BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Ekstrak etanol 70 teh hitam Camellia sinensis L. dapat dibuat menjadi sediaan krim yang baik dan stabil dengan menggunakan variasi
konsentrasi ekstrak 1 , 2 , dan 3 . 2. Krim ekstrak etanol 70 teh hitam Camellia sinensis L. mempunyai
efektivitas sebagai tabir surya, dengan ditunjukkan pada panjang gelombang ekstrak yang termasuk dalam daerah UV-B, yaitu 293,4 nm
yang dikategorikan sebagai sunblock pada daerah eritema. Sediaan ini juga memiliki nilai fotostabilitas yang dapat dilihat dari hasil statistik,
dimana formula uji 3 memiliki aktivitas yang hampir sama dengan formula kontrol positif.
6.2 Saran
Diperlukan penelitian lanjutan mengenai: 1. Uji fotostabilitas untuk pemaparan dengan sinar UV sebaiknya
menggunakan sinar UV utuh sinar UV yang sesuai dengan UV sebenarnya agar hasil yang diperoleh lebih akurat.
2. Evaluasi stabilitas fisik nilai pH krim belum sesuai dengan pH kulit maka perlu dilakukan pengurangan penggunaan basa trietanolamin
dalam formulasi krim untuk mendapatkan krim yang lebih baik. 3. Dilakukan uji efektivitas tabir surya pada konsentrasi ideal dengan
metode in vivo.
4. Ekstrak etanol 70 teh hitam mempunyai serapan panjang gelombang maksimum pada 293,4 nm yang merupakan daerah UV B, maka perlu
dilakukan kombinasi dengan bahan aktif yang mampu menyerap sinar UV A untuk menghasilkan sediaan tabir surya yang efektif sebagai
pelindung yang baik terhadap UV A dan UV B.
57
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 1993. Farmasetika. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. Hal 49, 115, 118-120.
Anief, Moh. 1997. Formulasi Obat Topikal dengan Dasar Penyakit Kulit. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. Hal 1-2, 7-8, 58.
Anonim. 2007. http:www.kalbe.co.id?mn=newstipe=articles. Diakses tanggal 10 januari 2009 pukul 19.30.
Anonim. 2010. http:reshaardianto.ac.id20100204kandungan-teh-hitam. Diakses tanggal 25 februari 2010 pukul 11.45
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Penerjemah Farida Ibrahim. UI Press : Jakarta. Hal 376, 380, 513.
Astuti, Fitria. 2005. Analisis Kimia Teh Hitam Berdasarkan standar Nasional Indonesia 01-1902-1995. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Skripsi Universitas Indonesia, Depok Balsam, MS. And Sagarin E. 1972. Cosmetic Science and Technology. 2
nd
ed. John Willey and Sons Inc, New York. Hal. 197-291
Departemen Kesehatan RI. 1978. Farmakope Indonesia Edisi III. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal 9
Departemen Kesehatan RI. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal 122-123.
Departemen Kesehatan RI. 1985. Formularium Kosmetika Indonesia. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal
22, 30, 32.
Departemen Kesehatan RI. 1993. Kodeks Kosmetika Indonesia. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal 52, 246, 481-
483, 247, 406, 489. Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal 6, 1030 Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak
Tumbuhan Obat. Direktorat Pengawasan Obat Tradisional : Jakarta. Hal 1, 9-12.
Diana. Zoe Draelos, Thaman. Lauren. A, 2006. Cosmetic Formulation of skin Care Product. Taylor and Francis Group. Hal. 3-8
Djuanda, adhi. Hamzah, mochtar. Dan Aisyah, siti, 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi. V, FKUI, Jakatra. Hal. 3-8
Farnsworth, N.R. 1969. Biological and Phytochemical Screening of Plants. journal pharmaceutical science. Hal 255
– 265 Graaff, Kent M Van De R Ward Rhees. 2001.
Scauhm’s Easy Outlines Human Anatomy and Physiology. McGraw-Hill : New York. Hal 29.
G.M.,Rahma. Tabir
Surya. Diambil
dari URL:
http:rgmaisyah.files.wordpress.com200904tabir-surya.pdf. Diakses tanggal 6 Februari 2010, pukul 10.45 WIB
Gumilar, Laras. 2004. Skripsi : Penentuan Efektivitas Krim Ekstrak Etanol Daun Singkong Manihot utillisima Pohl Secara In-Vitro Sebagai
Tabir Surya, Bandung. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Penerbit ITB : Bandung. Hal 6-7. Harry, R.G. 1975. The Principles and Practice of Industrial Pharmacy, 2nd
ed. Leo and Febiger : Philadelphia. Hal 417, 427-428. Indah Firdausi, Nur. 2009. Isolasi Senyawa Etil Para Metoksi Sinamat
Epms Dari Rimpang Kencur Sebagai Bahan Tabir Surya Pada Industri Kosmetik. Karya Ilmiah, Jurusan Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang. Diambil dari URL: http:darsono-sigit.um.ac.idwp-
contentuploads200911nur-indah-firdausi.pdf. Diakses tanggal 5 Februari 2010, pukul 14.22 WIB
Iswari Trangono. Retno, Latifah. Fatma, 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. PT. Gramedia, Jakarta. Hal. 12, 26-30, 48,
81-86. Lachman L, Lieberman HA, Kanig JL. 1994. Teori dan Praktek Farmasi
Industri II Edisi Ketiga. Alih bahasa Suyatmi S. UI Press : Jakarta. Hal 1042, 1051, 1064, 1087.
Levin, Cheryl BA; Howard Maibach, MD. 2002. Explorationof“Alternative”
and “Natural” Drugs in Dermatology. University of California
–San Francisco Medical Center.
Markham, K.R,. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid, Terjemahan Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB Bandung, Bandung. Hal. 1-10,
15 Martin A, Swarbick J, Cammarat A. 1993. Farmasi Fisik Jilid II Edisi
Ketiga. Penerjemah Yoshita. UI Press : Jakarta. Hal 766, 827-843, 1023-1026, 1100-1101.
Mitsui, T.Phd. . 1997. New Cosmetics Science. Elseveir. Amsterdam. Hal. 341-351.
Mulja, M dan Suharman, 1995. Analisis Instrumental. Airlangga Univ Press. Surabaya. Hal. 26-60
Niazi, Sarfaraz K. 2004. Pharmaceutical Manufacturing Formulations Semisolid Products Volume 4.
CRC Press. New York Washington,
D.C. Oen, L.H, Dr, dkk. 1986. Dasar-Dasar Kosmetologi Kedokteran. Cermin
Dunia Kedokteran No 41. Penerbit : Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma.
Outeahealing. 2007. Kandungan Teh Hitam. online http:outeahealing.wordpress.com20071117kandungan-teh
hitam, diakses tanggal 9 November 2009 Shaath, nadim. 2005. Sunscreen; Regulation and Commercial Development.
3
rd
ed. Taylor and Francis Group. New york. Silverstein, Bassler and Morrill. 1986. Penyidikan Spektrometrik Senyawa
Organik, Edisi ke- 4. Erlangga. Jakarta. Hal. 305 Sirait. Midian, 2007. Penentun Fitokimia Dalam Farmasi, Penerbit ITB
Bandung. Hal. 129 Sugihartini. Nining, Marchaban, Prammono. Suwidjiyo, 2005. Jurnal;
Pengaruh penambahan fraksi etanol dari infusa daun Plantago Major L. terhadap efektivitas oktil Metoksinamat sebagai bahan
aktiv tabir surya, Majalah Farmasi Indonesia. Hal 130-135.
XQ Zheng, J Jin. 2008. Effect ultraviolet B irradiation on accumulation of catechins intes Camellia sinensis L O. Kuntze. African Journal
Biotechnology, vol 7. China. Diakses tanggal 25 Juni 2010 pukul 14,15 wib
Tuminah, Sulistyowati. 2004. Teh [Camellia sinensis . K. var. Assamica Mast] sebagai Salah Satu Sumber Antioksidan, Cermin Dunia
Kedokteran. Jakarta Turkoglu, M. Cigirgil, N. 2007. Jurnal; Evaluation of black tea gel and its
protection potential against UV, International Journal of Cosmetic Science, vol 29. Istanbul, Turkey. Hal 437-442. Diakses tanggal 15
Mei 2010 pukul 17,32 WIB
Underwood, JCE. 2004. General and Systematic Pathology Fourth Edition. Churcill Livingstone. Hal 697.
Voigt, Rudolf. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Penerjemah Dr.rer.nat. Soendani Noerono Soewandhi, Apt. Dan Dr. Mathilda B.
Widianto, Apt., Jurusan Farmasi FMIPA ITB, Penyunting Prof. Dr. Moch. Samhoedi Reksohadiprodjo, Apt., Fakultas Farmasi UGM.
Gajah Mada University Press : Yogyakarta. Hal 434-436, 564.
Wade A, Waller PJ. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipients Second Edition. The Pharmaceutical Press : London. Hal 262, 310, 337, 407,
411, 494, 538, 558.
TEH HITAM Camellia sinensis L. SEBAGAI TABIR SURYA SECARA IN VITRO
SYIFA OCTA MAULIDIA NIM : 106102003375
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Latar Belakang
1 radiasi sinar matahari ke
bumi adalah UV B
Penting untuk pembentukan
Vitamin D Dampak negatif
Kemerahan, noda hitam, penuaan dini,
kekeringan, keriput dan sampai kanker
kulit Intensitas cahaya
meningkat
Akibat Global warming Penting adanya pelindung
Tabir Surya
Camellia sinensis L.
Di lakukan penelitian
Perumusan Masalah
1. Apakah ekstrak etanol 70 teh hitam Camellia sinensis L. dapat dibuat dalam sediaan krim yang baik dan stabil?
2. Bagaimana efektivitas dan fotostabilitas sediaan krim ekstrak etanol 70 teh hitam sebagai sediaan tabir surya?
Hipotesis
Ekstrak etanol 70 teh hitam Camellia sinensis L. dapat dibuat menjadi sediaan krim tabir surya yang baik
dan stabil dengan efektivitas dan fotostabilitas tabir surya yang belum diketahui.
Tujuan
1. Menentukan efektivitas dan fotostabilitas tabir surya sediaan krim ekstrak etanol 70 teh hitam Camellia sinensis L.
2. Membuat sediaan krim tabir surya ekstrak etanol 70 teh hitam Camellia sinensis L. yang memiliki aktivitas sebagai tabir
surya yang memberikan penampilan sediaan yang baik dan stabil.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan informasi tentang efektivitas dan fotostabilitas dari krim
ekstrak etanol 70 teh hitam Camellia sinensis L. sebagai tabir surya dan formulasi krim dari ekstrak etanol 70 teh
hitam Camellia sinensis L. dengan menggunakan variasi konsentrasi ekstrak.
Tanaman
Teh hitam Camellia sinensis L.
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Sub Kelas : Dialypetalae
Ordo bangsa : Guttiferales Clusiales Familia suku : Camelliaceae Theaceae
Genus marga : Camellia Spesies jenis : Camellia sinensis L.
Varietas
: Assamica Nama daerah : Enteh sunda
Deskrips
i
Camellia sinensis L. memiliki akar tunggang yang kuat. Bunganya kuning-putih berdiameter 2,5
–4 cm dengan 7 hingga 8 petal. Daunnya memiliki panjang 4
–15 cm dan lebar 2
–5 cm. Daun-daun itu mempunyai rambut-rambut pendek putih di bagian bawah daun. Daun muda memiliki
warna lebih terang, sedangkan daun tua berwarna lebih gelap.
Khasiat
Daun teh hitam berkhasiat sebagai obat antara lain untuk mengobati penyakit asma, angina pektoris, penyakit
vaskuler perifer, penyakit jantung koroner, diare, disentri, diabetes,
antibakteri, antioksidan,
antikanker, dan
antimutagenik.
Latar belakang teh hitam
Serbuk simplisia teh hitam
Pembuatan ekstrak etanol teh hitam
Penapisan fitokimia dan Karakterisasi
ekstrak Penentuan panjang gelombang maksimum ekstrak etanol 70 teh hitam
Evaluasi krim ekstrak etanol 70 teh hitam
Stabilitas penyimpanan pada suhu ruang 28±2
°C dan cycling test Uji
fotostabilitas Uji efektivitas krim
tabir surya
Penentuan kategori tabir
surya Penapisan
fitokimia
Pembuatan krim tabir surya
Hasil penapisan fitokimia simplisia dan ekstrak
Golongan Hasil penapisan
simplisia Hasil penapisan
ekstrak
Alkaloid Flavonoid
Tanin Saponin
SteroidTriterpenoid Minyak Atsiri
Kuinon +
+ +
+ -
- +
+ +
+ +
- -
+
Hasil karakterisasi ekstrak etenol 70 teh hitam
Jenis Karakterisasi Hasil
Parameter Spesifik: Identitas
Nama Identitas Nama latin tumbuhan
Bagian tumbuhan yang digunakan Nama Indonesia tumbuhan
Organoleptik Bentuk
Warna Bau
Rasa pH
Bobot Jenis Camellia sinensis
Camellia sinensis L. Daun
Enteh teh Kental
Hitam Khas tajam
Pahit 5,62
0,874 gramml Parameter Non Spesifik
Kadar Abu Susut pengeringan
Rendemen 0,36
6,21 32,8
Camellia sinensis, L Pada Konsentrasi 100 ppm
Evaluasi krim ekstrak etanol 70 teh hitam sebagai tabir surya pada suhu ruang 28±2 °C selama 4 minggu
• Organoleptis
Formula Organoleptis minggu ke-
1 2
3 4
KN Warna putih; bau
oleum rosae
Warna putih; bau oleum
rosae Warna putih; bau
oleum rosae
Warna putih; bau oleum
rosae Warna putih; bau
oleum rosae
KP Warna putih; bau
oleum rosae Warna putih; bau
oleum rosae Warna putih; bau
oleum rosae Warna putih; bau
oleum rosae Warna putih; bau
oleum rosae KrT
1 Warna cokelat
muda; bau oleum rosae
Warna cokelat muda; bau oleum
rosae Warna cokelat
muda; bau oleum rosae
Warna cokelat muda; bau oleum
rosae Warna cokelat
muda; bau oleum rosae
KrT 2
Warna cokelat muda; bau oleum
rosae Warna cokelat
muda; bau oleum rosae
Warna cokelat muda; bau oleum
rosae Warna cokelat
muda; bau oleum rosae
Warna cokelat muda; bau oleum
rosae KrT
3 Warna cokelat;
bau oleum rosae Warna cokelat;
bau oleumrosae Warna cokelat;
bau oleum rosae Warna cokelat;
bau oleum rosae Warna cokelat;
bau oleum rosae
• Homogenitas
Formula Homogenitas minggu ke-
1 2
3 4
KN
KP
KrT 1
KrT 2
KrT 3 homogen
homogen
homogen
homogen
homogen homogen
homogen
homogen
homogen
homogen homogen
homogen
homogen
homogen
homogen homogen
homogen
homogen
homogen
homogen homogen
homogen
homogen
homogen
homogen
• Sentrifugasi
Formula Sentrifugasi minggu ke-
4
KN
KP
KrT 1
KrT 2
KrT 3 Tidak memisah
Tidak memisah
Tidak memisah
Tidak memisah
Tidak memisah Tidak memisah
Tidak memisah
Tidak memisah
Tidak memisah
Tidak memisah
Formula pH minggu ke-
1 2
3 4
KN KP
KrT 1 KrT 2
KrT 3 7,43
7,50 7,35
7,40 7,39
7,38 7,46
7,30 7,28
7,21 7,30
7,22 7,19
7,11 7,18
7,24 7,01
7,15 7,06
7,11 7,13
7,00 7,04
6,86 6,94
6,4 6,6
6,8 7
7,2 7,4
7,6
1 2
3 4
p H
Minggu ke-
KN KP
KrT 1 KrT 2
KrT 3
Formula Viskositas cp minggu ke-
1 2
3 4
KN KP
KrT 1 KrT 2
KrT 3 34600
43800 42400
46200 40100
36100 47400
44800 46800
44100 41400
49300 48300
47800 49200
47200 51200
50400 49800
52100 52200
51800 57200
53600 60700
10000 20000
30000 40000
50000 60000
70000
1 2
3 4
v isko
si tas
c p
Minggu ke-
KN KP
KrT 1 KrT 2
KT 3
sebagai tabir surya
• Organoleptis
Formula Organoleptis
Sebelum cycling test Sesudah cycling test
KN Warna putih;
bau oleum rosae Warna putih;
bau oleum rosae KP
Warna putih; bau oleum rosae
Warna putih; bau oleum rosae
KrT 1 Warna cokelat muda;
bau oleum rosae Warna cokelat muda;
bau oleum rosae KrT 2
Warna cokelat muda; bau oleum rosae
Warna cokelat muda; bau oleum rosae
KrT 3 Warna cokelat;
bau oleum rosae Warna cokelat;
bau oleum rosae
Formula Homogenitas
Sebelum cycling test Sesudah cycling test
KN
KP
KrT 1
KrT 2
KrT 3 homogen
homogen
homogen
homogen
homogen homogen
homogen
homogen
homogen
homogen
Formula Sentrifugasi
Sebelum cycling test Sesudah cycling test
KN
KP
KrT 1
KrT 2
KrT 3 Tidak memisah
Tidak memisah
Tidak memisah
Tidak memisah
Tidak memisah Tidak memisah
Tidak memisah
Tidak memisah
Tidak memisah
Tidak memisah
Formula pH
Sebelum cycling test Sesudah cycling test
KN KP
KrT 1 KrT 2
KrT 3 7,30
7,52 7,28
7,33 7,41
7,24 7,47
7,16 7,21
7,23
6,9 7
7,1 7,2
7,3 7,4
7,5 7,6
sebelum sesudah
pH
Siklus
KN KP
KrT 1 KrT 2
KrT 3
Formula Viskositas
Sebelum cycling test Sesudah cycling test
KN KP
KT 1 KT 2
KT 3 36900
44200 36500
32500 33900
38100 45400
39200 34500
36600
5000 10000
15000 20000
25000 30000
35000 40000
45000 50000
sebelum sesudah
Vi sko
si tas
c p
Siklus
FN FP
KT 1 KT 2
KT 3
Hasil Pengukuran Perubahan Serapan Krim Sebelum dan Sesudah Beberapa Waktu Penyinaran dengan Sinar UV 366 nm.
