. Churcill Livingstone. Hal 697. Voigt, Rudolf. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Penerjemah Dr.rer.nat. Soendani Noerono Soewandhi, Apt. Dan Dr. Mathilda B. Widianto, Apt., Jurusan Farmasi FMIPA ITB, Penyunting Prof. Dr. Moch. Samhoedi Reksohadiprodjo, Apt., Fakultas Farmasi UGM. Gajah Mada University Press : Yogyakarta. Hal 434-436, 564. Wade A, Waller PJ. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipients Second Edition. The Pharmaceutical Press : London. Hal 262, 310, 337, 407, 411, 494, 538, 558. TEH HITAM Camellia sinensis L. SEBAGAI TABIR SURYA SECARA IN VITRO SYIFA OCTA MAULIDIA NIM : 106102003375 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Latar Belakang 1 radiasi sinar matahari ke bumi adalah UV B Penting untuk pembentukan Vitamin D Dampak negatif Kemerahan, noda hitam, penuaan dini, kekeringan, keriput dan sampai kanker kulit Intensitas cahaya meningkat Akibat Global warming Penting adanya pelindung Tabir Surya Camellia sinensis L. Di lakukan penelitian Perumusan Masalah 1. Apakah ekstrak etanol 70 teh hitam Camellia sinensis L. dapat dibuat dalam sediaan krim yang baik dan stabil? 2. Bagaimana efektivitas dan fotostabilitas sediaan krim ekstrak etanol 70 teh hitam sebagai sediaan tabir surya? Hipotesis Ekstrak etanol 70 teh hitam Camellia sinensis L. dapat dibuat menjadi sediaan krim tabir surya yang baik dan stabil dengan efektivitas dan fotostabilitas tabir surya yang belum diketahui. Tujuan 1. Menentukan efektivitas dan fotostabilitas tabir surya sediaan krim ekstrak etanol 70 teh hitam Camellia sinensis L. 2. Membuat sediaan krim tabir surya ekstrak etanol 70 teh hitam Camellia sinensis L. yang memiliki aktivitas sebagai tabir surya yang memberikan penampilan sediaan yang baik dan stabil. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan informasi tentang efektivitas dan fotostabilitas dari krim ekstrak etanol 70 teh hitam Camellia sinensis L. sebagai tabir surya dan formulasi krim dari ekstrak etanol 70 teh hitam Camellia sinensis L. dengan menggunakan variasi konsentrasi ekstrak. Tanaman Teh hitam Camellia sinensis L. Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Sub Kelas : Dialypetalae Ordo bangsa : Guttiferales Clusiales Familia suku : Camelliaceae Theaceae Genus marga : Camellia Spesies jenis : Camellia sinensis L. Varietas : Assamica Nama daerah : Enteh sunda Deskrips i Camellia sinensis L. memiliki akar tunggang yang kuat. Bunganya kuning-putih berdiameter 2,5 –4 cm dengan 7 hingga 8 petal. Daunnya memiliki panjang 4 –15 cm dan lebar 2 –5 cm. Daun-daun itu mempunyai rambut-rambut pendek putih di bagian bawah daun. Daun muda memiliki warna lebih terang, sedangkan daun tua berwarna lebih gelap. Khasiat Daun teh hitam berkhasiat sebagai obat antara lain untuk mengobati penyakit asma, angina pektoris, penyakit vaskuler perifer, penyakit jantung koroner, diare, disentri, diabetes, antibakteri, antioksidan, antikanker, dan antimutagenik. Latar belakang teh hitam Serbuk simplisia teh hitam Pembuatan ekstrak etanol teh hitam Penapisan fitokimia dan Karakterisasi ekstrak Penentuan panjang gelombang maksimum ekstrak etanol 70 teh hitam Evaluasi krim ekstrak etanol 70 teh hitam Stabilitas penyimpanan pada suhu ruang 28±2 °C dan cycling test Uji fotostabilitas Uji efektivitas krim tabir surya Penentuan kategori tabir surya Penapisan fitokimia Pembuatan krim tabir surya Hasil penapisan fitokimia simplisia dan ekstrak Golongan Hasil penapisan simplisia Hasil penapisan ekstrak Alkaloid Flavonoid Tanin Saponin SteroidTriterpenoid Minyak Atsiri Kuinon + + + + - - + + + + + - - + Hasil karakterisasi ekstrak etenol 70 teh hitam Jenis Karakterisasi Hasil Parameter Spesifik: Identitas Nama Identitas Nama latin tumbuhan Bagian tumbuhan yang digunakan Nama Indonesia tumbuhan Organoleptik Bentuk Warna Bau Rasa pH Bobot Jenis Camellia sinensis Camellia sinensis L. Daun Enteh teh Kental Hitam Khas tajam Pahit 5,62 0,874 gramml Parameter Non Spesifik Kadar Abu Susut pengeringan Rendemen 0,36 6,21 32,8 Camellia sinensis, L Pada Konsentrasi 100 ppm Evaluasi krim ekstrak etanol 70 teh hitam sebagai tabir surya pada suhu ruang 28±2 °C selama 4 minggu • Organoleptis Formula Organoleptis minggu ke- 1 2 3 4 KN Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae KP Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae KrT 1 Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae KrT 2 Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae KrT 3 Warna cokelat; bau oleum rosae Warna cokelat; bau oleumrosae Warna cokelat; bau oleum rosae Warna cokelat; bau oleum rosae Warna cokelat; bau oleum rosae • Homogenitas Formula Homogenitas minggu ke- 1 2 3 4 KN KP KrT 1 KrT 2 KrT 3 homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen • Sentrifugasi Formula Sentrifugasi minggu ke- 4 KN KP KrT 1 KrT 2 KrT 3 Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Formula pH minggu ke- 1 2 3 4 KN KP KrT 1 KrT 2 KrT 3 7,43 7,50 7,35 7,40 7,39 7,38 7,46 7,30 7,28 7,21 7,30 7,22 7,19 7,11 7,18 7,24 7,01 7,15 7,06 7,11 7,13 7,00 7,04 6,86 6,94 6,4 6,6 6,8 7 7,2 7,4 7,6 1 2 3 4 p H Minggu ke- KN KP KrT 1 KrT 2 KrT 3 Formula Viskositas cp minggu ke- 1 2 3 4 KN KP KrT 1 KrT 2 KrT 3 34600 43800 42400 46200 40100 36100 47400 44800 46800 44100 41400 49300 48300 47800 49200 47200 51200 50400 49800 52100 52200 51800 57200 53600 60700 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 1 2 3 4 v isko si tas c p Minggu ke- KN KP KrT 1 KrT 2 KT 3 sebagai tabir surya • Organoleptis Formula Organoleptis Sebelum cycling test Sesudah cycling test KN Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae KP Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae KrT 1 Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae KrT 2 Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae KrT 3 Warna cokelat; bau oleum rosae Warna cokelat; bau oleum rosae Formula Homogenitas Sebelum cycling test Sesudah cycling test KN KP KrT 1 KrT 2 KrT 3 homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen Formula Sentrifugasi Sebelum cycling test Sesudah cycling test KN KP KrT 1 KrT 2 KrT 3 Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Formula pH Sebelum cycling test Sesudah cycling test KN KP KrT 1 KrT 2 KrT 3 7,30 7,52 7,28 7,33 7,41 7,24 7,47 7,16 7,21 7,23 6,9 7 7,1 7,2 7,3 7,4 7,5 7,6 sebelum sesudah pH Siklus KN KP KrT 1 KrT 2 KrT 3 Formula Viskositas Sebelum cycling test Sesudah cycling test KN KP KT 1 KT 2 KT 3 36900 44200 36500 32500 33900 38100 45400 39200 34500 36600 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 sebelum sesudah Vi sko si tas c p Siklus FN FP KT 1 KT 2 KT 3 Hasil Pengukuran Perubahan Serapan Krim Sebelum dan Sesudah Beberapa Waktu Penyinaran dengan Sinar UV 366 nm. Formula Absorban rata- rata sebelum penyinaran 0 menit Absorban rata-rata setelah penyinaran 30 menit 60 menit 90 menit 120 menit KN KP 3 KrT 1 KrT 2 KrT 3 0,2522 1,9222 0,7514 0,7844 0,8443 0,2203 1,8272 0,6685 0,7026 0,7591 0,1937 1,7526 0,6202 0,6601 0,7029 0,1372 1,6845 0,5771 0,6066 0,6408 0,1267 1,5949 0,5015 0,5544 0,5941 Lamanya Waktu Paparan Sinar UV 366 nm 0,5 1 1,5 2 2,5 30 60 90 120 A b sor b an si Waktu menit KN KP KrT 1 KrT 2 KrT 3 Uji Efektivitas Tabir Surya Ekstrak Etanol 70 Teh Hitam Konsent rasi ppm Ee Ep Te Tp Kategori Penilaian Aktivitas 40 60 80 100 120 5,5424 4,2507 4,0064 3,7672 3,5195 2,6084 2,0116 1,6484 1,5653 1,5299 2,4829 1,9042 1,7948 1,6876 1,5766 3,7574 2,8977 2,3746 2,2548 2,2038 Proteksi ultra Proteksi ultra Proteksi ultra Proteksi ultra Proteksi ultra Uji Efektivitas Krim Tabir Surya Formula Ee Ep Te Tp Kategori Penilaian Aktivitas KP KrT 1 KrT 2 KrT 3 0,0877 1,5510 0,9187 0,7161 0,0589 0,8536 0,5383 0,3143 0,0392 0,6948 0,4115 0,3208 0,0848 1,1229 0,7754 0,4527 Sunblock eritema Sunblock eritema Sunblock eritema Sunblock eritema TERIMAKASIH Proses Pembuatan Teh Hitam Daun teh segar Dilayukan Digiling Fermentasi pada suhu 19-26 °C dengan kelembaban sekitar 90- 98 . Selama 60-100 menit Dikeringkan selama 13-18 menit. Sampai kadar air 2,5-3,5 Pembuatan ekstrak etanol 70 teh hitam 500 gram Serbuk teh hitam Camellia sinensis L. Diamaserasi dengan 7 L etanol 70 Maserat cair serbuk teh hitam Penapisan fitokimia serbuk simpllisia Di evaporasi dengan vakum rotavapor Ekstrak etanol 70 teh hitam Disaring dengan kapas dan kertas saring Penapisan fitokimia dan karakterisasi ekstrak Penentuan panjang gelombang maksimum Ekstrak etanol 70 teh hitam 100 ppm dalam etanol 95 Di ukur pada panjang gelombang 200-400 nm dengan spektrofotometer Diperoleh panjang gelombang maksimum ekstrak etanol 70 teh hitam Pembuatan sediaan krim Fase minyak asam stearat, setil alkohol, vaselin album, oleum olivae, benzofenon-3 dan adeps lanae Fase air trietanolamin, metil paraben, dimetikon dan propilenglikol Fase air di masukkan sedikit demi sedikit ke dalam fase minyak pada suhu 70 °C Di gerus dalam lumpang yang telah dipanaskan sampai terbentuk masa krim Di masukkan ekstrak etanol 70 teh hitam, sambil terus diaduk. Uji fotostabilitas krim tabir surya • Pengukuran serapan awal krim Setaiap formula ditimbang 0,3 gram Dilarutkan dalam etanol 95 Diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 293,4 nm waktu penyinaran dengan sinar UV 366 nm Setiap formula ditimbang 0,3 gram Dioleskan secara merata pada kaca objek Disinari dengan lampu UV 366 nm Lama penyinaran bervariasi selama 30, 60, 90, dan 120 menit Perubahan serapan yang terjadi setelah penyinaran diukur dengan spektro UV-Vis pada panjang gelombang 293,4 Uji efektivitas ekstrak etanol 70 teh hitam Larutan induk ekstrak etanol 70 teh hitam dalam etanol 95 degan konsentrasi 500 ppm Dibuat seri larutan dengan konsentrasi 40, 60, 80, 100, dan 120 ppm Diukur serapannya setiap 5 nm pada rentang panjang gelombang 292,5- 372,5 nm Dihitung Te dan Tp Setiap formula ditimbang 1,25 gram Dilarutkan dalam etanol 95 sampai 25 ml Diambil 5 ml larutan, kemudian diencerkan dengan etanol 95 Dari nilai serapan yang diperoleh dihitung intensitas transmitansinya T dengan rumus T= � Diukur serapannya setiap 5 nm pada rentang panjang gelombang 292,5-372,5 nm Nilai fluks eritema yang diteruskan oleh bahan tabir surya Ee dihitung dengan cara mengalikan nilai transmisi T dengan fluks eritema Fe pada panjang gelombang 292-317 nm Nilai fluks pigmentasi Ep dihitung dengan cara mengalikan nilai transmisi T dengan fluks pigmentasi Fp pada panjang gelombang 322-372 nm Selanjutnya dihitung denga rumus: Te = ∑ � ∑ � Tp = ∑ � ∑ � Berat total ekstrak : 164 gram Berat simplisia kering : 500 g Randemen ekstrak = = 164 x 100 500 = 32,8 Berat piknometer kosong w1 : 16,233 g Berat piknometer + air w2 : 40,772 g Berat piknometer + ekstrak w3: 37,683 g Bobot jenis = ml = 37,683 – 16,233 ml 40,772 – 16,233 = 0,874 gramml Berat cawan a : 23,150 g Berat cawan + ekstrak awal b : 24,147 g Berat cawan + ekstrak akhir c : 24,085g susut pengeringan : : 24,147 – 24,085 x 100 24,147 – 23,150 : 6,21 Berat cawan a : 25,752 g Berat ekstrak b : 3,009 g Berat ekstrak akhir c : 25,763 g Kadar Abu : : 25,763 – 25,752 x 100 3,009 : 0.365 Exploration of “Alternative” and “Natural” Drugs in Dermatology Cheryl Levin, BA; Howard Maibach, MD Objective: To review some of the promising natural rem- edies within dermatology to explore their potential clini- cal benefit in supplementing conventional drugs. Data Sources: MEDLINE searches from January 1966 through October 2000 and Science Citation Index searches from January 1974 through October 2000 were con- ducted. Study Selection: Primary importance was given to in vivo and in vitro controlled studies, the results of which encourage further exploration. Data Extraction: The controls used, the statistical ap- proach to analysis, and the validity of the experimental method analyzed were considered particularly impor- tant. Data were independently extracted by multiple ob- servers. Data Synthesis: Natural remedies seem promising in treating a wide variety of dermatologic disorders, includ- ing inflammation, phototoxicity, psoriasis, atopic der- matitis, alopecia areata, and poison oak. Conclusions: The alternative medications presented seem promising, although their true effects are unknown. Many of the presented studies do not allow deduction of clini- cal effects. Further experimentation must be performed to assess clinical benefit. Arch Dermatol. 2002;138:207-211 R ECENTLY, ALTERNATIVE rem- edies have been investi- gated to supplement tradi- tional drugs. We performed a literature search to high- light recently reported medicaments. Em- phasis was placed on studies that fol- lowed the evidence-based dermatology guidelines. 1,2 RESULTS Alternative medications and their poten- tial clinical uses from human studies and animal and in vitro studies 3-24 are summa- rized in the Table . TEA EXTRACTS Ultraviolet solar radiation may induce a va- riety of adverse effects in humans, includ- ing melanoma, 25 photoaging of the skin, 26,27 sunburn, 28 and immunosuppression. 29,30 Protection against UV-induced skin dam- age includes avoidance of sun exposure, ap- plication of sunscreens, low-fat diets, 31,32 and pharmacologic intervention with reti- noids. 33 More recently, green tea extracts have been reported to be beneficial in treat- ing UV-induced photodamage. In a study by Elmets et al, 6 1 to 10 green tea polyphenolic GTP fraction- sin ethanol and water vehicle were applied onto the backs of 6 volunteers. Thirty minutes after GTP application, patients were exposed to twice the mini- mal erythema dose of UV radiation from a solar simulator. The minimal erythema dose was determined for each patient by expos- ing skin to graded doses of UV radiation from the solar simulator. Green tea ex- tracts resulted in a dose-dependent reduc- tion of UV-induced erythema as measured by chromatometry and visual evaluation. The --epigallocatechin-3-gallate and --epicatechin-3-gallate polphenolic fractions were most effective, while the --epigallocatechin EGC and --epicatechin fractions had little effect. Histologic examination showed a de- crease in sunburn cells in GTP-treated skin. Epidermal Langerhans cells, the an- tigen-presenting cells involved in the skin immune response, were significantly pro- tected against UV damage. Finally, GTP fractions reduced UV-induced mutations in DNA, as detected by means of a phos- phorus 32 postlabeling technique. Spec- trophotometric analysis indicated that GTP fractions did not absorb UV-B light, im- plying a mechanism of action different See also pages 232 and 251 STUDY From the University of California–San Francisco Medical Center. REPRINTED ARCH DERMATOL VOL 138, FEB 2002 WWW.ARCHDERMATOL.COM 207 ©2002 American Medical Association. All rights reserved. on May 5, 2010 www.archdermatol.com Downloaded from from that of sunscreens. This study demonstrates the po- tential benefit of GTP extracts in preventing UV- induced immunosuppression and erythema. The use of GTP extracts was also found to be ben- eficial in treating UV-induced immunosuppression in mice. The GTP extracts, fruits and vegetables, and quercetin and chrysin significantly prevented the UV-induced suppres- sion of contact hypersensitivity to picryl chloride when compared with irradiated, untreated control P⬍.05. In- creased ear thickness measurements were used to evalu- ate the response. The GTP was administered in concen- trations of 0.1 and 0.01. 