c. Golongan Syafi’iyah mengatakan tidak ada batasan waktu bagian pengasuhan.
Sesungguhnya anak kecil berhak memilih antar ayah dan ibunya dan siapa yang dipilih olehnya, maka dialah yang berhak atasnya.
d. Golongan Hanabilah mengatakan bahwa masa hadanah baik laki-laki maupun
perempuan yang berumur 7 tahun
23
. Tetapi jika anak berumur 7 tahun dan kedua orang tuanya sepakat agar salah satu dari mereka yang mengasuhnya, maka
dibolehkan. Dan jika keduanya berselisih maka anak disuruh memilih. Didalam KHI pasal 98 ayat 1 dijelaskan bahwa batas usia anak untuk
mendapatkan pemeliharaan adalah sampai ia mampu berdiri sendiri atau dewasa 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan perkawinan.
5. Hak dan Kewajiban memberi Nafkah Hadanah
Dalam pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian antara suami isteri, maka ibulah yang paling berhak mengasuhnya. Hal ini ditentukan dalam pasal 156 a
KHI yaitu akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hak hadanah dari ibunya.
Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 41 a disebutkan bahwa “ Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai pengasuhan anak pengadilan memberi keputusannya”.
23
M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985, cet.2, h.82
Para imam mazhab sepakat bahwa hak memelihara ada pada ibu selama ibu belum bersuami lagi, tetapi bila ia telah bersuami lagi dan sudah disetubuhi, maka
gugurlah hak untuk memelihara anaknya. Jika terjadi perbedaan pendapat tentang pemeliharaan anak maka undang-undang menyerahkan kebijaksanaan dan keputusan
pada hakim dengan pedoman bahwa kemaslahatan anak harus diutamakan
24
. Meskipun yang berhak memlihara anak adalah ibu, namun dalam hal biaya
pemeliharaan anak nafkah hadanah tetap menjadi kewajiban ayah menurut kemampuannya, sebagaimana dalam al-Quran disebutkan dalam surat al-Baqarah
ayat 233 yang artinya : “ ….dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian pada ibu dan anak dengan
cara yang makruf…”
Maksud dari ayat tersebut telah berlaku dan diterapkan dalam KHI pasal 156 d dan f yaitu : Akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian ialah d semua
biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah sesuai dengan kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat berdiri
sendiri. f Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak turut
padanya. Sebagaimana dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 45
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya
24
Ramulio, Hukum Perkawinan Islam, 185-186
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu
kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Dan dalam KHI Pasal 80 d Sesuai dengan penghasilan suami menanggung : 1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri
2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak 3. Biaya pendidikan anak.
Dan dalam membangun keluarga tidak akan tercapai keluarga yang bahagia tanpa tercukupnya nafkah. Dan hal ini merupakan kewajiban suami sebagai kepala
keluarga, meskipun telah terputus perkawinannya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat an-Nisa ayat 34 :
☺ ☺
⌧
☺ ⌧
☺ ⌧
⌧ ⌧
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang
lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri, ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
Dari ayat diatas Imam ash-Shabuni menyatakan bahwa kaum pria memiliki
wewenang untuk mengeluarkan perintah maupun larangan yang wajib ditaati oleh para wanita istri-istrinya serta memiliki kewajiban untuk memberikan belanja
nafkah dan pengarahan sebagaimana kewajiban seorang wali penguasa atas rakyatnya
25
. karena itu suami harus menyadari kewajiban dan tanggung jawabnya dalam
memenuhi nafkah untuk isteri dan anak-anaknya. Maka suami hendaknya berusaha sekuat tenaga, agar dapat mencukupi nafkah bagi isteri dan anak-anaknya dengan
nafkah yang halal dan diperoleh dengan jalan yang diridhoi Allah SWT. Suami tidak pantas jika berpangku tangan dan tidak selayaknya berlaku kikir terhadap orang yang
menjadi tanggung jawabnya.
25
‘Ali ash-Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafâsîr, hlm. 273
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN