Latar Belakang Calon Independen dan Pilkada (Studi Kasus Pilkada Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demokrasi adalah sebuah wacana yang dikembangkan dengan tujuan untuk menampung aspirasi yang terdapat dalam masyarakat. Secara sederhana demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, pemerintahan demokrasi adalah milik rakyat, dijalankan oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat. 1 Dalam demokrasi, pemilihan umum adalah bagian dari perwujudan hak – hak asasi yaitu kebebasan berbicara dan berpendapat, juga kebebasan berserikat. Melalui pemilihan ini pula rakyat membatasi kekuasaan pemerintah, sebab setiap pemilih dapat menikmati kebebasan yang dimilikinya tanpa intimidasi dan kecurangan yang membuat kebebasan pemilih terganggu. 2 Indonesia sendiri baru memberlakuan pilkada secara langsung ketika dikeluarkannya Undang – Undang No.322004 tentang Pemerintahan Daerah dan Tidak jauh berbeda dengan pemilihan umum, pemilihan umum daerah pilkada yang dilakukan secara langsung pada umumnya diidentikkan dengan sebuah sistem yang demokratis pula. Oleh karena itu, di mata dunia internasional, negara yang menerapkan sistem pemilihan umum dan pilkada secara langsung pada umumnya dianggap sebagai negara yang demokratis. Karena, rakyat dalam hal ini tidak hanya memilih secara langsung kepala negaranya tetapi juga kepala daerahnya. 1 Bondan Gunawan S, Apa Itu Demokrasi, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2000, Hal ix 2 Bondan Gunawan S, Ibid, hal 26 Universitas Sumatera Utara Peraturan Pemerintah No. 62005 mengenai Tata cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, merupakan tonggak baru penegakan kedaulatan rakyat daerah di Indonesia. Kedua produk perundangan tersebut memuat ketentuan mengenai Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung. 3 Dengan lahirnya UU No.322004 dan PP No.62005, sebagaimana disebutkan di atas, akhirnya Pilkada langsung merupakan keputusan hukum yang harus dilaksanakan dengan pemilihan langsung, yang menggunakan asas-asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, pilkada langsung layak disebut sebagai sistem rekrutmen pejabat publik yang hampir memenuhi parameter demokratis. 4 Artinya dalam konteks ini negara memberikan kesempatan kepada masyarakat di daerah untuk menentukan sendiri pemimpin mereka, serta menentukan sendiri segala bentuk kebijaksanaan yang menyangkut harkat hidup rakyat daerah. 5 Perjalanan sistem politik di Indonesia memasuki babak baru setelah Mahkamah Konstitusi MK pada hari Senin 230707. Tepat pada waktu ini Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 5PUU-V2007 tentang putusan perkara permohonan Pengajuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Sistem pilkada langsung memiliki pengaruh yang signifikan terhadap watak dan karakter persaingan calon Kepala Daerah. Artinya seorang calon kepala daerah nantinya harus lebih menonjolkan karakter dan watak di dalam merebut suara pemilih untuk menghadapi kompetisi dalam pilkada. 3 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hal. 33 4 Joko J. Prihatmoko, Ibid hal. 19 5 Joko J. Prihatmoko, Ibid hal. 21 Universitas Sumatera Utara yang pada dasarnya merupakan putusan untuk melegitimasi secara tegas posisi calon perseorangan untuk dapat maju dalam sebuah pemilihan kepala daerah gubernur, walikota, dan bupati tanpa partai politik. 