Pelaksanaan Pembayaran Nafkah Iddah Yang Diakibatkan Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

ROHMAD HERI TRICAHYO NIM : 109044100035

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

iv Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.


(5)

v

ABSTRAK

ROHMAD HERI TRI CAHYO. 109044100035. Pelaksanaan Pembayaran Nafkah Iddah yang Diakibatkan Putusan Pengadilan Agama Cikarang. Peradilan Agama. Ahwal as-Syakhsiyyah. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014. xi+ 98+ 80.

Pasal 149, Bilamana perkawinan putus karena cerai talak maka bekas suami wajib: a) Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul; b) Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba`in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Banyak suami yang pergi begitu saja karena tidak mau membayar kewajiban nafkah iddah tersebut akibatnya putusan menjadi sia-sia. Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang dalam menentukan pembayaran nafkah iddah harus memberikan upaya dalam menjamin pelaksanaan pembayaran nafkah iddah yang diakibatkan putusan pengadilan tersebut agar putusan yang dikeluarkan memenuhi asas kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara

Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk menjelaskan apa pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Cikarang dalam memutuskan perkara nafkah iddah. Kemudian untuk menjelaskan bagaimana pelaksanaan putusan dan upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya pembayaran nafkah iddah.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dengan jenis penelitian kualitatif atau penelitian lapangan. Sumber data untuk mendeskripsikan masalah utama adalah umber data primer (penelitian lapangan) dan sumber data sekunder (studi kepustakaan).Teknik pengumpulan data dengan cara dokumentasi, wawancara, dan observasi. Metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan Atas permasalahan yang dibahas adalah melalui Pendekatan kualitatif.

Nafkah iddah adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seorang suami kepada isteri yang telah diceraikannya untuk memenuhi kebutuhannya, baik itu berupa pakaian, makanan maupun tempat tinggal. Dasar hukum dalam penetapan nafkah iddah menggunakan pasal 149 (b) KHI, kemudian jumlah nafkah yang dikabulkan berdasarkan permintaan isteri dan kesanggupan pihak suami. Pelaksanaan putusan nafkah iddah dialakukan pada saat sidang ikrar talak. Upaya yang dilakukan Pengadilan Agama Cikarang dengan cara pendekatan persuasif dan diambil kesepakatan antara pihak yang berperkara.

Kata kunci : Perceraian, Putusan, Iddah, Nafkah, Pelaksanaan. Pembimbing : Dr. Asmawi, MA


(6)

vi

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pembimbing umat, Muhammad Rasulullah Saw, bagi keluarganya, para sahabatnya, dan pengikutnya sebagai suri tauladan yang baik bagi kita semua.

Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis, juga dengan penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul PELAKSANAAN PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH YANG DIAKIBATKAN PUTUSAN

PENGADILAN AGAMA CIKARANG TAHUN 2013 tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil.

Seperti juga perjalanan studi yang penulis lalui dari awal hingga akhir, tidak ada pekerjaan yang sukses dilalui dalam kesendirian. Dibalik keberhasilan selalu ada lingkaran lain yang memberikan semangat, motivasi bimbingan serta doa. Maka dalam kesempatan yang baik ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr. H. JM. Muslimin, M.A. selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Ibu Rosdiana, MA., selaku ketua dan sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vii

4. Ketua, hakim, panitera, pegawai serta staf Pengadilan Agama Cikarang, terima kasih atas pelayanan dan bantuannya dalam memberikan data-data yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ketua dan seluruh staf Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam mendapatkan buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

6. Ibu Dewi Sukarti, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis selama kuliah di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal as-Syakhsiyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis. 8. Ayahanda tercinta Heri Santoso dan Ibunda tercinta Sulastri, terima kasih atas

segala kasih sayang, perhatian dan motivasinya baik moril maupun materil, sujud abdiku kepada Ibunda atas doa dan pengorbanannya selama ini “Allahummagfirlii

Waliwaalidayya Warhamhuma Kama Rabbayani shagiira”. Kepada adikku Rizal

Aji Kurniawan kalian adalah motivasi dan inspirasiku.

9. Teman-teman seperjuangan PA (A/B) dan AKI angkatan 2009 terimakasih atas kebersamaannya, selama kita empat tahun kita saling mengenal dan menjalin persahabatan bahkan persaudaraan.

10.Seluruh sahabat karibku terimakasih atas kebaikan, dukungan dan semangat kalian, semoga persahabatan kita tidak akan pernah putus meskipun kita tidak bersama lagi.

11.Especially Khusushan kepada seseorang yang telah banyak membantu dan memberikan semangat kepada penulis, sehingga dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini.


(8)

viii

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada semua pihak yang membacanya, memperoleh ridha Allah Swt, dan menjadi penyemangat bagi penulis untuk bisa mengembangkan keilmuan pada masa-masa berikutnya di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dengan pesat pada era globalisasi ini.

Jakarta, 12 Mei 2014


(9)

ix

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIAN UJIAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II NAFKAH IDDAH MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Nafkah dan Iddah ... 14

B. Dasar Hukum Memberi Nafkah ... 20

C. Syarat-syarat Isteri Menerima Nafkah ... 26


(10)

x

C. Perkara Yang Diterima dan diputus Pengadilan Agama Cikarang 2013 .... 44

BAB IV PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH AKIBAT PUTUSAN PENGADILAN AGAMA CIKARANG TAHUN 2013

A. Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tentang Nafkah Iddah ... 45 B. Analisis Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tentang Nafkah Iddah ... 61 C. Pelaksanaan Putusan Nafkah Iddah di Pengadilan Agama Cikarang ... 80 D. Upaya Pengadilan Agama Cikarang Untuk Terlaksananya Pembayaran

NafkahIddah... 81 E. Analisis Hukum Pelaksanaan Putusan dan Upaya Pengadilan Agama

Cikarang Untuk Terlaksananya Pembayaran Nafkah Iddah... 86

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 93 B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Surat Bukti Wawancara 2. Hasil Wawancara

3. Putusan Nomor: 0292/Pdt.G/2013/PA.Ckr 4. Putusan Nomor: 0510/Pdt.G/2013/PA.Ckr


(11)

(12)

1

Perkawinan merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketentuan Allah di dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum, menyeluruh, dan berlaku tanpa terkecuali, baik bagi manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.1

Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan syariat agama. Orang yang melangsungkan sebuah pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi yang bertengger dalam tubuh dan jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan, ketentraman dan sikap saling mengayomi di antara suami istri dengan dilandasi cinta dan kasih sayang.2

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi tujuan yang hakiki dalam sebuah perkawinan

1

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), cet. I, h. 41. 2

Mohammad Asmawi, Nikah: Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), cet. I, h. 19.


(13)

adalah mewujudkan mahligai rumah tangga yang sakinah yang selalu dihiasi

mawaddah dan rahmah.

Hal ini sesuai dengan tujuan pernikahan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal, masing suami istri saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan material.3

Memang tujuan perkawinan sering tidak tercapai secara utuh, hal tersebut dapat dilihat beberapa peristiwa yang terjadi dalam perkawinan, yaitu suami atau istri tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban, sehingga menimbulkan percekcokan dan pertengkaran dalam rumah tangga. Percekcokan dan pertengkaran antara suami istri yang tidak dapat didamaikan biasanya akan berakhir dengan jalan perceraian.

Tentu tidak bisa dikatakan salah satu tujuan pokok dalam hubungan keluarga itu adalah ketenangan, ketentraman, dan komunitas (keberlangsungan). Akan tetapi tidak dapat dipungkiri jika dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha

3

A. Rofik, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet. IV, h. 268.


(14)

melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah sebagai suatu jalan keluar yang baik.

Seandainya terjadi perceraian maka bukan berarti persoalan-persoalan rumah tangga akan berakhir begitu saja, justru dengan adanya perceraian maka akan timbul berbagai masalah yang akan diselesaikan oleh suami istri, selain permasalahan hak asuh anak, nafkah anak, harta bersama, juga akan yang tak kalah rumitnya adalah permasalahan nafkah istri dalam masa iddah beserta pengurusannya.

Menurut hukum perkawinan di Indonesia, Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri (pasal 41 UU No.1 Th.1974). Ketentuan di atas dimaksudkan agar bekas istri yang telah diceraikan suaminya, jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.