17 Green tea extracts have been beneficial in preventing early signs of photochemical dam- age to mouse and human skin treated with psoralen– UV-A therapy. Psoralen–UV-A, a treatment for psoriasis, increases the patient’s risk of developing melanoma and squamous cell carcinoma. Pretreatment and posttreat- ment with the green tea extracts in mouse and human skin significantly decreased markers of this photochemical damage, namely hyperplasia and hyperkeratosis, c-fos and p53, and erythema, P⬍.05, when compared with ve- hicle controls water given before and after treatment. 34 The effects of green tea on skin are further discussed by Katiyar et al. 35 Oral and topical standardized black tea extracts also decreased photochemical damage to the skin. In one study, standardized black tea extracts significantly reduced ery- thema and skinfold thickness associated with UV-B– induced carcinogenesis in cultured keratinocytes and mouse and human skin P⬍.05. In topically treated mice, a 64 reduction in severity of erythema and a 50 decrease in skinfold thickness were observed when compared with vehicle control. A decrease in the expres- sion of c-fos, c-jun, and p53 in mouse skin and keratino- cytes pretreated with standardized black tea extracts was also noted. This study indicates that when green tea is oxidized to black tea, the extracts remain beneficial in preventing the early signs of UV-B–induced phototoxic effects, namely, sunburn and skin thickness. 18 OTHER HERBS Tea produced from the leaves of the Eucommia ulmoides OLIVER tree EUOL is commonly consumed in China, Korea, and Japan. Geniposidic acid, a main component of EUOL, seems beneficial in improving some of the signs of aging in model rats. Falsely aged model rats fed a diet consisting of a 2.4 water-soluble methanol extract of EUOL had a statistically significant increased stratum corneum turnover rate compared with rats fed a com- parable diet without the EUOL. In a similar experiment, rats fed geniposidic acid also had improved stratum corneum turnover. With aging, the stratum corneum turn- over rate decreases, suggesting that EUOL and, specifi- cally, geniposidic acid may alter the aging process. 22 Benzoyl peroxide BPO is a free radical–generating compound and strong oxidizer. It is commonly used as a polymerization initiator, 36 an additive in cosmetics, 37 and a bleaching agent for flour and cheese. 38 Spearmint may ab- rogate the effects of BPO-induced tumor promotion. In a recent study, pretreatment with spearmint Mentha spicata induced a statistically significant de- crease in the BPO oxidative damage, toxic effects, and cel- lular hyperproliferation in adult female albino mice when compared with the BPO-treated control group. Topical spearmint extracts salvaged the levels of antioxidant enzymes glutathione peroxidase, glutathione reductase, glu- tathione S-transferase, and catalase that are reduced by BPO treatment alone. The BPO-elevated microsomal lipid per- oxidation and hydrogen peroxide generation were signifi- cantly reduced with spearmint pretreatment. Further- more, spearmint significantly decreased markers for cellular DNA synthesis, namely ornithine decarboxylase activity and thymidine uptake, as compared with BPO treatment alone. Analysis was performed on excised mouse skin. 20 HYDROXYACIDS Topical ␤-lipohydroxyacid ␤-LHA, a derivative of sali- cylic acid, improved some of the manifestations of ag- ing in women by inducing a statistically significant epi- dermal thickening and dendrocytic hyperplasia. Both the younger and elder populations exhibited improvement, but the changes were more diverse in the older women. When compared with placebo, 6 of the young and 16 of the elderly population experienced increased filag- grin layer thickness. Further studies are needed to un- derstand the mechanism of hydroxyacid action and, thereby, their full effect on aging skin. 7 ESSENTIAL FATTY ACIDS Patients with atopic dermatitis AD are thought to have a reduced rate of conversion from linoleic acid to ␥-linole- nic acid GLA, dihomo-␥-linolenic acid, or arachidonic acid as compared with healthy subjects. 39-42 Replacement of GLA, in the form of primrose oil or borage oil, may there- fore benefit in the treatment of these patients. In fact, more than 20 randomized controlled studies assessing the effects of GLA have been performed, with most studies indicating an improved epidermal barrier on GLA application. 8,9,40,43-49 In one recent study, topical applica- tion of 20 evening primrose oil caused a statistically sig- nificant stabilizing effect on the epidermal barrier in pa- tients with AD as evaluated by transepidermal water loss and stratum corneum hydration. When compared with placebo, the water-in-oil emulsion of primrose oil proved effective, whereas the amphiphilic emulsion did not, em- phasizing the importance of the vehicle. 9 In addition, bor- age oil, which contains a large quantity of GLA, improved pruritus, erythema, vesiculation, and oozing in atopic pa- METHODS MEDLINE searches from January 1966 through Oc- tober 2000 and Science Citation Index searches from January 1974 through October 2000 were con- ducted. Boolean searches relating to skin, allopathic remedies, herbal extracts, glycolic acid, and vita- mins were conducted. Specific diseases and thera- pies were searched as title words or key words. REPRINTED ARCH DERMATOL VOL 138, FEB 2002 WWW.ARCHDERMATOL.COM 208 ©2002 American Medical Association. All rights reserved. on May 5, 2010 www.archdermatol.com Downloaded from tients when compared with placebo-treated patients P⬍.05. Patients were given 40 drops of borage oil twice daily for 12 weeks; dermatologists and patients visually assessed the signs. 8 In contrast, 2 important studies did not observe a significant clinical effect of GLA on AD compared with placebo. In studies by Bamford et al 10 and Berth-Jones and Graham-Brown, 11 evening primrose oil capsules did not im- prove erythema, excoriation, and lichenification clinical scores, as evaluated by dermatologists and patients. Meta-analysis of all previous randomized placebo- controlled studies indicated a significant difference be- tween treatment and placebo groups. 12,13 Critics of the meta- analysis claim that it included unpublished trials and inadequate baseline data in terms of disease severity. 11 Ap- parent differences in response between placebo and treat- ment groups may result from a greater severity at base- line in subjects receiving active treatment. 11,50 Treatment of AD with GLA remains controversial. ESSENTIAL OILS Other essential oils have been investigated in treating IgE- mediated allergic reactions as well as alopecia areata. Mice and rats pretreated with lavender oil inhibited mast cell degranulation, indicating that the oil could inhibit im- Alternative Medications and Their Potential Clinical Uses Therapy Potential Benefit Experimental Results Source, y Human Studies Ascorbic acid Prevent nitrate tolerance Potentiated vasodilatoryconductivity responses provoked by glycerol trinitrate Bassenge et al, 3 1998† Ascorbic acid and vitamin E Reduce sunburn reaction Increased median minimal erythema dose in treated patients Eberlein-Konig et al, 4 1998‡ Decrease UV-induced erythema Decreased dermal blood flow, chromatometry, and visual grade Dreher et al, 5 1998‡ Green tea extract Prevent UVII and erythema Reduced chromatometry, improved visually and histologically Elmets et al, 6 2001‡ ␤ -Lipohydroxyacid Improve signs of aging Induced epidermal thickening and dendrocytic hyperplasia Avila-Camacho et al, 7 1998‡ Borage oil with GLA Treat AD Improved pruritus, erythema, vesiculation, and oozing in patients with AD Adreassi et al, 8 1997‡ Primrose oil with GLA Treat AD Stabilized epidermal barrier—increased TEWL and stratum corneum hydration in patients with AD Gehring et al, 9 1999 No significant effect on patients with AD Bamford et al, 10 1985; Berth-Jones and Graham-Brown, 11 1993‡ GLA Treat AD Meta-analysis—GLA significantly improved AD Morse et al, 12 1989; Stewart et al, 13 1991 Aromatherapy Treat alopecia areata Improved visual score of disease Hay et al, 14 1998‡ Quaternium-18 bentonite Prevent poison ivy or poison oak Reduced or prevented reaction to urushiol as evaluated visually Marks et al, 15 1995† Homeopathic gels Reduce inflammation Decreased LDF ie, decreased vasodilatory response after methyl nicotinate application Handschuh and Debray, 16 1999‡ Animal and In Vitro Studies Flavonoidsgreen tea extracts Counteract UVII Prevented UVII of contact hypersensitivity to picryl chloride Steerenberg et al, 17 1998† Black tea extract Decrease early symptoms of UV-B−induced phototoxic effects Decreased erythema, skinfold thickness, expression of c-jun, c-fos, and p53 in mice, human skin, and keratinocytes Zhao et al, 18 1999‡ Ascorbic acid Decrease early symptoms of UV-B−induced phototoxic effects Decreased UV-B−induced tumor formation, skin thickness, and ODC in mice Kobayashi et al, 19 1998† Mentha spicata spearmint Prevent oxidative stress Pretreatment decreased benzoyl peroxide oxidative damage, toxic effects, and hyperproliferation in adult female albino mice Saleem et al, 20 2000† Vitamin E combination§ Treat genital herpes simplex virus Reduced lesion development, duration, and severity in guinea pigs and mice Sheridan et al, 21 1997† GA, Eucommia ulmoides OLIVER tree Improve signs of aging Increased stratum corneum turnover rate in rats fed GA Li et al, 22 1999‡ Capsular polysaccharides of cyanobacteria Anti-inflammatory agents Inhibited the croton oil−induced edema in male albino mice㛳 Garbacki et al, 23 2000† Lavender oil Inhibit immediate-type allergic reactions Inhibited mast cell degranulation in mice and rats; prevented histamine and TNF-␣ release from peritoneal mast cells Kim and Cho, 24 1999‡ UVII indicates UV-induced immunosuppression; GLA, ␥-linolenic acid; AD, atopic dermatitis; TEWL, transepidermal water loss; LDF, laser Doppler flowmetry; ODC, ornithine decarboxylase; GA, geniposidic acid; and TNF-␣, tumor necrosis factor ␣. †Compared with untreated control. ‡Compared with placebo. §Vitamin E, sodium pyruvate, membrane-stabilizing fatty acid. 㛳 At lease 1 strain of cyanobacteria had an opposite effect, increasing inflammation. REPRINTED ARCH DERMATOL VOL 138, FEB 2002 WWW.ARCHDERMATOL.COM 209 ©2002 American Medical Association. All rights reserved. on May 5, 2010 www.archdermatol.com Downloaded from mediate-type allergic reactions. Topical and intrader- mal lavender oil inhibited the ear swelling response in mice and passive cutaneous anaphylaxis in rats when com- pared with isotonic sodium chloride solution control treat- ment P⬍.05. Peritoneal mast cells were also inhibited from releasing histamine or tumor necrosis factor ␣ in vitro when lavender oil was applied. 24 Alopecia areata was treated with 7 months of aro- matherapy. A mixture of thyme, rosemary, lavender, and cedarwood essential oils in jojoba and grape seed car- rier oils massaged into patients’ scalps significantly im- proved the alopecia when compared with the carrier oils alone. The efficacy of the treatment was evaluated at ini- tial assessment and 3 and 7 months after treatment by dermatologists’ visual scoring of photographs and a com- puterized analysis of traced areas of alopecia. 14 This study did not mention disease duration before aromatherapy treatment. Half of patients with recent-onset alopecia ar- eata have remission within 1 year, which could account for the aromatherapy’s putatively beneficial results. 51 ASCORBIC ACID AND VITAMIN E The hydrophobic ascorbic acid and lipophilic vitamin E have found increasing use in dermatologic treatment. Sev- eral studies investigated the effects of both ascorbic acid and vitamin E against oxidative stress. In mice, acute and chronic UV-B–induced photodamage was significantly de- creased with intraperitoneal postadministration of mag- nesium- L -ascorbyl phosphate MAP, a precursor to ascor- bic acid P⬍.05. Compared with irradiated, untreated mice, MAP-treated mice had a 60 decrease in UV-B– induced tumor formation, a 50 decrease in skin thick- ness, and a 55 decrease in ornithine decarboxylase, a marker for DNA synthesis. In addition, on acute expo- sure to UV-B irradiation, MAP prevented increases of lipid peroxidation in skin and sialic acid in serum. The MAP produced an immediate and transient increase in vitamin C in the serum, skin, and liver, indicating its conversion in those tissues. 19 The effect of topical application of MAP in reducing UV-B photodamage is unknown. The clinical significance of this study remains uncertain. Oral ingestion of ascorbic acid 2000 mgd and vi- tamin E 1000 IUd reduced the sunburn reaction in hu- man subjects. The volunteers’ threshold dose for eliciting sunburn and their cutaneous blood flow of skin irradiated with incremental UV doses were determined before and af- ter 8 days of treatment. A statistically significant differ- ence was observed in the median minimal erythema dose of ascorbic acid– and vitamin E–treated patients as com- pared with placebo-treated patients. The former minimal erythema dose increased 17; the latter declined 14. 