Formula Absorban rata-
rata sebelum penyinaran
0 menit Absorban rata-rata setelah penyinaran
30 menit 60 menit
90 menit 120 menit
KN KP 3
KrT 1 KrT 2
KrT 3 0,2522
1,9222 0,7514
0,7844 0,8443
0,2203 1,8272
0,6685 0,7026
0,7591 0,1937
1,7526 0,6202
0,6601 0,7029
0,1372 1,6845
0,5771 0,6066
0,6408 0,1267
1,5949 0,5015
0,5544 0,5941
Lamanya Waktu Paparan Sinar UV 366 nm
0,5 1
1,5 2
2,5
30 60
90 120
A b
sor b
an si
Waktu menit
KN KP
KrT 1 KrT 2
KrT 3
Uji Efektivitas Tabir Surya Ekstrak Etanol 70 Teh Hitam
Konsent rasi
ppm Ee
Ep Te
Tp Kategori Penilaian
Aktivitas
40 60
80 100
120 5,5424
4,2507 4,0064
3,7672 3,5195
2,6084 2,0116
1,6484 1,5653
1,5299 2,4829
1,9042 1,7948
1,6876 1,5766
3,7574 2,8977
2,3746 2,2548
2,2038 Proteksi ultra
Proteksi ultra Proteksi ultra
Proteksi ultra Proteksi ultra
Uji Efektivitas Krim Tabir Surya
Formula Ee
Ep Te
Tp Kategori Penilaian
Aktivitas
KP KrT 1
KrT 2 KrT 3
0,0877 1,5510
0,9187 0,7161
0,0589 0,8536
0,5383 0,3143
0,0392 0,6948
0,4115 0,3208
0,0848 1,1229
0,7754 0,4527
Sunblock eritema Sunblock eritema
Sunblock eritema Sunblock eritema
TERIMAKASIH
Proses Pembuatan Teh Hitam
Daun teh segar
Dilayukan
Digiling
Fermentasi pada suhu 19-26
°C dengan kelembaban sekitar 90-
98 . Selama 60-100 menit
Dikeringkan selama 13-18 menit. Sampai
kadar air 2,5-3,5
Pembuatan ekstrak etanol 70 teh hitam
500 gram Serbuk teh hitam Camellia
sinensis L.
Diamaserasi dengan 7 L etanol 70
Maserat cair serbuk teh hitam
Penapisan fitokimia serbuk
simpllisia
Di evaporasi dengan vakum rotavapor
Ekstrak etanol 70 teh hitam
Disaring dengan kapas dan kertas saring
Penapisan fitokimia dan karakterisasi
ekstrak
Penentuan panjang gelombang maksimum
Ekstrak etanol 70 teh hitam
100 ppm dalam etanol 95
Di ukur pada panjang gelombang 200-400 nm dengan
spektrofotometer
Diperoleh panjang gelombang maksimum
ekstrak etanol 70 teh hitam
Pembuatan sediaan krim
Fase minyak asam stearat, setil alkohol, vaselin album, oleum olivae,
benzofenon-3 dan adeps lanae Fase air trietanolamin, metil
paraben, dimetikon dan propilenglikol
Fase air di masukkan sedikit demi sedikit ke dalam fase
minyak pada suhu 70 °C
Di gerus dalam lumpang yang telah dipanaskan sampai
terbentuk masa krim
Di masukkan ekstrak etanol 70 teh hitam, sambil
terus diaduk.
Uji fotostabilitas krim tabir surya
• Pengukuran serapan awal krim
Setaiap formula ditimbang 0,3 gram
Dilarutkan dalam etanol 95
Diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 293,4 nm
waktu penyinaran dengan sinar UV 366 nm
Setiap formula ditimbang 0,3 gram
Dioleskan secara merata pada kaca objek
Disinari dengan lampu UV 366 nm
Lama penyinaran bervariasi selama 30,
60, 90, dan 120 menit
Perubahan serapan yang terjadi setelah penyinaran diukur
dengan spektro UV-Vis pada panjang gelombang 293,4
Uji efektivitas ekstrak etanol 70 teh hitam
Larutan induk ekstrak etanol 70 teh hitam dalam etanol 95 degan
konsentrasi 500 ppm
Dibuat seri larutan dengan konsentrasi 40, 60, 80, 100, dan 120 ppm
Diukur serapannya setiap 5 nm pada rentang panjang gelombang 292,5-
372,5 nm
Dihitung Te dan Tp
Setiap formula ditimbang 1,25 gram
Dilarutkan dalam etanol 95 sampai 25 ml
Diambil 5 ml larutan, kemudian diencerkan dengan etanol 95
Dari nilai serapan yang diperoleh dihitung intensitas transmitansinya T dengan rumus T=
�
Diukur serapannya setiap 5 nm pada rentang panjang gelombang 292,5-372,5 nm
Nilai fluks eritema yang diteruskan oleh bahan tabir surya Ee dihitung dengan cara mengalikan nilai transmisi T dengan
fluks eritema Fe pada panjang gelombang 292-317 nm
Nilai fluks pigmentasi Ep dihitung dengan cara mengalikan nilai transmisi T dengan fluks pigmentasi Fp pada panjang gelombang 322-372 nm
Selanjutnya dihitung denga rumus:
Te
=
∑ � ∑ �
Tp
=
∑ � ∑ �
Berat total ekstrak : 164 gram
Berat simplisia kering : 500 g
Randemen ekstrak = = 164 x 100
500 = 32,8
Berat piknometer kosong w1 : 16,233 g Berat piknometer + air w2 : 40,772 g
Berat piknometer + ekstrak w3: 37,683 g
Bobot jenis =
ml
= 37,683 – 16,233
ml
40,772 – 16,233
= 0,874 gramml
Berat cawan a : 23,150 g
Berat cawan + ekstrak awal b : 24,147 g
Berat cawan + ekstrak akhir c : 24,085g
susut pengeringan : : 24,147
– 24,085 x 100 24,147
– 23,150 : 6,21
Berat cawan a : 25,752 g Berat ekstrak b : 3,009 g
Berat ekstrak akhir c : 25,763 g
Kadar Abu :
: 25,763 – 25,752 x 100
3,009 : 0.365
Exploration of “Alternative” and “Natural” Drugs in Dermatology
Cheryl Levin, BA; Howard Maibach, MD
Objective:
To review some of the promising natural rem- edies within dermatology to explore their potential clini-
cal benefit in supplementing conventional drugs.
Data Sources:
MEDLINE searches from January 1966 through October 2000 and Science Citation Index searches
from January 1974 through October 2000 were con- ducted.
Study Selection:
Primary importance was given to in vivo and in vitro controlled studies, the results of which
encourage further exploration.
Data Extraction:
The controls used, the statistical ap- proach to analysis, and the validity of the experimental
method analyzed were considered particularly impor- tant. Data were independently extracted by multiple ob-
servers.
Data Synthesis:
Natural remedies seem promising in treating a wide variety of dermatologic disorders, includ-
ing inflammation, phototoxicity, psoriasis, atopic der- matitis, alopecia areata, and poison oak.
Conclusions:
The alternative medications presented seem promising, although their true effects are unknown. Many
of the presented studies do not allow deduction of clini- cal effects. Further experimentation must be performed
to assess clinical benefit.
Arch Dermatol. 2002;138:207-211
R
ECENTLY, ALTERNATIVE
rem- edies have been investi-
gated to supplement tradi- tional drugs. We performed
a literature search to high-
light recently reported medicaments. Em- phasis was placed on studies that fol-
lowed the evidence-based dermatology guidelines.
1,2
RESULTS
Alternative medications and their poten- tial clinical uses from human studies and
animal and in vitro studies
3-24
are summa- rized in the
Table
. TEA EXTRACTS
Ultraviolet solar radiation may induce a va- riety of adverse effects in humans, includ-
ing melanoma,
25
photoaging of the skin,
26,27
sunburn,
28
and immunosuppression.
29,30
Protection against UV-induced skin dam- age includes avoidance of sun exposure, ap-
plication of sunscreens, low-fat diets,
31,32
and pharmacologic intervention with reti- noids.
33
More recently, green tea extracts have been reported to be beneficial in treat-
ing UV-induced photodamage. In a study by Elmets et al,
6
1 to 10 green tea polyphenolic GTP fraction-
sin ethanol and water vehicle were applied onto the backs of 6 volunteers.
Thirty minutes after GTP application, patients were exposed to twice the mini-
mal erythema dose of UV radiation from a solar simulator. The minimal erythema dose
was determined for each patient by expos- ing skin to graded doses of UV radiation
from the solar simulator. Green tea ex- tracts resulted in a dose-dependent reduc-
tion of UV-induced erythema as measured by chromatometry and visual evaluation.
The --epigallocatechin-3-gallate and --epicatechin-3-gallate polphenolic
fractions were most effective, while the --epigallocatechin EGC and
--epicatechin fractions had little effect. Histologic examination showed a de-
crease in sunburn cells in GTP-treated skin. Epidermal Langerhans cells, the an-
tigen-presenting cells involved in the skin immune response, were significantly pro-
tected against UV damage. Finally, GTP fractions reduced UV-induced mutations
in DNA, as detected by means of a phos- phorus 32 postlabeling technique. Spec-
trophotometric analysis indicated that GTP fractions did not absorb UV-B light, im-
plying a mechanism of action different
See also pages 232 and 251
STUDY
From the University of California–San Francisco
Medical Center.
REPRINTED ARCH DERMATOL VOL 138, FEB 2002 WWW.ARCHDERMATOL.COM
207
©2002 American Medical Association. All rights reserved.
on May 5, 2010 www.archdermatol.com
Downloaded from
from that of sunscreens. This study demonstrates the po- tential benefit of GTP extracts in preventing UV-
induced immunosuppression and erythema. The use of GTP extracts was also found to be ben-
eficial in treating UV-induced immunosuppression in mice. The GTP extracts, fruits and vegetables, and quercetin and
chrysin significantly prevented the UV-induced suppres- sion of contact hypersensitivity to picryl chloride when
compared with irradiated, untreated control P⬍.05. In- creased ear thickness measurements were used to evalu-
ate the response. The GTP was administered in concen- trations of 0.1 and 0.01.
17
Green tea extracts have been beneficial in preventing early signs of photochemical dam-
age to mouse and human skin treated with psoralen– UV-A therapy. Psoralen–UV-A, a treatment for psoriasis,
increases the patient’s risk of developing melanoma and squamous cell carcinoma. Pretreatment and posttreat-
ment with the green tea extracts in mouse and human skin significantly decreased markers of this photochemical
damage, namely hyperplasia and hyperkeratosis, c-fos and p53, and erythema, P⬍.05, when compared with ve-
hicle controls water given before and after treatment.
34
The effects of green tea on skin are further discussed by Katiyar et al.
35
Oral and topical standardized black tea extracts also decreased photochemical damage to the skin. In one study,
standardized black tea extracts significantly reduced ery- thema and skinfold thickness associated with UV-B–
induced carcinogenesis in cultured keratinocytes and mouse and human skin P⬍.05. In topically treated mice,
a 64 reduction in severity of erythema and a 50 decrease in skinfold thickness were observed when
compared with vehicle control. A decrease in the expres- sion of c-fos, c-jun, and p53 in mouse skin and keratino-
cytes pretreated with standardized black tea extracts was also noted. This study indicates that when green tea is
oxidized to black tea, the extracts remain beneficial in preventing the early signs of UV-B–induced phototoxic
effects, namely, sunburn and skin thickness.
18
OTHER HERBS
Tea produced from the leaves of the Eucommia ulmoides OLIVER tree EUOL is commonly consumed in China,
Korea, and Japan. Geniposidic acid, a main component of EUOL, seems beneficial in improving some of the signs
of aging in model rats. Falsely aged model rats fed a diet consisting of a 2.4 water-soluble methanol extract of
EUOL had a statistically significant increased stratum corneum turnover rate compared with rats fed a com-
parable diet without the EUOL. In a similar experiment, rats fed geniposidic acid also had improved stratum
corneum turnover. With aging, the stratum corneum turn- over rate decreases, suggesting that EUOL and, specifi-
cally, geniposidic acid may alter the aging process.
22
Benzoyl peroxide BPO is a free radical–generating compound and strong oxidizer. It is commonly used as a
polymerization initiator,
36
an additive in cosmetics,
37
and a bleaching agent for flour and cheese.
38
Spearmint may ab- rogate the effects of BPO-induced tumor promotion.
In a recent study, pretreatment with spearmint Mentha spicata induced a statistically significant de-
crease in the BPO oxidative damage, toxic effects, and cel- lular hyperproliferation in adult female albino mice when
compared with the BPO-treated control group. Topical spearmint extracts salvaged the levels of antioxidant
enzymes glutathione peroxidase, glutathione reductase, glu- tathione S-transferase, and catalase that are reduced by BPO
treatment alone. The BPO-elevated microsomal lipid per- oxidation and hydrogen peroxide generation were signifi-
cantly reduced with spearmint pretreatment. Further- more, spearmint significantly decreased markers for cellular
DNA synthesis, namely ornithine decarboxylase activity and thymidine uptake, as compared with BPO treatment alone.
Analysis was performed on excised mouse skin.
20
HYDROXYACIDS
Topical -lipohydroxyacid -LHA, a derivative of sali- cylic acid, improved some of the manifestations of ag-
ing in women by inducing a statistically significant epi- dermal thickening and dendrocytic hyperplasia. Both the
younger and elder populations exhibited improvement, but the changes were more diverse in the older women.
When compared with placebo, 6 of the young and 16 of the elderly population experienced increased filag-
grin layer thickness. Further studies are needed to un- derstand the mechanism of hydroxyacid action and,
thereby, their full effect on aging skin.
7
ESSENTIAL FATTY ACIDS
Patients with atopic dermatitis AD are thought to have a reduced rate of conversion from linoleic acid to ␥-linole-
nic acid GLA, dihomo-␥-linolenic acid, or arachidonic acid as compared with healthy subjects.
39-42
Replacement of GLA, in the form of primrose oil or borage oil, may there-
fore benefit in the treatment of these patients. In fact, more than 20 randomized controlled studies
assessing the effects of GLA have been performed, with most studies indicating an improved epidermal barrier on GLA
application.
8,9,40,43-49
In one recent study, topical applica- tion of 20 evening primrose oil caused a statistically sig-
nificant stabilizing effect on the epidermal barrier in pa- tients with AD as evaluated by transepidermal water loss
and stratum corneum hydration. When compared with placebo, the water-in-oil emulsion of primrose oil proved
effective, whereas the amphiphilic emulsion did not, em- phasizing the importance of the vehicle.
9
In addition, bor- age oil, which contains a large quantity of GLA, improved
pruritus, erythema, vesiculation, and oozing in atopic pa-
METHODS
MEDLINE searches from January 1966 through Oc- tober 2000 and Science Citation Index searches from
January 1974 through October 2000 were con- ducted. Boolean searches relating to skin, allopathic
remedies, herbal extracts, glycolic acid, and vita- mins were conducted. Specific diseases and thera-
pies were searched as title words or key words.
REPRINTED ARCH DERMATOL VOL 138, FEB 2002 WWW.ARCHDERMATOL.COM
208
©2002 American Medical Association. All rights reserved.
on May 5, 2010 www.archdermatol.com
Downloaded from
tients when compared with placebo-treated patients P⬍.05. Patients were given 40 drops of borage oil twice
daily for 12 weeks; dermatologists and patients visually assessed the signs.
8
In contrast, 2 important studies did not observe a significant clinical effect of GLA on AD compared with
placebo. In studies by Bamford et al
10
and Berth-Jones and Graham-Brown,
11
evening primrose oil capsules did not im- prove erythema, excoriation, and lichenification clinical
scores, as evaluated by dermatologists and patients. Meta-analysis of all previous randomized placebo-
controlled studies indicated a significant difference be- tween treatment and placebo groups.
12,13
Critics of the meta- analysis claim that it included unpublished trials and
inadequate baseline data in terms of disease severity.
11
Ap- parent differences in response between placebo and treat-
ment groups may result from a greater severity at base- line in subjects receiving active treatment.
11,50
Treatment of AD with GLA remains controversial.