Dalam Kompilasi Hukum Islam apabila terjadi perceraian, maka mantan suami masih mempunyai kewajiban terhadap mantan istri, sebagaimana yang telah diatur pada pasal 149, Bilamana perkawinan putus karena cerai talak maka bekas suami wajib :

a. Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul;


(15)

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba`in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;

c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al-dukhul;

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Ketika sebuah perkara permohonan cerai talak dikabulkan dan putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Pengadilan Agama dapat mengadakan sidang penyaksian ikrar talak, sejak itulah perceraian terjadi dan ikatan perkawinan antara suami istri menjadi putus.

Dalam praktek, ketika Pengadilan Agama menggelar sidang penyaksian ikrar talak untuk memberi kesempatan kepada Pemohon mengikrarkan talaknya kepada Termohon sebagaimana isi amar putusan, Termohon menyatakan dirinya siap untuk menerima talak dari Pemohon dan sekaligus meminta kepada Pemohon agar setelah ikrar talak diucapkan, Pemohon segera pula menyerahkan kepadanya semua yang menjadi haknya sebagaimana dinyatakan dalam amar putusan yaitu nafkah iddah, namun sering sekali keinginan Termohon tersebut tidak bisa dipenuhi karena Pemohon dengan berbagai alasan menyatakan dirinya belum siap memenuhi perintah putusan tersebut.


(16)

Tapi secara realita justru dengan ditundanya ikrar talak karena ada kewajiban suami yang harus dibayar lebih dulu, kaum wanita sangat dirugikan, banyak pembacaan ikrar talak tidak bisa dijalankan karena menunggu suami membayar nafkah iddah yang ditetapkan oleh Hakim.

Apabila Pemohon beritikad buruk, meskipun ia mampu membayar sesuai dengan isi putusan, akan tetapi ia tidak mau membayar, sehingga putusan hakim banyak yang tidak dilaksanakan, pada akhirnya putusan-putusan seperti itu dianggap sebagai putusan yang tidak berguna. Banyak suami yang pergi begitu saja karena tidak mau membayar kewajiban nafkah iddah tersebut akibatnya putusan menjadi sia-sia.

Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang dalam menentukan pembayaran nafkah iddah yang menjadi hak seorang isteri yang dicerai harus memberikan upaya dalam menjamin pelaksanaan pembayaran nafkah iddah yang diakibatkan putusan pengadilan tersebut agar putusan yang dikeluarkan memenuhi asas kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara. Dari latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan membuatnya dalam bentuk skripsi yang berjudul:

PELAKSANAAN PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH YANG

DIAKIBATKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA CIKARANG


(17)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Kewajiban suami pasca perceraian dalam pasal 149 KHI banyak sekali cakupan dan pembahasannya, agar pembahasan ini tidak melebar dan memperjelas pokok pembahasan dalam penelitian serta mengingat keterbatasan ruang lingkup objek penelitian, maka pembahasan akan difokuskan pada :

a. Nafkah iddah yang dibahas dalam skripsi ini dibatasi pada kewajiban suami memberi nafkah kepada mantan isterinya yang dicerai talak.

b. Pengadilan agama dalam menjamin pelaksanaan pembayaran nafkah iddah isteri dalam perkara cerai talak khususnya di Pengadilan Agama Cikarang, pada tahun 2013.

2. Rumusan Masalah

Pada pasal 149 Kompilasi Hukum Islam apabila perkawinan putus karena talak maka bekas suami wajib memberikan nafkah selama masa iddah kepada mantan isterinya. Tetapi dalam kenyataannya, apabila suami beritikat buruk tidak mau membayar nafkah iddah sesuai dengan isi putusan dan istri tidak dapat menuntut haknya ketika suami sudah tidak diketahui lagi dimana keberadaanya. Sebab dengan berakhirnya proses persidangan, maka suami terlepas dari istri, sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang dapat menjamin hak istri. Dengan adanya kekhawatiran seperti itulah Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang dalam menentukan pembayaran nafkah iddah yang


(18)

menjadi hak seorang isteri yang dicerai harus memberikan upaya untuk menjamin terlaksananya pembayaran nafkah iddah yang diakibatkan putusan pengadilan agama cikarang tersebut. Agar putusan yang dikeluarkan memenuhi asas kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara.

Sesuai masalah tersebut diatas, maka penulis rinci dengan bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Cikarang dalam memutuskan perkara nafkah iddah ?

2. Bagaimana pelaksanaan putusan dan upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya pembayaran nafkah iddah ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk menjelaskan pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Cikarang dalam memutuskan perkara nafkah iddah.

2. Untuk menjelaskan pelaksanaan putusan dan upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya pembayaran nafkah iddah.

Sedangkan manfaat penelitian ini :

1. Secara akademik dalam rangka menambah wawasan dan pengetahuan serta mengkaji UU dan fikih dalam pelaksanaan pembayaran nafkah iddah di Pengadilan Agama Cikarang.


(19)

2. Secara praktis dapat menghasilkan informasi sebagai rujukan dalam memahami bagaimana pelaksanaan pembayaran nafkah iddah yang diakibatkan putusan Pengadilan Agama Cikarang.

D. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi yang secara khusus membahas judul dan masalah yang serupa khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam karya ilmiah ini, penulis menemukan data yang berhubungan dengan bahasan “Pelaksanaan Pembayaran Nafkah Iddah Yang Diakibatkan Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013”, di antaranya:

1. Abrokhul Isnaini, Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, 2012, Judul Skripsi: Jaminan Pelaksanaan Nafkah Iddah di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Pada skripsi ini hanya membahas tentang dasar hukum dalam pelaksanaan kewajiban nafkah iddah dan langkah langkah menjamin nafkah iddah di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Sedangkan pada skripsi ini penulis juga membahas bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama Cikarang dalam memutuskan perkara nafkah iddah dan bagaimana upaya Pengadilan Agama Cikarang agar terlaksananya pembayaran nafkah iddah.

2. Nurul Huda Binti Abdul Razak, Nafkah Masa Iddah Menurut Prespektif Fikih dan Implementasinya dalam Enakmen Keluarga Islam (studi pada Mahkamah rendah syariah perak Malaysia), 2009. Perbedaan dengan yang dibahas oleh penulis sangat berbeda karena penulis skripsi ini hanya membahas mengenai


(20)

nafkah masa iddah menurut prespektif fikih dan implementasinya dalam undang-undang di perak Malaysia.

E. Metode Penelitian

Dalam pengumpulan bahan/data penyusunan skripsi ini agar mengandung suatu kebenaran yang objektif, penulis menggunakan metode penelitian ilmiah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian karya ilmiah ini, penulis menggunakan jenis penelitian lapangan (field research), studi pustaka (library research) dan menggunakan gabungan antara penelitian hukum normatif dan penelitian yuridis empiris. Penelitian hukum normatif adalah suatu penelitian hanya merupakan studi dokumen.4 dan penelitian yuridis empiris yaitu penelitian kenyataan lapangan yang bersifat das sein tidak sesuai dengan keadaan yang didambakan atau yang diharapkan yang bersifat das sollen.5 Dalam penelitian ini yang akan dicari perihal pelaksanaan pembayaran nafkah iddah di Pengadilan Agama dengan berpedoman pada aturan hukum yang berlaku.

4

Afifi Fauzi Abbas, Metodologi Penelitian (Jakarta: ADELINA Bersaudara, 2010, cet. Pertama), h. 155.

5

Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2007), h. 29.


(21)

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang memusatkan perhatian kepada prinsip-prinsip umum yang mendasar perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, yaitu deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma-norma atau aturan-aturan dari kasus yang diteliti, oleh karena itu penulis berupaya mencermati mengenai Pelaksanaan pembayaran nafkah iddah yang diakibatkan putusan di Pengadilan Agama Cikarang.

Dilihat dari segi tujuan dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian yang bersifat deskriptif yaitu penelitian lapangan yang menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara umum dan mendalam. Kemudian, studi kasus penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mempelajari secara mendalam suatu individu, kelompok, institusi atau masyarakat tertentu tentang latar belakang, kondisi, faktor-faktor atau interaksi-interaksi sosial yang ada didalamnya.