4 Topical pretreatment in humans with a combina- tion of ascorbic acid, vitamin E, and melatonin provided a statistically significant enhanced photoprotection against UV-induced erythema. Dermal blood flow, visual grade, and chromatometry measures decreased with the com- bined treatment, as well as with each treatment alone, when compared with placebo-treated skin. The effect of the com- bined treatment was more pronounced. 5 Ascorbic acid and vitamin E have also proved benefi- cial in treating other conditions. Nitrate tolerance de- scribes a developed tolerance to the vasodilatory effects of nitrate, due to both neurohormonal counterregulation and enhanced response to vasoconstrictor agonists. 52 Oral ad- ministration of two 500-mg ascorbic acid capsules daily along with glycerol trinitrate for 3 days prevented nitrate toler- ance in healthy volunteers taking transdermal glycerol tri- nitrate. With those taking ascorbic acid, the vasodilatory and conductivity responses evoked by glycerol trinitrate were potentiated throughout the 3-day period 24.5 in- crease vs control, while in those taking glycerol trinitrate alone, the responses slowly declined 8.2 increase vs control. 3 This observed effect was statistically significant. A combination of vitamin E, sodium pyruvate, and membrane-stabilizing fatty acids induced a statistically significant decrease in the lesion development, dura- tion, and severity of genital herpes simplex virus when applied after infection to guinea pigs and mice. The com- bined treatment yielded a 36 decrease in lesion sever- ity score in guinea pigs and a 33 decrease in lesion size in hairless mice when compared with no treatment. 21 MISCELLANEOUS Quaternium-18 bentonite, an organoclay used in cosmet- ics to thicken or stabilize the products, has been investi- gated for its ability to prevent poison ivy or poison oak contact dermatitis reactions in humans. Pretreatment with 5 quaternium-18 bentonite lotion on the forearm of pa- tients with allergic contact dermatitis to poison oak or poi- son ivy significantly reduced or prevented a severe reac- tion to urushiol, the allergenic resin of both plants. Trained technicians blinded to the treated area visually evaluated the reactions. Statistical significance was found when treated test sites were compared with untreated controls. 15 Pretreatment with diluted homeopathic gels effec- tively decreased the inflammation caused by methyl nico- tinate in humans. The vasodilatory response to methyl nicotinate was measured by laser Doppler velocimetry. This measure was significantly reduced when the skin was pretreated with Urtica urens, Apis mellifica, Bella- donna, or Pulsatilla aqueous gels as compared with ve- hicle control. 16 It is important to note that methyl nico- tinate inflammation is primarily a pharmacologic effect and has few immunologic implications, thereby mini- mizing the clinical significance of this study. Capsular polysaccharides from various strains of cya- nobacteria were found to have anti-inflammatory effects on adult albino male mice. Six-hour application of hydro- philic extracts of capsular polysaccharides subsequent to croton oil–induced dermatitis caused a statistically sig- nificant reduction in the mouse ear edema when com- pared with croton oil inflammation without treatment. Some strains were not effective, and at least 1 other strain of capsular polysaccharides significantly increased the edema after croton oil application by about 29. The most effective inflammation-reducing strains decreased the edema by as much as 56, were dose-dependent, and were composed primarily of neutral sugars, uronic acids, and proteins. The inflammation-increasing extract contained a monosaccharide composition glucose and mannose similar to those of extracts that most significantly de- creased dermatitis. 23 REPRINTED ARCH DERMATOL VOL 138, FEB 2002 WWW.ARCHDERMATOL.COM 210 ©2002 American Medical Association. All rights reserved. on May 5, 2010 www.archdermatol.com Downloaded from COMMENT The sampling of investigative medications presented by this review seems promising, although their true effects are unknown. Caution must be used when animal stud- ies are interpreted. In addition, experimental design, such as sample size, drug concentration, method of exposure to the medicine, and analytic techniques, may greatly in- fluence a study’s outcome. Further exploration of these medications under different experimental conditions would better estimate their true clinical benefit. Certainly, the lower cost, wide accessibility, and possible clinical im- provement with many of these newer unconventional rem- edies has encouraged their continued research. It re- mains to be seen which, if any, provide a more advantageous therapeutic ratio than standard agents. These observa- tions presumably are valid, thoughtful, and correct; as in the case of most pharmacologic arenas, the final arbiter is the patient. Alas, these patient truths are unfortunately not as hard a science as most physicians would like. Accepted for publication July 31, 2001. Corresponding author: Howard Maibach, MD, Department of Dermatology, UCSF Medical Center, 90 Medical Center Way, Room 110, San Francisco, CA 94143 e-mail: himjlmitsa.ucsf.edu. REFERENCES 1. Bigby M. Evidence-based medicine in dermatology. Dermatol Clin. 2000;18:261-276. 2. Bashir S, Maibach H. Evidence Based Dermatology. Toronto, Ontario: BC Dek- ker. In press. 3. Bassenge E, Fink N, Skatchkov M, Fink B. Dietary supplement with vitamin C pre- vents nitrate tolerance. J Clin Invest. 1998;102:67-71. 4. Eberlein-Konig B, Placzek M, Przybilla B. Protective effect against sunburn of com- bined systemic ascorbic acid vitamin C and d-␣-tocopherol vitamin E. J Am Acad Dermatol. 1998;38:45-48. 5. Dreher F, Gabard B, Schwindt D, Maibach H. Topical melatonin in combination with vitamins E and C protects skin from ultraviolet-induced erythema: a human study in vivo. Br J Dermatol. 1998;139:332-339. 6. Elmets C, Singh D, Tubesing K, Matsui M, Katiyar S, Mukhtar H. Cutaneous pho- toprotection from ultraviolet injury by green tea polyphenols. J Am Acad Der- matol . 2001;44:425-432. 7. Avila-Camacho M, Montastier C, Perard GE. Histometric assessment of the age- related skin response to 2-hydroxy-5-octanoyl benzoic acid. Skin Pharmacol Appl Skin Physiol. 1998;11:52-56. 8. Andreassi M, Forleo P, Lorio AD, Masci S, Abate G, Amerio P. Efficacy of ␥-lino- lenic acid in the treatment of patients with atopic dermatitis. J Int Med Res. 1997; 25:266-274. 9. Gehring W, Bopp R, Rippke F, Gloor M. Effect of topically applied evening prim- rose oil on epidermal barrier function in atopic dermatitis as a function of ve- hicle. Drug Res. 1999;49:635-642. 10. Bamford J, Gibson R, Reiner C. Atopic eczema unresponsive to evening prim- rose oil linoleic and ␥-linolenic acids. J Am Acad Dermatol. 1985;13:959-965. 11. Berth-Jones J, Graham-Brown R. Placebo-controlled trial of essential fatty acid supplementation in atopic dermatitis. Lancet. 1993;341:1557-1560. 12. Morse PH, Horrobin DF, Manku MS, et al. Meta-analysis of placebo-controlled studies of the efficacy of Epogam in the treatment of atopic eczema. Br J Der- matol. 1989;121:75-90. 13. Stewart J, Morse P, Moss M, et al. Treatment of severe and moderately severe atopic dermatitis with evening primrose oil Epogam. J Nutr Med. 1991;2:9-15. 14. Hay I, Jamieson M, Ormerod A. Randomized trial of aromatherapy: successful treatment for alopecia areata. Arch Dermatol. 1998;134:1349-1352. 15. Marks J, Fowler J, Sherertz E, Rietschel R. Prevention of poison ivy and poison oak allergic contact dermatitis by quaternium-18 bentonite. J Am Acad Derma- tol. 1995;33:212-216. 16. Handschuh J, Debray M. Modification of cutaneous blood flow by skin applica- tion of homeopathic anti-inflammatory gels. STP Pharma Sci. 1999;9:219-222. 17. Steerenberg P, Garseen J, Dortant P, et al. Protection of UV-induced suppres- sion of skin contact hypersensitivity. Photochem Photobiol. 1998;67:456-461. 18. Zhao J, Jin X, Yaping E, Zheng ZS, Zhang YJ, Athar M. Photoprotective effect of black tea extracts against UVB-induced phototoxicity in skin. Photochem Pho- tobiol . 1999;70:637-644. 19. Kobayashi S, Takehana M, Kanke M, Itoh S, Ogata E. Postadministration pro- tective effect of magnesium-L-ascorbyl-phosphate on the development of UVB- induced cutaneous damage in mice. Photochem Photobiol. 1998;67:669-675. 20. Saleem M, Alam A, Sultana S. Attenuation of benzoyl peroxide–mediated cuta- neous oxidative stress and hyperproliferative response by the prophylactic treat- ment of mice with spearmint Mentha spicata. Food Chem Toxicol. 2000;38: 939-948. 21. Sheridan J, Kern E, Martin A, Booth A. Evaluation of antioxidant healing formu- lations in topical therapy of experimental cutaneous and genital herpes simplex virus infections. Antiviral Res. 1997;36:157-166. 22. Li Y, Metori K, Koike K, Che Q-M, Takahashi S. Improvement in the turnover rate of the stratum corneum in false aged model rats by the administration of geni- posidic acid in Eucommia ulmoides OLIVER leaf. Biol Pharm Bull. 1999;22:582- 585. 23. Garbacki N, Gloaguen V, Damas J, Hoffmann L, Tits M, Angenot L. Inhibition of croton-oil induced oedema in mice ear skin by capsular polysaccharides from cyanobacteria. Arch Pharmacol. 2000;361:460-464. 24. Kim H-M, Cho S-H. Lavender oil inhibits immediate-type allergic reaction in mice and rats. J Pharm Pharmacol. 1999;51:221-226. 25. Koh H, Kligler B, Lew P. Sunlight and cutaneous malignant melanoma: evidence for and against causation. Photochem Photobiol. 1990;51:765-779. 26. Wenk J, Brenneisen P, Meewes C, et al. UV-induced oxidative stress and pho- toaging. Curr Probl Dermatol. 2001;29:83-94. 27. Krutmann J. Ultraviolet A radiation–induced biological effects in human skin. J Dermatol Sci. 2000;23suppl 1:S22-S26. 28. Biesalski H, Obermueller-Jevic U. UV light, beta-carotene and human skin— beneficial and potentially harmful effects. Arch Biochem Biophys. 2001;389: 1-6. 29. Hart P, Grimbaldeston M, Finlay-Jones J. Sunlight, immunosuppression and skin cancer: role of histamine and mast cells. Clin Exp Pharmacol Physiol. 2001;28:1-8. 30. Gil E, Kim T. UV-induced immune suppression and sunscreen. Photodermatol Photoimmunol Photomed. 2000;16:101-110. 31. Hakim I, Harris R, Ritenbaugh C. Fat intake and risk of squamous cell carcinoma of the skin. Nutr Cancer. 2000;36:155-162. 32. Black H. Influence of dietary factors on actinically-induced skin cancer. Mutat Res . 1998;422:185-190. 33. DiGiovanna J. Retinoid chemoprevention in patients at high risk for skin cancer. Med Pediatr Oncol. 2001;36:564-567. 34. Zhao JF, Zhang YJ, Jin XH, et al. Green tea protects against psoralen plus ultra- violet A–induced photochemical damage to skin. J Invest Dermatol. 1999;113: 1070-1075. 35. Katiyar S, Ahmad N, Muhktar H. Green tea and skin. Arch Dermatol. 2000;136: 989-994. 36. Kadoma Y, Fujisawa S. Kinetic evaluation of reactivity of bisphenol A derivatives as radical scavengers for methacrylate polymerization. Biomaterials. 2000;21: 2125-2130. 37. Pie´rard G, Pie´rard-Franchimont C, Goffin V. Digital image analysis of microcom- edones. Dermatology. 1995;190:99-103. 38. Karasz A, Decocco F, Maxstadt J. Gas chromatographic measurements of benzoyl peroxide in as benzoic acid cheese. J Assoc Anal Chem. 1974;57:706-709. 39. Biagi P, Hrelia S, Celadon M, et al. Erythrocyte membrane fatty acid composi- tion in children with atopic dermatitis compared to age-matched controls. Acta Paediatr. 1993;82:789-790. 40. Schalin-Karrila M, Mattila L, Jansen C, Uotila P. Evening primrose oil in the treat- ment of atopic eczema: effect of clinical status, plasma phospholipid fatty acids and circulating blood prostaglandins. Br J Dermatol. 1987;117:11-19. 41. Oliwiecki S, Burton J, Elles K, Horrobin D. Levels of essential and other fatty ac- ids in plasma and red cell phospholipids from normal controls and patients with atopic eczema. Acta Derm Venereol. 1991;71:224-228. 42. Wright S, Sanders T. Adipose tissue essential fatty acids in the plasma phos- pholipids of patients with atopic eczema. Br J Dermatol. 1991;110:643-648. 43. Lovell C, Burton J, Horrobin D. Treatment of atopic eczema with evening prim- rose oil [letter]. Lancet. 1981;1:278. 44. Wright S, Burton J. Oral evening-primrose-seed oil improves atopic eczema. Lan- cet. 1982;2:1120-1122. 45. Bordoni A, Biagi P, Masi M, et al. Evening primrose oil Efamol in the treatment of children with atopic eczema. Drugs Exp Clin Res. 1988;14:291-297. 46. Biagi P, Bordoni A, Hrelia S, et al. The effect of ␥-linolenic acid on clinical status, red cell fatty acid composition and membrane microviscosity in infants with atopic dermatitis. Drugs Exp Clin Res. 1994;20:77-84. 47. Biagi PL, Bordoni A, Masi M, Ricci G, Fanelli C, Patrizi A, Ceccolini E. A long- term study on the use of evening primrose oil Efamol in atopic children. Drugs Exp Clin Res. 1988;14:285-290. 48. Guenther L, Wexler D. Efamol in the treatment of atopic dermatitis [letter]. J Am Acad Dematol. 1987;17:860. 49. Humphreys F, Symons H, Brown H, Duff G, Hunter J. The effects of ␥-linolenic acid on adult atopic eczema and premenstrual exacerbation of eczema. Eur J Der- matol. 1994;4:598-603. 50. Horrobin D, Stewart C. Evening primrose oil and eczema. Lancet. 1990;335:864- 865. 51. Kalish R. Randomized trial of aromatherapy: successful treatment for alopecia areata. Arch Dermatol. 1999;135:602-603. 52. Munzel T, Giaid A, Kurz S, Stewart D, Harrison D. Evidence for a role of endo- thelin 1 and protein kinase C in nitroglycerin tolerance. Proc Natl Acad Sci U S A. 1995;92:5244-5248. REPRINTED ARCH DERMATOL VOL 138, FEB 2002 WWW.ARCHDERMATOL.COM 211 ©2002 American Medical Association. All rights reserved. on May 5, 2010 www.archdermatol.com Downloaded from http:www.kalbe.co.idcdk ISSN : 0125-913X 2 0 0 4 1 4 4 . T H T http. www.kalbe.co.idcdk International Standard Serial Number: 0125 – 913X 2 0 0 4 1 4 4 . T H T Daftar isi : 2. Editorial 4. English Summary Artikel 5. Rinitis Atrofi – Rizalina Arwinati Asnir 8. Papiloma Laring pada Anak – Bambang Supriyatno, Lia Amalia 11. Kista Duktus Tiroglosus – Hafni 13. Rinoskleroma – Delfitri Munir, Rizalina A Asnir, Firmansyah