ESSENTIAL OILS
Other essential oils have been investigated in treating IgE- mediated allergic reactions as well as alopecia areata. Mice
and rats pretreated with lavender oil inhibited mast cell degranulation, indicating that the oil could inhibit im-
Alternative Medications and Their Potential Clinical Uses
Therapy Potential Benefit
Experimental Results Source, y
Human Studies
Ascorbic acid Prevent nitrate tolerance
Potentiated vasodilatoryconductivity responses provoked by glycerol trinitrate
Bassenge et al,
3
1998† Ascorbic acid and
vitamin E Reduce sunburn reaction
Increased median minimal erythema dose in treated patients
Eberlein-Konig et al,
4
1998‡ Decrease UV-induced erythema
Decreased dermal blood flow, chromatometry, and visual grade
Dreher et al,
5
1998‡ Green tea extract
Prevent UVII and erythema Reduced chromatometry, improved visually and
histologically Elmets et al,
6
2001‡ 
-Lipohydroxyacid Improve signs of aging
Induced epidermal thickening and dendrocytic hyperplasia
Avila-Camacho et al,
7
1998‡ Borage oil with GLA
Treat AD Improved pruritus, erythema, vesiculation, and
oozing in patients with AD Adreassi et al,
8
1997‡ Primrose oil with GLA
Treat AD Stabilized epidermal barrier—increased TEWL and
stratum corneum hydration in patients with AD Gehring et al,
9
1999 No significant effect on patients with AD
Bamford et al,
10
1985; Berth-Jones and Graham-Brown,
11
1993‡ GLA
Treat AD Meta-analysis—GLA significantly improved AD
Morse et al,
12
1989; Stewart et al,
13
1991 Aromatherapy
Treat alopecia areata Improved visual score of disease
Hay et al,
14
1998‡ Quaternium-18 bentonite
Prevent poison ivy or poison oak Reduced or prevented reaction to urushiol as
evaluated visually Marks et al,
15
1995† Homeopathic gels
Reduce inflammation Decreased LDF ie, decreased vasodilatory
response after methyl nicotinate application Handschuh and Debray,
16
1999‡
Animal and In Vitro Studies
Flavonoidsgreen tea extracts
Counteract UVII Prevented UVII of contact hypersensitivity to picryl
chloride Steerenberg et al,
17
1998† Black tea extract
Decrease early symptoms of UV-B−induced phototoxic effects
Decreased erythema, skinfold thickness, expression of c-jun, c-fos, and p53 in mice, human skin, and
keratinocytes Zhao et al,
18
1999‡ Ascorbic acid
Decrease early symptoms of UV-B−induced phototoxic effects
Decreased UV-B−induced tumor formation, skin thickness, and ODC in mice
Kobayashi et al,
19
1998† Mentha spicata
spearmint Prevent oxidative stress
Pretreatment decreased benzoyl peroxide oxidative damage, toxic effects, and hyperproliferation in
adult female albino mice Saleem et al,
20
2000† Vitamin E combination§
Treat genital herpes simplex virus Reduced lesion development, duration, and severity
in guinea pigs and mice Sheridan et al,
21
1997† GA, Eucommia ulmoides
OLIVER tree Improve signs of aging
Increased stratum corneum turnover rate in rats fed GA
Li et al,
22
1999‡ Capsular polysaccharides
of cyanobacteria Anti-inflammatory agents
Inhibited the croton oil−induced edema in male albino mice㛳
Garbacki et al,
23
2000† Lavender oil
Inhibit immediate-type allergic reactions
Inhibited mast cell degranulation in mice and rats; prevented histamine and TNF-␣ release from
peritoneal mast cells Kim and Cho,
24
1999‡ UVII indicates UV-induced immunosuppression; GLA, ␥-linolenic acid; AD, atopic dermatitis; TEWL, transepidermal water loss; LDF, laser Doppler flowmetry; ODC,
ornithine decarboxylase; GA, geniposidic acid; and TNF-␣, tumor necrosis factor ␣. †Compared with untreated control.
‡Compared with placebo. §Vitamin E, sodium pyruvate, membrane-stabilizing fatty acid.
㛳 At lease 1 strain of cyanobacteria had an opposite effect, increasing inflammation.
REPRINTED ARCH DERMATOL VOL 138, FEB 2002 WWW.ARCHDERMATOL.COM
209
©2002 American Medical Association. All rights reserved.
on May 5, 2010 www.archdermatol.com
Downloaded from
mediate-type allergic reactions. Topical and intrader- mal lavender oil inhibited the ear swelling response in
mice and passive cutaneous anaphylaxis in rats when com- pared with isotonic sodium chloride solution control treat-
ment P⬍.05. Peritoneal mast cells were also inhibited from releasing histamine or tumor necrosis factor ␣ in
vitro when lavender oil was applied.
24
Alopecia areata was treated with 7 months of aro- matherapy. A mixture of thyme, rosemary, lavender, and
cedarwood essential oils in jojoba and grape seed car- rier oils massaged into patients’ scalps significantly im-
proved the alopecia when compared with the carrier oils alone. The efficacy of the treatment was evaluated at ini-
tial assessment and 3 and 7 months after treatment by dermatologists’ visual scoring of photographs and a com-
puterized analysis of traced areas of alopecia.
14
This study did not mention disease duration before aromatherapy
treatment. Half of patients with recent-onset alopecia ar- eata have remission within 1 year, which could account
for the aromatherapy’s putatively beneficial results.
51
ASCORBIC ACID AND VITAMIN E
The hydrophobic ascorbic acid and lipophilic vitamin E have found increasing use in dermatologic treatment. Sev-
eral studies investigated the effects of both ascorbic acid and vitamin E against oxidative stress. In mice, acute and
chronic UV-B–induced photodamage was significantly de- creased with intraperitoneal postadministration of mag-
nesium-
L
-ascorbyl phosphate MAP, a precursor to ascor- bic acid P⬍.05. Compared with irradiated, untreated
mice, MAP-treated mice had a 60 decrease in UV-B– induced tumor formation, a 50 decrease in skin thick-
ness, and a 55 decrease in ornithine decarboxylase, a marker for DNA synthesis. In addition, on acute expo-
sure to UV-B irradiation, MAP prevented increases of lipid peroxidation in skin and sialic acid in serum. The MAP
produced an immediate and transient increase in vitamin C in the serum, skin, and liver, indicating its conversion
in those tissues.
19
The effect of topical application of MAP in reducing UV-B photodamage is unknown. The clinical
significance of this study remains uncertain. Oral ingestion of ascorbic acid 2000 mgd and vi-
tamin E 1000 IUd reduced the sunburn reaction in hu- man subjects. The volunteers’ threshold dose for eliciting
sunburn and their cutaneous blood flow of skin irradiated with incremental UV doses were determined before and af-
ter 8 days of treatment. A statistically significant differ- ence was observed in the median minimal erythema dose
of ascorbic acid– and vitamin E–treated patients as com- pared with placebo-treated patients. The former minimal
erythema dose increased 17; the latter declined 14.
4
Topical pretreatment in humans with a combina- tion of ascorbic acid, vitamin E, and melatonin provided
a statistically significant enhanced photoprotection against UV-induced erythema. Dermal blood flow, visual grade,
and chromatometry measures decreased with the com- bined treatment, as well as with each treatment alone, when
compared with placebo-treated skin. The effect of the com- bined treatment was more pronounced.
5
Ascorbic acid and vitamin E have also proved benefi- cial in treating other conditions. Nitrate tolerance de-
scribes a developed tolerance to the vasodilatory effects of nitrate, due to both neurohormonal counterregulation and
enhanced response to vasoconstrictor agonists.
52
Oral ad- ministration of two 500-mg ascorbic acid capsules daily along
with glycerol trinitrate for 3 days prevented nitrate toler- ance in healthy volunteers taking transdermal glycerol tri-
nitrate. With those taking ascorbic acid, the vasodilatory and conductivity responses evoked by glycerol trinitrate
were potentiated throughout the 3-day period 24.5 in- crease vs control, while in those taking glycerol trinitrate
alone, the responses slowly declined 8.2 increase vs control.
3
This observed effect was statistically significant. A combination of vitamin E, sodium pyruvate, and
membrane-stabilizing fatty acids induced a statistically significant decrease in the lesion development, dura-
tion, and severity of genital herpes simplex virus when applied after infection to guinea pigs and mice. The com-
bined treatment yielded a 36 decrease in lesion sever- ity score in guinea pigs and a 33 decrease in lesion size
in hairless mice when compared with no treatment.
21
MISCELLANEOUS
Quaternium-18 bentonite, an organoclay used in cosmet- ics to thicken or stabilize the products, has been investi-
gated for its ability to prevent poison ivy or poison oak contact dermatitis reactions in humans. Pretreatment with
5 quaternium-18 bentonite lotion on the forearm of pa- tients with allergic contact dermatitis to poison oak or poi-
son ivy significantly reduced or prevented a severe reac- tion to urushiol, the allergenic resin of both plants. Trained
technicians blinded to the treated area visually evaluated the reactions. Statistical significance was found when treated
test sites were compared with untreated controls.
15
Pretreatment with diluted homeopathic gels effec- tively decreased the inflammation caused by methyl nico-
tinate in humans. The vasodilatory response to methyl nicotinate was measured by laser Doppler velocimetry.
This measure was significantly reduced when the skin was pretreated with Urtica urens, Apis mellifica, Bella-
donna, or Pulsatilla aqueous gels as compared with ve- hicle control.
16
It is important to note that methyl nico- tinate inflammation is primarily a pharmacologic effect
and has few immunologic implications, thereby mini- mizing the clinical significance of this study.
Capsular polysaccharides from various strains of cya- nobacteria were found to have anti-inflammatory effects
on adult albino male mice. Six-hour application of hydro- philic extracts of capsular polysaccharides subsequent to
croton oil–induced dermatitis caused a statistically sig- nificant reduction in the mouse ear edema when com-
pared with croton oil inflammation without treatment. Some strains were not effective, and at least 1 other strain
of capsular polysaccharides significantly increased the edema after croton oil application by about 29. The most
effective inflammation-reducing strains decreased the edema by as much as 56, were dose-dependent, and were
composed primarily of neutral sugars, uronic acids, and proteins. The inflammation-increasing extract contained
a monosaccharide composition glucose and mannose similar to those of extracts that most significantly de-
creased dermatitis.
23
REPRINTED ARCH DERMATOL VOL 138, FEB 2002 WWW.ARCHDERMATOL.COM
210
©2002 American Medical Association. All rights reserved.
on May 5, 2010 www.archdermatol.com
Downloaded from
COMMENT
The sampling of investigative medications presented by this review seems promising, although their true effects
are unknown. Caution must be used when animal stud- ies are interpreted. In addition, experimental design, such
as sample size, drug concentration, method of exposure to the medicine, and analytic techniques, may greatly in-
fluence a study’s outcome. Further exploration of these medications under different experimental conditions would
better estimate their true clinical benefit. Certainly, the lower cost, wide accessibility, and possible clinical im-
provement with many of these newer unconventional rem- edies has encouraged their continued research. It re-
mains to be seen which, if any, provide a more advantageous therapeutic ratio than standard agents. These observa-
tions presumably are valid, thoughtful, and correct; as in the case of most pharmacologic arenas, the final arbiter is
the patient. Alas, these patient truths are unfortunately not as hard a science as most physicians would like.
Accepted for publication July 31, 2001. Corresponding author: Howard Maibach, MD,
Department of Dermatology, UCSF Medical Center, 90 Medical Center Way, Room 110, San Francisco, CA 94143
e-mail: himjlmitsa.ucsf.edu.
REFERENCES
1. Bigby M. Evidence-based medicine in dermatology. Dermatol Clin. 2000;18:261-276. 2. Bashir S, Maibach H. Evidence Based Dermatology. Toronto, Ontario: BC Dek-
ker. In press. 3. Bassenge E, Fink N, Skatchkov M, Fink B. Dietary supplement with vitamin C pre-
vents nitrate tolerance. J Clin Invest. 1998;102:67-71. 4. Eberlein-Konig B, Placzek M, Przybilla B. Protective effect against sunburn of com-
bined systemic ascorbic acid vitamin C and d-␣-tocopherol vitamin E. J Am Acad Dermatol. 1998;38:45-48.
5. Dreher F, Gabard B, Schwindt D, Maibach H. Topical melatonin in combination with vitamins E and C protects skin from ultraviolet-induced erythema: a human
study in vivo. Br J Dermatol. 1998;139:332-339. 6. Elmets C, Singh D, Tubesing K, Matsui M, Katiyar S, Mukhtar H. Cutaneous pho-
toprotection from ultraviolet injury by green tea polyphenols. J Am Acad Der- matol
. 2001;44:425-432. 7. Avila-Camacho M, Montastier C, Perard GE. Histometric assessment of the age-
related skin response to 2-hydroxy-5-octanoyl benzoic acid. Skin Pharmacol Appl Skin Physiol. 1998;11:52-56.
8. Andreassi M, Forleo P, Lorio AD, Masci S, Abate G, Amerio P. Efficacy of ␥-lino- lenic acid in the treatment of patients with atopic dermatitis. J Int Med Res. 1997;
25:266-274. 9. Gehring W, Bopp R, Rippke F, Gloor M. Effect of topically applied evening prim-
rose oil on epidermal barrier function in atopic dermatitis as a function of ve- hicle. Drug Res. 1999;49:635-642.
10. Bamford J, Gibson R, Reiner C. Atopic eczema unresponsive to evening prim- rose oil linoleic and ␥-linolenic acids. J Am Acad Dermatol. 1985;13:959-965.
11. Berth-Jones J, Graham-Brown R. Placebo-controlled trial of essential fatty acid supplementation in atopic dermatitis. Lancet. 1993;341:1557-1560.
12. Morse PH, Horrobin DF, Manku MS, et al. Meta-analysis of placebo-controlled studies of the efficacy of Epogam in the treatment of atopic eczema. Br J Der-
matol. 1989;121:75-90. 13. Stewart J, Morse P, Moss M, et al. Treatment of severe and moderately severe
atopic dermatitis with evening primrose oil Epogam. J Nutr Med. 1991;2:9-15. 14. Hay I, Jamieson M, Ormerod A. Randomized trial of aromatherapy: successful
treatment for alopecia areata. Arch Dermatol. 1998;134:1349-1352. 15. Marks J, Fowler J, Sherertz E, Rietschel R. Prevention of poison ivy and poison
oak allergic contact dermatitis by quaternium-18 bentonite. J Am Acad Derma- tol. 1995;33:212-216.
16. Handschuh J, Debray M. Modification of cutaneous blood flow by skin applica- tion of homeopathic anti-inflammatory gels. STP Pharma Sci. 1999;9:219-222.
17. Steerenberg P, Garseen J, Dortant P, et al. Protection of UV-induced suppres- sion of skin contact hypersensitivity. Photochem Photobiol. 1998;67:456-461.
18. Zhao J, Jin X, Yaping E, Zheng ZS, Zhang YJ, Athar M. Photoprotective effect of black tea extracts against UVB-induced phototoxicity in skin. Photochem Pho-
tobiol . 1999;70:637-644.
19. Kobayashi S, Takehana M, Kanke M, Itoh S, Ogata E. Postadministration pro- tective effect of magnesium-L-ascorbyl-phosphate on the development of UVB-
induced cutaneous damage in mice. Photochem Photobiol. 1998;67:669-675. 20. Saleem M, Alam A, Sultana S. Attenuation of benzoyl peroxide–mediated cuta-
neous oxidative stress and hyperproliferative response by the prophylactic treat- ment of mice with spearmint Mentha spicata. Food Chem Toxicol. 2000;38:
939-948. 21. Sheridan J, Kern E, Martin A, Booth A. Evaluation of antioxidant healing formu-
lations in topical therapy of experimental cutaneous and genital herpes simplex virus infections. Antiviral Res. 1997;36:157-166.
22. Li Y, Metori K, Koike K, Che Q-M, Takahashi S. Improvement in the turnover rate of the stratum corneum in false aged model rats by the administration of geni-
posidic acid in Eucommia ulmoides OLIVER leaf. Biol Pharm Bull. 1999;22:582- 585.
23. Garbacki N, Gloaguen V, Damas J, Hoffmann L, Tits M, Angenot L. Inhibition of croton-oil induced oedema in mice ear skin by capsular polysaccharides from
cyanobacteria. Arch Pharmacol. 2000;361:460-464. 24. Kim H-M, Cho S-H. Lavender oil inhibits immediate-type allergic reaction in mice
and rats. J Pharm Pharmacol. 1999;51:221-226. 25. Koh H, Kligler B, Lew P. Sunlight and cutaneous malignant melanoma: evidence
for and against causation. Photochem Photobiol. 1990;51:765-779. 26. Wenk J, Brenneisen P, Meewes C, et al. UV-induced oxidative stress and pho-
toaging. Curr Probl Dermatol. 2001;29:83-94. 27. Krutmann J. Ultraviolet A radiation–induced biological effects in human skin.
J Dermatol Sci. 2000;23suppl 1:S22-S26. 28. Biesalski H, Obermueller-Jevic U. UV light, beta-carotene and human skin—
beneficial and potentially harmful effects. Arch Biochem Biophys. 2001;389: 1-6.
29. Hart P, Grimbaldeston M, Finlay-Jones J. Sunlight, immunosuppression and skin cancer: role of histamine and mast cells. Clin Exp Pharmacol Physiol. 2001;28:1-8.