3. Tekhnik Pengumpulan Data

a. Studi Pustaka

Dalam studi kepustakaan, penulis mencari data primer yang berkaitan dengan masalah yang akan dijelaskan untuk dijadikan landasan teoritis bagi penelitian yang akan dilakukan.6

1) Sumber Primer

6


(22)

Sumber primer yaitu data yang dikumpulkan diolah dan disajikan oleh peneliti dari sumber pertama atau sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut.7 Sumber data primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, Kompilasi Hukum Islam, putusan Pengadilan Agama Cikarang, Ketua/Wakil Pengadilan Agama Cikarang, para Hakim dan Panitera serta para pihak yang terkait dengan masalah ini.

2) Sumber Sekunder

Data sekunder merupakan data yang mendukung data utama atau memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.8 Data sekunder dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, buku-buku, artikel ilmiah, arsip-arsip yang mendukung atau dokumen-dokumen data perceraian yang ada di Pengadilan Agama Cikarang yang berisikan informasi tentang data primer, terutama bahan pustaka bidang hukum dari sudut kekuatan mengikatnya dan meliputi literatur lainnya yang relevan dengan judul di atas.

7

Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 132.

8

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 195.


(23)

b. Wawancara (Interview)

Dengan mengambil objek penelitian di Pengadilan Agama Cikarang, penulis menggunakan jenis penelitian lapangan (field research), yang bertujuan untuk memperoleh kejelasan dan kesesuaian antara teori dan praktek yang terjadi di lapangan mengenai tinjauan terhadap pelaksanaan putusan tentang nafkah iddah di Pengadilan Agama Cikaranag.

Dilakukan dengan cara interview, adalah metode pengumpulan data dengan atau melalui wawancara, dimana dua orang atau lebih secara fisik langsung berhadap-hadapan yang satu dapat melihat muka yang lain dan masing-masing dapat menggunakan saluran komunikasi secara wajar dan lancar.9

4. Tekhnik Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu setelah data terkumpul, kemudian dipilah-pilah dan dianalisa dengan menggunakan analisis deduktif. Analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis serta lisan yang nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh.10 Metode deskriptif analisis ini akan digunakan untuk melakukan analisis terhadap wawancara hakim dan putusan Pengadilan

9

Balitbang Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI, Metode Peneletian Sosial (Terapan dan Kebijaksanaan) (Jakarta: Balitbang Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI, 2000), h. 39.

10


(24)

Agama Cikarang. Selain itu metode ini akan digunakan ketika menggambarkan kasus yang ada dalam putusan tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut:

Bab pertama, dalam bab ini menguraikan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan penelitian terdahulu, metode penelitian dan penulisan serta sistematika penulisan.

Bab kedua, dalam bab ini memuat pengertian nafkah iddah, dasar hukum nafkah iddah, syarat-syarat istri menerima nafkah, nafkah istri setelah perceraian.

Bab ketiga, dalam bab ini membahas Profil Pengadilan Agama Cikarang, Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama Cikarang, Perkara Yang Diterima dan Diputus Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013.

Bab keempat, dalam bab ini berisi putusan Pengadilan Agama Cikarang tentang nafkah iddah, analisa putusan Pengadilan Agama Cikarang tentang nafkah iddah, pelaksanaan putusan nafkah iddah di Pengadilan Agama Cikarang, upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya pembayaran nafkah iddah dan analisis penulis.

Bab kelima, memuat kesimpulan dari seluruh pembahasan untuk kemudian penulis memberikan saran-saran yang konstruktif.


(25)

BAB II

NAFKAH IDDAH MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Nafkah dan Iddah

Nafkah secara etimologi berasal dari kata (

ةقفنلا

)

yang berarti “belanja”, kebutuhan pokok” dan juga berarti biaya ataupun pengeluaran uang,11 Dalam madzahib al arba’ah disebutkan

جارخاا ةغللا يف ةقفنلا

yaitu pengeluaran.12 Sekilas bisa dipahami kalau nafkah tentu berkaitan dengan kebutuhan hidup sehari-hari bagi manusia. Sementara dalam kamus Bahasa Indonesia, nafkah adalah belanja untuk hidup (uang) pendapatan.13 Kata nafkah adalah bentuk masdar dari kata nafaqa yang berati harta yang dinafkahkan. Bila kata nafkah dihubungkan dengan pernikahan mengandung arti: “pemberian yang wajib dilakukan oleh suami terhadap isterinya dalam masa penikahan”.14

Secara material nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, minuman, pakaian,

11

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawir, Cet-1, (Yogyakarta: upbk. PP. al-Munawir, 1987) h. 1548.

12

Al Juzairi, Fiqih Ala Madzahib Al Arba’ah Juz IV. (Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah, 1990), h. 485.

13

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 679. 14

Amir Syarifudin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia; antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 165.


(26)

rumah dan lain-lain.15 Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap isterinya dalam bentuk materi, karena kata nafaqa itu sendiri berkonotasi materi. Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat seksual istri tidak termasuk dalam artian nafakah, meskipun dilakukan suami terhadap isterinya.16 Menurut Sayyid Sabiq tidak hanya hal-hal yang dapat memenuhi kebutuhan isteri yang bersifat primer akan tetapi juga sekunder sekalipun sang isteri dari keluarga yang mampu dan berkecukupan.17

Secara terminologi, Sayyid Sabiq dalam bukunya fiqh as-Sunnah menyebutkan nafkah merupakan hak isteri dan anak-anak untuk mendapatkan makanan, pakaian dan kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan pengobatan, bahkan sekalipun seorang isteri itu adalah wanita yang kaya.18

Sedangkan menurut Sulaiman Rasyid nafkah yaitu semua hajat dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempatnya, sehingga tidak dibatasi apakah mesti pokok, tidak pokok, ataupun kebutuhan pelengkap, sebab kewajiban nafkah menurut beliau yang dimaksud tidak terbatas pada kebutuhan pokok, sehingga jika masing-masing yang memiliki hak nafkah dan kewajiban nafkah kebutuhan pokonya sudah terpenuhi, tetap terkena kewajiban memenuhi

15

Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2001), h. 383. 16

Amir syarifudin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia; antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 165.

17

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8, (Bandung: PT Al Maarif, 1980), h. 147. 18


(27)

kebutuhan meskipun kebutuhan itu tidak pokok, artinya kebutuhan itu tergantung dan sesuai dengan keadaan dan tempatnya.19

Hukum memberi nafkah untuk isteri dalam bentuk makan, minum, tempat tinggal dan pakaian, baik yang berisfat umum maupun khusus, serta saran-sarana hubungan kemasyarakatan lainnya yang diperlukan oleh isteri adalah wajib.20 Kewajiban suami memberikan nafkah terhadap isteri ini tidak memandang status sosial suami baik dia seorang yang kaya maupun miskin, atau sebaliknya. Nafkah adalah persoalan yang sangat berat dan harus ditanggung oleh laki-laki sebagai suami.

Menurut hukum Islam nafkah dibagi secara global menjadi dua macam, Pertama: nafkah untuk dirinya sendiri, yakni kewajiban seseorang manusia untuk memikul beban tanggung jawab dalam rangka memenuhi kebutuhannya sendiri, untuk kesejahteraan jasmani, dan rohaninya sendiri. Kedua: nafkah untuk orang lain, tentu saja dalam hal ini adalah anak, isteri, orang tuanya dan berbagai macam tanggung jawab nafkah bagi orang-orang diluar dirinya sendiri.21

Perkawinan yang sah menyebabkan isteri mendapatkan hak-haknya dari sang suami, diantaranya itu dia berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.

19

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Cet. 32, (Bandung: Sinar Baru, 1998), h. 390. 20

Ali Husain Muhammad Makki al-Amili, Perceraian Salah Siapa?, penerjemah Mudhor Ahmad Assegaf dan Hasan Shaleh, (Jakarta: Lentera Basritama, 2001), Cet-1, h. 216.

21

Syeikh Abdullah Ibn Hasan al-Husain, Zadu Al-Mukhtaj bi Syahri al-Minhaj, Beirut: Al-Maktabah al-Isriyah, t.t, h. 563.