16. Kanker Nasofaring - Epidemiologi dan Pengobatan Mutakhir – R.

Susworo 20. Pola Sensitivitas Kuman dari Isolat Hasil Usap Tenggorok Penderita Tonsilofaringitis Akut terhadap Beberapa Antimikroba Betalaktam di Puskesmas Jakarta Pusat – Retno Gitawati, Ani Isnawati 24. Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan Tenaga Kerja – Novi Arifiani 29. Program Konservasi Pendengaran di Tempat Kerja – Ambar W. Roestam Keterangan Gambar Sampul : Jaras sistim pendengaran manusia sumber: http:ivertigo.net 13 35. Perawatan Mandiri Pasca Trakeostomi – HR Krisnabudhi 41. Vertigo: Aspek Neurologi – Budi Riyanto Wreksoatmodjo

47. Terapi Akupunktur untuk Vertigo – Prasti Pirawati, L. Yvonne

Siboe 52. Teh [Camellia sinensis O.K. var. Assamica Mast] sebagai Salah satu Sumber Antioksidan – Sulistyowati Tuminah 55. Hasil Pemeriksaan Uji Hemaglutinasi pada Penderita Tersangka Demam Berdarah Dengue di Jakarta Tahun 2001 – Enny Muchlastriningsih, Sri Susilowati, Diana Hutauruk 57. Produk Baru 58. Kapsul 59. Informatika Kedokteran 60. Kegiatan Ilmiah 62. Abstrak 64. RPPIK E E D D I I T T O O R R I I A A L L Cermin Dunia Kedokteran kali ini terbit dengan topik bahasan masalah telinga, hidung dan tenggorokan. Beberapa penyakit seperti rinitis atrofi dan papiloma laring dapat anda jumpai; selain masalah pengaruh lingkungan – dalam hal ini kebisingan terhadap fungsi pendengaran khususnya. Tidak ketinggalan pula artikel mengenai kanker nasofaring dan perawatan trakeostomi – yang perlu diperhatikan, baik oleh tenaga medis maupun keluarga pasien. Artikel mengenai vertigo juga ikut melengkapi edisi ini Selamat membaca, komentar dan kritik sejawat sekalian tetap kami nantikan Redaksi Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 2 2 0 0 4 International Standard Serial Number: 0125 - 913X KETUA PENGARAH Prof. Dr. Oen L.H. MSc REDAKSI KEHORMATAN PEMIMPIN UMUM Dr. Erik Tapan KETUA PENYUNTING Dr. Budi Riyanto W. - Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo Staf Ahli Menteri Kesehatan Departemen Kesehatan RI Jakarta - Prof. Dr. R Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang PELAKSANA Sriwidodo WS. - - TATA USAHA - Dodi Sumarna - Djuni Pristiyanto Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt. Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Jakarta ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171 E-mail : cdkkalbe.co.id http: www.kalbe.co.idcdk - DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta NOMOR IJIN 151SKDITJEN PPGSTT1976 Tanggal 3 Juli 1976 DEWAN REDAKSI PENERBIT Grup PT. Kalbe Farma Tbk. - - PENCETAK PT. Temprint Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc. http:www.kalbe.co.idcdk PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- bidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertaiatau dalam bentuk disket program MS Word. Nama para pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembagafakultasinstitut tempat bekerjanya. Tabelskema grafikilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan ter- tukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9. Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro- organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physio- logy: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 4208171. E-mail : cdkkalbe.co.id Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat pengarang lengkap dengan perangko yang cukup. Tulisan dalam majalah ini merupakan pandanganpendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansilembagabagian tempat kerja si penulis. English Summary LARYNGEAL PAPILLOMA IN CHILD- REN Bambang Supriyatno, Lia Amalia Dept of Child Health, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta, Indonesia Laryngeal papilloma is a be- nign tumor frequently found in children. It is caused by strains of human papilloma virus HPV family. Practically all patients with laryngeal papilloma present with hoarseness or a weak voice; chronic cough, paroxysms of chocking; recurrent respiratory infections also may occur. Partial airway obstruction may manifest as stridor or chest retractions. Diagnosis can be confirmed using a flexible fiberoptic laryngoscope to visualize the larynx. Papillomata have a characteristic wart-like appearance, and tend to be concentrated on the free margins of true vocal folds, particularly at the anterior commissure. The mainstay of treatment is surgical ablation. The role of medications such as alpha- interferon, acyclovir, ribavirin, and retinoic acid are still debatable. Cermin Dunia Kedokt.2004: 144; 8-10 bso, laa RHINOSCLEROMA Delfitri Munir, Rizalina A Asnir, Fir- mansyah Dept. of ENT, Adam Malik General Hospital, Medan, North Sumatra, Indonesia Rhinoscleroma is an endemic disease; in Indonesia it is found in North Sulawesi, North Sumatera and Bali. There is still no accurate and successful management method for this problem . Cermin Dunia Kedokt.2004; 144; 13-15 dmr,raa,fih Fate is distinghished but an expensive tutor Goethe ACUPUNCTURE FOR VERTIGO Prasti Pirawati, L. Yvonne Siboe Dept. of Acupuncture Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia Vertigo is a common com- plaint, referred to dizziness or a sense of imbalance, can be due to vestibular system disorder. The symptoms may cause anxiety and disturb the patient’s social life. Conventional treatment is still not satisfactory. This is a report of a 50 year- old female with vertigo, treated with acupuncture and showed good improvement. Cermin Dunia Kedokt.2004; 144; 47-51 ppi,lys Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 4 Artikel TINJAUAN KEPUSTAKAAN Rinit is At rofi Rizalina Arwinati Asnir BagianSMF Telinga Hidung dan Tenggorokan-KL Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan ABSTRAK Rinitis atrofi sering ditemukan pada masyarakat dengan sosial ekonomi rendah, lingkungan yang buruk dan di negara yang sedang berkembang. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai saat ini belum dapat diterangkan secara jelas, sehingga pengobatannya belum ada yang baku. Kata kunci : rinitis atrofi, sosial ekonomi rendah. PENDAHULUAN Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. 1-11 Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehing- ga terbentuk krusta yang berbau busuk. 1-9 Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, 1-5,7,11-15 terutama pada usia pubertas. 1- 4,7,11,13 Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk 1-3,11-14 dan di negara sedang berkembang. 12,16 Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. 1-5,7,9,10,14-16 Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilang- kan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. 1,2,4,11,17 Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi . 1-5,11-15 SINONIM : Ozaena, rinitis fetida, rinitis krustosa. 20 KEKERAPAN Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita, 1-5,7,11-15 terutama pada usia pubertas. 1-4,7,11,13 Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, 8 dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. 9 Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria. 20 Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, 8 Jiang dkk berkisar 13-68 tahun 9 , Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. 20 Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk 1-3,11-14 dan di negara sedang berkembang. 12,16 Di RS H Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun. ETIOLOGI Etiologi rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat di- terangkan dengan memuaskan. 1-5,7,9,10,14-16 Beberapa teori yang dikemukakan antara lain : 1 Infeksi kronik spesifik 1-4, 7,9,11,12,17 Terutama kuman Klebsiella ozaena. Kuman ini meng- hentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Kuman lain adalah Stafilokokus, Streptokokus dan Pseudo- monas aeruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena 2 Defisiensi Fe 1-4,7,12 , vitamin A 1,2,5,7,11 3 Sinusitis kronik 1,2,5,12,16,18 5 Ketidakseimbangan hormon estrogen 1-5,7,11 6 Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun 1-4,7,5,7 7 Teori mekanik dari Zaufal 4,5 8 Ketidakseimbangan otonom 4,7,12,17 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 5 9 Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome RSDS 4,5,17 10 Herediter 5,7,17 11 Supurasi di hidung dan sinus paranasal 5,16 12 Golongan darah. Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa di- golongkan atas : rinitis atrofi primer yang penyebabnya tidak diketahui 4,10 dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung operasi besar pada hidung atau radioterapi dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. PATOLOGI DAN PATOGENESIS Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atro- fik, 3,4,5,9,11,12,15,16,19 dan fibrosis dari tunika propria. 3,4,12 , terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukur- an 3,4,11 dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. 3,13 ;oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua: 3,4,21 Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen. Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen. Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel berreaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. 3,4 Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebab- kan pembentukan krusta tebal yang melekat. 10,11 Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. 10,11 Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurang- an efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman. 7 GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN Keluhan biasanya berupa : hidung tersumbat, gangguan penciuman anosmi, ingus kental berwarna hijau, adanya krusta kerak berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. 1-5,10-12 Pada pemeriksaan ditemui : rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka, sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. Bisa juga ditemui ulattelur larva karena bau busuk yang timbul. Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat 21 : a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit. b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas. c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar se- kali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas. DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, peme- riksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan histopatologi dan test serologi VDRL test dan Wasserman test untuk menying- kirkan sifilis. 1,2,9,11 Diagnosis Banding Rinitis kronik tbc, rinitis kronik lepra, rinitis kronik sifilis dan rinitis sika. 21 KOMPLIKASI 4,8,11 Dapat berupa: perforasi septum, faringitis, sinusitis, miasis hidung, hidung pelana. PENATALAKSANAAN Tujuan pengobatan adalah: menghilangkan faktor etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi. 1,2 Konservatif 1 Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. 1,2 Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada peng- obatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu. 3 2 Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan menghilangkan bau. Antara lain : a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau b. Campuran : NaCl NH4Cl NaHCO3 aaa 9 Aqua ad 300 c 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat c. Larutan garam dapur d. Campuran : Na bikarbonat 28,4 g Na diborat 28,4 g NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke naso- faring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 6 3 Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25 dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes. 4 Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu 5 Preparat Fe 6 Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas 1-5,11-14 Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80 perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3 perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. 3 Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang me- muaskan pada 6 dari 7 penderita. 21 OPERASI Tujuan operasi antara lain untuk: menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentuk- an krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkin- kan terjadinya regenerasi. Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1 Youngs operation Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha me- laporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun. 2 Modified Youngs operation Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka. 3 Lautenschlager operation Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung. 4 Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue. 5 Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila Wittmacks operation dengan tujuan membasahi mukosa hidung. 4,5,10-14,23 Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan. 22 PROGNOSIS Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. 5 KESIMPULAN Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif mukosa dan tulang konka disertai pembentukan krusta. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilang- kan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Peng- obatan dapat diberikan secara konservatif atau operatif. KEPUSTAKAAN 1. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Hidung . Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok . Edisi ke 3. Jakarta : FKUI, 1997; 91-3, 113-4. 2. Mangunkusumo E. Rinitis Atrofi. Dalam : Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta : FKUI, 1992; 90-2. 3. Weir N, Wood DG. Infective Rhinitis and Sinusitis. Dalam : Scott- Browns Otolaryngology. 6 th ed. Oxford : Butterworth - Heinemann, 1997; 4826-7. 4. Ramalingam KK, Sreeramamoorthy B. A Short Practice of Otolaryngology. Madras : All India Publisher, 1993; 202-5. 5. Kumar S. Fundamental of Ear,Nose Throat Diseases and Head - Neck Surgery. Calcutta : The New Book Stall, 1996; 218-21. 6. Lobo CJ, Hartley C, Farrington WT. Closure of the Nasal Vestibule in Atrophic Rhinitis-A new non surgical technique. J Laryngol Otol 1998; 112 : 543-6. 7. Sayed RH, Elhamd KA, Kader MA. Study of Surfactant Level in Cases of Primary Atrophic Rhinitis. J Laryngol Otol 2000; 114 : 254-9. 8. Baser B, Grewal DS, Hiranandani NL. Management of Saddle Nose Deformity in Atrophic Rhinitis. J Laryngol Otol 1990 ; 104 : 404-7. 9. Jiang R,Hsu C,Chen C. Endoscopic Sinus Surgery and Postoperative Intravenous Aminoglycoside in the Atrophic Rhinitis. Am J Rhinol 1998 ; 12 : 325-33. 10. Groves J,Gray RF.A Synopsis of Otolaryngology. 4 th Bristol:Wright, 1985; 193-411. 11. Maqbool M. Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases. 6 th ed New Delhi : Jaypee Brothers, 1993; 264-7. 