30. Gil E, Kim T. UV-induced immune suppression and sunscreen. Photodermatol Photoimmunol Photomed. 2000;16:101-110.
31. Hakim I, Harris R, Ritenbaugh C. Fat intake and risk of squamous cell carcinoma of the skin. Nutr Cancer. 2000;36:155-162.
32. Black H. Influence of dietary factors on actinically-induced skin cancer. Mutat Res
. 1998;422:185-190. 33. DiGiovanna J. Retinoid chemoprevention in patients at high risk for skin cancer.
Med Pediatr Oncol. 2001;36:564-567. 34. Zhao JF, Zhang YJ, Jin XH, et al. Green tea protects against psoralen plus ultra-
violet A–induced photochemical damage to skin. J Invest Dermatol. 1999;113: 1070-1075.
35. Katiyar S, Ahmad N, Muhktar H. Green tea and skin. Arch Dermatol. 2000;136: 989-994.
36. Kadoma Y, Fujisawa S. Kinetic evaluation of reactivity of bisphenol A derivatives as radical scavengers for methacrylate polymerization. Biomaterials. 2000;21:
2125-2130. 37. Pie´rard G, Pie´rard-Franchimont C, Goffin V. Digital image analysis of microcom-
edones. Dermatology. 1995;190:99-103. 38. Karasz A, Decocco F, Maxstadt J. Gas chromatographic measurements of benzoyl
peroxide in as benzoic acid cheese. J Assoc Anal Chem. 1974;57:706-709. 39. Biagi P, Hrelia S, Celadon M, et al. Erythrocyte membrane fatty acid composi-
tion in children with atopic dermatitis compared to age-matched controls. Acta Paediatr. 1993;82:789-790.
40. Schalin-Karrila M, Mattila L, Jansen C, Uotila P. Evening primrose oil in the treat- ment of atopic eczema: effect of clinical status, plasma phospholipid fatty acids
and circulating blood prostaglandins. Br J Dermatol. 1987;117:11-19. 41. Oliwiecki S, Burton J, Elles K, Horrobin D. Levels of essential and other fatty ac-
ids in plasma and red cell phospholipids from normal controls and patients with atopic eczema. Acta Derm Venereol. 1991;71:224-228.
42. Wright S, Sanders T. Adipose tissue essential fatty acids in the plasma phos- pholipids of patients with atopic eczema. Br J Dermatol. 1991;110:643-648.
43. Lovell C, Burton J, Horrobin D. Treatment of atopic eczema with evening prim- rose oil [letter]. Lancet. 1981;1:278.
44. Wright S, Burton J. Oral evening-primrose-seed oil improves atopic eczema. Lan- cet. 1982;2:1120-1122.
45. Bordoni A, Biagi P, Masi M, et al. Evening primrose oil Efamol in the treatment of children with atopic eczema. Drugs Exp Clin Res. 1988;14:291-297.
46. Biagi P, Bordoni A, Hrelia S, et al. The effect of ␥-linolenic acid on clinical status, red cell fatty acid composition and membrane microviscosity in infants with atopic
dermatitis. Drugs Exp Clin Res. 1994;20:77-84. 47. Biagi PL, Bordoni A, Masi M, Ricci G, Fanelli C, Patrizi A, Ceccolini E. A long-
term study on the use of evening primrose oil Efamol in atopic children. Drugs Exp Clin Res. 1988;14:285-290.
48. Guenther L, Wexler D. Efamol in the treatment of atopic dermatitis [letter]. J Am Acad Dematol. 1987;17:860.
49. Humphreys F, Symons H, Brown H, Duff G, Hunter J. The effects of ␥-linolenic acid on adult atopic eczema and premenstrual exacerbation of eczema. Eur J Der-
matol. 1994;4:598-603. 50. Horrobin D, Stewart C. Evening primrose oil and eczema. Lancet. 1990;335:864-
865. 51. Kalish R. Randomized trial of aromatherapy: successful treatment for alopecia
areata. Arch Dermatol. 1999;135:602-603. 52. Munzel T, Giaid A, Kurz S, Stewart D, Harrison D. Evidence for a role of endo-
thelin 1 and protein kinase C in nitroglycerin tolerance. Proc Natl Acad Sci U S A. 1995;92:5244-5248.
REPRINTED ARCH DERMATOL VOL 138, FEB 2002 WWW.ARCHDERMATOL.COM
211
©2002 American Medical Association. All rights reserved.
on May 5, 2010 www.archdermatol.com
Downloaded from
http:www.kalbe.co.idcdk
ISSN : 0125-913X 2 0 0 4
1 4 4 . T H T
http. www.kalbe.co.idcdk
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
2 0 0 4
1 4 4 . T H T
Daftar isi :
2. Editorial 4. English Summary
Artikel
5. Rinitis Atrofi – Rizalina Arwinati Asnir 8. Papiloma Laring pada Anak – Bambang Supriyatno, Lia Amalia
11. Kista Duktus Tiroglosus – Hafni 13. Rinoskleroma – Delfitri Munir, Rizalina A Asnir, Firmansyah
16. Kanker Nasofaring - Epidemiologi dan Pengobatan Mutakhir – R.
Susworo
20. Pola Sensitivitas Kuman dari Isolat Hasil Usap Tenggorok Penderita Tonsilofaringitis Akut terhadap Beberapa Antimikroba Betalaktam
di Puskesmas Jakarta Pusat – Retno Gitawati, Ani Isnawati 24. Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan Tenaga Kerja – Novi
Arifiani 29. Program Konservasi Pendengaran di Tempat Kerja – Ambar W.
Roestam
Keterangan Gambar Sampul : Jaras sistim pendengaran manusia
sumber: http:ivertigo.net 13
35. Perawatan Mandiri Pasca Trakeostomi – HR Krisnabudhi 41. Vertigo: Aspek Neurologi – Budi Riyanto Wreksoatmodjo
47. Terapi Akupunktur untuk Vertigo – Prasti Pirawati, L. Yvonne
Siboe
52. Teh [Camellia sinensis O.K. var. Assamica Mast] sebagai Salah
satu Sumber Antioksidan – Sulistyowati Tuminah
55. Hasil Pemeriksaan Uji Hemaglutinasi pada Penderita Tersangka
Demam Berdarah Dengue di Jakarta Tahun 2001 – Enny Muchlastriningsih, Sri Susilowati, Diana Hutauruk
57. Produk Baru 58. Kapsul
59. Informatika Kedokteran 60. Kegiatan Ilmiah
62. Abstrak 64. RPPIK
E E
D D
I I
T T
O O
R R
I I
A A
L L
Cermin Dunia Kedokteran kali ini terbit dengan topik bahasan masalah telinga, hidung dan tenggorokan. Beberapa penyakit seperti
rinitis atrofi dan papiloma laring dapat anda jumpai; selain masalah pengaruh lingkungan – dalam hal ini kebisingan terhadap fungsi
pendengaran khususnya.
Tidak ketinggalan pula artikel mengenai kanker nasofaring dan perawatan trakeostomi – yang perlu diperhatikan, baik oleh tenaga medis
maupun keluarga pasien. Artikel mengenai vertigo juga ikut melengkapi edisi ini
Selamat membaca, komentar dan kritik sejawat sekalian tetap kami nantikan
Redaksi
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 2
2 0 0 4
International Standard Serial Number: 0125 - 913X KETUA PENGARAH
Prof. Dr. Oen L.H. MSc
REDAKSI KEHORMATAN PEMIMPIN UMUM
Dr. Erik Tapan
KETUA PENYUNTING
Dr. Budi Riyanto W. - Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo
Staf Ahli Menteri Kesehatan Departemen Kesehatan RI
Jakarta
- Prof. Dr. R Budhi Darmojo
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Semarang
PELAKSANA
Sriwidodo WS. - -
TATA USAHA
- Dodi Sumarna - Djuni Pristiyanto
Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD.
Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta
Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt.
Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti
Jakarta
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta
10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171 E-mail : cdkkalbe.co.id
http: www.kalbe.co.idcdk
- DR. Arini Setiawati
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta
NOMOR IJIN
151SKDITJEN PPGSTT1976 Tanggal 3 Juli 1976
DEWAN REDAKSI PENERBIT
Grup PT. Kalbe Farma Tbk.
- -
PENCETAK
PT. Temprint
Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto
Zahir MSc.
http:www.kalbe.co.idcdk PETUNJUK UNTUK PENULIS
Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-
bidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama,
tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai
dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertaiatau dalam bentuk disket program MS Word. Nama para pengarang ditulis lengkap,
disertai keterangan lembagafakultasinstitut tempat bekerjanya. Tabelskema grafikilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta
hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah
dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan ter- tukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam
naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals
Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9. Contoh :
1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London:
William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-
organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physio- logy: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.
3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O.
Box 3117 JKT. Tlp. 021 4208171. E-mail : cdkkalbe.co.id Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
dengan amplop beralamat pengarang lengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandanganpendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansilembagabagian tempat kerja
si penulis.
English Summary
LARYNGEAL PAPILLOMA IN CHILD- REN
Bambang Supriyatno, Lia Amalia
Dept of Child Health, Faculty of Medicine, University of Indonesia,
Jakarta, Indonesia
Laryngeal papilloma is a be- nign tumor frequently found in
children. It is caused by strains of human papilloma virus HPV
family.
Practically all patients with laryngeal papilloma present with
hoarseness or a weak voice; chronic cough, paroxysms of
chocking; recurrent respiratory infections also may occur. Partial
airway obstruction may manifest as stridor or chest retractions.
Diagnosis can be confirmed using a flexible fiberoptic laryngoscope
to visualize the larynx. Papillomata have a characteristic wart-like
appearance, and tend to be concentrated on the free margins
of true vocal folds, particularly at the anterior commissure.
The mainstay of treatment is surgical ablation. The role of
medications such as alpha- interferon, acyclovir, ribavirin, and
retinoic acid are still debatable.
Cermin Dunia Kedokt.2004: 144; 8-10
bso, laa RHINOSCLEROMA
Delfitri Munir, Rizalina A Asnir, Fir- mansyah
Dept. of ENT, Adam Malik General Hospital, Medan, North Sumatra,
Indonesia
Rhinoscleroma is an endemic disease; in Indonesia it is found in
North Sulawesi, North Sumatera and Bali.
There is still no accurate and successful management method
for this problem .
Cermin Dunia Kedokt.2004; 144; 13-15
dmr,raa,fih
Fate is distinghished but an expensive tutor Goethe
ACUPUNCTURE FOR VERTIGO Prasti Pirawati, L. Yvonne Siboe
Dept. of Acupuncture Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital,
Jakarta, Indonesia
Vertigo is a common com- plaint, referred to dizziness or a
sense of imbalance, can be due to vestibular system disorder. The
symptoms may cause anxiety and disturb the patient’s social
life.
Conventional treatment is still not satisfactory.
This is a report of a 50 year- old female with vertigo, treated
with acupuncture and showed good improvement.
Cermin Dunia Kedokt.2004; 144; 47-51
ppi,lys
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 4
Artikel
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Rinit is At rofi
Rizalina Arwinati Asnir
BagianSMF Telinga Hidung dan Tenggorokan-KL Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan
ABSTRAK
Rinitis atrofi sering ditemukan pada masyarakat dengan sosial ekonomi rendah, lingkungan yang buruk dan di negara yang sedang berkembang. Etiologi dan
patogenesis rinitis atrofi sampai saat ini belum dapat diterangkan secara jelas, sehingga pengobatannya belum ada yang baku.
Kata kunci : rinitis atrofi, sosial ekonomi rendah.
PENDAHULUAN
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka
dan pembentukan krusta.
1-11
Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehing-
ga terbentuk krusta yang berbau busuk.
1-9
Penyakit ini lebih sering mengenai wanita,
1-5,7,11-15
terutama pada usia pubertas.
1- 4,7,11,13
Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk
1-3,11-14
dan di negara sedang berkembang.
12,16
Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan.
1-5,7,9,10,14-16
Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilang-
kan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala.
1,2,4,11,17
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi
.
1-5,11-15
SINONIM : Ozaena, rinitis fetida, rinitis krustosa.
20
KEKERAPAN Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi
lebih sering mengenai wanita,
1-5,7,11-15
terutama pada usia pubertas.
1-4,7,11,13
Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria,
8
dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria.
9
Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria.
20
Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50
tahun,
8
Jiang dkk berkisar 13-68 tahun
9
, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun.
20
Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang
buruk
1-3,11-14
dan di negara sedang berkembang.
12,16
Di RS H Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000
ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.
ETIOLOGI
Etiologi rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat di- terangkan dengan memuaskan.
1-5,7,9,10,14-16
Beberapa teori yang dikemukakan antara lain :
1 Infeksi kronik spesifik
1-4, 7,9,11,12,17
Terutama kuman Klebsiella ozaena. Kuman ini meng- hentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia.
Kuman lain adalah Stafilokokus, Streptokokus dan Pseudo- monas aeruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid
bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena 2 Defisiensi Fe
1-4,7,12
, vitamin A
1,2,5,7,11
3 Sinusitis kronik
1,2,5,12,16,18
5 Ketidakseimbangan hormon estrogen
1-5,7,11
6 Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun
1-4,7,5,7
7 Teori mekanik dari Zaufal
4,5
8 Ketidakseimbangan otonom
4,7,12,17
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 5
9 Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome RSDS
4,5,17
10 Herediter
5,7,17
11 Supurasi di hidung dan sinus paranasal
5,16
12 Golongan darah. Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa di-
golongkan atas : rinitis atrofi primer yang penyebabnya tidak diketahui
4,10
dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung operasi besar pada hidung atau radioterapi dan infeksi hidung
kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc.
PATOLOGI DAN PATOGENESIS Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel
kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atro- fik,
3,4,5,9,11,12,15,16,19
dan fibrosis dari tunika propria.
3,4,12
, terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukur-
an
3,4,11
dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal.
3,13
;oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua:
3,4,21
Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik; membaik dengan efek
vasodilator dari terapi estrogen. Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek
dengan terapi estrogen. Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole
akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.
Taylor dan Young mendapatkan sel endotel berreaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya
absorbsi tulang yang aktif.
3,4
Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebab- kan pembentukan krusta tebal yang melekat.
10,11
Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang.
10,11
Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan
protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi.
Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurang- an efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang
baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya
mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta
yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.
7
GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN Keluhan biasanya berupa : hidung tersumbat, gangguan
penciuman anosmi, ingus kental berwarna hijau, adanya krusta kerak berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan
hidung terasa kering.
1-5,10-12
Pada pemeriksaan ditemui : rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat,
terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka, sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering.
Bisa juga ditemui ulattelur larva karena bau busuk yang timbul.
Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat
21
: a.
Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit.
b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan
anosmia belum jelas. c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga
konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar se- kali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia
yang jelas. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, peme-
riksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan histopatologi dan test serologi VDRL test dan Wasserman test untuk menying-
kirkan sifilis.
1,2,9,11
Diagnosis Banding Rinitis kronik tbc, rinitis kronik lepra, rinitis kronik sifilis
dan rinitis sika.
21
KOMPLIKASI
4,8,11
Dapat berupa: perforasi septum, faringitis, sinusitis, miasis hidung, hidung pelana.
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah: menghilangkan faktor etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara
konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.
1,2
Konservatif 1 Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman,
dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang.
1,2
Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada peng- obatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12
minggu.
3
2 Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan menghilangkan bau.
Antara lain : a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
b. Campuran : NaCl
NH4Cl NaHCO3
aaa 9
Aqua ad 300 c 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
c. Larutan garam dapur d. Campuran :
Na bikarbonat 28,4 g Na diborat
28,4 g NaCl
56,7 g dicampur 280 ml air hangat Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi
dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke naso- faring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari.
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 6
3 Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25 dalam gliserin untuk membasahi mukosa,
oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan
tiga kali sehari masing-masing tiga tetes. 4 Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu
5 Preparat Fe 6 Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas
1-5,11-14
Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80 perbaikan dalam 2
tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3 perbaikan pada periode waktu yang sama.
Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar.
3
Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung
dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan
hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang me-
muaskan pada 6 dari 7 penderita.
21
OPERASI
Tujuan operasi antara lain untuk: menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentuk-
an krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkin- kan terjadinya regenerasi.
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1 Youngs operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha me- laporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung
sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2 Modified Youngs operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3 Lautenschlager operation Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian
dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung. 4
Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon, campuran Triosite dan
Fibrin Glue. 5
Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila Wittmacks operation dengan tujuan membasahi mukosa
hidung.
4,5,10-14,23
Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil
dengan memuaskan.
22
PROGNOSIS Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan
penyakitnya.
5
KESIMPULAN
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif mukosa dan tulang konka
disertai pembentukan krusta. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang
belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya
belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilang- kan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Peng-
obatan dapat diberikan secara konservatif atau operatif.
KEPUSTAKAAN
1. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Hidung . Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok . Edisi ke 3. Jakarta : FKUI, 1997; 91-3, 113-4.
2. Mangunkusumo E. Rinitis Atrofi. Dalam : Penatalaksanaan Penyakit dan
Kelainan Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta : FKUI, 1992; 90-2. 3.
Weir N, Wood DG. Infective Rhinitis and Sinusitis. Dalam : Scott- Browns Otolaryngology. 6
th
ed. Oxford : Butterworth - Heinemann, 1997; 4826-7.