(28)

Dikarenakan isteri telah terikat dengan hak-hak suaminya yang menyebabkan seorang isteri tidak dapat mencari nafkah untuk dirinya.22

Kewajiban suami untuk meberikan nafkah kepada isteri terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadits. Ini berarti bahwa masalah nafkah memang diperhatikan dalam agama Islam. Dalil-dalil yang dijadikan dasar kewajiban memberi nafkah adalah sebagai berikut:

Q.S. an-Nissa (4): 34

                                                                    

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan

untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” Dari dalil-dalil diatas dapat disimpulkan bahwa Agama mewajibkan suami untuk memberikan nafkah pada isterinya karena dengan adanya ikatan perkawinan yang sah itu seorang isteri menjadi terikat semata-mata kepada

22

Syekh Muhammad bin Umar an-Nawawi, Uqudulijain, (Semarang: Pustaka Alawiyah, 1995), h. 47.


(29)

suaminya dan tertahan sebagai miliknya, karena dia berhak menikmatinya secara terus menerus. Isteri wajib taat kepada suami, tinggal dirumahnya, mengatur rumah tangganya, memelihara dan mendidik anaknya. 23 Sedangkan bagi suami, ia wajib memenuhi kebutuhan isteri dan memberi nafkah kepadanya, selama ikatan suami isteri masih berjalan dan isteri tidak durhaka, atau ada hal-hal lain yang menghalangi penerimaan nafkah.

2. Pengertian Iddah dan Dasar Hukumnya

Menurut bahasa Arab kata “iddah” masdar dari kata kerja “

ددع

“ berarti menghitung. Dalam hal ini, perempuan (isteri) menghitung hari-hari masa bersihnya setelah terjadi perceraian.24 Dalam kamus almunawir iddah berasal dari kata al-„add yang bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung.25 Dalam Kamus Arab Indonesia karangan Mahmud Yunus, iddah berasal dari kata

ّدع

yang berarti menghitung.26 Dengan demikian jika ditinjau dari segi bahasa, maka kata iddah dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari suci pada wanita.27

23

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8, h. 147. 24

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa Nur Hasanuddin. LC,MA, dkk, (Jakarta: Pena Pundi Akasara, 2006), h. 224.

25

Ahmad Warson, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, h. 904 26

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1997), h. 42. 27

Chuzaiman T. Yanggo dkk., Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet. I, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 149.


(30)

Secara istilah iddah mengandung arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami. Para ulama mendefinisikan iddah sebagai waktu untuk menanti kesucian seorang isteri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan.28

Iddah secara terminologi hukum islam adalah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita untuk tidak melakukan akad dengan lelaki lain dalam masa tersebut, sebagai akibat ditinggal mati atau perceraian dengan suaminya itu, dalam rangka membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungan dengan suaminya itu.29

Hukum iddah terdapat dalam firman Allah surat al-Baqarah (2) ayat 228:

                                                                          

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para

28

Amiur Nuruddin dan Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 240.

29

Chuzaimah T. Yanggo dan Hafidz Anshory (Editor), Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Buku I, Cet. Ke-4, hal 181.


(31)

suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dari definisi nafkah dan idah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari nafkah iddah adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seorang suami kepada isteri yang telah diceraikannya untuk memenuhi kebutuhannya, baik itu berupa pakaian, makanan maupun tempat tinggal.

Sedangkan pengertian nafkah dalam perceraian sebagaimana terdapat dalam tafsir as-Sabuni, bahwa nafkah itu diartikan sebagai mut’ah, yang berarti pemberian seorang suami kepada isterinya yang diceraikan, baik itu berupa uang, pakaian atau pembekalan apa saja sebagai bantuan dan penghormatan kepada isterinya itu serta menghindari dari kekejaman talak yang dijatuhkannya itu.30

B. Dasar Hukum Memberi Nafkah

Seorang suami ketika berkeluarga pada saat itu pula memiliki kewajiban nafkah, karena tanpa nafkah kebahagiaan keluarga tidak akan tercapai. Perkawinan yang sah menyebabkan isteri mendapatkan hak-haknya dari sang suami, diantaranya itu dia berhak mendapat nafkah dari suaminya. Dikanerakan isteri telah terikat dengan hak-hak suaminya yang menyebabkan seorang isteri tidak dapat mencari nafkah untuk dirinya.31

30

M. Ali as-Sabuni, Rawa’I al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam, (Makkah: Tnp, t.t.), h. 610. 31

Syekh Muhammad bin Umar an-Nawawi, Uqudulijain, (Semarang: Pustaka Alawiyah, 1995), h.47.


(32)

Kewajiban memberi nafkah kepada isteri merupakan kewajiban agama. Hal ini dikuatkan dengan dalil Al-Qur’an dan al- Hadits sehingga tidak ada alasan bagi suami untuk menghindar dari kewajibannya. Kewajiban tersebut berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nissa (4): 34:

                                                                    

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan

untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” Q.S. Al-Baqarah ayat 228:

       

Artinya: “dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan

kewajibannya menurut cara yang ma'ruf” Q.S. Al-Baqarah ayat 233:

                    

Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”


(33)

Menurut Muhammad Ali As-Sayis maksud pemberian dengan cara ma’ruf ialah pemberian menurut ukuran keadaan suami, bukan berdasar pada keadaan isteri, namun hal tersebut tentu disesuaikan dengan besarnya kebutuhan hidup yang wajar bagi isteri.32

Dalil-dalil tersebut diatas merupakan dasar kewajiban nafkah secara lahiriyah (materi) yang harus diberikan oleh seorang suami (atau ayah) untuk keluarganya (istri dan anak) dengan cara yang ma’ruf sesuai dengan kadar kemampuan yang dimilikinya. Kemudian sehubungan dengan nafkah secara bathiniyah dapat diambil dari dalil sebagai berikut:

... ...





... ... 

Artinya: ”... ... dan bergaullah dengan mereka secara patut ... ... (Q.S Al

Nisaa’: 19)

Mengenai lafadz “Asyara” dalam bahasa arab adalah sempurna dan optimal.33 Dan juga akar kata Asyara yaitu ’isyrah’ )ةرشعلا(adalah berkumpul atau bercampur.34 Maka berkumpul disini adalah apa yang seharusnya ada pada suami istri seperti rasa saling terikat dan bertautan. Karena dalam syariat islam antara suami istri diwajibkan untuk bergaul dengan sebaik-baiknya, tidak diperbolehkan menunda hak dan kewajiban, dan juga tidak boleh saling membenci apalagi bersikap saling menyakiti sebagaimana dalam ayat tersebut. Oleh sebab itu dalam

32

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Cet. 32, (Bandung: Sinar Baru, 1998), h. 390 33

Syeikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2007). h. 327.

34


(34)

memaknai lafadz tersebut Al Qusairi menyatakan dalam tafsirnya yaitu maksudnya mempergauli istri dengan ilmu-ilmu agama dan tata cara atau adab serta akhlaq yang baik.

Dibawah ini merupakan ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan pemberian nafkah bagi mantan isteri setelah perceraian, Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Azhab ayat 49:

                                     

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”

Ayat tersebut mewajibkan pemberian nafkah terhadap setiap wanita yang diceraikan, tidak membatasi masa pemberian nafkah bagi mantan isteri yang diceraikan, demikian juga tidak disebutkan berapa besar nafkah dan jangka waktu pemberiannya.35

Q.S. Al-Baqarah ayat 241:

           35

M. Ali as-Shabuni, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam al-Quran, penerjemah: Saleh Mahfoed, Cet-1, (Bandung: al-Ma’rif, 1994), h. 501.


(35)

Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi

orang-orang yang bertakwa.”

Dalam hal ini nafkah (mut’ah) juga diartikan sebagai penghibur, nafkah sesuai dengan kemampuannya. Inti dari ayat tersebut merupakan perwujudan mendapatkan persesuaian kepada hukum Islam dalam hal ini nafkah setelah nafkah iddah habis. Mut’ah juga berarti sesuatu yang dengannya dapat diperoleh suatu (beberapa) manfaat atau kesenangan.36

Kewajiban suami terhadap nafkah juga terdapat dalam beberapa hadits Nabi diantaranya adalah:

37

Artinya: “Dari Aisyah r.a. Hindun istri Abu Sofyan berkata pada Rosulullah, Ya Rosulallah sesungguhnya Abu Sofyan adalah lelaki yang amat bakhil, tidak memberiku nafkah yang bisa mencukupiku dan anakku kecuali apa yang kuambil hartanya tanpa sepengetahuannya, apakah hal ini dosa bagiku? Rosulullah menjawab ambillah hartanya dengan baik dan mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasai’)

36

Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan,1992), h. 707.