12. Massegur H.Atrophic Rhinitis-Pathology, Etiology and Management. Dalam : XVI Congress of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Sydney, 1997; 1403-6. 13. Maran AGD. Disease of the Nose, Throat and Ear. Singapore : PG Publishing, 1992; 40-1. 14. Colman BH. Disease of the Nose, Throat and Ear and Head and Neck. 14 th ed Singapore : ELBS, 1987; 26-7. 15. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, Nose and Throat Diseases. A Pocket Reference. 2 nd ed. New York : Georg Thieme Verlag, 1994; 218-9. 16. Hagrass, Gamea AM, Sherief SG.Radiological and Endoscopic Study of the Sinus Maxilla in Primary Atrophic Rhinitis.J Laryngol Otol 1992 ;106: 702-3. 17. Bertrand B, Doyen A, Elloy P. Triosite Implants and Fibrin Glue in the Treatment of Atrophic Rhinitis:Technique and Results. Laryngoscope 1996; 106 : 652-7. 18. Ballenger JJ. Penyakit Telinga ,Hidung, Tenggorok , Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid 1. Alih Bahasa : Staf Ahli Bag. THT FKUI. Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994; 1-4, 10-5, 229. 19. Hilger PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Boies ed, Buku Ajar Penyakit THT.Edisi 6, Alih Bahasa : Wijaya, C. Jakarta: EGC, 1996; 173-82, 221-2. 20. Samiadi D. Laporan Penanggulangan Beberapa Kasus Rinitis Atrofi. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Konas VII Perhati. Ujung Pandang, 1986; 549-55. 21. Mewengkang N, Samsudin, Sutomo. Penutupan Koana dengan Flap Faring pada Penderita Ozaena Anak. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Konas VII Perhati. Ujung Pandang: 1986; 576-80. 22. Naumann HH. Head and Neck Surgery. Indication, Technique, Pitfalls. Vol.1. New York : Georg Thieme Publishers, 1980; 349-51, 381-2. 23. Montgomery WW. Surgery of the Upper Respiratory System. 3 rd Baltimore : Williams Wilkins, 1996; 492, 499. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 7 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Pa pilom a La ring pa da Ana k Bambang Supriyatno, Lia Amalia Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta ABSTRAK Papiloma laring merupakan tumor jinak proliferatif yang sering dijumpai di saluran nafas anak; dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas yang dapat meng- akibatkan kematian. Etiologi pasti papiloma laring tidak diketahui; diduga berhubungan dengan infeksi human papiloma virus HPV tipe 6 dan 11. Beberapa keadaan diduga berperan sebagai faktor predisposisi seperti keadaan ekonomi rendah, higiene yang buruk, infeksi saluran nafas kronik, kelainan imunologis, dan terdapatnya kondiloma akumi- nata pada ibu. Manifestasi klinis awal biasanya berupa suara serak sampai afonia serta suara tangisan yang abnormal. Papiloma laring pada anak dapat menyebar ke trakea dan bahkan sampai ke paru-paru. Diagnosis papiloma laring ditegakkan berdasarkan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laringoskopi langsung. Pada laringoskopi langsung dapat terlihat gambaran tumor menyerupai kembang kol, ber- warna kemerahan, rapuh, mudah berdarah, dan pertumbuhannya eksofilik. Tatalaksana- nya berupa tindakan bedah dikombinasikan dengan fotodinamik; obat-obatan medi- kamentosa kurang berperan. Komplikasi yang mungkin timbul adalah sumbatan jalan nafas serta penyebaran ke paru-paru. Prognosis kurang baik dalam hal rekurensi; pada anak angka rekurensi kekambuhan masih cukup tinggi. Kata kunci : papiloma laring, anak, rekurensi PENDAHULUAN Papiloma laring merupakan tumor jinak proliferatif yang sering dijumpai pada saluran napas anak. Papiloma laring pertama kali dikenal sebagai kutil di tenggorok warts in the throat oleh Donalus pada abad ke-17. Mc Kenzie memper- kenalkan nama papiloma laring pada abad ke-19. 1 Papiloma merupakan neoplasma laring jinak pada anak tetapi dapat juga terjadi pada dewasa. Papiloma laring pada anak dapat menjadi masalah jika menyumbat jalan napas. Selain itu papiloma laring mempunyai kemampuan untuk tumbuh kembali setelah pengangkatan dan meluas ke struktur trakeobronkial. Infeksi Human Papilloma Virus HPV pada saluran napas merupakan penyebab potensial papiloma laring. Mc Kenzie membedakan penyakit ini dari tumor lain secara klinis dan menggunakan istilah “papiloma”. 2,3 Papiloma merupakan jenis tumor yang berkembang de- ngan cepat, walaupun tidak ganas. Tumor ini dapat menyebar ke rongga mulut, hidung, trakea dan paru, tetapi lokasi ter- sering adalah laring. 4,5 Terdapat dua jenis papiloma laring; salah satu adalah papi- loma laring juvenilis yang biasanya multipel dan cenderung agresif. Yang lain adalah papiloma laring senilis yang soliter dan kurang agresif tetapi dapat berkembang menjadi ganas. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 8 INSIDENS Papiloma laring lebih sering dijumpai pada anak, 80 pada kelompok usia di bawah 7 tahun. 6 Agung 7 melaporkan 7 kasus antara 1970-1976, 6 di antaranya di bawah 12 tahun. Sedangkan di Bagian THT RSCM ditemukan 14 kasus antara 1993-1997 dengan usia antara 2,5-18 tahun. ETIOLOGI Etiologi papiloma laring tidak diketahui dengan pasti. Diduga Human Papilloma Virus HPV tipe 6 dan 11 berperan terhadap terjadinya papiloma laring. Diduga ada hubungan an- tara infeksi HPV genital pada ibu hamil dan papiloma laring pada anak. 8,9 Hal ini terbukti dengan adanya HPV tipe 6 dan 11 pada kondiloma genital. Walaupun penemuan di atas menun- jukkan peran infeksi virus pada papiloma laring, tetapi ada faktor lain yang berperan., mengingat papiloma laring dapat menghilang spontan saat pubertas. Teori yang melibatkan faktor hormonal sebagai salah satu penyebab pertama kali dikemukakan oleh Holinger. 10 Terdapat beberapa faktor predisposisi papiloma laring yaitu sosial ekonomi rendah dan higiene yang buruk, infeksi saluran napas kronik, dan kelainan imunologis. 3,11-13 HISTOPATOLOGI Gambaran makroskopik papiloma laring berupa lesi ekso- fitik, seperti kembang kol, berwarna abu-abu atau kemerahan dan mudah berdarah. Tipe lesi ini bersifat agresif dan mudah kambuh, tetapi dapat hilang sama sekali secara spontan. 10 Gambaran mikroskopik menunjukkan kelompok stroma jaringan ikat dan pembuluh darah seperti jari-jari yang dilapisi lapisan sel epitel skuamosa dengan permukaan keratotik atau parakeratotik. Kadang-kadang muncul gambaran sel yang ber- mitosis. 10 MANIFESTASI KLINIS Pada awalnya adalah gangguan fonasi berupa suara serak sampai afonia dan suara tangisan abnormal pada anak. Bila papiloma cukup besar dapat menyebabkan gangguan pernapasan berupa batuk, sesak, dan stridor inspirasi. Penyebaran ke trakea dan bronkus jarang ditemukan, tetapi dapat terjadi pada pasien dengan riwayat ekstirpasi papiloma atau riwayat trakeostomi sebelumnya, yang menimbulkan sumbatan saluran napas atau penyakit parenkim paru. 14-16 Sumbatan saluran napas atas dapat dibagi menjadi 4 derajat berdasarkan kriteria Jackson. Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal, tanpa sianosis. Jackson II adalah gejala sesuai Jackson I tetapi lebih berat yaitu disertai retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak mulai gelisah. Jackson III adalah Jackson II yang bertambah berat disertai retraksi interkostal, epigastrium, dan sianosis lebih jelas, sedangkan Jackson IV ditandai dengan gejala Jackson III disertai wajah yang tampak tegang, dan terkadang gagal napas. 7,11 DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisis, dengan laringoskopi langsung atau tak lang- sung serta dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologis. Pada anamnesis jika terdapat suara serak dan suara tangisan yang abnormal pada anak dengan atau tanpa riwayat infeksi yang telah diobati tetapi tidak ada perubahan, maka perlu dicurigai suatu papiloma laring. Biasanya terdapat stridor inspirasi dan pada pemeriksaan laringoskopi langsung tampak gambaran tumor yang menyerupai kembang kol, kemerahan, rapuh, dan mudah berdarah, serta pertumbuhannya eksofilik. Penyebaran ke trakea dan paru dapat diidentifikasi melalui foto toraks dan CT Scan. Pada foto toraks dapat terlihat gambaran kavitas. 17 Diagnosis banding Diagnosis sulit terutama pada fase awal. Sering disalah diagnosis dengan laringo-trakeo-bronkitis, asma bronkial, la- ringomalasea, paralisis pita suara, nodul pita suara atau kista laring kongenital. Diagnosis harus dikonfirmasi dengan la- ringoskopi langsung dan biopsi. 15 PENATALAKSANAAN Ada beberapa perangkat dalam tatalaksana papiloma laring, semuanya mempunyai prinsip sama yaitu mengangkat papiloma dan menghindari rekurensi. Umumnya terapi dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Bedah Terapi bedah harus berdasarkan prinsip pemeliharaan jaringan normal untuk mencegah penyulit seperti stenosis laring. Prosedur bedah ditujukan untuk menghilangkan papi- loma danatau memperbaiki dan mempertahankan jalan napas. Beberapa teknik yang digunakan antara lain: trakeostomi, laringofissure, mikrolaringoskopi langsung, mikrolaringoskopi dan ekstirpasi dengan forseps, mikrokauter, mikrolaringoskopi dengan diatermi, mikrolaringoskopi dengan ultrasonografi, kriosurgeri, carbondioxide laser surgery. 17,18 Pada kasus papi- loma laring yang berulang, terapi bedah pilihan adalah peng- angkatan tumor dengan laser CO 2 . b. Medikamentosa Pemberian obat medikamentosa pernah dilaporkan baik digunakan secara sendiri maupun bersama-sama dengan tin- dakan bedah. Obat yang digunakan antara lain antivirus, hor- mon dietilstilbestrol, steroid, dan podofilin topikal. Terapi medikamentosa ini tidak terlalu bermanfaat. 18-20 c. Imunologis Terapi imunologi untuk papiloma laring umumnya hanya suportif menggunakan interferon. 18 d. Terapi fotodinamik Terapi ini merupakan satu dari perangkat terbaru dalam tatalaksana papilomatosis laring rekuren. 14 Terapi ini meng- gunakan dihematoporphyrin ether DHE yang tadinya dikem- bangkan untuk terapi kanker. Jika diaktivasi dengan cahaya dengan panjang gelombang yang sesuai 630 nm, DHE meng- hasilkan agen sitotoksik yang secara selektif menghancurkan sel-sel yang mengandung substansi tersebut. Basheda dkk. melaporkan bahwa terapi fotodinamik efektif menghilangkan lesi endobronkial, tetapi tidak untuk lesi parenkim. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 9 KOMPLIKASI Pada umumnya papiloma laring pada anak dapat sembuh spontan ketika pubertas; tetapi dapat meluas ke trakea, bronkus, dan paru, diduga akibat tindakan trakeostomi, ekstirpasi yang tidak sempurna. 13 Meskipun jarang, radiasi diduga menjadi faktor yang mengubah papiloma laring menjadi ganas. PROGNOSIS Prognosis papiloma laring umumnya baik. Angka re- kurensi berulang dapat mencapai 40. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhi re- kurensi pada papiloma. 16 Diagnosis dini dan penanganan yang tepat diduga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap rekurensi. Penyebab kematian biasanya karena penyebaran ke paru. KEPUSTAKAAN 1. Harley C, Hamilton, Birzgalis AR. Recurrent respiratory papillomatosis. The Manchester experience 1974-1992. Laryngol and Otol 1994; 108:226-9. 2. Kohlmoos HW. Papilloma of the larynx in children. Arch Otolaryngol 1995; 11:242-52. 3. Elo J, Hidvigi J, Bajtai A. Papova viruses and recurrent laryngeal papillomata. Arch Otolaryngol 1995; 115:322-5. 4. Erisen L, Fagan JJ, Myers EN. Late recurrences of laryngeal papillo- matosis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1996; 122:942-4. 5. Kashima H, Mounts P, Leventhal B. Sites of predilection in recurrent respiratory papillomatosis. Ann Otol Rhinol Laryngol 1993; 102:580-3. 6. Steinberg BM, Topp WC, Schneider PS, et al. Laryngeal papillomavirus infection during clinical remission, N Engl J Med 1983; 308:1261-4. 7. Agung IB, Losin. Pengelolaan papiloma laring di Bagian THT FK-UGM. Laporan pendahuluan KONAS PERHATI V Semarang, 1977; .h.669-75. 8. Smith EM, Pignatari SSN, Gray SD. Human papillomavirus infection in papillomas and nondisease respiratory sites of patients with recurrent respiratory papillomatosis using the polymerase chain reaction. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1993; 119:554-7. 9. Derkay CS. Task force on recurrent respiratory papillomas. A preliminary study. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1995; 121:1386-91. 10. Abramson AL, Steinberg BM, Winkler B. Laryngeal papillomatosis: clinical histopathologic and molecular studies. Laryngoscope 1987; 97:678-85. 11. Yasin AR. Penelitian pendahuluan pada papiloma laring. Skripsi. THT FKUI, 1982. 12. Mulloly VM, Abramson AL, Steinberg BM. Clinical effect of alpha interferon dose variation on laryngeal papillomas. Laryngoscope 1998; 98:1324-9. 13. Bashida SG, Mehta AC, de Boer G, Orlowski JP. Endobronchial and parenchymal juvenile laryngotracheobronchial papillomatosis effect of photodynamic therapy. Chest 1991; 100:1458-64. 14. Shikowitz MJ. Comparison of pulsed and continuous wave light in photodynamic therapy of papillomas: An experimental study. Laryngoscope 1992; 102:300-10. 15. Ossof RH, Werkheven JA, Dere H. Soft tissue complication of laser surgery for reccurent papillomatosis. Laryngoscope 1991; 101:1162-6. 16. Rimell EM, Shoemaker DL, Pou AM. Pediatric respiratory papillomatosis. Prognostic role of viral typing and cofactors. Laryngos- cope 1997; 107:915-47. 17. White A, Haliwell M, Fairman DH. Ultrasonic treatment of laryngeal papillomata. Bristol General Hospital. h.249-60. 18. Haglund S, Lundwuist P, Cantell K. Interferon therapy in juvenile laryngeal papillomatosis. Arch Otolaryngol 1981; 107:327-32 19. Green GE, Bauman NM, Smith RJH. Pathogenesis and treatment of juvenile onset recurrent respiratory papillomatosis. Otolaryngol Clin N Am 2000; 33:187-207. 20. Derkay CS, Darrow DH. Recurrent respiratory papillomatosis of the larynx. Current Diagnosis and Treatment. Otolaryngol Clin N Am 2000; 33:1-12. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 10 TINJAUAN KEPUSTAKAAN K ist a Duk t us T iroglosus Hafni Bagian SMF Telinga Hidung dan Tenggorokan-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan ABSTRAK Kista duktus tiroglosus merupakan 70 dari kasus kista yang ada di leher. Kista ini lebih sering terjadi pada anak. Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus bertujuan untuk memperkecil angka kekambuhan yaitu dengan mengangkat kista beserta duktusnya. Kata kunci : Kista duktus tiroglosus, kekambuhan PENDAHULUAN Kista duktus tiroglosus merupakan kista yang terbentuk dari duktus tiroglosus yang menetap sepanjang alur penurunan kelenjar tiroid, yaitu dari foramen sekum sampai kelenjar tiroid bagian superior di depan trakea. 1-11 Kista ini merupakan 70 dari kasus kista yang ada di leher. 4,5 Kista ini biasanya terletak di garis median leher, dapat ditemukan di mana saja antara pangkal lidah dan batas atas kelenjar tiroid. 