4. Ramalingam KK, Sreeramamoorthy B. A Short Practice of Otolaryngology. Madras : All India Publisher, 1993; 202-5.
5. Kumar S. Fundamental of Ear,Nose Throat Diseases and Head - Neck
Surgery. Calcutta : The New Book Stall, 1996; 218-21. 6.
Lobo CJ, Hartley C, Farrington WT. Closure of the Nasal Vestibule in Atrophic Rhinitis-A new non surgical technique. J Laryngol Otol 1998;
112 : 543-6. 7. Sayed RH, Elhamd KA, Kader MA. Study of Surfactant Level in Cases of
Primary Atrophic Rhinitis. J Laryngol Otol 2000; 114 : 254-9. 8.
Baser B, Grewal DS, Hiranandani NL. Management of Saddle Nose Deformity in Atrophic Rhinitis. J Laryngol Otol 1990 ; 104 : 404-7.
9. Jiang R,Hsu C,Chen C. Endoscopic Sinus Surgery and Postoperative
Intravenous Aminoglycoside in the Atrophic Rhinitis. Am J Rhinol 1998 ; 12 : 325-33.
10. Groves J,Gray RF.A Synopsis of Otolaryngology. 4
th
Bristol:Wright, 1985; 193-411.
11. Maqbool M. Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases. 6
th
ed New Delhi : Jaypee Brothers, 1993; 264-7.
12. Massegur H.Atrophic Rhinitis-Pathology, Etiology and Management. Dalam : XVI Congress of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery.
Sydney, 1997; 1403-6. 13. Maran AGD. Disease of the Nose, Throat and Ear. Singapore : PG
Publishing, 1992; 40-1. 14. Colman BH. Disease of the Nose, Throat and Ear and Head and Neck.
14
th
ed Singapore : ELBS, 1987; 26-7. 15. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, Nose and Throat Diseases. A
Pocket Reference. 2
nd
ed. New York : Georg Thieme Verlag, 1994; 218-9. 16. Hagrass, Gamea AM, Sherief SG.Radiological and Endoscopic Study of
the Sinus Maxilla in Primary Atrophic Rhinitis.J Laryngol Otol 1992 ;106: 702-3.
17. Bertrand B, Doyen A, Elloy P. Triosite Implants and Fibrin Glue in the Treatment of Atrophic Rhinitis:Technique and Results. Laryngoscope
1996; 106 : 652-7. 18. Ballenger JJ. Penyakit Telinga ,Hidung, Tenggorok , Kepala dan Leher.
Edisi 13. Jilid 1. Alih Bahasa : Staf Ahli Bag. THT FKUI. Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994; 1-4, 10-5, 229.
19. Hilger PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Boies ed, Buku Ajar Penyakit THT.Edisi 6, Alih Bahasa : Wijaya, C. Jakarta: EGC,
1996; 173-82, 221-2. 20. Samiadi D. Laporan Penanggulangan Beberapa Kasus Rinitis Atrofi.
Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Konas VII Perhati. Ujung Pandang, 1986; 549-55.
21. Mewengkang N, Samsudin, Sutomo. Penutupan Koana dengan Flap Faring pada Penderita Ozaena Anak. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah
Konas VII Perhati. Ujung Pandang: 1986; 576-80. 22. Naumann HH. Head and Neck Surgery. Indication, Technique, Pitfalls.
Vol.1. New York : Georg Thieme Publishers, 1980; 349-51, 381-2. 23.
Montgomery WW. Surgery of the Upper Respiratory System. 3
rd
Baltimore : Williams Wilkins, 1996; 492, 499.
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 7
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Pa pilom a La ring pa da Ana k
Bambang Supriyatno, Lia Amalia
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
ABSTRAK
Papiloma laring merupakan tumor jinak proliferatif yang sering dijumpai di saluran nafas anak; dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas yang dapat meng-
akibatkan kematian. Etiologi pasti papiloma laring tidak diketahui; diduga berhubungan dengan infeksi
human papiloma virus HPV tipe 6 dan 11. Beberapa keadaan diduga berperan sebagai faktor predisposisi seperti keadaan ekonomi rendah, higiene yang buruk,
infeksi saluran nafas kronik, kelainan imunologis, dan terdapatnya kondiloma akumi- nata pada ibu. Manifestasi klinis awal biasanya berupa suara serak sampai afonia serta
suara tangisan yang abnormal. Papiloma laring pada anak dapat menyebar ke trakea dan bahkan sampai ke paru-paru. Diagnosis papiloma laring ditegakkan berdasarkan
anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laringoskopi langsung. Pada laringoskopi langsung dapat terlihat gambaran tumor menyerupai kembang kol, ber-
warna kemerahan, rapuh, mudah berdarah, dan pertumbuhannya eksofilik. Tatalaksana- nya berupa tindakan bedah dikombinasikan dengan fotodinamik; obat-obatan medi-
kamentosa kurang berperan. Komplikasi yang mungkin timbul adalah sumbatan jalan nafas serta penyebaran ke paru-paru. Prognosis kurang baik dalam hal rekurensi; pada
anak angka rekurensi kekambuhan masih cukup tinggi.
Kata kunci : papiloma laring, anak, rekurensi
PENDAHULUAN
Papiloma laring merupakan tumor jinak proliferatif yang sering dijumpai pada saluran napas anak. Papiloma laring
pertama kali dikenal sebagai kutil di tenggorok warts in the throat oleh Donalus pada abad ke-17. Mc Kenzie memper-
kenalkan nama papiloma laring pada abad ke-19.
1
Papiloma merupakan neoplasma laring jinak pada anak tetapi dapat juga terjadi pada dewasa. Papiloma laring pada
anak dapat menjadi masalah jika menyumbat jalan napas. Selain itu papiloma laring mempunyai kemampuan untuk
tumbuh kembali setelah pengangkatan dan meluas ke struktur trakeobronkial.
Infeksi Human Papilloma Virus HPV pada saluran napas merupakan penyebab potensial papiloma laring. Mc Kenzie
membedakan penyakit ini dari tumor lain secara klinis dan menggunakan istilah “papiloma”.
2,3
Papiloma merupakan jenis tumor yang berkembang de- ngan cepat, walaupun tidak ganas. Tumor ini dapat menyebar
ke rongga mulut, hidung, trakea dan paru, tetapi lokasi ter- sering adalah laring.
4,5
Terdapat dua jenis papiloma laring; salah satu adalah papi- loma laring juvenilis yang biasanya multipel dan cenderung
agresif. Yang lain adalah papiloma laring senilis yang soliter dan kurang agresif tetapi dapat berkembang menjadi ganas.
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 8
INSIDENS
Papiloma laring lebih sering dijumpai pada anak, 80 pada kelompok usia di bawah 7 tahun.
6
Agung
7
melaporkan 7 kasus antara 1970-1976, 6 di antaranya di bawah 12 tahun.
Sedangkan di Bagian THT RSCM ditemukan 14 kasus antara 1993-1997 dengan usia antara 2,5-18 tahun.
ETIOLOGI
Etiologi papiloma laring tidak diketahui dengan pasti. Diduga Human Papilloma Virus HPV tipe 6 dan 11 berperan
terhadap terjadinya papiloma laring. Diduga ada hubungan an- tara infeksi HPV genital pada ibu hamil dan papiloma laring
pada anak.
8,9
Hal ini terbukti dengan adanya HPV tipe 6 dan 11 pada kondiloma genital. Walaupun penemuan di atas menun-
jukkan peran infeksi virus pada papiloma laring, tetapi ada faktor lain yang berperan., mengingat papiloma laring dapat
menghilang spontan saat pubertas.
Teori yang melibatkan faktor hormonal sebagai salah satu penyebab pertama kali dikemukakan oleh Holinger.
10
Terdapat beberapa faktor predisposisi papiloma laring yaitu sosial ekonomi rendah dan higiene yang buruk, infeksi
saluran napas kronik, dan kelainan imunologis.
3,11-13
HISTOPATOLOGI
Gambaran makroskopik papiloma laring berupa lesi ekso- fitik, seperti kembang kol, berwarna abu-abu atau kemerahan
dan mudah berdarah. Tipe lesi ini bersifat agresif dan mudah kambuh, tetapi dapat hilang sama sekali secara spontan.
10
Gambaran mikroskopik menunjukkan kelompok stroma jaringan ikat dan pembuluh darah seperti jari-jari yang dilapisi
lapisan sel epitel skuamosa dengan permukaan keratotik atau parakeratotik. Kadang-kadang muncul gambaran sel yang ber-
mitosis.
10
MANIFESTASI KLINIS Pada awalnya adalah gangguan fonasi berupa suara serak
sampai afonia dan suara tangisan abnormal pada anak. Bila papiloma cukup besar dapat menyebabkan gangguan
pernapasan berupa batuk, sesak, dan stridor inspirasi. Penyebaran ke trakea dan bronkus jarang ditemukan, tetapi
dapat terjadi pada pasien dengan riwayat ekstirpasi papiloma atau riwayat trakeostomi sebelumnya, yang menimbulkan
sumbatan saluran napas atau penyakit parenkim paru.
14-16
Sumbatan saluran napas atas dapat dibagi menjadi 4
derajat berdasarkan kriteria Jackson. Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal, tanpa
sianosis. Jackson II adalah gejala sesuai Jackson I tetapi lebih berat yaitu disertai retraksi supra dan infraklavikula, sianosis
ringan, dan pasien tampak mulai gelisah. Jackson III adalah Jackson II yang bertambah berat disertai retraksi interkostal,
epigastrium, dan sianosis lebih jelas, sedangkan Jackson IV ditandai dengan gejala Jackson III disertai wajah yang tampak
tegang, dan terkadang gagal napas.
7,11
DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisis, dengan laringoskopi langsung atau tak lang-
sung serta dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologis. Pada anamnesis jika terdapat suara serak dan suara
tangisan yang abnormal pada anak dengan atau tanpa riwayat infeksi yang telah diobati tetapi tidak ada perubahan, maka
perlu dicurigai suatu papiloma laring. Biasanya terdapat stridor inspirasi dan pada pemeriksaan laringoskopi langsung tampak
gambaran tumor yang menyerupai kembang kol, kemerahan, rapuh, dan mudah berdarah, serta pertumbuhannya eksofilik.
Penyebaran ke trakea dan paru dapat diidentifikasi melalui foto toraks dan CT Scan. Pada foto toraks dapat terlihat
gambaran kavitas.
17
Diagnosis banding
Diagnosis sulit terutama pada fase awal. Sering disalah diagnosis dengan laringo-trakeo-bronkitis, asma bronkial, la-
ringomalasea, paralisis pita suara, nodul pita suara atau kista laring kongenital. Diagnosis harus dikonfirmasi dengan la-
ringoskopi langsung dan biopsi.
15
PENATALAKSANAAN Ada beberapa perangkat dalam tatalaksana papiloma
laring, semuanya mempunyai prinsip sama yaitu mengangkat papiloma dan menghindari rekurensi.
Umumnya terapi dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Bedah
Terapi bedah harus berdasarkan prinsip pemeliharaan jaringan normal untuk mencegah penyulit seperti stenosis
laring. Prosedur bedah ditujukan untuk menghilangkan papi- loma danatau memperbaiki dan mempertahankan jalan napas.
Beberapa teknik yang digunakan antara lain: trakeostomi, laringofissure, mikrolaringoskopi langsung, mikrolaringoskopi
dan ekstirpasi dengan forseps, mikrokauter, mikrolaringoskopi dengan diatermi, mikrolaringoskopi dengan ultrasonografi,
kriosurgeri, carbondioxide laser surgery.
17,18
Pada kasus papi- loma laring yang berulang, terapi bedah pilihan adalah peng-
angkatan tumor dengan laser CO
2
. b. Medikamentosa
Pemberian obat medikamentosa pernah dilaporkan baik digunakan secara sendiri maupun bersama-sama dengan tin-
dakan bedah. Obat yang digunakan antara lain antivirus, hor- mon dietilstilbestrol, steroid, dan podofilin topikal. Terapi
medikamentosa ini tidak terlalu bermanfaat.
18-20
c. Imunologis Terapi imunologi untuk papiloma laring umumnya hanya
suportif menggunakan interferon.
18
d. Terapi fotodinamik
Terapi ini merupakan satu dari perangkat terbaru dalam tatalaksana papilomatosis laring rekuren.
14
Terapi ini meng- gunakan dihematoporphyrin ether DHE yang tadinya dikem-
bangkan untuk terapi kanker. Jika diaktivasi dengan cahaya dengan panjang gelombang yang sesuai 630 nm, DHE meng-
hasilkan agen sitotoksik yang secara selektif menghancurkan sel-sel yang mengandung substansi tersebut. Basheda dkk.
melaporkan bahwa terapi fotodinamik efektif menghilangkan lesi endobronkial, tetapi tidak untuk lesi parenkim.
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 9
KOMPLIKASI
Pada umumnya papiloma laring pada anak dapat sembuh spontan ketika pubertas; tetapi dapat meluas ke trakea, bronkus,
dan paru, diduga akibat tindakan trakeostomi, ekstirpasi yang tidak sempurna.
13
Meskipun jarang, radiasi diduga menjadi faktor yang mengubah papiloma laring menjadi ganas.
PROGNOSIS
Prognosis papiloma laring umumnya baik. Angka re- kurensi berulang dapat mencapai 40. Sampai saat ini belum
diketahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhi re- kurensi pada papiloma.
16
Diagnosis dini dan penanganan yang tepat diduga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
rekurensi. Penyebab kematian biasanya karena penyebaran ke paru.
KEPUSTAKAAN
1. Harley C, Hamilton, Birzgalis AR. Recurrent respiratory papillomatosis.
The Manchester experience 1974-1992. Laryngol and Otol 1994; 108:226-9.
2. Kohlmoos HW. Papilloma of the larynx in children. Arch Otolaryngol
1995; 11:242-52. 3. Elo J, Hidvigi J, Bajtai A. Papova viruses and recurrent laryngeal
papillomata. Arch Otolaryngol 1995; 115:322-5. 4.
Erisen L, Fagan JJ, Myers EN. Late recurrences of laryngeal papillo- matosis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1996; 122:942-4.
5. Kashima H, Mounts P, Leventhal B. Sites of predilection in recurrent
respiratory papillomatosis. Ann Otol Rhinol Laryngol 1993; 102:580-3. 6.
Steinberg BM, Topp WC, Schneider PS, et al. Laryngeal papillomavirus infection during clinical remission, N Engl J Med 1983; 308:1261-4.
7. Agung IB, Losin. Pengelolaan papiloma laring di Bagian THT FK-UGM.
Laporan pendahuluan KONAS PERHATI V Semarang, 1977; .h.669-75. 8.
Smith EM, Pignatari SSN, Gray SD. Human papillomavirus infection in papillomas and nondisease respiratory sites of patients with recurrent
respiratory papillomatosis using the polymerase chain reaction. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1993; 119:554-7.
9. Derkay CS. Task force on recurrent respiratory papillomas. A preliminary
study. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1995; 121:1386-91. 10. Abramson AL, Steinberg BM, Winkler B. Laryngeal papillomatosis:
clinical histopathologic and molecular studies. Laryngoscope 1987; 97:678-85.
11. Yasin AR. Penelitian pendahuluan pada papiloma laring. Skripsi. THT FKUI, 1982.
12. Mulloly VM, Abramson AL, Steinberg BM. Clinical effect of alpha interferon dose variation on laryngeal papillomas. Laryngoscope 1998;
98:1324-9. 13. Bashida SG, Mehta AC, de Boer G, Orlowski JP. Endobronchial and
parenchymal juvenile laryngotracheobronchial papillomatosis effect of photodynamic therapy. Chest 1991; 100:1458-64.
14. Shikowitz MJ. Comparison of pulsed and continuous wave light in photodynamic therapy of papillomas: An experimental study.
Laryngoscope 1992; 102:300-10. 15. Ossof RH, Werkheven JA, Dere H. Soft tissue complication of laser
surgery for reccurent papillomatosis. Laryngoscope 1991; 101:1162-6. 16. Rimell EM, Shoemaker DL, Pou AM. Pediatric respiratory
papillomatosis. Prognostic role of viral typing and cofactors. Laryngos- cope 1997; 107:915-47.
17. White A, Haliwell M, Fairman DH. Ultrasonic treatment of laryngeal papillomata. Bristol General Hospital. h.249-60.
18. Haglund S, Lundwuist P, Cantell K. Interferon therapy in juvenile laryngeal papillomatosis. Arch Otolaryngol 1981; 107:327-32
19. Green GE, Bauman NM, Smith RJH. Pathogenesis and treatment of juvenile onset recurrent respiratory papillomatosis. Otolaryngol Clin N
Am 2000; 33:187-207. 20. Derkay CS, Darrow DH. Recurrent respiratory papillomatosis of the
larynx. Current Diagnosis and Treatment. Otolaryngol Clin N Am 2000; 33:1-12.
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 10
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
K ist a Duk t us T iroglosus
Hafni
Bagian SMF Telinga Hidung dan Tenggorokan-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan
ABSTRAK
Kista duktus tiroglosus merupakan 70 dari kasus kista yang ada di leher. Kista ini lebih sering terjadi pada anak. Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus bertujuan
untuk memperkecil angka kekambuhan yaitu dengan mengangkat kista beserta duktusnya.