6 6 http:jalankiri.blogspot.com200811masa-depan-calon-independen.htmldiakses 11 Maret 2010 Putusan MK tersebut merupakan langkah maju dari pelembagaan demokratisasi baik secara nasional maupun lokal. Perkembangan wacana calon perseorangan independen dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan tuntutan dari dialektika sejarah perpolitikan nasional. Secara politik, putusan MK tersebut akan membawa implikasi positif pada seluruh partai politik, ormas, dan kekuatan kelompok primordial untuk melakukan konsolidasi internal untuk menyikapi perkembangan ini. Demikian juga dengan kalangan akademisi yang turut serta memberikan pendapat dan dukungan terhadap wacana calon independen. Konsolidasi tersebut tidak hanya menyangkut keorganisasian, tetapi juga kepemimpinan dan penjaringan kader. Terlihat dari pasca keluarnya putusan MK tersebut, partai-partai juga mengeluarkan pendapatnya diseputar calon independen berupa dukungan terhadap mekanisme rekrutmen kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui sistem calon independen sebagai perkembangan dari demokratisasi. Selain itu, putusan MK ini juga menjadi tantangan sekaligus hambatan bagi partai-partai yang tidak pernah dan yang belum efektif menjalankan fungsinya, seperti rekrutmen, pendidikan, dan sosialisasi. Universitas Sumatera Utara Di dalam Putusan MK Nomor 5PUU-V2007 tampak alur perdebatan dan sejarah kasus hingga putusan untuk mensahkan calon independen menjadi mekanisme baru dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Materi putusan yang menunjukkan bahwa kelahirannya adalah untuk menyediakan ruang khusus bagi perseorangan yang berkompetisi dalam pilkada tanpa partai politik. Isi putusan MK ini secara garis besar merupakan putusan atas sengketa konstitusi dari seorang warga negara, yaitu Lalu Ranggawale anggota DPRD Kab. Lombok Tengah karena haknya untuk maju sebagai calon perseorangan dalam pilkada Kab. Lombok Tengah tidak dijamin dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ketidaktegasan dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam menjamin hak perseorangan untuk dapat maju sebagai calon independen dalam pilkada. Secara konstitusional, terdapat pasal-pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dianggap tidak mengakomodir kepentingan perseorangan untuk maju dalam pilkada, yakni Pasal 56 Ayat 2, Pasal 59 Ayat 1, Ayat 2, Ayat 3, Ayat 4, Ayat 5 huruf a dan c, Ayat 6, dan Pasal 60 Ayat 2, Ayat 3, Ayat 4, Ayat 5 yang secara garis besar menyatakan bahwa pencalonan seseorang di dalam pemilihan kepala daerah haruslah didukung oleh sebuah partai ataupun koalisi partai. Tentu saja hal ini bertentangan dengan hak konstitusional setiap warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 khususnya Pasal 18 Ayat 4, Pasal 27 Ayat 1, Pasal 28D Ayat 1, Ayat 3, dan Pasal 28I Ayat 2. Secara sederhana pengertian calon independen yang dimaksud di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi adalah calon perseorangan yang dapat Universitas Sumatera Utara berkompetisi dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui mekanisme pilkada tanpa mempergunakan partai politik sebagai media perjuangannya. Sebagai jaminan konstitusional atas hak perseorangan untuk dapat dicalonkan sebagai calon independen, maka putusan MK tersebut membutuhkan perangkat hukum berupa revisi terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya telah secara tegas mengatur hak-hak calon independen. Landasan hukum mengenai calon independen ini pun semakin menguat manakala dikeluarkannya UU No.12 Tahun 2008 yang secara lebih rinci mengatur mengenai persyaratan calon independen untuk dapat maju dalam pilkada. Jika menimbang kekuatan antara calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dicalonkan oleh partai dengan calon independen, maka proses penarikan dukungan yang akan dipakai tidak akan jauh berbeda karena calon yang diusung partai maupun calon independen tetap mempergunakan sentimen- sentimen yang ada dalam masyarakat sendiri. Biasanya sentimen yang dipakai tidak jauh dari isu kultural marga dan rumpun adat yang menjadi basis kesadaran masyarakat yang mudah dimobilisasi, khususnya masyarakat