4-10,12 Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus yang banyak dilakukan saat ini bertujuan untuk memperkecil angka kekambuhan, yaitu dengan mengangkat kista beserta duktus- nya, bagian tengah korpus hiod, traktus yang menghubungkan kista dengan foramen saekum serta mengangkat otot lidah di sekitarnya, seperti yang dilakukan Sistrunk pada tahun 1920. 1,3,4,5,9,10,13 KEKERAPAN Beberapa penulis menyatakan bahwa kasus ini merupakan kasus terbanyak dari massa non neoplastik di leher, merupakan 40 dari tumor primer di leher. 1,13,14 Ada penulis yang menyatakan hampir 70 dari seluruh kista di leher adalah kista duktus tiroglosus. 5,6 Kasus ini lebih sering terjadi pada anak-anak, 10,14 walau- pun dapat ditemukan di semua usia. 4,9,10,12 Predileksi umur terbanyak antara umur 0 – 20 tahun yaitu 52, umur sampai 5 tahun terdapat 38. 4,11 Sistrunk 1920 melaporkan 31 kasus dari + 86.000 pasien anak. 3 Tidak terdapat perbedaan risiko terjadinya kista berdasarkan jenis kelamin dan umur yang bisa didapat dari lahir sampai 70 tahun, rata-rata pada usia 5,5 tahun. 3,5 Penulis lain mengatakan predileksi usia kurang dari 10 tahun sebesar 31,5, pada dekade ke dua 20,4, dekade ke tiga 13,5 dan usia lebih dari 30 tahun sebesar 34,6. 1,5 Waddell mendapatkan 28 kasus kista duktus tiroglosus secara histologik dari 61 pasien yang diduga menderita kista tersebut. 12 Tri D dkk melaporkan 8 kasus kista duktus tiroglosus dari 1983-1985 di RS Kariadi Semarang. 11 PATOGENESIS Terdapat dua teori yang dapat menyebabkan terjadinya kista duktus tiroglosus : 1 infeksi tenggorok berulang akan merangsang sisa epitel traktus, sehingga mengalami degenerasi kistik. 2 sumbatan duktus tiroglosus akan mengakibatkan terjadinya penumpukan sekret sehingga membentuk kista. Teori lain mengatakan mengingat duktus tiroglosus terletak di antara beberapa kelenjar limfe di leher, jika sering terjadi peradangan, maka epitel duktus juga ikut meradang, sehingga terbentuklah kista. 1 LOKASI Kista duktus tiroglosus dapat tumbuh di mana saja di garis tengah leher, sepanjang jalur bebas duktus tiroglosus mulai dari dasar lidah sampai ismus tiroid. 11 Lokasi yang sering adalah 1,5 : - intra lingual : 2,1 - suprahioid : 24,1 - tirohioid : 60,9 - suprasternal : 12,9 Sedangkan Ward 4 mendapatkan dari 72 pasien dengan kista duktus tiroglosus, lokasinya terdapat di: Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 11 - submental : 2 - suprahioid : 18 - transhioid : 2 - infrahioid : 43 - suprasternal : 3 Hanlon mendapatkan 1 kasus kista duktus tiroglosus yang lokasinya jauh ke lateral. 8 GEJALA KLINIK Keluhan yang sering terjadi adalah adanya benjolan di garis tengah leher, dapat di atas atau di bawah tulang hioid. Benjolan membesar dan tidak menimbulkan rasa tertekan di tempat timbulnya kista. Konsistensi massa teraba kistik, berbatas tegas, bulat, mudah digerakkan, tidak nyeri, warna sama dengan kulit sekitarnya dan bergerak saat menelan atau menjulurkan lidah. 1,6,7,10 Diameter kista berkisar antara 2-4 cm, kadang- kadang lebih besar. 9 Bila terinfeksi, benjolan akan terasa nyeri. Pasien me- ngeluh nyeri saat menelan dan kulit di atasnya berwarna merah. DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik; yang harus dipikirkan pada setiap benjolan di garis tengah leher. Untuk fistula, diagnosis dapat ditegakkan menggunakan suntikan cairan radioopak ke dalam saluran yang dicurigai dan dilakukan foto Rontgen. 2,6,11 Diagnosis Banding 1. Lingual tiroid 3. Kista brankial 2. Kista dermoid 4. Lipoma 1,11 PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus bervariasi dan banyak macamnya, antara lain insisi dan drainase, aspirasi perkutan, eksisi sederhana, reseksi dan injeksi dengan bahan sklerotik. Dengan cara-cara tersebut angka kekambuhan dilaporkan antara 60-100. Schlange 1893 melakukan eksisi dengan mengambil korpus hioid dan kista beserta duktus- duktusnya;dengan cara ini angka kekambuhan menjadi 20. 11 Sistrunk 1920 memperkenalkan teknik baru berdasarkan embriologi, yaitu kista beserta duktusnya, korpus hioid, traktus yang menghubungkan kista dengan foramen sekum serta otot lidah sekitarnya kurang lebih 1 cm diangkat. Cara ini dapat menurunkan angka kekambuhan menjadi 2-4 . 5,11 Cara Sistrunk : 1 Penderita dengan anestesi umum dengan tube endotrakea terpasang, posisi terlentang, kepala dan leher hiperekstensi. 2 Dibuat irisan melintang antara tulang hioid dan kartilago tiroid sepanjang empat sentimeter. Bila ada fistula, irisan ber- bentuk elips megelilingi lubang fistula. 3 Irisan diperdalam melewati jaringan lemak dan fasia; fasia yang lebih dalam digenggam dengan klem, dibuat irisan me- manjang di garis media. Otot sternohioid ditarik ke lateral untuk melihat kista di bawahnya. 4 Kista dipisahkan dari jaringan sekitarnya, sampai tulang hioid. Korpus hioid dipotong satu sentimeter. 5 Pemisahan diteruskan mengikuti jalannya duktus ke foramen sekum. Duktus beserta otot berpenampang setengah sentimeter diangkat. Foramen sekum dijahit, otot lidah yang longgar dijahit, dipasang drain dan irisan kulit ditutup kembali. 5,11 KOMPLIKASI Fistel duktus tiroglosus dapat timbul spontan atau sekunder akibat trauma, infeksi atau operasi yang tidak adekuat. Kejadi- an fistel ini antara 15-34. 5 KESIMPULAN Kista duktus tiroglosus merupakan kista yang terbentuk dari duktus tiroglosus yang tetap ada sepanjang alur penurunan kelenjar tiroid. Kista ini merupakan 70 dari kasus kista yang ada di leher. Biasanya terletak di garis median leher yang dapat ditemukan di mana saja antara pangkal lidah dan batas atas kelenjar tiroid. Kasus ini lebih sering terjadi pada anak-anak, walaupun dapat ditemukan pada semua usia. Penatalaksanaan kista duk- tus tiroglosus dengan cara Sistrunk yang sudah banyak dilaku- kan saat ini bertujuan untuk memperkecil angka kekambuhan. KEPUSTAKAAN 1. Maran AGD. Benign diseases of the neck. Dalam : Scott-Brown’s Otolaryngology. 6 th ed. Oxford : Butterworth - Heinemann, 1997; 5161- 4. 2. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid 1. Alih Bahasa : Staf Pengajar Bag. THT FKUI. Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994; 295-6, 381-2. 3. Cohen JI. Massa Jinak Leher. Dalam Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6, Alih Bahasa : Wijaya C. Jakarta : EGC, 1996; 415-21. 4. Karmody CS. Developmental Anomalies of the Neck. Dalam: Pediatric Otolaryngology. 2 nd ed. Bluestone CD, Stool SE, Scheetz MD eds.. Philadelphia : WB Saunders Co, 1990; 1313-14. 5. Sobol M. Benign Tumors. Dalam : Comprehensive Management of Head and Neck Tumors. Vol. 2. Thawley S, Panje WR eds.. Philadelphia : WB Saunders Co, 1987; 1362-69. 6. Montgomery WW. Surgery of the Upper Respiratory System. 2 nd ed. Vol. II. Philadelphia : Lea Febiger, 1989; 88. 7. Colman BH. Disease of Nose, Throat and Ear and Head and Neck, A Handbook for Students and Practitioners. 14 th ed. Singapore : ELBS, 1987; 183. 8. O’Hanlon DM, Walsh N, Corry J et al. Aberrant thyroglossal cyst. J. Laryngol. Otol. 1994; 108 : 1105-7. 9. Pincu RL. Congenital Neck Masses and Cysts. Dalam : Head and Neck Surgery - Otolaryngology. Vol. 1. Bailey JB, Johnson JT, Kohut RI et al. Philadelphia : JB Lippincott Co, 19; 755. 10. Ellis PDM. Branchial cleft anomalies, thyroglossal cysts and fistulae. Dalam : Scott-Brown’s Otolaryngology. 6 th ed. Oxford: Butterworth – Heinemann, 1997; 6308-12. 11. Damijanti T, Suparjadi S, Samsudin. Tata Laksana Kiste Duktus Tiroglosus di UPF THT RSDK Semarang Th. 1983 - 1985. Dalam : Kumpulan Naskah Konas VI Perhati. Ujung Pandang. 1986; 760-7. 12. Waddell A, Saleh H, Robertson N et al. Thyroglossal duct remnants. J. Laryngol. Otol. 2000; 114: 128-9. 13. Urben SL, Ransom ER. Fusion of the thyroid interval in a patient with a thyroglossal duct cyst. Otolaryngol. Head and Neck Surg. 120 5: 757-9. 14. Greinwald JH, Leichtman LG, Simko MEJ. Hereditary Thyroglossal Duct Cyst. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1996; 122: 1094-6. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 12 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Rinosk le rom a Delfitri Munir, Rizalina A Asnir, Firmansyah Bagian SMF Telinga Hidung dan Tenggorokan-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan ABSTRAK Rinoskleroma merupakan penyakit endemik, di Indonesia terutama di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali. Belum ada cara penanggulangan yang tepat dan memuaskan untuk penyakit ini sampai sekarang. PENDAHULUAN Rinoskleroma adalah penyakit yang jarang di Amerika Serikat dan Inggris, tapi endemik di beberapa negara di Asia, Amerika, Eropa dan Afrika. 1-7 Di Indonesia, rinoskleroma telah dilaporkan sejak sebelum perang dunia ke dua. Kasus pertama ditemukan oleh Snigders dan Stoll 1918 di Sumatera Utara. 2 Dilaporkan banyak terdapat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali. 1,8 Pengobatan meliputi medikamentosa, radiasi dan pem- bedahan, namun sampai sekarang belum ada cara tepat yang memberikan hasil memuaskan. 6,8 Rinoskleroma adalah penyakit menahun granulomatosa yang bersifat progresif, mengenai traktus respiratorius bagian atas terutama hidung. Penyakit ini ditandai dengan penyempit- an rongga hidung sampai penyumbatan oleh suatu jaringan granulomatosa yang keras serta dapat meluas ke nasofaring, orofaring, subglotis, trakea dan bronkus. Rinoskleroma disebabkan oleh bacilus gram negatif Klebsiella rhinoscleromatis. 1,8-10 Penyakit ini pertama kali digambarkan oleh Von Hebra 1870. Mikulitz menemukan sel-sel yang dianggap khas untuk penyakit ini dan Von Frisch menemukan basil jenis Klebsiella yang dianggap sebagai penyebab penyakit ini. 2,8,9 Infeksi biasanya dimulai dari bagian anterior hidung se- bagai plak submukosa yang lembut, meluas secara bertahap menjadi nodul padat yang tidak sensitif, dan dalam beberapa tahun akan mengisi dan menyumbat hidung. Bila tidak diterapi akan meluas ke bibir atas dan hidung bawah sehingga me- nimbulkan deformitas yang luas. 8,10 Diagnosis berdasarkan perjalanan klinis dan pemeriksaan patologi spesimen yang memperlihatkan sel-sel Mikulicz yang khas dan bakteri berbentuk batang dalam sitoplasma. 5,7 INSIDEN Rinoskleroma dapat mengenai semua usia, tetapi sering pada dewasa muda. 1,2,9 Kebanyakan penderita ditemukan pada dekade dua dan tiga. Penyakit ini sering dijumpai pada sosial ekonomi yang rendah, lingkungan hidup yang tidak sehat dan gizi yang jelek. 1,2 Belinoff melaporkan 94,5 terdapat pada golongan pekerja kasar seperti petani. 8 Fisher menyatakan tidak ada perbedaan yang nyata antara laki-laki dan perempuan. 8,9,11 Penyakit ini merupakan penyakit endemik di Polandia, Cekoslovakia, Rumania, Rusia, Ukraina, Guatemala, Salvador, Kolumbia, Mesir, Uganda, Nigeria, India, Philipina dan Indonesia. 2-4,7,9,11,13-16 Di Indonesia banyak terdapat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali. 1,8 ETIOLOGI Rinoskleroma disebabkan oleh Klebsiela rhinoskleromatis yang merupakan basil Gram negatif. 1-16 Penyakit ini juga di- hubungkan dengan AIDS dan defisiensi sel T. 2,7 HISTOPATOLOGI Penyakit rinoskleroma adalah penyakit radang menahun granulomatosa dari submukosa dengan gambaran histo- Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 13 patologis yang khas, berupa hiperplasi dan hipertrofi epitel permukaan, jaringan ikat di bawah epitel berbentuk trabekula dan di infiltrasi oleh sel-sel besar dengan vakuola pada sitoplasma. Sel-sel ini mempunyai inti di tepi dan di dalam vakuola terdapat banyak basil berbentuk batang yang kemudian dikenal sebagai basil dari Von Frisch. Di samping itu terdapat pula sebukan sel-sel plasma, limfosit dan histiosit. Sel-sel besar dengan vakuola dan basil-basil tersebut kemudian dikenal dengan sel-sel dari Mikulicz. Sel-sel ini menurut Fischer dan Hoffman penting dalam menegakkan diagnosis penyakit rinoskleroma. Toppozada mengemukakan bahwa sel ini berasal dari sel-sel plasma yang banyak terdapat pada penyakit ini. 9 Secara histopatologis penyakit ini terdiri dari tiga stadia; yang menunjukkan gambaran khas adalah stadium granu- lomatosa 2,9,12 1. Stadium kataral atropik Metaplasi skuamosa dan infiltrasi subepitel nonspesifik dari sel PMN dengan jaringan granulasi. 2. Stadium granulomatosa Gambaran diagnostik ditemukan pada stadium ini berupa sel radang kronik, Russel body, hiperplasi pseudo epitelioma- tosa, histiosit besar bervakuola yang mengandung Klebsiella rhinoskleromatis Mikulicz sel. 3. Stadium sklerotik Fibrosis yang luas, yang menyebabkan stenosis dan kelain- an bentuk. GEJALA KLINIS Gejala tergantung pada area, perluasan dan lamanya penyakit. 1 Di hidung dapat dibedakan menjadi tiga stadium 1,2,8-11,14 : - Stadium I Kataralis, Atrofi, Eksudasi Ditemukan pada usia sekolah. Gambaran penyakit pada stadium ini tidak khas, sering seperti rinitis biasa. Dimulai dengan cairan hidung encer, sakit kepala, sumbatan hidung yang berkepanjangan, kemudian diikuti cairan mukopurulen berbau busuk; dapat terjadi gangguan penciuman. - Stadium II Granulomatous, Infiltratif, Noduler Ditandai dengan hilangnya gejala rinitis. Terjadi pertum- buhan yang disebut nodular submucous infiltration di mukosa hidung yang tampak sebagai tuberkel di permukaan hidung. Lama-lama tuberkel ini bergabung menjadi satu massa noduler yang sangat besar, mudah berdarah, kemerahan, tertutup mukosa dengan konsistensi padat seperti tulang rawan. Kemudian terjadi invasi, dapat ke arah posterior nasofaring maupun ke depan nares anterior. - Stadium III Skleromatous, Stenosis, Sikatrik Massa secara perlahan-lahan menjadi avaskuler dan terjadi fibronisasi yang diikuti oleh adhesi struktur jaringan lunak, kontraksi jaringan yang akhirnya membentuk jaringan parut dan penyempitan jalan nafas. Pada stadium ini sel-sel Mikulicz sulit ditemukan. Proses yang sama dapat terjadi pada mulut, faring, laring, trakea dan bronkus. Keluhan penderita sesuai dengan stadiumnya. Pada stadium I, hanya pilek yang tidak mau sembuh dengan pengobatan biasa. Lebih lanjut rongga hidung mulai dipenuhi krusta yang menyebabkan hidung tersumbat dan berbau busuk serta mukosa hidung menjadi kemerahan. Pada stadium II, di samping keluhan hidung tersumbat juga sering terjadi perdarahan dari hidung. Pada stadium ini biasanya penyakit mudah dikenali. Dari pemeriksaan, kavum nasi dipenuhi oleh jaringan yang mudah berdarah, kemerahan, konsistensi padat, permukaan licin tanpa ulkus. Pada stadium ini penyakit mudah meluas sampai ke traktus respiratorius bagian bawah. Stadium III adalah stadium yang sudah tenang dengan keluhan dan gejala dari sisa kelainan yang menetap akibat proses sikatrisasi dan kontraksi konsentrik jaringan granu- lomatosa yang mengeras. 