37

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul al-Bari, (Beirut: al-Maktabah al-Salafiyyah, 1470H), cet-III, Juz IX, h. 419-420.


(36)

Hadis ini menunjukkan kewajiban suami memberi nafkah kepada isterinya dan anak-anaknya. Menurut zhahirnya, sekalipun anak sudah besar. Hadis ini juga mengandung dalil bahwa yang wajib itu adalah mencukupi nafkah itu tanpa kikir.38

Menurut hukum positif di Indonesia kewajiban memberi nafkah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 terdapat pada pasal 34 ayat 1 yang berbunyi: Suami wajib melindungi isterinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.39 Sementara nafkah setelah perceraian terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 41 huruf c, yaitu: Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.40

Adapun bahwa nafkah merupakan kewajiban suami ditegaskan dalam pasal 80 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam yaitu, sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:

1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.

2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.

38

Abu Bakar Muhammad, Terjemah Subulussalam, (Surabaya: al-ikhlas, 1995), Cet ke- 1, h. 790.

39

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 34. 40

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 41 huruf (c).


(37)

3. Biaya pendidikan bagi anak.41

Berdasarkan dalil-dalil diatas dapat disimpulkan bahwa suami wajib memberi nafkah kepada istrinya dengan jumlah yang disesuaikan dengan kadar kemampuannya. Jika suami memenuhi kewajibannya, maka istri wajib taat kepada suami. Namun jika istri telah melaksanakan kewajiban, tapi suami tetap tidak mau memberikan haknya, dalam hukum perdata, istri dapat mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.

C. Syarat-syarat Isteri Menerima Nafkah

Pernikahan adalah satu sebab yang mewajibkan nafkah. Sebab dengan adanya ikatan perkawinan yang sah seorang wanita menjadi terikat dengan suaminya semata, dan tertahan sebagai miliknya. Hak istri memperoleh nafkah itu telah dipunyai, apakah suaminya kaya atau miskin selama istri masih terikat dengan kewajiban-kewajiban terhadap suaminya.42

Adanya ikatan perkawinan yang sah tidak berarti istri yang telah ditalak berhak atas nafkah dari mantan suaminya. Istri yang ditalak raj’i sebelum ia menyelesaikan iddahnya, wajib diberi nafkah dari suaminya. Begitu pula istri yang ditalak bain dan sedang menjalani masa iddahnya. Jika istri dalam keadaan hamil maka harus diberi nafkah sampai ia melahirkan.

41

Tim Citra Umbara, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2010), h. 256.

42

Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 131.


(38)

Begitu pula istri yang tidak mau menyerahkan diri kepada suaminya, atau suami tidak dapat menikmati dirinya, atau istri enggan pindah ketempat yang dikendaki suami, maka dalam hal ini tidak ada kewajiban nafkah oleh suami atas isterinya. Sebab penahanan yang dimaksud sebagai dasar wajibnya nafkah tidak terwujud.43

Imam Abdurrahman al-Jaziri mengatakan bahwa syarat atau sebab diwajibkannya pemberian nafkah adalah sebagai berikut:

1. Adanya hubungan perkawinan 2. Adanya hubungan kerabat 3. Adanya kepemilikan.44

Dalam hal ini semua ahli fiqih sependapat bahwa makanan, pakaian, dan tempat tinggal itu merupakan hak istri yang wajib dibayar oleh suaminya. Hak istri terhadap nafkah itu tetap berlaku, apakah ia kaya atau miskin, selama ia masih terikat dengan kewajiban-kewajiban terhadap suaminya. Berdasarkan keterangan isteri berhak menerima nafkah dari suaminya apabila:

1. Telah terjadi akad yang sah antara suami dan istri. Bila akad nikah mereka masih diragukan keabsahannya, maka istri belum berhak menerima nafkah dari suaminya.

2. Istri telah sanggup melakukan hubungan sebagai suami-istri dengan suaminya.

43

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8, (Bandung: PT. Al Maarif, 1981), h. 149. 44

Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Fiqh „ ala Madzhab al-Arba’ah, Juz 4, Beirut: t. tp., 1969, h. 553.


(39)

3. Istri telah terikat atau telah bersedia melaksanakan semua hak-hak suami.45

Menurut Sayyid Sabiq, untuk mendapatkan nafkah dari suami, istri harus memenuhi beberapa syarat. Jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka ia tidak wajib diberi nafkah. Syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Adanya ikatan perkawinan yang sah 2. Menyerahkan dirinya kepada suami 3. Suami dapat menikmati dirinya

4. Tidak menolak apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki suami 5. Keduanya saling dapat menikmati.

D. Nafkah Isteri Setelah Perceraian

Tanggung jawab suami terhadap nafkah tidak hanya berlaku ketika ia sah menjadi suami dari seorang isteri, tetapi setelah terjadinya perceraian pun suami masih tetap bertanggung jawab terhadap isteri dan anak-anaknya dalam hal nafkah.

Dalam pemberian nafkah, tidak semua isteri yang sedang menjalani masa iddah berhak mendapatkan nafkah. Berikut ini akan dijelaskan macam-macam isteri yang berhak mendapatkan nafkah dan yang tidak berhak mendapatkan nafkah.46

1. Isteri yang berhak mendapatkan nafkah iddah, adalah:

45

Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, 1984/ 1985), h. 184.

46

Puenoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1998), Cet. I, h. 369.


(40)

Isteri dalam masa iddah raj’i, para ulama telah sepakat bahwa isteri yang sedang menjalani iddah raj’i berhak menerima nafkah lahir sepenuhnyta dari suaminya. Suami berkewajiban menjamin tempat tinggal, nafkah, pakaian dan kesehatan. Sedangkan isteri yang sedang hamil dalam masa iddah ba’in, ulama telah sepakat bahwa isteri seperti itu berhak mendapat nafkah, tempat tinggal dan pakaian. Adapun iddah ba’in karena suami wafat, meskipun isteri itu sedang hamil namun tidak mendapatkan nafkah, karena yang harus membiayai nafkah tersebut sudah tidak ada lagi.

2. Isteri yang sedang beriddah dan tidak mendapatkan nafkah:

Isteri yang beriddah wafat suaminya, karena yang berkewajiban memberi nafkah adalah suaminya dan ia telah meninggal. Kemudian isteri yang akad perkawinannya batal dan perempuan itu sudah dicampuri atau menjadi watak syubhat, karena perkawinan dengan akad fasid tidak wajib nafkah, maka demikian pula dalam masa iddahnya. Perceraian yang terjadi karena fasakh, yaitu karena kesalahan isteri, seperti isteri berbuat maksiat, maka maksiatnya itulah yang mencegah isteri tersebut mendapat nafkah iddahnya.

Kita ketahui bahwa tidak jarang ketika setelah perceraian, seorang suami salah memperlakukan isterinya dan menyengserakan hidup isterinya selama masa iddah berlangsung. Hal ini merupakan sikap keliru, karena suami pada masa tersebut tetap harus menafkahi isterinya selama masa iddah berlangsung. Perceraian yang dimaksud disini ialah perceraian talak raj’i, karena dalam


(41)

keadaan ini suami masih memiliki kesempatan untuk ruju’ kepada isterinya.47 Meskipun ruju’ tidak dilakukan oleh suami, namun perceraian harus dilakukan secara terhormat, agar kedua belah pihak tidak memiliki dendam, sehingga tidak berimbas buruk kepada anak-anak mereka.

Tanggung jawab suami tidak hanya ketika seorang wanita itu masih menjadi isterinya yang sah, akan tetapi kewajiban untuk memberikan nafkah juga pada saat perceraian, Karena hakekatnya ucapan cerai itu baru berlaku setelah habis masa iddahnya. Berkaitan dengan nafkah Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Baqarah ayat 233:48



 







Artinya: Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.

Mengenai kewajiban suami untuk tetap memberi nafkah setelah nmenceraikan isterinya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 149, yang berisi sebagai berikut.

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang ataupun benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul.

47

Abdur Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syari’ah), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 124.

48


(42)

b. Memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al dukhul.

d. Memeberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.49

Para ulama sependapat bahwa wanita yang sedang dalam masa iddah setelah terjadi talak raj’i masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal, demikian juga wanita yang ditalak ba’in dalam keadaan hamil.50

Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. At-Talak ayat 6:

                

Artinya: “Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,

Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin”.