pedesaan. Anggapan bahwa calon independen akan lahir dari masyarakat sendiri dengan harapan ketika berhasil memperoleh dukungan mayoritas sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat langsung memperjuangkan kepentingan konstituennya merupakan harapan yang tidak jauh berbeda dengan harapan ketika masyarakat menentukan pilihan pada calon yang berasal dari partai. Masyarakat yang menyambut positif mempunyai keyakinan bahwa dengan munculnya calon kepala daerah dari luar mekanisme partai politik akan memberikan pilihan yang Universitas Sumatera Utara lebih luas dan menjadikan persaingan lebih sehat. Dampak selanjutnya yang diharapkan adalah munculnya calon dari luar partai akan menyehatkan proses demokrasi dan akhirnya menghasilkan pemimpin yang lebih berkualitas. Perbedaan yang kontras antara calon independen dengan calon dari partai politik adalah masalah pengorganisasian infrastruktur dengan suprastruktur politiknya. Calon independen tidak memiliki infrastruktur politik yang jelas. Sehingga, apa yang menjaga hubungan konstituen infrastruktur dengan lembaga eksekutif suprastruktur tidak ada. Justru posisi eksekutif yang diisi oleh calon independen tidak akan memperoleh legitimasi politik yang kuat dari DPRD Propinsi dan KabupatenKota karena representasi dari kekuatan berbagai parpol. Karena calon independen hanya mengandalkan kemampuan pribadi calon, maka yang si calon hanya dapat memperoleh legitimasi politiknya dari konstituen yang independen pula. Dalam timbangan pelembagaan demokrasi perwakilan melalui sistem pemilihan, maka calon independen dapat dianggap sebagai katup penyelamat antara massa pemilih partisan dan simpatisan partai dengan non- partisan dan juga kelompok golput. Dengan demikian, kelompok yang tidak punya pilihan dapat mengartikulasikan kepentingan politiknya melalui calon independen. Akan tetapi, hal ini sangat sederhana sekali. Namun, menjadi alternatif penyampaian kepentingan ketika partai tidak lagi dianggap ideal sebagai media perjuangan kepentingan masyarakat. Selain itu, partai yang merasa mendapat “lawan tanding” baru, menganggap calon independen perlu mendapat ketentuan syarat pengajuannya. Dan ketentuan-ketentuan tersebut masih mengalami perdebatan. Ada yang menawarkan 5 persen, 10 persen, dan 15 persen dari jumlah pemilih. Jika melihat Universitas Sumatera Utara kasus pilkada NAD, syarat pengajuan bagi calon independent hanya sebesar 3 persen dari jumlah pemilih. Dari sisi politis, posisi partai dalam hal ini mengajukan persyaratan ambang batas minimal jumlah dukungan yang harus dikantongi oleh para calon independen merupakan bentuk desakan politik terhadap aturan hukum yang berlaku pasca putusan MK. Jika mengikut pada perkembangan perdebatan dari kebutuhan aturan hukum yang berlaku, yakni revisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pendapat partai mulai dari munculnya wacana calon independent dan pasca putusan MK mengenai ambang batas minimum dukungan bagi calon independen akan menjadi materi dalam penentuan perubahan pasal yang mengatur ketentuan tersebut. Hal ini merupakan tuntutan demand dari para stakeholder terhadap sistem pembentukan kebijakan publik yang dalam hal ini adalah revisi UU. Prinsip demokrasi perwakilan adalah bahwa calon yang terpilih dapat mengagregasikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya bagi konstituennya saja. Jadi, jika calon yang berasal dari partai akan lebih mementingkan basis pemilihnya sendiri karena partai sudah memenangkannya, maka calon independen harus mementingkan masyarakat secara keseluruhan karena calon independen tidak hanya dikontrol oleh masyarakat, tetapi juga seluruh parpol. Dengan demikian, posisinya menjadi sorotan publik, baik dari kebijakan yang dihasilkan maupun aktifitas