Kata kunci : Kista duktus tiroglosus, kekambuhan
PENDAHULUAN
Kista duktus tiroglosus merupakan kista yang terbentuk dari duktus tiroglosus yang menetap sepanjang alur penurunan
kelenjar tiroid, yaitu dari foramen sekum sampai kelenjar tiroid bagian superior di depan trakea.
1-11
Kista ini merupakan 70 dari kasus kista yang ada di leher.
4,5
Kista ini biasanya terletak di garis median leher, dapat ditemukan di mana saja antara pangkal lidah dan batas atas
kelenjar tiroid.
4-10,12
Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus yang banyak dilakukan saat ini bertujuan untuk memperkecil angka
kekambuhan, yaitu dengan mengangkat kista beserta duktus- nya, bagian tengah korpus hiod, traktus yang menghubungkan
kista dengan foramen saekum serta mengangkat otot lidah di sekitarnya, seperti yang dilakukan Sistrunk pada tahun
1920.
1,3,4,5,9,10,13
KEKERAPAN
Beberapa penulis menyatakan bahwa kasus ini merupakan kasus terbanyak dari massa non neoplastik di leher, merupakan
40 dari tumor primer di leher.
1,13,14
Ada penulis yang menyatakan hampir 70 dari seluruh kista di leher adalah kista
duktus tiroglosus.
5,6
Kasus ini lebih sering terjadi pada anak-anak,
10,14
walau- pun dapat ditemukan di semua usia.
4,9,10,12
Predileksi umur terbanyak antara umur 0 – 20 tahun yaitu 52, umur sampai 5
tahun terdapat 38.
4,11
Sistrunk 1920 melaporkan 31 kasus dari + 86.000 pasien anak.
3
Tidak terdapat perbedaan risiko terjadinya kista berdasarkan jenis kelamin dan umur yang bisa
didapat dari lahir sampai 70 tahun, rata-rata pada usia 5,5 tahun.
3,5
Penulis lain mengatakan predileksi usia kurang dari 10 tahun sebesar 31,5, pada dekade ke dua 20,4, dekade ke
tiga 13,5 dan usia lebih dari 30 tahun sebesar 34,6.
1,5
Waddell mendapatkan 28 kasus kista duktus tiroglosus secara histologik dari 61 pasien yang diduga menderita kista
tersebut.
12
Tri D dkk melaporkan 8 kasus kista duktus tiroglosus dari 1983-1985 di RS Kariadi Semarang.
11
PATOGENESIS
Terdapat dua teori yang dapat menyebabkan terjadinya kista duktus tiroglosus :
1 infeksi tenggorok berulang akan merangsang sisa epitel traktus, sehingga mengalami degenerasi kistik.
2 sumbatan duktus tiroglosus akan mengakibatkan terjadinya penumpukan sekret sehingga membentuk kista.
Teori lain mengatakan mengingat duktus tiroglosus terletak di antara beberapa kelenjar limfe di leher, jika sering
terjadi peradangan, maka epitel duktus juga ikut meradang, sehingga terbentuklah kista.
1
LOKASI
Kista duktus tiroglosus dapat tumbuh di mana saja di garis tengah leher, sepanjang jalur bebas duktus tiroglosus mulai dari
dasar lidah sampai ismus tiroid.
11
Lokasi yang sering adalah
1,5
: - intra lingual
: 2,1 - suprahioid
: 24,1 - tirohioid
: 60,9 - suprasternal
: 12,9 Sedangkan Ward
4
mendapatkan dari 72 pasien dengan kista duktus tiroglosus, lokasinya terdapat di:
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 11
- submental : 2
- suprahioid : 18
- transhioid : 2
- infrahioid : 43
- suprasternal : 3
Hanlon mendapatkan 1 kasus kista duktus tiroglosus yang lokasinya jauh ke lateral.
8
GEJALA KLINIK
Keluhan yang sering terjadi adalah adanya benjolan di garis tengah leher, dapat di atas atau di bawah tulang hioid.
Benjolan membesar dan tidak menimbulkan rasa tertekan di tempat timbulnya kista.
Konsistensi massa teraba kistik, berbatas tegas, bulat, mudah digerakkan, tidak nyeri, warna sama dengan kulit
sekitarnya dan bergerak saat menelan atau menjulurkan lidah.
1,6,7,10
Diameter kista berkisar antara 2-4 cm, kadang- kadang lebih besar.
9
Bila terinfeksi, benjolan akan terasa nyeri. Pasien me- ngeluh nyeri saat menelan dan kulit di atasnya berwarna merah.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik; yang harus dipikirkan pada setiap benjolan di garis tengah leher.
Untuk fistula, diagnosis dapat ditegakkan menggunakan suntikan cairan radioopak ke dalam saluran yang dicurigai dan
dilakukan foto Rontgen.
2,6,11
Diagnosis Banding 1. Lingual tiroid
3. Kista brankial 2. Kista dermoid
4. Lipoma
1,11
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus bervariasi dan banyak macamnya, antara lain insisi dan drainase, aspirasi
perkutan, eksisi sederhana, reseksi dan injeksi dengan bahan sklerotik. Dengan cara-cara tersebut angka kekambuhan
dilaporkan antara 60-100. Schlange 1893 melakukan eksisi dengan mengambil korpus hioid dan kista beserta duktus-
duktusnya;dengan cara ini angka kekambuhan menjadi 20.
11
Sistrunk 1920 memperkenalkan teknik baru berdasarkan embriologi, yaitu kista beserta duktusnya, korpus hioid, traktus
yang menghubungkan kista dengan foramen sekum serta otot lidah sekitarnya kurang lebih 1 cm diangkat. Cara ini dapat
menurunkan angka kekambuhan menjadi 2-4 .
5,11
Cara Sistrunk : 1 Penderita dengan anestesi umum dengan tube endotrakea
terpasang, posisi terlentang, kepala dan leher hiperekstensi. 2 Dibuat irisan melintang antara tulang hioid dan kartilago
tiroid sepanjang empat sentimeter. Bila ada fistula, irisan ber- bentuk elips megelilingi lubang fistula.
3 Irisan diperdalam melewati jaringan lemak dan fasia; fasia yang lebih dalam digenggam dengan klem, dibuat irisan me-
manjang di garis media. Otot sternohioid ditarik ke lateral untuk melihat kista di bawahnya.
4 Kista dipisahkan dari jaringan sekitarnya, sampai tulang hioid. Korpus hioid dipotong satu sentimeter.
5 Pemisahan diteruskan mengikuti jalannya duktus ke foramen sekum. Duktus beserta otot berpenampang setengah
sentimeter diangkat. Foramen sekum dijahit, otot lidah yang longgar dijahit, dipasang drain dan irisan kulit ditutup
kembali.
5,11
KOMPLIKASI
Fistel duktus tiroglosus dapat timbul spontan atau sekunder akibat trauma, infeksi atau operasi yang tidak adekuat. Kejadi-
an fistel ini antara 15-34.
5
KESIMPULAN
Kista duktus tiroglosus merupakan kista yang terbentuk dari duktus tiroglosus yang tetap ada sepanjang alur penurunan
kelenjar tiroid. Kista ini merupakan 70 dari kasus kista yang ada di leher. Biasanya terletak di garis median leher yang dapat
ditemukan di mana saja antara pangkal lidah dan batas atas kelenjar tiroid.
Kasus ini lebih sering terjadi pada anak-anak, walaupun dapat ditemukan pada semua usia. Penatalaksanaan kista duk-
tus tiroglosus dengan cara Sistrunk yang sudah banyak dilaku- kan saat ini bertujuan untuk memperkecil angka kekambuhan.
KEPUSTAKAAN
1. Maran AGD. Benign diseases of the neck. Dalam : Scott-Brown’s Otolaryngology. 6
th
ed. Oxford : Butterworth - Heinemann, 1997; 5161- 4.
2. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher.
Edisi 13. Jilid 1. Alih Bahasa : Staf Pengajar Bag. THT FKUI. Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994; 295-6, 381-2.
3. Cohen JI. Massa Jinak Leher. Dalam Boies. Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi 6, Alih Bahasa : Wijaya C. Jakarta : EGC, 1996; 415-21. 4.
Karmody CS. Developmental Anomalies of the Neck. Dalam: Pediatric Otolaryngology. 2
nd
ed. Bluestone CD, Stool SE, Scheetz MD eds.. Philadelphia : WB Saunders Co, 1990; 1313-14.
5. Sobol M. Benign Tumors. Dalam : Comprehensive Management of Head
and Neck Tumors. Vol. 2. Thawley S, Panje WR eds.. Philadelphia : WB Saunders Co, 1987; 1362-69.
6. Montgomery WW. Surgery of the Upper Respiratory System. 2
nd
ed. Vol. II. Philadelphia : Lea Febiger, 1989; 88.
7. Colman BH. Disease of Nose, Throat and Ear and Head and Neck, A
Handbook for Students and Practitioners. 14
th
ed. Singapore : ELBS, 1987; 183.
8. O’Hanlon DM, Walsh N, Corry J et al. Aberrant thyroglossal cyst. J.
Laryngol. Otol. 1994; 108 : 1105-7. 9.
Pincu RL. Congenital Neck Masses and Cysts. Dalam : Head and Neck Surgery - Otolaryngology. Vol. 1. Bailey JB, Johnson JT, Kohut RI et al.
Philadelphia : JB Lippincott Co, 19; 755. 10. Ellis PDM. Branchial cleft anomalies, thyroglossal cysts and fistulae.
Dalam : Scott-Brown’s Otolaryngology. 6
th
ed. Oxford: Butterworth – Heinemann, 1997; 6308-12.
11. Damijanti T, Suparjadi S, Samsudin. Tata Laksana Kiste Duktus Tiroglosus di UPF THT RSDK Semarang Th. 1983 - 1985. Dalam :
Kumpulan Naskah Konas VI Perhati. Ujung Pandang. 1986; 760-7. 12. Waddell A, Saleh H, Robertson N et al. Thyroglossal duct remnants. J.
Laryngol. Otol. 2000; 114: 128-9. 13. Urben SL, Ransom ER. Fusion of the thyroid interval in a patient with a
thyroglossal duct cyst. Otolaryngol. Head and Neck Surg. 120 5: 757-9. 14. Greinwald JH, Leichtman LG, Simko MEJ. Hereditary Thyroglossal Duct
Cyst. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1996; 122: 1094-6.
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 12
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Rinosk le rom a
Delfitri Munir, Rizalina A Asnir, Firmansyah
Bagian SMF Telinga Hidung dan Tenggorokan-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan
ABSTRAK
Rinoskleroma merupakan penyakit endemik, di Indonesia terutama di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali.
Belum ada cara penanggulangan yang tepat dan memuaskan untuk penyakit ini sampai sekarang.
PENDAHULUAN
Rinoskleroma adalah penyakit yang jarang di Amerika Serikat dan Inggris, tapi endemik di beberapa negara di Asia,
Amerika, Eropa dan Afrika.
1-7
Di Indonesia, rinoskleroma telah dilaporkan sejak sebelum perang dunia ke dua. Kasus pertama ditemukan oleh Snigders
dan Stoll 1918 di Sumatera Utara.
2
Dilaporkan banyak terdapat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali.
1,8
Pengobatan meliputi medikamentosa, radiasi dan pem- bedahan, namun sampai sekarang belum ada cara tepat yang
memberikan hasil memuaskan.
6,8
Rinoskleroma adalah penyakit menahun granulomatosa yang bersifat progresif, mengenai traktus respiratorius bagian
atas terutama hidung. Penyakit ini ditandai dengan penyempit- an rongga hidung sampai penyumbatan oleh suatu jaringan
granulomatosa yang keras serta dapat meluas ke nasofaring, orofaring, subglotis, trakea dan bronkus.
Rinoskleroma disebabkan oleh bacilus gram negatif Klebsiella rhinoscleromatis.
1,8-10
Penyakit ini pertama kali digambarkan oleh Von Hebra 1870. Mikulitz menemukan sel-sel yang dianggap khas untuk
penyakit ini dan Von Frisch menemukan basil jenis Klebsiella yang dianggap sebagai penyebab penyakit ini.
2,8,9
Infeksi biasanya dimulai dari bagian anterior hidung se- bagai plak submukosa yang lembut, meluas secara bertahap
menjadi nodul padat yang tidak sensitif, dan dalam beberapa tahun akan mengisi dan menyumbat hidung. Bila tidak diterapi
akan meluas ke bibir atas dan hidung bawah sehingga me- nimbulkan deformitas yang luas.
8,10
Diagnosis berdasarkan perjalanan klinis dan pemeriksaan patologi spesimen yang memperlihatkan sel-sel Mikulicz yang
khas dan bakteri berbentuk batang dalam sitoplasma.
5,7
INSIDEN
Rinoskleroma dapat mengenai semua usia, tetapi sering pada dewasa muda.
1,2,9
Kebanyakan penderita ditemukan pada dekade dua dan tiga. Penyakit ini sering dijumpai pada sosial
ekonomi yang rendah, lingkungan hidup yang tidak sehat dan gizi yang jelek.
1,2
Belinoff melaporkan 94,5 terdapat pada golongan pekerja kasar seperti petani.
8
Fisher menyatakan tidak ada perbedaan yang nyata antara laki-laki dan perempuan.
8,9,11
Penyakit ini merupakan penyakit endemik di Polandia, Cekoslovakia, Rumania, Rusia, Ukraina, Guatemala, Salvador,
Kolumbia, Mesir, Uganda, Nigeria, India, Philipina dan Indonesia.
2-4,7,9,11,13-16
Di Indonesia banyak terdapat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali.
1,8
ETIOLOGI
Rinoskleroma disebabkan oleh Klebsiela rhinoskleromatis yang merupakan basil Gram negatif.
1-16
Penyakit ini juga di- hubungkan dengan AIDS dan defisiensi sel T.
2,7
HISTOPATOLOGI
Penyakit rinoskleroma adalah penyakit radang menahun granulomatosa dari submukosa dengan gambaran histo-
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 13
patologis yang khas, berupa hiperplasi dan hipertrofi epitel permukaan, jaringan ikat di bawah epitel berbentuk trabekula
dan di infiltrasi oleh sel-sel besar dengan vakuola pada sitoplasma. Sel-sel ini mempunyai inti di tepi dan di dalam
vakuola terdapat banyak basil berbentuk batang yang kemudian dikenal sebagai basil dari Von Frisch. Di samping itu terdapat
pula sebukan sel-sel plasma, limfosit dan histiosit.
Sel-sel besar dengan vakuola dan basil-basil tersebut kemudian dikenal dengan sel-sel dari Mikulicz. Sel-sel ini
menurut Fischer dan Hoffman penting dalam menegakkan diagnosis penyakit rinoskleroma. Toppozada mengemukakan
bahwa sel ini berasal dari sel-sel plasma yang banyak terdapat pada penyakit ini.
9
Secara histopatologis penyakit ini terdiri dari tiga stadia; yang menunjukkan gambaran khas adalah stadium granu-
lomatosa
2,9,12
1. Stadium kataral atropik Metaplasi skuamosa dan infiltrasi subepitel nonspesifik
dari sel PMN dengan jaringan granulasi. 2. Stadium
granulomatosa Gambaran diagnostik ditemukan pada stadium ini berupa
sel radang kronik, Russel body, hiperplasi pseudo epitelioma- tosa, histiosit besar bervakuola yang mengandung Klebsiella
rhinoskleromatis Mikulicz sel. 3. Stadium
sklerotik Fibrosis yang luas, yang menyebabkan stenosis dan kelain-
an bentuk. GEJALA KLINIS
Gejala tergantung pada area, perluasan dan lamanya penyakit.
1
Di hidung dapat dibedakan menjadi tiga stadium
1,2,8-11,14
: -
Stadium I Kataralis, Atrofi, Eksudasi Ditemukan pada usia sekolah. Gambaran penyakit pada
stadium ini tidak khas, sering seperti rinitis biasa. Dimulai dengan cairan hidung encer, sakit kepala,
sumbatan hidung yang berkepanjangan, kemudian diikuti cairan mukopurulen berbau busuk; dapat terjadi gangguan
penciuman. -
Stadium II Granulomatous, Infiltratif, Noduler Ditandai dengan hilangnya gejala rinitis. Terjadi pertum-
buhan yang disebut nodular submucous infiltration di mukosa hidung yang tampak sebagai tuberkel di permukaan hidung.
Lama-lama tuberkel ini bergabung menjadi satu massa noduler yang sangat besar, mudah berdarah, kemerahan, tertutup
mukosa dengan konsistensi padat seperti tulang rawan. Kemudian terjadi invasi, dapat ke arah posterior nasofaring
maupun ke depan nares anterior. -
Stadium III Skleromatous, Stenosis, Sikatrik Massa secara perlahan-lahan menjadi avaskuler dan terjadi
fibronisasi yang diikuti oleh adhesi struktur jaringan lunak, kontraksi jaringan yang akhirnya membentuk jaringan parut
dan penyempitan jalan nafas. Pada stadium ini sel-sel Mikulicz sulit ditemukan.
Proses yang sama dapat terjadi pada mulut, faring, laring, trakea dan bronkus.