Adapun dalam talak ba’in, para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hak nafkah jika isteri dalam keadaan tidak hamil:

Menurut Imam Malik bin Anas dan Imam Syafi’I, mantan isteri tersebut berhak mendapat nafkah, kecuali kalau hamil. Menurut Imam Abu Hanifah, mantan isteri tersebut berhak atas nafkah dan tempat tinggal, seperti perempuan

49

Tim Citra Umbara, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2010), h. 281.

50

Mahmud Syaltut, Fikih Tujuh Mazhab, penerjemah Abdullah Zakiy Al-Kaaf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), h. 223.


(43)

yang ditalak raj’i. Karena ia wajib menghabiskan masa iddah dirumah suaminya. Sedangkan di rumah ini dia terkurung, karena suamimasih ada hak kepdanya. Nafkahnya ini dianggap sebgai hutang yang resmi sejak hari jatuhnya talak, tanpa bergantung kepada adanya persepakatan atau tidak adanya putusan pengadilan. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, mantan isteri tersebut tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, sebab nafkah hanya diberikan kepada perempuan yang suaminya mempunyai hak rujuk.51

Adapun dalam pemberian nafkah iddah, Muhammad Jawad Mughniyah mendefinisikan sebagaimana yang ada dalam beberapa mazhab, diantaranya yaitu sebagai berikut:

1. Untuk isteri yang masih kecil.

Isteri yang masih kecil (belum dapat digauli) dan terjadi perceraian, maka menurut mazhab yang ada (Hanafi, Hambali, Syafi’i) mantan isterinya tidak berhak mendapat nafkah (suami tidak berkewajiban dalam memberikan nafkah), kecuali mazhab Hanafi yang mengadakan klasifikasi lebih lanjut.

a. Kecil dalam arti tidak dapat dimanfaatkan, baik untuk melayani suami, maupun bermesraan, dan jika terjadi perceraian suami tidak berkewajiban memberikannya nafkah.

b. Kecil, tetapi bisa digauli, maka jika terjadi perceraian suaminya berkeajiban memberikan nafkah, kecuali terjadi cerai li’an.

51


(44)

c. Kecil dalam arti bisa diajak bermesraan, tetapi tidak bisa digauli, maka jika terjadi perceraian suami tidak berkewajiban memberikan nafkah.

2. Untuk Suami yang masih kecil.

Dalam hal ini kebalikan dari kondisi di atas, jika terjadi perceraian, maka menurut mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali pemberian nafkah wajib hukumnya bagi suami tersebut. Sedangkan mazhab maliki, berpendapat tidak berkewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah.

3. Jika isteri sakit, mandul atau mengalami kelainan pada alat seksualnya.

Pada kondisi di atas, jika terjadi perceraian menurut mazhab yang ada (Hanafi, Syafi’i, Hambali) kewajiban suami untuk memberikan nafkah tidak gugur, kecuali mazhab Maliki yang menyatakan gugur.

4. Apabila isteri murtad.

Isteri yang semula muslimah, kemudian menjadi murtad dan terjadi perceraian, maka tidak ada kewajiban suami untuk memberikan nafkah.

5. Isteri yang Nusyuz.

Isteri yang nusyuz atau durhaka, dan jika terjadi perceraian, maka suami tidak berkewajiban dalam memberikan nafkah.

6. Talak Li’an.

Talak li’an atau bersumpah untuk tidak akan kawin lagi, maka pihak suami tidak berkewajiban dalam memberikan nafkah.52

52


(45)

Para fuqaha berbeda pendapat dalam pemberian nafkah (mut’ah) bagi mantan isteri, ada fuqaha yang berpendapat bahwa nafkah (mut’ah) itu wajib diberikan kepada isteri yang diceraikannya, apabila suami telah sempat berhubungan dengannya, baik maharnya telah ditentukan atau belum, dan juga terhadap isteri yang telah diceraikannya sebelum sempat dicampurinya apabila maharnya telah ditentukan. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 241. Persoalan mut’ah juga dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam antara lain pasal 158, yang menyatakan Mut’ah wajib diberikan oleh mantan suamiu dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi isteri bada dukhul dan perceraian itu atas kehendak suami.53

Tujuan pemberian mut’ah seorang suami terhadap isteri yang telah diceraikannya adalah dengan adanya pemberian tersebut diharapkan dapat menghibur atau menyenangkan hati isteri yang telah diceraikan dan dapat menjadi bekal hidup bagi mantan isteri tersebut, dan juga untuk membersihkan hati kaum wanita dan menghilangkan kekhawatiran terhadap penghinaan kaum pria terhadapnya.54

53

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakara: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 328.

54

Maulana Rasyid Ridha, Penerjemah Afif Muhammad, Panggilan Islam Terhadap Wanita, Cet-1, (Bandung: al-Bayan, 1986), h. 159.


(46)

BAB III

PENGADILAN AGAMA CIKARANG A. Profil Pengadilan Agama Cikarang

Menurut Cik Hasan Bisri peradilan adalah suatu pranata (institusi) dalam memenuhi hajat hidup, anggota masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sedangkan pengadilan merupakan satuan organisasi (insitute) yang menyelenggarakan penegakan hukum dan peradilan tersebut.55

Dalam hukum Islam, kegiatan peradilan merupakan kegiatan muamalah, yaitu kegiatan antara manusia dalam kehidupan bersama (manusia dengan manusia/manusia dengan masyarakat). Melaksanakan amalan (kegiatan) peradilan hukumnya adalah fardhu kifayah; harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang dalam satu kelompok masyarakat, namun kalau sudah ada satu atau beberapa orang yang mengerjakan (melaksanakan), kewajiban telah terpenuhi. Al Mawardi di dalam buku al-Ahkam as Shulthaniyah menegaskan kegiatan peradilan adalah merupakan bagian pemerintah dalam rangka bernegara.56

Selama ini sebagaimana diketahui bahwa kewenangan organisasi, administrasi dan finansial Peradilan Agama berada dibawah Departemen Agama, sedangkan kewenangan tekhnis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

55

Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia, dari Otoriter Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000), h. 27.

56

Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2000), h.142.


(47)

Tahun 1945 yang telah diamandemen dikatakan bahwa “kekuasaaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan perasilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh Mahkamah Konstitusi.” Dengan amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, khususnya Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 24 telah membawa perubahan penting terhadap penyesuaian tersebut, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Berdasarkan pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “ketentuan mengenai organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.” Dengan demikian berdasarkan pasal tersebut, lahirlah apa yang disebut dengan peradilan satu atap. Sebagai realisasi dari pasal tersebut, lahirlah apa yang disebut dengan peradilan satu atap. Sebagai realisasi dari pasal tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Pengadilan Agama Cikarang (selanjutnya disebut PA Cikarang) dibentuk oleh Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1998 tentang


(48)

(49)

Pembentukan Pengadilan Agama Cikarang secara historis pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembentukan Pengadilan Agama lainnya yang ada di wilayah negara RI. Fase sebelum kemerdekaan dimana Indonesia mengalami beberapa kali masa penjajahan oleh bangsa lain seperti Belanda, Jepang, dan lain-lain mewarnai tumbuh kembang dan terbentuknya institusi Peradilan Agama di Indonesia.

Peradilan Agama adalah salah satu dari tiga peradilan khusus di Indonesia. Sebagai peradilan khusus, Peradilan Agama mengadili perkara-perkara perdata tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dengan perkataan lain, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata Islam tertentu saja dan hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia. Oleh karena itu, Peradilan Agama dapat disebut sebagai peradilan Islam di Indonesia, yang pelaksanaannya secara limitatif telah disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.59

Oleh karena Peradilan Agama itu merupakan peradilan khusus, maka cakupan wewenangnya meliputi perkara-perkara tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu. Perkara tertentu itu adalah perkara perdata di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah berdasarkan hukum Islam. Adapun golongan rakyat tertentu itu adalah orang-orang yang beragama Islam.

59


(50)

Kekhususan itu meliputi unsur perkara perdata tertentu, hukum Islam dan orang Islam.60

Dengan adanya Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara formal maka keberadaan Peradilan Agama diakui, namun mengenai susunan dan kekuasaan (wewenang) masih beragam dan hukum acara yang dipergunakan adalah HIR serta peraturan-peraturan yang diambil dari hukum acara Peradilan Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, dewasa ini telah dikeluarkan Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur: susunan, kekuasaan dan hukum acara Peradilan Agama. Undang-Undang ini kemudian mengalami perubahan pada Pasal-Pasal tertentu untuk menyesuaikan dengan perkembangan perundang-undangan yang ada maupun dengan kebutuhan di lapangan praktis dengan keluarnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006.61

Pengadilan Agama Cikarang mempunyai dasar-dasar hukum yang sudah di atur di dalam :

1). UUD 1945 Pasal 24.

2). UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 3). UU No.7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.

4). UU No.3 tahun 2006 tentang Amandemen UU No.7 tahun 2006.

60

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000), h. 160.

61

Sulaikin Lubis, Wismar „Ain Marzuki dan Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 2.


(51)

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 2 menyatakan: Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 3 Undang-Undang Peradilan Agama tersebut menyatakan :

1. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh: a. Pengadilan Agama.

b. Pengadilan Tinggi Agama.

2. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Pengadilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

B. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama Cikarang

Sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama Cikarang sebagai Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang


(52)

bergama islam di bidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah, Ekonomi Syariah.

Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan

menurut syari’ah, antara lain: 1. Izin beristri lebih dari seorang.

2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.

3. Dispensasi kawin. 4. Pencegahan perkawinan.

5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah. 6. Pembatalan perkawinan.

7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri. 8. Perceraian karena talak.

9. Gugatan perceraian.

10.Penyelesaian harta bersama. 11.Mengenai penguasaan anak.

12.Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggungjawab tidak memenuhinya.

13.Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan auatu kewajiban bagi bekas istri.


(53)

14.Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak. 15.Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua. 16.Pencabutan kekuasaan wali.

17.Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut.

18.Menunjukkan seorang wali dalam hal seorang yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya.

19.Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya.

20.Penetapan asal usul seorang anak.

21.Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran.

22.Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.62

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama Cikarang mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Memberikan pelayanan teknis yudisial dan administrasi kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyelesaian perkara dan eksekusi.

62


(54)

2. Memberikan pelayanan dibidang administrasi perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya.

3. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama (umum, kepegawaian dan keuangan).

4. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam pada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

5. Memberikan pelayanan penyelesaian permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beragama islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam sebagaimana diatur dalam pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

6. Waarmerking akta keahliwarisan di bawah tangan untuk pengambilan deposito/ tabungan, pensiunan dan sebagainya.

7. Melaksanakan tugas penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah sesuai dengan pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah diperbaharui yang kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.

8. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum, memberikan/ melaksanakan hisab rukyat dalam penentuan awal pada tahun hijriyah.


(55)

C. Perkara Yang Diterima dan Diputus PA Cikarang Tahun 2013

No Jenis Perkara Keadaan Perkara

Sisa Akhir 2012

Perkara Diterima

2013

Jumlah Perkara Putus Sisa A. B. C. D. E. F. G. PERKAWINAN 1. Izin Poligami 2. Izin Kawin 3. Dispensasi Kawin 4. Pencegahan Perkawinan 5. Penolakan Perkawinan Dari

PPN

6. Pembatalan Perkawinan 7. Kelalaian Atas Kewajiban

Suami/Isteri 8. Cerai Talak 9. Cerai Gugat 10. Harta Bersama

11. Penguasaan Anak/ Hadhanah 12. Nafkah Anak Oleh Ibu 13. Hak-hak Bekas Isteri 14. Pengesahan Anak 15. Perwalian

16. Pencabutan Kekuasaan Orang Tua

17. Penetapan Ahli Waris 18. Penunjukan Orang Lain

Sebagai Wali

19. Ganti Rugi Terhadap Wali 20. Asal Usul Anak

21. Penolakan Kawin Campuran 22. Istbat Nikah

23. Wali Adhol

KEWARISAN WASIAT HIBAH WAKAF SHODAQOH LAIN-LAIN

24. Pengangkatan Anak

- - - - - 1 - 130 236 - 3 - - - - - 7 - - - - 174 1 1 - - - - - - 11 - 2 - - 3 - 578 912 7 4 - - - 4 - 21 - - - - 785 1 1 - - - - 2 3 11 - 2 - - 4 - 708 1148 7 7 - - - 4 - 28 - - - - 959 2 2 - - - - 2 3 9 - 2 - - 3 - 558 866 3 6 - - - 3 - 22 - - - - 904 1 2 - - - - - 2 2 - - - - 1 - 150 282 4 1 - - - 1 - 6 - - - - 55 1 - - - - - 2 1


(56)

BAB IV

PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH AKIBAT PUTUSAN PENGADILAN AGAMA CIKARANG

A. Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tentang Nafkah Iddah 1. Putusan Nafkah Iddah Istri Nusyuz

Putusan Nomor: 0292/Pdt.G/2013/PA.Ckr

Pada perkara ini pihak Pemohon adalah Muhamad Yunus bin Sulemi, umur 38 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan Swasta, tempat tinggal di Kampung Sempu Jalan Pasir Gombong RT.03 RW.03 No.14 Desa Pasirgombong, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi melawan Sri Tati binti Sriyanto, umur 41 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawati Swasta, tempat tinggal di Perumahan Telaga Pesona Jalan Raya Telaga Pesona Blok M.3 RT.10 RW.17 No.05 Desa Telagamurni, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, selanjutnya disebut sebagai: “Termohon”.

Duduk perkara perkara ini adalah bahwa Pemohon berdasarkan surat permohonannya tertanggal 01 Maret 2013 telah mengajukan permohonan cerai talak yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Cikarang pada tanggal tersebut dengan register Nomor : 0292/Pdt.G/2013/PA.Ckr telah mengajukan hal-hal sebagai berikut :

Bahwa pada tanggal 05 Oktober 1999, Pemohon dengan Termohon melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjarharja, Brebes Jawa Tengah sebagaimana


(1)

Cikarang berwenang menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ini,-

Menimbang, bahwa Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa rumah tangganya dengan Termohon semula rukun dan harmonis akan tetapi kurang lebih sejak tahun 2011 Pemohon merasakan rumah tangga sudah tidak rukun dan harmonis lagi, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan Termohon pernah minta cerai pada Pemohon dan Termohon pernah mencoba akan bunuh diri serta Termohon pernah menampar wajah Pemohon, karena terus menerus terjadi perselisihan maka akibatnya sejak bulam Maret 2012 Pemohon dengan Termohon pisah rumah,-

Menimbang, bahwa dari jawabannya ternyata Termohon telah mengakui dan membenarkan bahwa rumah tangganya dengan Pemohon sudah tidak rukun dan harmonis dan telah terjadi perselisihan dan pertengkaran dan telah pisah rumah sejak bulan Maret 2012 hingga sekarang tidak pernah kumpul lagi dan Termohon tidak keberatan diceraikan oleh Pemohon,-

Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil permohonannya tersebut, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti sebagaimana telah disebutkan di atas, dan bukti-bukti tersebut secara formal maupun material telah memenuhi persyaratan pembuktian sehingga patut dipertimbangkan;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.2 berupa Foto Copy kutipan Akta Nikah yang merupakan akta Autentik dan pengakuan Termohon harus dinyatkan telah terbukti bahwa Pemohon dengan Termohon berkedudukan sebagai suami isteri yang sah yang pernikahannya dilaksanakan pada tanggal 01 Mei 2010,-

Menimbang, bahwa selama rumah tangga antara Pemohon dan Termohon meskipun sekarang ini sudah tidak rukun dan harmonis lagi, namun sebelumnya telah merasakan kehidupan rumah tangga yang rukun dan bahagia serta telah bergaul sebagaimana layaknya suami isteri dan telah dikaruniai anak 1 orang bernama Keanu Gagas Alraska, umur 9 bulan,-


(2)

Menimbang, bahwa para saksi Pemohon telah memberikan keterangan di bawah sumpahnya yang pada pokoknya bahwa rumah tangga Pemohon dengan Termohon sudah tidak rukun dan harmonis karena Termohon kurang menghargai Pemohon sebagai suami dan Termohon pernah berani menampar wajah Pemohon serta Termohon pernah mencoba mau bunuh diri dan yang saksi ketahui bahwa Pemohon dengan Termohon telah pisah rumah sejak buylan Maret 2012 dan tidak pernah kumpul lagi,-