politiknya. Selain itu, jika calon independen tidak memiliki basis massa pemilih yang kuat dan terorganisir, maka posisinya akan sama dengan calon yang diusung oleh partai yang hanya mengandalkan mobilisasi massa pada saat pemilihan. Basis massa pendukung yang terorganisir ini akan mampu menjadi infrastruktur politik Universitas Sumatera Utara yang tidak hanya memiliki kesadaran naif, tetapi kritis terhadap seluruh kebijakan yang dihasilkan. Dengan demikian, calon independent akan menjadi kekuatan penyeimbang baru dari kekuatan politik partai. Calon independen tentunya harus memiliki dukungan perseorangan yang tersebar di seluruh lini daerah. Calon independen diuji kemampuan sejauhmana komitmennya terhadap rakyat pada suatu daerah. Sebab sosok calon independen harus melakukan tahap sosialisasi dengan menyampaikan visi, misi dan program kepada semua kader – kadernya. Langkah ini pun bisa dilakukan melalui kampanye monologis, yang dilakukan dengan cara mengundang masa simpatisan calon, menyelenggarakan diskusi terbatas atau diskusi interaktif di media elektronik atau bahkan kegiatan sosial lainnya. Tentunya tak dapat dipungkiri bila calon independen memiliki saingan lebih banyak karena melibatkan banyak orang, proses pengambilan keputusan berkali-kali dan berjenjang dari bawah ke atas. Keberadaan calon independen harus mampu memproduksi sebuah mesin politik baru untuk menuju ke tampuk kepemimpinan lokal. Skema calon independen ini bisa menjadi model baru yang lebih selektif dalam mencari seorang pemimpin, meskipun agak sulit realisasinya. Artinya, jika calon independen dapat direalisasikan, waktulah nanti yang membuktikan apakah sistem politik nonpartai ini memang efektif dalam menyaring pemimpin berkualitas. Sistem baru calon independen ini akan membuka ruang demokrasi arus lokal yang melahirkan persaingan sehat sebagai upaya mencari figur pemimpin berkualitas, guna menjawab tantangan daerah di tengah arus global. Persaingan Universitas Sumatera Utara melalui calon independen berimplikasi positif sebagai solusi atas pembangunan lokal di saat dukungan sumber daya alam kita yang saat ini semakin terbatas. Rakyat yang saat ini haus akan pemimpin amanah harus berani dijawab mereka yang ingin menjadi pemimpin politik melalui calon independen. Dalam ruang politik bernama calon independen inilah, para calon diberi ruang lebar menawarkan program riil untuk menjawab kebutuhan rakyat. Para calon independen akan lebih tahu pemimpin seperti apa yang rakyat perlukan saat ini. Apakah hanya sebatas calon independen yang terkenal. Calon independen yang dapat memanggil investor masuk. Ataukah calon independen yang akan mampu membawa kemajuan daerah. Walaupun demikian, sesungguhnya kemajuan daerah tidak hanya tergantung pada peran calon independen, namun figur calon independen tentu juga sangat penting. Sosok calon independen harus seorang yang kompeten, memiliki track record yang baik, profesional, dan memiliki manajerial-skill untuk memimpin daerah pada era otonomi saat ini. Untuk itu, diperlukan sebuah pemerintahan daerah yang juga harus terdiri atas orang-orang yang profesional dan kompeten. Seorang calon independen adalah seorang tokoh besar yang mau menghargai perbedaan pandangan politik, keterbukaan, toleransi, dan lebih mementingkan kebersamaan demi mencapai tujuan bersama membangun daerah. Jika calon independen berhasil memenangi pertarungan politik dalam pilkada maka harus bersedia mengambil orang-orang yang berada di luar pemerintahan daerah untuk bergabung dalam pemerintahan lokal, demi mencapai keberhasilan Universitas Sumatera Utara program yang dicanangkannya. Bahkan, calon independen bersedia memunculkan kabinet bayangan dalam pemerintahannya jika terpilih sebagai kepala daerah.

1.2 Rumusan Masalah