1,6,8,11 DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pe- meriksaan fisik yang meliputi : rinoskopi anteriorposterior, laringoskopi indirekdirek dan bronkoskopi, ditambah dengan pemeriksaan penunjang seperti radiologi, bakteriologi, histopatologi, serologi test komplemen fiksasi, test aglutinasi dan imunokimia. 1,2,7,810,14,15 Diagnosis Banding 2,7,13,15 1. Proses infeksi granulomatosa a. Bakteri : Tuberkulosis, Sifilis, Lepra b. Jamur : Histoplasmosis, Blastomikosis, Sporotrikosis, Koksidioidomikosis c. Parasit : Leismaniasis mukokutaneus 2. Sarkoidosis 3. Wegener granulomatosis PENATALAKSANAAN Meliputi : medikamentosa, radiasi dan tindakan bedah; namun sampai sekarang belum ada cara yang tepat dan memuaskan. 6,8 1. Medikamentosa Antibiotik sangat berguna jika hasil kultur positif, tetapi kurang berharga pada stadium sklerotik. Antibiotik yang dapat digunakan antara lain: - Streptomisin : 0,5-1 g hari - Tetrasiklin : 1-2 g hari - Rifampisin 450 mg hari - Khloramphenikol, Siprofloksasin, Klofazimin 1,2,7- 10,11,13-15 Terapi antibiotik diberikan selama 4-6 minggu dan dilanjutkan sampai dua kali hasil pemeriksaan kultur negatif. 8 Rolland menggunakan kombinasi Streptomisin dan Tetra- siklin dengan hasil yang memuaskan. 9 Steroid dapat diberikan untuk mencegah sikatrik pada stadium granulomatosa. 3,10 2. Radiasi Terapi radiasi pernah diberikan oleh Massod, tetapi hasilnya belum memuaskan. 8,11 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 14 3. Dilatasi Cara dilatasi dapat dicoba untuk melebarkan kavum nasi dan nasofaring terutama bila belum terjadi sumbatan total. 1,9 4. Pembedahan Tindakan ini dilakukan pada jaringan skleroma yang ter- batas di dalam rongga hidung, sehingga pengangkatan dapat dikerjakan dengan mudah secara intranasal. Jika terjadi sumbatan jalan nafas seperti pada skleroma laring harus dilakukan trakeostomi. 1,4,7,9,10,13,14,16 KOMPLIKASI Komplikasi dapat timbul akibat perluasan penyakit ke : 1. Organ sekitar hidung : - Sinus paranasal - Saluran lakrimal dakrioskleroma - Orbita : proptosis, kebutaan - Telinga bagian tengah otoskleroma - Palatum mole, uvula, orofaring 2. Laring, sering timbul di daerah subglotik yang meng- akibatkan kesukaran bernafas, asfiksia dan kematian. 3. Saluran nafas bawah: sumbatan trakeobronkial, atelektasis paru. 4. Intrakranial Di samping akibat perluasan penyakit, komplikasi dapat juga timbul berupa perdarahan pada stadium granulomatosa dan berdegenerasi maligna. 1 KEPUSTAKAAN 1. Pranowo S, Ahmad M, Wiratno dkk. Rinoskleroma di RS. Dr. Kariadi Semarang. Dalam Kumpulan naskah lengkap ilmiah KONAS VII PERHATI. Surabaya, Agustus. 1983; h 457-66. 2. httpwww.atlases.muni.ceatl-ensect-sect-58html. 3. Hilger PA. Penyakit hidung. Dalam Boies ed. Buku Ajar penyakit THT. Ed VI. EGC. Jakarta, 1997. h 210. 4. Yigla M, Ben-izhak O, Oren I et al. Laryngotracheobronchial involvement in a patient with nonendemic rhinoscleroma. Chest. June 2000. httpwww.afip.orgdepartementsendocrinecasedec00december2 htm. 5. Wilson WR, Montgomery WW. Infectious disease of the paranasal sinuses. In: Otolaringology. Vol III. Ed III. USA: WB Saunders Co. 1991; p. 1851-52. 6. Balenger JJ. Granuloma kronis pada muka, hidung, faring dan telinga. Dalam: Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Jilid I. ed 13. Binarupa Aksara. Jakarta, 1994; h 368-70. 7. Groves C. Department of pathology. Vol 17. No 4. January. 1998. httpwww.162.129.103.32microv17n04.htm. 8. Suardana W, Masna PW, Tjekeg M dkk. Beberapa aspek penyakit rinoskleroma di bagian THT FK UNUD RSUP Sanglah Denpasar. Dalam : Kumpulan Naskah KONAS VI PERHATI. Medan, Juli. 1980; h 128-34. 9. Desasouza S, Chitale A. Scleroma. In XVI World Congress of Otorhinolaringology head and neck surgery. Vol 1. Monduzzi. Sydney: March. 1997; p. 603-7. 10. Ramalingam KK, Sreemamoorthy B. Infections of the nose. In A Short Practice of Otolaryngology. ed I India: All India Publishers. 1993; p. 208- 9. 11. Wein N. Infective rhinitis and sinusitis. In Scott-Brown’s Otolaryngol- ogy. Vol IV. Ed VI. Butterworth-Heinemann. Great Britain: 1997; h 4834-35 12. Rhinoscleroma httpwww.thedoctorsdoctor.comdiseasesrhinoscleroma. htm 13. Colman BH. Diseases of the nasal cavity. In: Diseases of the nose, throat and ear and head and neck. ed IV. Longman Singapore Publ. 1990; p. 40. 14. Fried MP, Shapiro J. Acute and chronic laryngeal infections. In Otolaryngology. Vol III. Ed III. USA: WB Saunders Co. 1991; h 2245- 56. 15. Becker W, Nauman HH, Pfaltz CR. Ear, nose and throat diseases. Ed II. New York: Thieme medical publishers inc. 1993; p. 206-7. 16. Maran AGD. Benign Tumours and Granulomas in Nose, Throat and Ear. Ed X. PG Publishing. 1990; p. 61. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 15 TINJAUAN KEPUSTAKAAN K a nk e r N a sofa ring Epide m iologi da n Pe ngoba t a n M ut a k hir

R. Susworo

Guru Besar dan Spesialis Radiologi Konsultan Radioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta PENDAHULUAN Telah diketahui sejauh ini bahwa proses terjadinya penyakit kanker berlangsung dalam tahapan tahapan yang disebut sebagai mekanisme karsinogenesis. Bermula dari terjadinya defek atau kesalahan letak susunan DNA dalam sel manusia yang mengakibatkan tidak terkontrolnya mekanisme pertumbuhan sel. Sel akan tumbuh tidak normal dan berlebihan. Berbagai faktor telah diketahui atau dicurigai sebagai penyebab terjadinya kekacauan struktur ini. Antara lain disebutkan faktor makanan, seperti konsumsi lemak yang terlalu tinggi, pola hidup, seperti perokok berat, faktor eksternal seperti sinar ultraviolet dan sinar radioaktif, pajanan pada bahan kimia atau oleh virus. Berbagai kekacauan struktur ini telah dapat diidentifikasi oleh para pakar, misalnya kelainan pada struktur gen BRCA1 dan BRCA2 selalu diasosiasikan dengan kanker payudara atau indung telur ovarium, atau gen HLA A2B46 pada pasien kanker nasofaring. Perubahan genetik ini mengakibatkan proliferasi sel sel kanker secara tidak terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom chromosome breaks dan delesi pada sel sel somatik. Sebagian lagi bersifat diturunkan Adakalanya manifestasi kanker ini memerlukan pula pemicu, terutama pada kelainan struktur gen yang diturunkan. KANKER NASOFARING KNF Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang terletak posterior dari kavum nasi dan di atas bagian bebas dari langit langit lunak. Yang disebut KNF adalah kanker yang terjadi di selaput lendir daerah ini, tepatnya pada cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuaranya saluran Eustachii yang menghubungkan liang telinga tengah dengan ruang faring. Angka kejadian KNF di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk 1 . Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa KNF menduduki urutan ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit. Tetapi seluruh bagian THT telinga hidung dan tenggorokan di Indonesia sepakat mendudukan KNF pada peringkat pertama penyakit kanker pada daerah ini. Dijumpai lebih banyak pada pria daripada wanita dengan perbandingan 2-3 orang pria dibandingkan 1 wanita. Apabila kita melihat distribusi penyakit ini di seluruh dunia, maka KNF paling banyak dijumpai pada ras Mongol, di samping Mediteranian, dan beberapa ras di Afrika bagian utara. Di Hongkong tercatat sebanyak 24 pasien KNF per tahun per 100.000 penduduk, sedangkan angka rata rata di Cina bagian selatan berkisar antara 20 per 100.000. 2 Bandingkan dengan negara Eropa atau Amerika Utara yang mempunyai angka kejadian 1 per 100.000 penduduk per tahun. 3 Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian KNF pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China town pecinan di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terjadinya KNF antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih Caucasians, kulit hitam dan Hispanics, dimana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya KNF pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang ‘memudahkan’ untuk terjadinya KNF, tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan diasap, diasin, bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 16 Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu boat people yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang dikenai adalah masya- rakat keturunan Tionghoa 18,5 per 100.000 penduduk, disusul oleh keturunan Melayu 6,5 per 100.000 dan terakhir adalah keturunan Hindustan 0,5 per 100.000. 4 Dijumpainya Epstein-Barr Virus EBV, yang dinamai sesuai dengan penemunya, Epstein dan Barr pada limfoma Burkitt pada 1960, pada hampir semua kasus KNF telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan. Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, KNF tidak pernah dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton Cantonese-style salted fish. Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih. 5 Peneliti lainnya mencoba menghubungkannya dengan makanan yang diawetkan menggunakan garam lainnya seperti udang asin, telur asin. Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami Chinese herbal medicine= CHB. Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB 6 . GEJALA KLINIS KNF Karena tidak ada gejala spesifik yang dijumpai pada penderita KNF, terlebih pada stadium dini, banyak kasus yang terlambat didiagnosis. Berbeda halnya dengan kanker leher rahim dan kanker payudara yang masing-masing dapat terdeteksi dengan metode pemeriksaan sitopatologik Papanicolaou dan mamografi; sampai saat ini belum ada metode penyaring yang paling efektif untuk deteksi dini KNF. Pemeriksaan titer antibodi IgA terhadap antigen yang diproduksi oleh virus Epstein Barr ternyata hanya bernilai untuk mengevaluasi respons dan kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pada awalnya pasien mengeluh pilek pilek biasa, kadang kadang disertai dengan rasa tidak nyaman di telinga, pendengaran sedikit menurun serta mendesing. Lendir dari hidung dapat disertai dengan perdarahan yang berulang. Pada keadaan lanjut hidung akan menjadi mampet sebelah atau keduanya. Penjalaran tumor ke selaput lendir hidung dapat mencederai dinding pembuluh darah daerah ini dan tentunya akan terjadi perdarahan dari hidung mimisan. Keluhan telinga dapat diterangkan sebagai akibat penyumbatan muara saluran Eustachii yang berfungsi menyeimbangkan tekanan dalam ruang telinga tengah dan udara luar. Pembesaran kelenjar leher merupakan pertanda penyebaran KNF ke daerah ini yang tidak jarang didiagnosis sebagai tuberkulosis kelenjar. Pemberian pengobatan terhadap pembesaran kelenjar yang dianggap tbc tanpa pemeriksaan yang benar tentunya akan sangat merugikan penderita secara moril maupun materiil mengingat pengobatan tbc memerlukan waktu yang lama. Manakala pasien merasa bahwa kelenjar leher menjadi makin besar, maka dapat dipastikan bahwa penyakitnya telah menjadi kian lanjut. Keterlambatan diagnosis lain yang pernah terjadi adalah karena kegagalan mencari penyebab keluhan sakit kepala yang terus menerus. Kegagalan tersebut terjadi antara lain karena pemeriksaan CT scan MRI dilakukan hanya pada jaringan otak saja, padahal nyeri kepala yang timbul dapat merupakan akibat desakan tulang dasar tengkorak oleh tumor. Yang selanjutnya terjadi biasanya pasien ini akan memperoleh pengobatan nyeri kepala dalam jangka panjang dan pemeriksaan berulang ulang terhadap otaknya sampai akhirnya muncul salah satu gejala akibat KNF. Selain mendesak dasar tengkorak KNF juga seringkali menyerang saraf pusat yang keluar dari otak. Saraf yang paling sering dikenai adalah saraf penggerak bola mata, akibatnya terjadi kelumpuhan bola mata yang mengakibatkan pasien mengeluh penglihatan ganda diplopia dan pada pemeriksaan tampak bola mata yang juling. Selain gangguan motorik, keluhan sensorik yang sering timbul adalah rasa baal di wajah. Untuk menegakkan diagnosis, selain gambaran keluhan dan gejala seperti yang diuraikan di atas juga diperlukan pemeriksaan klinis dengan melihat secara langsung dinding nasofaring dengan alat endoskopi, CT scan atau MRI nasofaring dan sekitarnya serta pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti adalah pemeriksaan histopatologik jaringan nasofaring. Sedangkan pemeriksaan lain, seperti foto paru, USG hati, pemindaian tulang dengan radioisotop bone scanning dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya metastasis di organ-organ tersebut. Adanya metastasis dimana- pun akan mengubah stadium penyakit dan mempunyai konskuensi terhadap tujuan pengobatan. PENGOBATAN Sampai dengan saat ini dasar pengobatan KNF yang masih terbatas pada daerah kepala dan leher adalah terapi radiasi. Kombinasi pengobatan dengan khemoterapi diperlukan apabila kanker sudah tumbuh sedemikian besarnya sehingga menyulitkan tindakan radioterapi. Di samping itu pemberian khemoterapi diharapkan dapat meningkatkan kepekaan jaringan tumor terhadap radiasi serta membunuh sel sel kanker Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 17 yang sudah berada di luar jangkauan radioterapi. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobalt Co 60 atau dengan akselerator linier Linear Accelerator atau Linac. Radiasi ini ditujukan pada kanker primer di daerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah serta klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi ke dalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cedera yang serius pada jaringan sehat di sekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus kasus yang telah memperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal. Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT Intensified Modulated Radiation Therapy telah digunakan di beberapa negara maju. Bahkan saat ini Malaysia dan Filipina telah memilikinya. Penatalaksanaan pembedahan tidak mempunyai peranan pada KNF mengingat lokasi tumor yang melekat erat pada mukosa dasar tengkorak. EFEK SAMPING PENGOBATAN Radiasi pada daerah kepala dan leher khususnya nasofaring mau tidak mau akan mengikutsertakan sebagian besar mukosa mulut dan kelenjar parotis. Akibatnya dalam keadaan akut akan terjadi efek samping pada mukosa mulut berupa mukositis yang dirasa pasien sebagai nyeri telan, mulut kering dan hilangnya cita rasa taste. Keadaan ini seringkali diperparah oleh timbulnya infeksi jamur pada mukosa lidah serta palatum. Setelah radiasi selesai maka efek samping akut di atas akan menghilang dengan pengobatan simptomatik. Akibat kelenjar parotis terkena radiasi dosis tinggi terjadilah disfungsi berupa menurunnya alir saliva yang akan diikuti dengan kekeringan pada mukosa mulut xerostomia. Bila saliva yang mempunyai fungsi antara lain mempertahankan pH mulut di angka netral dan ikut serta dalam membersihkan sisa sisa makanan ini berkurang, karies gigi akan lebih mudah terjadi. Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. PENUTUP Sekalipun KNF tidak selalu memberikan gejala yang spesifik, dianjurkan untuk tidak meremehkan gejala gejala seperti yang diutarakan di atas. Berkonsultasi ke dokter keluarga atau langsung ke dokter spesialis THT merupakan tindakan yang tepat. Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan hasil pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas hidup pasien yang baik pula. Lihat lampiran halaman 19. KEPUSTAKAAN 1. Soetjipto D, Fachrudin D, Syafril A. Nasopharyngeal carcinoma in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital. In : Tjokronagoro A, Himawan S, Yusuf A, Azis MF, Susworo, Djakaria M. Eds. Cancer in Asia and Pacfic. YKI. Jakarta Indonesia 1988; p. 471–86. 2. Yu MC, Henderson BE. Nasopharyngeal cancer. In: Schottenfeld D and Fraumeni JF eds. Cancer epidemiology and prevention. 2 nd . ed. N. York: Oxford University Press, 1996; p. 603 –18. 3. Parkin DM, Pisani P, Ferlay J. Estimates of the world-wide incidence of 25 major cancers in 1990. Int J Cancer; 1990; 80: 827–41. 4. Parkin DM, Whelan SL, Ferlay J, Raymond L, Young J. Cancer Incidence in Five Continents. Vol. 7, Lyon, France : IARC Scient. Publ. No. 143. IARC Press, 1997. 5. Yu MC, Ho JHC, Ross RK, Henderson BE. NPC in Chinese – Salted fish or inhaled smoke? Prev Med. 1981; 10: 15-24. 6. Hildesheim A et al. Herbal medicine use, Epstein Barr virus, and risk of nasopharyngeal carcinoma. Cancer Res. 1992; 52: 3048 –51. The flame of glory is the torch of the mind Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 18 LAMPIRAN : Gambar 1. Pasien dengan pembesaran kelenjar getah bening leher yang ternyata merupakan metastasis dari KNF Gambar 2. Alat Radiasi Eksterna Linear Accelerator Gambar 3. Masker yang digunakan oleh setiap pasien kanker kepala-leher yang sedang memperoleh radiasi. Alat bantu ini berguna untuk fiksasi kepala. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 19 HASIL PENELITIAN Pola Se nsit ivit a s K um a n da ri I sola t H a sil U sa p T e nggorok Pe nde rit a T onsilofa ringit is Ak ut t e rha da p Be be ra pa Ant im ik roba Be t a la k t a m di Pusk e sm a s J a k a rt a Pusa t Retno Gitawati, Ani Isnawati Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta ABSTRAK Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di Indonesia, terutama infeksi saluran pernafasan akut ISPA baik infeksi saluran pernafasan atas maupun infeksi saluran pernafasan bawah. Terapi antimikroba digunakan bila infeksi disebabkan oleh bakteri kuman; salah satu mikroba terpilih adalah antimikroba golongan betalaktam. Untuk mengetahui sensitivitas kuman isolat usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam, dilakukan penelitian “Pola sensitivitas kuman hasil usap tenggorok penderita tonsilo-faringitis akut terhadap Antimikroba Betalaktam di Puskesmas Jakarta Pusat”. Metoda penelitian cross-sectional, dilakukan terhadap 83 pasien tonsilo-faringitis akut pengunjung dua puskesmas di Jakarta Pusat pada bulan September 1999 sampai bulan Nopember 1999. Pemeriksaan isolat dan sensitivitas kuman terhadap anti- mikroba dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FK-UI. Ditemukan 132 kuman yang terdiri dari 12 spesies. Lima spesies terbanyak adalah: Streptococcus viridans 54,2, Branhamella catarrhalis 22,9 , Streptococcus β- hemolyticus 6,11, Streptococcus pneumoniae 3,82 dan Streptococcus non- hemolyticus 3,82. Penurunan sensitivitas kuman-kuman Streptococcus viridans, Branhamella catarrhalis, Streptococcus β-hemolyticus, Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus nonhemolyticus terutama terhadap antimikroba Cephradin berturut–turut adalah 73,3 ; 53,52; 87,5; 40 dan 80. Penurunan sensitivitas kuman Branhamella catarrhalis terhadap Antimikroba Penisilin G adalah 30, sedangkan kuman Streptococcus pneumoniae dan Klebsiella pneumoniae terhadap antimikroba Ceftriaxone 20. Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah terhadap Cephradin, yakni sebesar 68.04. Kata kunci : Tonsilo-faringitis, Betalaktam, Streptococcus sp, B.catarrhalis PENDAHULUAN Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia; terutama infeksi pernapasan akut ISPA, baik infeksi saluran per- napasan atas maupun bagian bawah. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga SKRT tahun 1997 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA untuk usia 0-4 tahun 47,1 , usia 5-15 tahun 29,5 dan dewasa 23,8 . serta lebih dari 50 penyebabnya Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 20 adalah virus 1 . Infeksi sekunder bakterial pada ISPA dapat terjadi akibat komplikasi terutama pada anak dan usia lanjut, dan memerlukan terapi antimikroba. Beberapa kuman pe- nyebab komplikasi infeksi ISPA yang pernah diisolasi dari usap tenggorok antara lain Streptococcus, Staphylococcus, Klebsiella, Branhamella, Pseudomonas, Escherichia, Proteus, dan Haemophillus 2 , dan untuk mengatasinya seringkali di- gunakan antimikroba golongan betalaktam, makrolida, dan kotrimoksazol 4 . Antimikroba golongan betalaktam, yakni golongan penisilin dan sefalosporin, termasuk jenis antimikroba yang diduga paling banyak diberikan untuk infeksi saluran napas, dan sejauh ini belum banyak diketahui status sensitivitasnya, khususnya terhadap kuman penyebab ISPA. Untuk maksud tersebut telah dilakukan uji sensitivitas kuman yang diisolasi dari usap tenggorok penderita ISPA, terhadap antimikroba golongan betalaktam. BAHAN DAN CARA Desain uji adalah studi kasus cross sectional, dengan sampel usap tenggorok penderita infeksi tonsilofaringitis yang berobat di dua puskesmas di wilayah Jakarta Pusat, yang memiliki angka kesakitan ISPA tertinggi di wilayah tersebut pada triwulan pertama tahun 1999. Jumlah subyek sebanyak 83 penderita, dengan rentang usia antara 5 – 65 tahun, dan memenuhi kriteria inklusi sebagai penderita tonsilofaringitis akut dengan gejala klinik: demam tinggi sampai 40 C, sakit menelan, tonsil membesar dan merah dengan tanda-tanda detritus, batuk, hiperemis, kadang-kadang disertai folikel bereksudat. Semua subyek telah menyatakan kesediaannya mengikuti penelitian ini dengan menandatangani informed consent, dan belum pernah mendapatkan antibiotika selama sakit. Spesimen usap tenggorok dikumpulkan dalam media transport dan dilakukan uji sensitivitas di Laboratorium Mikro- biologi FK-UI. Kultur dan isolasi kuman dilakukan dengan menggunakan media perbenihan agar darah dan agar coklat pada suhu 37 C selama 24 jam. Identifikasi dilakukan berdasar- kan morfologi koloni, sifat hemolisis agar darah, fermentasi karbohidrat, dan uji-uji khusus lainnya. Kuman hasil isolasi diuji sensitivitasnya dengan metoda cakram Kirby-Bauer pada media Mueller-Hinton, terhadap beberapa antimikroba golong- an betalaktam, yakni dengan mengukur zona hambatan. HASIL Sejumlah 132 kuman yang terdiri atas 12 spesies Gram positif dan Gram negatif berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari 83 sampel usap tenggorok penderita tonsilofaringistis, Tabel 1. Enam jenis kuman terbanyak yang berhasil diisolasi dari spesimen usap tenggorok berturut-turut adalah: Streptococcus viridans 54.2, Branhamella catarrhalis 22.9, Streptococcus β-haemolyticus 6.11, Streptococcus pneumoniae 3.82, Streptococcus non-haemolyticus 3.82 dan Klebsiella pneumoniae 3.05. Isolat-isolat kuman yang didapat tersebut kemudian diuji sensitivitasnya terhadap antimikroba betalaktam, dan hasilnya menunjukkan profil resistensi Tabel 2. Tabel 1. Frekuensi distribusi jenis kuman dari 83 spesimen usap tenggorok No. Jenis spesies kuman Jumlah 1. Streptococcus viridans 71 54.2 2. Branhamella catarrhalis 30 22.9 3. Streptococcus β-haemolyticus 8 6.11 4. Streptococcus pneumoniae 5 3.82 5. Streptococcus non-haemolyticus 5 3.82 6. Klebsiella pneumoniae 4 3.05 7. Acinobacter spp. 2 1.53 8. Yeast ragi 2 1.53 9. Staphylococcus aureus 2 1.53 10. Alkaligenes dispar 1 0.76 11. Pseudomonas aeruginosa 1 0.76 12. Staphylococcus epidermidis 1 0.76 Jumlah 132 100 Terhadap hasil uji sensitivitas berbagai spesies kuman ter- hadap antimikroba betalaktam di atas dapat dilakukan peng- hitungan total resistensi antimikroba Soebandrio 2000, dengan cara atau rumus sebagai berikut: R total antimikroba “A” = kuman “X” x R antimikroba “A” terhadap kuman “X”100 + kuman “Y” x R antimikroba “A” terhadap kuman “Y”100 + kuman “Z” x R antimikroba “A” terhadap kuman “Z”100. R = resistensi Hasil penghitungan total resistensi berbagai kuman tersebut di atas terhadap antimikroba betalaktam Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan total resistensi tertinggi kuman- kuman usap tenggorok adalah terhadap antimikroba Cefradin, yakni sebesar 68.04, sedangkan terhadap Penisilin-G dan amoksisilin total resistensi kuman relatif rendah, berturut-turut 9.93 dan 5.35. Sebagian besar kuman Gram positif dan negatif dari isolat usap tenggorok tersebut masih cukup sensitif terhadap antimikroba betalaktam, kecuali terhadap Cefradin. DISKUSI Hasil usap tenggorok mendapatkan 12 jenis kuman yang mencakup kuman gram negatif dan kuman gram positif. Kuman yang terbanyak ditemukan adalah S. viridans sebanyak 54.2 ; berbeda dengan yang dilaporkan Sugito 8 yaitu sebanyak 25 dan Hartono 9 mendapatkan kuman tersebut 31,43 pada penderita infeksi saluran pernafasan atas. Untuk kuman S. B hemolyticus diperoleh 6,4 , hampir sama dengan yang ditemukan Suprihati dkk 6 sebanyak 4,46 , tetapi berbeda dengan yang ditemukan oleh Sugito 8 sebanyak 25 dan mirip dengan yang ditemukan Hartono 9 25,71 . Kuman ini merupakan kuman yang dicurigai sebagai penyebab endokarditis. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 21 Tabel 2. Profil resistensi isolat kuman usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam resistensi antimikroba Isolat kuman Isolat kuman PeG Amx Sulb Cefoti Ceftri Cefota Cefpi Cefep Cefrad

S. viridans 54.2 2.82

2.82 0 1.41 4.23 4.23 0 0 73.33 B. catarrhalis 22.9 30.0 0 0 0 3.33 3.33 3.33 0 53.52 S. β-haemolyticus 6.11 0 87.5 S. pneumoniae 3.82 0 20.0 20.0 40.0 S. non-haemolyticus 3.82 0 80.0 K. pneumoniae 3.05 0 20 100 Acinobacter spp. 1.53 0 50 Yeast ragi 1.53 100 100 100 100 100 100 100 100 100 S. aureus 1.53 0 50 Alkaligenes spp. 0.76 0 100 100 100 P. aeruginosa 0.76 0 100 100 100 S. epidermidis 0.76 0 Keterangan: PeG= Penisilin-G; Amx = Amoksisilin; ; Sulb = Sulbenislin; Cefoti = Cefotiam; Ceftri = Ceftriakson; Cefota = Cefotaksim; Cefpi = Cefpirome; Cefep = Cefepime; Cefrad = Cefradin. Tabel 3. Total resistensi isolat kuman usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam No. Antimikroba total resistensi 1. Cefradin 68.04 2. Penisilin-G 9.93 3. Ceftriakson 6.87 4. Cefotaksim 5.57 5. Amoksisilin 5.35 6. Cefotiam 3.05 7. Cefpirome 2.52 8. Sulbenisilin 2.29 9. Cefepime 1.53 Total resistensi tertinggi kuman isolat tenggorok adalah terhadap Cefradin sebesar 68,04 , diikuti oleh Penicillin G dan Ceftriakson. Antimikroba Cefradin merupakan antimikroba golongan sefalosporin generasi I dan banyak digunakan secara oral untuk penderita infeksi saluran pernafasan sehingga mungkin sudah banyak terjadi resistensi. Penulisan resep oleh dokter umum di United Kingdom UK tahun 1998 10 untuk infeksi saluran pernafasan adalah antimikroba penisilin spektrum luas sebanyak 53,2 , makrolid 15 , penisilin spektrum sedang dan sempit 13,0 , sefalosporin 7,7 . Tahun 1997 pasar dunia antibiotik mencapai US 12 miliar dengan jumlah peresepan 818 juta untuk infeksi saluran pernafasan akut dan sebagian besar antibiotik yang digunakan di rumah sakit berturut - turut adalah Golongan B Laktam, Makrolid dan Fluorokuinolon. Di Indonesia untuk infeksi pernafasan akut tonsilitis dan faringitis sebagai standar pengobatan di puskesmas penisilin G masih merupakan pilihan ke empat setelah eritromisin, amoksisilin dan ampisilin 2 . Resistensi kuman S.viridans dan S. aureus terhadap Penisilin G dari hasil penelitian Josodiwondo 1996 sebesar 3,7 dan 96,8 sedangkan dari penelitian Trihendrokesowo dkk 1986 sebesar 3,2 dan 66,7 ; tidak jauh berbeda dengan resistensi kuman S.viridans yang diperoleh penelitian ini yaitu 2,82 , namun berbeda dengan hasil resistensi kuman S. aureus 0 . Golongan penisilin masih cukup ampuh untuk mengatasi bakteri gram positif, tetapi akhir-akhir ini banyak dilaporkan bakteri yang resisten terhadap antimikroba golongan penisilin bahkan juga terhadap golongan sefalosporin, karena mampu menghasilkan enzim betalaktamase. Untuk mengatasi bakteri gram negatif tampaknya penisilin, bahkan sefalosporin sudah berkurang kemampuannya, kecuali sefalosporin generasi ke tiga 11,12. .Penggunaan yang tidak rasional misalnya pemakaian berlebihan akan mempercepat resistensi, selain itu dapat terjadi resistensi silang antar golongan maupun dalam satu golongan. Test kepekaan tidak selalu akurat untuk memprediksi ke- sembuhan; sering tidak ada korelasi antara konsentrasi ham-bat minimum MIC kuman dan kesembuhan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 81 penderita sembuh jika terinfeksi bakteri yang sensitif, akan tetapi 9 penderita meninggal dunia; sedangkan bila terinfeksi bakteri yang resisten dapat menaikkan rata-rata kematian sebesar 17 p 0,05 10 . KESIMPULAN Ditemukan 132 kuman terdiri dari 12 spesies, lima kuman terbanyak adalah : Streptococcus viridans 54,2, Branhamella catarrhalis 22,9 , Streptococcus β-hemolyticus 6,11, Streptococcus pneumoniae 3,82 dan Streptococcus non- hemolyticus 3,82. Penurunan sensitivitas kuman-kuman Streptococcus terjadi terhadap antimikroba Cephradin berturut– turut adalah 46,48; 26,67; 12,5; 60 dan 20. Penurun- an sensitivitas kuman Branhamella catarrhalis terhadap Penisilin G adalah 70, sedangkan kuman Streptococcus pneumoniae terhadap antimikroba Ceftriaxone 80. Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah terhadap Cephradin, yakni sebesar 68.04. KEPUSTAKAAN 1. Abdoerachman H, Fachrudin D., Infeksi Campuran Aerob dan Anaerob di Bidang THT. MKI 4 23: 56-60. 2. Dirjen Binkesmas. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas Berdasar- kan Gejala, Departemen Kesehatan R I. 1996. 3. Josodiwondo S. Perkembangan Kepekaan Kuman terhadap Antimikroba Saat Ini. MKI 1996; 469: 467-76. 4. Dwiprahasta I. Inappropriate use of antibiotics in treatment of acute respiratory infections for the under five children among general practitioners. Berkala Ilmu Kedokteran 1997 . 5. Trihendrokesowo dkk. Macam Kuman dari pelbagai bahan pemeriksaan di Yogyakarta dan Pola Kepekaannya terhadap Beberapa Antibiotik. MKI 1987; 2 1: 6-12. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 22