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para saksi dihubungkan dengan jawab menjawab antara Pemohon dengan Termohon mengindikasikan sudah tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon dimana sejak dari bulan Maret 2012 antara Pemohon dengan Termohon sudah pisah rumah hingga sekarang dan tidak pernah kumpul kembali, hal tersebut membuktikan adanya perselisihan antara Pemohon dan Termohon secara terus menerus karena tidaklah mungkin Pemohon dan Termohon pisah rumah sejak bulan Maret 2012 tanpa kumpul kembali kalau dalam rumah tangga tersebut bahagia dan sejahtera penuh perasaan mawaddah warohmah,-

Menimbang, bahwa Majelis Hakim dalam hal ini tidak melihat masalah apa dan siapa yang menjadi penyebab timbulnya perselisihan dan pertengkaran antara Pemohon dan Termohon, tapi Majelis Hakim melihat masih bisakah rumah tangga tersebut dirukunkan dan didamaikan, tapi pada kenyataannya meskipun telah diupayakan perdamaian melalui mediasi Pengadilan ternyata sulit dan sudah tidak bisa lagi untuk berdamai,-

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka Majelis Hakim berpendapat, bahwa permohonan Pemohon telah memenuhi unsur pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang mengisaratkan bahwa antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga,-


(3)

Menimbang, bahwa suatu perkawinan apabila salah satu pihak telah bersikeras untuk bercerai maka hal tersebut merupakan indikasi bahwa perkawianan itu telah pecah, sehingga apabila dipaksakan untuk mempertahankannya akan menimbulkan Mafsadat (kerusakan) yang lebih besar dari pada Maslahatnya maka oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan Pemohon sudah sepatutnya untuk dikabulkan, sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 227 :

Artinya : “Dan jika mereka berazam (berketapan hati untuk) thalaq maka sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha mengetahui “ (QS. 2 : 227)

Menimbang, bahwa selama proses pemeriksaan Pemohon menunjukan sikap dan keinginan bahwa ia tidak akan mempertahankan perkawinannya dengan Termohon,-

Menimbang, bahwa oleh karena itu Majelis Hakim menetapkan memberi izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan thalaq satu Raj’i terhadap Termohon didepan sidang Pengadilan Agama Cikarang,-

DALAM REKONVENSI

Menimbang, bahwa dalam jawabanya Termohon mengajukan tuntutan (gugatan Rekonvensi) oleh karenanya Majelis Hakim menyatakan kedudukan pihak-pihak bahwa Pemohon Konvensi menjadi Tergugat Rekonvensi dan Termohon Konvensi menjadi Penggugat Rekonvensi dengan pertimbangan sebagai berikut :

Menimbang, bahwa Penggugat dalam jawabannya menuntut nafkah selama masa iddah 3 bulan sebesar Rp.1.000.000, dan mut’ah sebesar Rp. 500.000, sertas nafkah seorang anak setiap bulan sebesar Rp. 1.500.000,-sedangkan Tergugat dalam repliknya menyatakan sanggup untuk memberikan nafkah selama masa iddah 3 bulan sebesar Rp. 1.000.000, dan mut’ah sebesar Rp.


(4)

500.000, sedangkan mengenai nafkah anak Tergugat hanya sanggup memberi setiap bulan sebesar Rp.500.000, dengan alasan bahwa Penghasilan setiap bulan dari gaji sebesar Rp. 2.000.000, maka dalam hal ini Majelis Hakim mempertimbangkan berdasarkan dari jawab menjawab dipersidangan bahwa perceraian ini merupakan keinginan dari Tergugat sendiri dan permohonan Pemohon dalam konvensi telah dikabulkan maka berdasarkan pada pasal 149 huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam bekas suami wajib memberikan mut’ah, nafkah iddah, maka berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim dapat menetapkan mut’ah, nafkah iddah, sesuai dengan kesanggupan Tergugat yang dianggap wajar dan patut serta tidak memberatkan kepada Tergugat sebagai berikut,-

a. Mut’ah, sebesar Rp. 500.000,-

b. Nafkah selama masa iddah 3 bulan sebesar Rp. 1.000.000.-

Menimbang, bahwa berdasarakan pertimbangan tersebut di atas Majelis Hakim menghukum Tergugat untuk membayar Nafkah Iddah,Mut’ah, seluruhnya sebesar Rp. 1.500.000,- terhadap Penggugat,-

Menimbang, bahwa Penggugat menuntut nafkah seorang anak setiap bulan sebesar Rp. 1.500.000, (satu juta lima ratus ribu rupiah), dan dalam replik/jawaban rekonvensi Tergugat menyatakan hanya sanggup memberikan nafkah untuk anak sebasar Rp. 500.000, (lima ratus ribu rupiah) setiap bulan dengan alasan bahwa penghasilan Tergugat dari gaji yang diterima setiap bulan sebesar Rp. 2.000.000, (dua juta rupiah), maka dalam hal ini Majelis mempertimbangkan bahwa nafkah terhadap anak merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh ayah terhadap anaknya berdasarkan kesanggupan dan kemampuan serta tidak memberatkan Tergugat dengan penghasilan Tergugat setiap bulan sebesar Rp. 2.000.000, kalau dibebani untuk membayar nafkah anak sebesar yang dituntut Penggugat Rp. 1.500.000, (satu juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulan maka akan sangat memberatkan Tergugat, maka dianggap wajar dan tidak memberatkan apabila Majelis Hakim menghukum Tergugat berdasarkan penghasilannya setiap bulan Rp. 2.000.000, (dua juta rupiah) untuk memberikan


(5)

nafkah terhadap anaknya setiap bulan sebesar Rp. 750.000, (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah),-

DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI

Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 89 ayat 1 undang-undang No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 3 tahun 2006 dan Undang-Undang No.50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama maka semua biaya yang timbul dalam perkara ini dibebakan kepada Pemohon Konvensi / Tergugat Rekonvensi,-

Mengingat, segala peraturan perundang-undangan yang berlaku serta hukum syara yang berkaitan dengan perkara ini.

M E N G A D I L I DALAM KONVENSI

1. Mengabulkan Permohonan Pemohon

2. Memberi izin kepada Pemohon (AGUS SOFYAN HADI bin ENCENG SUPRIATNA) untuk menjatuhakan Thalaq satu Raj’i terhadap Termohon (G. INDRI MEGAWATI binti HARYONO ) didepan sidang Pengadilan Agama Cikarang,-

DALAM REKONVENSI

1. Mengabulkan gugatan Penggugat,-

2. Menghukum Tergugat untuk membayar Nafkah selama masa iddah 3 bulan sebesar Rp. 1.000.000,- dan mut’ah, sebesar Rp. 500.000, terhadap Penggugat,-

3. Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah seorang anak setiap bulan sebesar Rp.750.000, (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah),-

DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI

Menghukum Pemohon Konvensi / Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 351.000,- (tiga ratus lima puluh satu ribu rupiah),-

Demikian putusan ini dijatuhkan di Cikarang pada hari Selasa tanggal 21 Januari 2014 M, bertepatan dengan tanggal 19 Robi’ul Awal 1435 H, oleh


(6)

kami Drs. M. Effendy HA sebagai Ketua Majelis dan Drs. H. Chalid, L.MH serta Drs. M. Nur Sulaeman, MHI masing-masing sebagai Hakim Anggota serta Adam Iskandar, S.Ag, sebagai Panitera Pengganti dan putusan mana pada hari itu juga diucapkan oleh Ketua Majelis tersebut dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh Pemohon diluar hadir Termohon,-

Ketua Majelis ttd

Drs. M. Effendy, HA

Hakim Anggota Hakim Anggota

ttd ttd

Drs. H. Chalid, L.MH, Drs. M. Nur Sulaeman, MHI Panitera Pengganti

ttd

Adam Iskandar, S.Ag, Perincian Biaya Perkara

1. Biaya pendaftaran Rp. 30.000,-

2. Biaya proses Rp. 50.000,-

3. Pemanggilan Rp. 260.000,-

4. Redaksi Rp. 5000,-

5. Materai Rp. 6000,-

JUMLAH Rp. 351.000,- Catatan :

- Putusan ini telah berkekuatan hukum tetap sejak tanggal. Untuk salinan yang sama bunyinya, oleh :

PENGADILAN AGAMA CIKARANG a.n. Panitera

u.b. Panitera Muda Hukum