Keluhan penderita sesuai dengan stadiumnya. Pada stadium I, hanya pilek yang tidak mau sembuh
dengan pengobatan biasa. Lebih lanjut rongga hidung mulai dipenuhi krusta yang menyebabkan hidung tersumbat dan
berbau busuk serta mukosa hidung menjadi kemerahan. Pada stadium II, di samping keluhan hidung tersumbat
juga sering terjadi perdarahan dari hidung. Pada stadium ini biasanya penyakit mudah dikenali. Dari pemeriksaan, kavum
nasi dipenuhi oleh jaringan yang mudah berdarah, kemerahan, konsistensi padat, permukaan licin tanpa ulkus. Pada stadium
ini penyakit mudah meluas sampai ke traktus respiratorius bagian bawah.
Stadium III adalah stadium yang sudah tenang dengan keluhan dan gejala dari sisa kelainan yang menetap akibat
proses sikatrisasi dan kontraksi konsentrik jaringan granu- lomatosa yang mengeras.
1,6,8,11
DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pe- meriksaan fisik yang meliputi : rinoskopi anteriorposterior,
laringoskopi indirekdirek dan bronkoskopi, ditambah dengan pemeriksaan penunjang seperti radiologi, bakteriologi,
histopatologi, serologi test komplemen fiksasi, test aglutinasi dan imunokimia.
1,2,7,810,14,15
Diagnosis Banding
2,7,13,15
1. Proses infeksi
granulomatosa a. Bakteri : Tuberkulosis, Sifilis, Lepra
b. Jamur : Histoplasmosis, Blastomikosis, Sporotrikosis, Koksidioidomikosis
c. Parasit : Leismaniasis mukokutaneus 2. Sarkoidosis
3. Wegener granulomatosis
PENATALAKSANAAN
Meliputi : medikamentosa, radiasi dan tindakan bedah; namun sampai sekarang belum ada cara yang tepat dan
memuaskan.
6,8
1. Medikamentosa Antibiotik sangat berguna jika hasil kultur positif, tetapi
kurang berharga pada stadium sklerotik. Antibiotik yang dapat digunakan antara lain:
- Streptomisin : 0,5-1 g hari
- Tetrasiklin : 1-2 g hari
- Rifampisin 450 mg hari
- Khloramphenikol, Siprofloksasin, Klofazimin
1,2,7- 10,11,13-15
Terapi antibiotik diberikan selama 4-6 minggu dan dilanjutkan sampai dua kali hasil pemeriksaan kultur negatif.
8
Rolland menggunakan kombinasi Streptomisin dan Tetra- siklin dengan hasil yang memuaskan.
9
Steroid dapat diberikan untuk mencegah sikatrik pada stadium granulomatosa.
3,10
2. Radiasi Terapi radiasi pernah diberikan oleh Massod, tetapi hasilnya
belum memuaskan.
8,11
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 14
3. Dilatasi Cara dilatasi dapat dicoba untuk melebarkan kavum nasi
dan nasofaring terutama bila belum terjadi sumbatan total.
1,9
4. Pembedahan Tindakan ini dilakukan pada jaringan skleroma yang ter-
batas di dalam rongga hidung, sehingga pengangkatan dapat dikerjakan dengan mudah secara intranasal. Jika terjadi
sumbatan jalan nafas seperti pada skleroma laring harus dilakukan trakeostomi.
1,4,7,9,10,13,14,16
KOMPLIKASI
Komplikasi dapat timbul akibat perluasan penyakit ke : 1. Organ sekitar hidung :
- Sinus paranasal
- Saluran lakrimal dakrioskleroma
- Orbita : proptosis, kebutaan
- Telinga bagian tengah otoskleroma
- Palatum mole,
uvula, orofaring
2. Laring, sering timbul di daerah subglotik yang meng- akibatkan kesukaran bernafas, asfiksia dan kematian.
3. Saluran nafas bawah: sumbatan trakeobronkial, atelektasis paru.
4. Intrakranial Di samping akibat perluasan penyakit, komplikasi dapat
juga timbul berupa perdarahan pada stadium granulomatosa dan berdegenerasi maligna.
1
KEPUSTAKAAN
1. Pranowo S, Ahmad M, Wiratno dkk. Rinoskleroma di RS. Dr. Kariadi
Semarang. Dalam Kumpulan naskah lengkap ilmiah KONAS VII PERHATI. Surabaya, Agustus. 1983; h 457-66.
2. httpwww.atlases.muni.ceatl-ensect-sect-58html. 3.
Hilger PA. Penyakit hidung. Dalam Boies ed. Buku Ajar penyakit THT. Ed VI. EGC. Jakarta, 1997. h 210.
4. Yigla M, Ben-izhak O, Oren I et al. Laryngotracheobronchial involvement in a patient with nonendemic rhinoscleroma. Chest. June
2000. httpwww.afip.orgdepartementsendocrinecasedec00december2 htm.
5. Wilson WR, Montgomery WW. Infectious disease of the paranasal sinuses. In: Otolaringology. Vol III. Ed III. USA: WB Saunders Co.
1991; p. 1851-52. 6.
Balenger JJ. Granuloma kronis pada muka, hidung, faring dan telinga. Dalam: Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Jilid I. ed
13. Binarupa Aksara. Jakarta, 1994; h 368-70. 7.
Groves C. Department of pathology. Vol 17. No 4. January. 1998. httpwww.162.129.103.32microv17n04.htm.
8. Suardana W, Masna PW, Tjekeg M dkk. Beberapa aspek penyakit rinoskleroma di bagian THT FK UNUD RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam : Kumpulan Naskah KONAS VI PERHATI. Medan, Juli. 1980; h 128-34.
9. Desasouza S, Chitale A. Scleroma. In XVI World Congress of Otorhinolaringology head and neck surgery. Vol 1. Monduzzi. Sydney:
March. 1997; p. 603-7. 10. Ramalingam KK, Sreemamoorthy B. Infections of the nose. In A Short
Practice of Otolaryngology. ed I India: All India Publishers. 1993; p. 208- 9.
11. Wein N. Infective rhinitis and sinusitis. In Scott-Brown’s Otolaryngol- ogy. Vol IV. Ed VI. Butterworth-Heinemann. Great Britain: 1997; h
4834-35 12. Rhinoscleroma httpwww.thedoctorsdoctor.comdiseasesrhinoscleroma.
htm 13. Colman BH. Diseases of the nasal cavity. In: Diseases of the nose, throat
and ear and head and neck. ed IV. Longman Singapore Publ. 1990; p. 40. 14. Fried MP, Shapiro J. Acute and chronic laryngeal infections. In
Otolaryngology. Vol III. Ed III. USA: WB Saunders Co. 1991; h 2245- 56.
15. Becker W, Nauman HH, Pfaltz CR. Ear, nose and throat diseases. Ed II. New York: Thieme medical publishers inc. 1993; p. 206-7.
16. Maran AGD. Benign Tumours and Granulomas in Nose, Throat and Ear. Ed X. PG Publishing. 1990; p. 61.
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 15
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
K a nk e r N a sofa ring
Epide m iologi da n Pe ngoba t a n M ut a k hir
R. Susworo
Guru Besar dan Spesialis Radiologi Konsultan Radioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Telah diketahui sejauh ini bahwa proses terjadinya penyakit kanker berlangsung dalam tahapan tahapan yang
disebut sebagai mekanisme karsinogenesis. Bermula dari terjadinya defek atau kesalahan letak susunan DNA dalam sel
manusia yang mengakibatkan tidak terkontrolnya mekanisme pertumbuhan sel. Sel akan tumbuh tidak normal dan
berlebihan. Berbagai faktor telah diketahui atau dicurigai sebagai penyebab terjadinya kekacauan struktur ini. Antara lain
disebutkan faktor makanan, seperti konsumsi lemak yang terlalu tinggi, pola hidup, seperti perokok berat, faktor
eksternal seperti sinar ultraviolet dan sinar radioaktif, pajanan pada bahan kimia atau oleh virus. Berbagai kekacauan struktur
ini telah dapat diidentifikasi oleh para pakar, misalnya kelainan pada struktur gen BRCA1 dan BRCA2 selalu diasosiasikan
dengan kanker payudara atau indung telur ovarium, atau gen HLA A2B46 pada pasien kanker nasofaring. Perubahan genetik
ini mengakibatkan proliferasi sel sel kanker secara tidak terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar
akibat mutasi, putusnya kromosom chromosome breaks dan delesi pada sel sel somatik. Sebagian lagi bersifat diturunkan
Adakalanya manifestasi kanker ini memerlukan pula pemicu, terutama pada kelainan struktur gen yang diturunkan.
KANKER NASOFARING KNF
Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang terletak posterior dari kavum nasi dan di atas bagian bebas dari
langit langit lunak. Yang disebut KNF adalah kanker yang terjadi di selaput lendir daerah ini, tepatnya pada cekungan
Rosenmuelleri dan tempat bermuaranya saluran Eustachii yang menghubungkan liang telinga tengah dengan ruang faring.
Angka kejadian KNF di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk
1
. Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa KNF menduduki
urutan ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit. Tetapi seluruh bagian THT telinga hidung
dan tenggorokan di Indonesia sepakat mendudukan KNF pada peringkat pertama penyakit kanker pada daerah ini. Dijumpai
lebih banyak pada pria daripada wanita dengan perbandingan 2-3 orang pria dibandingkan 1 wanita.
Apabila kita melihat distribusi penyakit ini di seluruh dunia, maka KNF paling banyak dijumpai pada ras Mongol, di
samping Mediteranian, dan beberapa ras di Afrika bagian utara. Di Hongkong tercatat sebanyak 24 pasien KNF per tahun per
100.000 penduduk, sedangkan angka rata rata di Cina bagian selatan berkisar antara 20 per 100.000.
2
Bandingkan dengan negara Eropa atau Amerika Utara yang mempunyai angka
kejadian 1 per 100.000 penduduk per tahun.
3
Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai
mengidap penyakit ini. Berbagai studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal.
Salah satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian KNF pada para migran dari daratan Tiongkok yang
telah bermukim secara turun temurun di China town pecinan di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang
bermakna dalam terjadinya KNF antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang
terdiri atas orang kulit putih Caucasians, kulit hitam dan Hispanics, dimana kelompok Tionghoa menunjukkan angka
kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih
tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya KNF pada kelompok migran
tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang ‘memudahkan’
untuk terjadinya KNF, tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini
dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi
Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan diasap, diasin, bahkan konon kabarnya seorang
bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan
yang diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 16
Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu boat people yang menggunakan kayu
sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari
negaranya.
Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang dikenai adalah masya-
rakat keturunan Tionghoa 18,5 per 100.000 penduduk, disusul oleh keturunan Melayu 6,5 per 100.000 dan terakhir adalah
keturunan Hindustan 0,5 per 100.000.
4
Dijumpainya Epstein-Barr Virus EBV, yang dinamai sesuai dengan penemunya, Epstein dan Barr pada limfoma
Burkitt pada 1960, pada hampir semua kasus KNF telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus
tersebut. Pada 1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG
terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun
virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi
orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk
menimbulkan proses keganasan.
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, KNF tidak pernah dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan
minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Adanya
hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam
jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton Cantonese-style
salted fish. Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa
bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.
5
Peneliti lainnya mencoba menghubungkannya dengan makanan yang diawetkan menggunakan garam lainnya seperti
udang asin, telur asin. Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu kayu serta
asap kayu bakar.
Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami Chinese herbal medicine= CHB. Hildesheim dkk
memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB
6
. GEJALA KLINIS KNF
Karena tidak ada gejala spesifik yang dijumpai pada
penderita KNF, terlebih pada stadium dini, banyak kasus yang terlambat didiagnosis. Berbeda halnya dengan kanker leher
rahim dan kanker payudara yang masing-masing dapat terdeteksi dengan metode pemeriksaan sitopatologik
Papanicolaou dan mamografi; sampai saat ini belum ada metode penyaring yang paling efektif untuk deteksi dini KNF.
Pemeriksaan titer antibodi IgA terhadap antigen yang diproduksi oleh virus Epstein Barr ternyata hanya bernilai
untuk mengevaluasi respons dan kemungkinan terjadinya kekambuhan.
Pada awalnya pasien mengeluh pilek pilek biasa, kadang kadang disertai dengan rasa tidak nyaman di telinga,
pendengaran sedikit menurun serta mendesing. Lendir dari hidung dapat disertai dengan perdarahan yang berulang. Pada
keadaan lanjut hidung akan menjadi mampet sebelah atau keduanya. Penjalaran tumor ke selaput lendir hidung dapat
mencederai dinding pembuluh darah daerah ini dan tentunya akan terjadi perdarahan dari hidung mimisan. Keluhan telinga
dapat diterangkan sebagai akibat penyumbatan muara saluran Eustachii yang berfungsi menyeimbangkan tekanan dalam
ruang telinga tengah dan udara luar. Pembesaran kelenjar leher merupakan pertanda penyebaran KNF ke daerah ini yang tidak
jarang didiagnosis sebagai tuberkulosis kelenjar. Pemberian pengobatan terhadap pembesaran kelenjar yang dianggap tbc
tanpa pemeriksaan yang benar tentunya akan sangat merugikan penderita secara moril maupun materiil mengingat pengobatan
tbc memerlukan waktu yang lama. Manakala pasien merasa bahwa kelenjar leher menjadi makin besar, maka dapat
dipastikan bahwa penyakitnya telah menjadi kian lanjut. Keterlambatan diagnosis lain yang pernah terjadi adalah karena
kegagalan mencari penyebab keluhan sakit kepala yang terus menerus. Kegagalan tersebut terjadi antara lain karena
pemeriksaan CT scan MRI dilakukan hanya pada jaringan otak saja, padahal nyeri kepala yang timbul dapat merupakan
akibat desakan tulang dasar tengkorak oleh tumor. Yang selanjutnya terjadi biasanya pasien ini akan memperoleh
pengobatan nyeri kepala dalam jangka panjang dan pemeriksaan berulang ulang terhadap otaknya sampai akhirnya
muncul salah satu gejala akibat KNF.
Selain mendesak dasar tengkorak KNF juga seringkali menyerang saraf pusat yang keluar dari otak. Saraf yang paling
sering dikenai adalah saraf penggerak bola mata, akibatnya terjadi kelumpuhan bola mata yang mengakibatkan pasien
mengeluh penglihatan ganda diplopia dan pada pemeriksaan tampak bola mata yang juling. Selain gangguan motorik,
keluhan sensorik yang sering timbul adalah rasa baal di wajah.
Untuk menegakkan diagnosis, selain gambaran keluhan dan gejala seperti yang diuraikan di atas juga diperlukan
pemeriksaan klinis dengan melihat secara langsung dinding nasofaring dengan alat endoskopi, CT scan atau MRI
nasofaring dan sekitarnya serta pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti adalah pemeriksaan histopatologik jaringan
nasofaring. Sedangkan pemeriksaan lain, seperti foto paru, USG hati, pemindaian tulang dengan radioisotop bone
scanning dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya metastasis di organ-organ tersebut. Adanya metastasis dimana-
pun akan mengubah stadium penyakit dan mempunyai konskuensi terhadap tujuan pengobatan.
PENGOBATAN
Sampai dengan saat ini dasar pengobatan KNF yang masih terbatas pada daerah kepala dan leher adalah terapi
radiasi. Kombinasi pengobatan dengan khemoterapi diperlukan apabila kanker sudah tumbuh sedemikian besarnya sehingga
menyulitkan tindakan radioterapi. Di samping itu pemberian khemoterapi diharapkan dapat meningkatkan kepekaan
jaringan tumor terhadap radiasi serta membunuh sel sel kanker
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 17
yang sudah berada di luar jangkauan radioterapi. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat
menggunakan pesawat kobalt Co
60
atau dengan akselerator linier Linear Accelerator atau Linac. Radiasi ini ditujukan
pada kanker primer di daerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas,
bawah serta klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai
pembesaran kelenjar.
Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi ke dalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan
guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cedera yang serius pada jaringan sehat di
sekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus kasus yang telah memperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi
masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.
Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada
daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT Intensified
Modulated Radiation Therapy telah digunakan di beberapa negara maju. Bahkan saat ini Malaysia dan Filipina telah
memilikinya.
Penatalaksanaan pembedahan tidak mempunyai peranan pada KNF mengingat lokasi tumor yang melekat erat pada
mukosa dasar tengkorak. EFEK SAMPING PENGOBATAN
Radiasi pada daerah kepala dan leher khususnya nasofaring mau tidak mau akan mengikutsertakan sebagian
besar mukosa mulut dan kelenjar parotis. Akibatnya dalam keadaan akut akan terjadi efek samping pada mukosa mulut
berupa mukositis yang dirasa pasien sebagai nyeri telan, mulut kering dan hilangnya cita rasa taste. Keadaan ini seringkali
diperparah oleh timbulnya infeksi jamur pada mukosa lidah serta palatum. Setelah radiasi selesai maka efek samping akut
di atas akan menghilang dengan pengobatan simptomatik. Akibat kelenjar parotis terkena radiasi dosis tinggi terjadilah
disfungsi berupa menurunnya alir saliva yang akan diikuti dengan kekeringan pada mukosa mulut xerostomia. Bila
saliva yang mempunyai fungsi antara lain mempertahankan pH mulut di angka netral dan ikut serta dalam membersihkan sisa
sisa makanan ini berkurang, karies gigi akan lebih mudah terjadi.
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama pengobatan, bahkan setelah selesai
terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi,
memberikan informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar.
PENUTUP
Sekalipun KNF tidak selalu memberikan gejala yang spesifik, dianjurkan untuk tidak meremehkan gejala gejala
seperti yang diutarakan di atas. Berkonsultasi ke dokter keluarga atau langsung ke dokter spesialis THT merupakan
tindakan yang tepat.
Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil pengobatan yang
memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan hasil pengobatan paliatif yang cukup baik
sehingga diperoleh kualitas hidup pasien yang baik pula. Lihat lampiran halaman 19.
KEPUSTAKAAN
1. Soetjipto D, Fachrudin D, Syafril A. Nasopharyngeal carcinoma in Dr.
Cipto Mangunkusumo General Hospital. In : Tjokronagoro A, Himawan S, Yusuf A, Azis MF, Susworo, Djakaria M. Eds. Cancer in Asia and
Pacfic. YKI. Jakarta Indonesia 1988; p. 471–86. 2.
Yu MC, Henderson BE. Nasopharyngeal cancer. In: Schottenfeld D and Fraumeni JF eds. Cancer epidemiology and prevention. 2
nd
. ed. N. York: Oxford University Press, 1996; p. 603 –18.
3. Parkin DM, Pisani P, Ferlay J. Estimates of the world-wide incidence of
25 major cancers in 1990. Int J Cancer; 1990; 80: 827–41. 4. Parkin DM, Whelan SL, Ferlay J, Raymond L, Young J. Cancer
Incidence in Five Continents. Vol. 7, Lyon, France : IARC Scient. Publ. No. 143. IARC Press, 1997.
5. Yu MC, Ho JHC, Ross RK, Henderson BE. NPC in Chinese – Salted fish
or inhaled smoke? Prev Med. 1981; 10: 15-24. 6.
Hildesheim A et al. Herbal medicine use, Epstein Barr virus, and risk of nasopharyngeal carcinoma. Cancer Res. 1992; 52: 3048 –51.
The flame of glory is the torch of the mind
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 18
LAMPIRAN :
Gambar 1. Pasien dengan pembesaran kelenjar getah bening leher yang
ternyata merupakan metastasis dari KNF
Gambar 2. Alat Radiasi Eksterna Linear Accelerator
Gambar 3. Masker yang digunakan oleh setiap pasien kanker kepala-leher yang sedang memperoleh radiasi. Alat bantu ini berguna untuk fiksasi kepala.
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 19
HASIL PENELITIAN
Pola Se nsit ivit a s K um a n da ri I sola t H a sil U sa p T e nggorok
Pe nde rit a T onsilofa ringit is Ak ut t e rha da p Be be ra pa Ant im ik roba
Be t a la k t a m di Pusk e sm a s J a k a rt a Pusa t
Retno Gitawati, Ani Isnawati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK
Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di Indonesia, terutama infeksi saluran pernafasan akut ISPA baik infeksi saluran pernafasan atas maupun infeksi
saluran pernafasan bawah. Terapi antimikroba digunakan bila infeksi disebabkan oleh bakteri kuman; salah satu mikroba terpilih adalah antimikroba golongan betalaktam.
Untuk mengetahui sensitivitas kuman isolat usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam, dilakukan penelitian “Pola sensitivitas kuman hasil usap tenggorok
penderita tonsilo-faringitis akut terhadap Antimikroba Betalaktam di Puskesmas Jakarta Pusat”.
Metoda penelitian cross-sectional, dilakukan terhadap 83 pasien tonsilo-faringitis akut pengunjung dua puskesmas di Jakarta Pusat pada bulan September 1999 sampai
bulan Nopember 1999. Pemeriksaan isolat dan sensitivitas kuman terhadap anti- mikroba dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FK-UI.
Ditemukan 132 kuman yang terdiri dari 12 spesies. Lima spesies terbanyak adalah: Streptococcus viridans 54,2, Branhamella catarrhalis 22,9 , Streptococcus
β- hemolyticus 6,11, Streptococcus pneumoniae 3,82 dan Streptococcus non-
hemolyticus 3,82. Penurunan sensitivitas kuman-kuman Streptococcus viridans, Branhamella catarrhalis, Streptococcus
β-hemolyticus, Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus nonhemolyticus terutama terhadap antimikroba Cephradin berturut–turut
adalah 73,3 ; 53,52; 87,5; 40 dan 80. Penurunan sensitivitas kuman Branhamella catarrhalis terhadap Antimikroba Penisilin G adalah 30, sedangkan
kuman Streptococcus pneumoniae dan Klebsiella pneumoniae terhadap antimikroba Ceftriaxone 20.
Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah terhadap Cephradin, yakni sebesar 68.04.
Kata kunci : Tonsilo-faringitis, Betalaktam, Streptococcus sp, B.catarrhalis
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia; terutama
infeksi pernapasan akut ISPA, baik infeksi saluran per- napasan atas maupun bagian bawah. Hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga SKRT tahun 1997 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA untuk usia 0-4 tahun 47,1 , usia 5-15 tahun
29,5 dan dewasa 23,8 . serta lebih dari 50 penyebabnya
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 20
adalah virus
1
. Infeksi sekunder bakterial pada ISPA dapat terjadi akibat komplikasi terutama pada anak dan usia lanjut,
dan memerlukan terapi antimikroba. Beberapa kuman pe- nyebab komplikasi infeksi ISPA yang pernah diisolasi dari
usap tenggorok antara lain Streptococcus, Staphylococcus, Klebsiella, Branhamella, Pseudomonas, Escherichia, Proteus,
dan Haemophillus
2
, dan untuk mengatasinya seringkali di- gunakan antimikroba golongan betalaktam, makrolida, dan
kotrimoksazol
4
. Antimikroba golongan betalaktam, yakni golongan
penisilin dan sefalosporin, termasuk jenis antimikroba yang diduga paling banyak diberikan untuk infeksi saluran napas,
dan sejauh ini belum banyak diketahui status sensitivitasnya, khususnya terhadap kuman penyebab ISPA.
Untuk maksud tersebut telah dilakukan uji sensitivitas kuman yang diisolasi dari usap tenggorok penderita ISPA,
terhadap antimikroba golongan betalaktam.
BAHAN DAN CARA
Desain uji adalah studi kasus cross sectional, dengan sampel usap tenggorok penderita infeksi tonsilofaringitis yang
berobat di dua puskesmas di wilayah Jakarta Pusat, yang memiliki angka kesakitan ISPA tertinggi di wilayah tersebut
pada triwulan pertama tahun 1999. Jumlah subyek sebanyak 83 penderita, dengan rentang usia antara 5 – 65 tahun, dan
memenuhi kriteria inklusi sebagai penderita tonsilofaringitis akut dengan gejala klinik: demam tinggi sampai 40
C, sakit menelan, tonsil membesar dan merah dengan tanda-tanda
detritus, batuk, hiperemis, kadang-kadang disertai folikel bereksudat. Semua subyek telah menyatakan kesediaannya
mengikuti penelitian ini dengan menandatangani informed consent, dan belum pernah mendapatkan antibiotika selama
sakit.
Spesimen usap tenggorok dikumpulkan dalam media transport dan dilakukan uji sensitivitas di Laboratorium Mikro-
biologi FK-UI. Kultur dan isolasi kuman dilakukan dengan menggunakan media perbenihan agar darah dan agar coklat
pada suhu 37 C selama 24 jam. Identifikasi dilakukan berdasar-
kan morfologi koloni, sifat hemolisis agar darah, fermentasi karbohidrat, dan uji-uji khusus lainnya. Kuman hasil isolasi
diuji sensitivitasnya dengan metoda cakram Kirby-Bauer pada media Mueller-Hinton, terhadap beberapa antimikroba golong-
an betalaktam, yakni dengan mengukur zona hambatan.
HASIL
Sejumlah 132 kuman yang terdiri atas 12 spesies Gram positif dan Gram negatif berhasil diisolasi dan diidentifikasi
dari 83 sampel usap tenggorok penderita tonsilofaringistis, Tabel 1.
Enam jenis kuman terbanyak yang berhasil diisolasi dari spesimen usap tenggorok berturut-turut adalah: Streptococcus
viridans 54.2, Branhamella catarrhalis 22.9, Streptococcus
β-haemolyticus 6.11, Streptococcus pneumoniae 3.82, Streptococcus non-haemolyticus
3.82 dan Klebsiella pneumoniae 3.05. Isolat-isolat kuman yang didapat tersebut kemudian diuji sensitivitasnya
terhadap antimikroba betalaktam, dan hasilnya menunjukkan profil resistensi Tabel 2.
Tabel 1. Frekuensi distribusi jenis kuman dari 83 spesimen usap tenggorok
No. Jenis spesies kuman
Jumlah
1. Streptococcus viridans
71 54.2 2.
Branhamella catarrhalis 30 22.9
3. Streptococcus
β-haemolyticus 8 6.11
4. Streptococcus pneumoniae
5 3.82 5.
Streptococcus non-haemolyticus 5 3.82
6. Klebsiella pneumoniae
4 3.05 7.
Acinobacter spp. 2 1.53
8. Yeast ragi
2 1.53 9.
Staphylococcus aureus 2 1.53
10. Alkaligenes dispar
1 0.76 11.
Pseudomonas aeruginosa 1 0.76
12. Staphylococcus epidermidis
1 0.76 Jumlah
132 100
Terhadap hasil uji sensitivitas berbagai spesies kuman ter- hadap antimikroba betalaktam di atas dapat dilakukan peng-
hitungan total resistensi antimikroba Soebandrio 2000, dengan cara atau rumus sebagai berikut:
R total antimikroba “A” = kuman “X” x R antimikroba “A” terhadap kuman “X”100 + kuman
“Y” x R antimikroba “A” terhadap kuman “Y”100 + kuman “Z” x R antimikroba “A” terhadap kuman
“Z”100.
R = resistensi
Hasil penghitungan total resistensi berbagai kuman
tersebut di atas terhadap antimikroba betalaktam Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan total resistensi tertinggi kuman-
kuman usap tenggorok adalah terhadap antimikroba Cefradin, yakni sebesar 68.04, sedangkan terhadap Penisilin-G dan
amoksisilin total resistensi kuman relatif rendah, berturut-turut 9.93 dan 5.35.
Sebagian besar kuman Gram positif dan negatif dari isolat usap tenggorok tersebut masih cukup sensitif terhadap
antimikroba betalaktam, kecuali terhadap Cefradin.
DISKUSI
Hasil usap tenggorok mendapatkan 12 jenis kuman yang mencakup kuman gram negatif dan kuman gram positif.
Kuman yang terbanyak ditemukan adalah S. viridans sebanyak 54.2 ; berbeda dengan yang dilaporkan Sugito
8
yaitu sebanyak 25 dan Hartono
9
mendapatkan kuman tersebut 31,43 pada penderita infeksi saluran pernafasan atas. Untuk
kuman S. B hemolyticus diperoleh 6,4 , hampir sama dengan yang ditemukan Suprihati dkk
6
sebanyak 4,46 , tetapi berbeda dengan yang ditemukan oleh Sugito
8
sebanyak 25 dan mirip dengan yang ditemukan Hartono
9
25,71 . Kuman ini merupakan kuman yang dicurigai sebagai penyebab
endokarditis. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004
21
Tabel 2. Profil resistensi isolat kuman usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam resistensi antimikroba
Isolat kuman Isolat kuman
PeG Amx Sulb Cefoti Ceftri Cefota Cefpi
Cefep Cefrad
S. viridans 54.2 2.82
2.82 0 1.41
4.23 4.23 0 0
73.33 B. catarrhalis
22.9 30.0 0 0 0 3.33
3.33 3.33 0
53.52 S.
β-haemolyticus 6.11 0
87.5 S. pneumoniae
3.82 0 20.0
20.0 40.0
S. non-haemolyticus 3.82 0
80.0 K. pneumoniae
3.05 0 20
100 Acinobacter spp.
1.53 0 50
Yeast ragi 1.53 100
100 100
100 100
100 100
100 100
S. aureus 1.53 0
50 Alkaligenes spp.
0.76 0 100
100 100
P. aeruginosa 0.76 0
100 100
100 S. epidermidis
0.76 0 Keterangan:
PeG= Penisilin-G; Amx = Amoksisilin; ; Sulb = Sulbenislin; Cefoti = Cefotiam; Ceftri = Ceftriakson; Cefota = Cefotaksim; Cefpi = Cefpirome; Cefep = Cefepime; Cefrad = Cefradin.
Tabel 3.
Total resistensi isolat kuman usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam
No. Antimikroba
total resistensi
1. Cefradin 68.04
2. Penisilin-G 9.93
3. Ceftriakson 6.87
4. Cefotaksim 5.57
5. Amoksisilin 5.35
6. Cefotiam 3.05
7. Cefpirome 2.52
8. Sulbenisilin 2.29
9. Cefepime 1.53
Total resistensi tertinggi kuman isolat tenggorok adalah terhadap Cefradin sebesar 68,04 , diikuti oleh Penicillin G
dan Ceftriakson. Antimikroba Cefradin merupakan antimikroba golongan sefalosporin generasi I dan banyak digunakan secara
oral untuk penderita infeksi saluran pernafasan sehingga mungkin sudah banyak terjadi resistensi. Penulisan resep oleh
dokter umum di United Kingdom UK tahun 1998
10
untuk infeksi saluran pernafasan adalah antimikroba penisilin
spektrum luas sebanyak 53,2 , makrolid 15 , penisilin spektrum sedang dan sempit 13,0 , sefalosporin 7,7 .
Tahun 1997 pasar dunia antibiotik mencapai US 12 miliar dengan jumlah peresepan 818 juta untuk infeksi saluran
pernafasan akut dan sebagian besar antibiotik yang digunakan di rumah sakit berturut - turut adalah Golongan B Laktam,
Makrolid dan Fluorokuinolon. Di Indonesia untuk infeksi pernafasan akut tonsilitis dan faringitis sebagai standar
pengobatan di puskesmas penisilin G masih merupakan pilihan ke empat setelah eritromisin, amoksisilin dan ampisilin
2
. Resistensi kuman S.viridans dan S. aureus terhadap Penisilin G
dari hasil penelitian Josodiwondo 1996 sebesar 3,7 dan 96,8 sedangkan dari penelitian Trihendrokesowo dkk 1986
sebesar 3,2 dan 66,7 ; tidak jauh berbeda dengan resistensi kuman S.viridans yang diperoleh penelitian ini yaitu 2,82 ,
namun berbeda dengan hasil resistensi kuman S. aureus 0 . Golongan penisilin masih cukup ampuh untuk mengatasi
bakteri gram positif, tetapi akhir-akhir ini banyak dilaporkan bakteri yang resisten terhadap antimikroba golongan penisilin
bahkan juga terhadap golongan sefalosporin, karena mampu menghasilkan enzim betalaktamase. Untuk mengatasi bakteri
gram negatif tampaknya penisilin, bahkan sefalosporin sudah berkurang kemampuannya, kecuali sefalosporin generasi ke
tiga
11,12.
.Penggunaan yang tidak rasional misalnya pemakaian berlebihan akan mempercepat resistensi, selain itu dapat terjadi
resistensi silang antar golongan maupun dalam satu golongan. Test kepekaan tidak selalu akurat untuk memprediksi ke-
sembuhan; sering tidak ada korelasi antara konsentrasi ham-bat minimum MIC kuman dan kesembuhan. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa 81 penderita sembuh jika terinfeksi bakteri yang sensitif, akan tetapi 9 penderita meninggal
dunia; sedangkan bila terinfeksi bakteri yang resisten dapat menaikkan rata-rata kematian sebesar 17 p 0,05
10
. KESIMPULAN
Ditemukan 132 kuman terdiri dari 12 spesies, lima kuman terbanyak adalah : Streptococcus viridans 54,2, Branhamella
catarrhalis 22,9 , Streptococcus β-hemolyticus 6,11,
Streptococcus pneumoniae 3,82 dan Streptococcus non- hemolyticus 3,82. Penurunan sensitivitas kuman-kuman
Streptococcus terjadi terhadap antimikroba Cephradin berturut– turut adalah 46,48; 26,67; 12,5; 60 dan 20. Penurun-
an sensitivitas kuman Branhamella catarrhalis terhadap Penisilin G adalah 70, sedangkan kuman Streptococcus
pneumoniae terhadap antimikroba Ceftriaxone 80.
Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah terhadap Cephradin, yakni sebesar 68.04.
KEPUSTAKAAN
1. Abdoerachman H, Fachrudin D., Infeksi Campuran Aerob dan Anaerob
di Bidang THT. MKI 4 23: 56-60. 2.
Dirjen Binkesmas. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas Berdasar- kan Gejala, Departemen Kesehatan R I. 1996.
3. Josodiwondo S. Perkembangan Kepekaan Kuman terhadap Antimikroba
Saat Ini. MKI 1996; 469: 467-76. 4.
Dwiprahasta I. Inappropriate use of antibiotics in treatment of acute respiratory infections for the under five children among general
practitioners. Berkala Ilmu Kedokteran 1997 . 5. Trihendrokesowo
dkk. Macam
Kuman dari pelbagai bahan pemeriksaan
di Yogyakarta dan Pola Kepekaannya terhadap Beberapa Antibiotik. MKI 1987; 2 1: 6-12.
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 22