D. Sejarah Pengelolaan Zakat
Sejarah menyebutkan bahwa pada masa awal Rasulullah SAW tiba di Madinah, muncul masalah sosial-ekonomi, yakni banyaknya warga Madinah yang
hidup di bawah garis kemiskinan, sehingga keadaan ini cukup mengkhawatirkan. Bagi orang yang hidup dalam kekurangan, hal yang dipertaruhkan adalah
keimanan atau akidahnya. Rasulullah SAW pun menganjurkan kepada umatnya agar hidup dalam kecukupan, karena orang yang fakir itu nyaris menjadi kafir.
37
Oleh karena itu, sejak empat belas abad yang lalu zakat disyariatkan oleh Allah SWT kepada umat Islam, terutama bagi yang mampu. Tujuan utama zakat
adalah untuk mengentas kemiskinan mustahiq orang-orang yang menerima zakat dari kemiskinan, bahkan merubah mereka dari mustahiq menjadi muzakki
orang-orang yang membayar zakat. Dan untuk itu, Allah SWT menyiapkan wadah atau lembaga pengelolanya yang disebut ‘amil orang atau badan
lembaga yang mengurus zakat.
38
Zakat mal harta benda telah difardhukan Allah sejak permulaan Islam, sebelum Nabi SAW berhijrah ke Madinah. Hanya saja pada mulanya zakat
difardhukan tanpa menentukan kadarnya dan tanpa pula diterangkan dengan jelas harta-harta yang diberikan zakatnya. Lalu pada tahun kedua dari hijriah 623 M,
37
Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia Malang: UIN Malang Press, 2008, h.215.
38
Ibid., h. 216.
barulah syara’ menentukan harta-harta yang dizakatkan serta kadarnya masing- masing.
39
Adapun prosedur pengumpulan dan pendistribusiannya Nabi SAW mengutus petugas di luar wilayah kota Madinah untuk mengumpulkan dan mengelola zakat.
Di antaranya adalah Mu’adz bin Jabal yang diutus ke penduduk Yaman. Para petugas yang ditunjuk oleh Nabi SAW terserbut dibekali dengan pedoman,
petunjuk teknis pelaksanaan, bimbingan, serta peringatan keras dan ancaman sanksi agar dalam pelaksanaan dan pengelolaan zakat dapat berjalan efektif dan
efesien.
40
Urgensi lembaga pengelolaan zakat adalah berdasarkan firman Allah SWT surah at-Taubah ayat 60 dan ayat 103. Dalam surat at-Taubah ayat 60 menyatakan
bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat mustahiq zakat adalah orang-orang yang bertugas mengurus zakat ‘amilina ‘alaiha. Sedangkan dalam
at-Taubah ayat 103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil dijemput dari orang- orang yang berkewajiban untuk berzakat muzakki untuk kemudian diberikan
kepada mereka yang berhak menerimanya mustahiq. Yang mengambil dan yang menjemput tersebut adalah para petugas ‘amil.
‘Amilin atau ‘amilun adalah kata jamak dari mufrad kata tunggal ‘amil. Imam asy-Syafi’i menyatakan bahwa ‘amilun adalah orang-orang yang diangkat
39
H. M. Djamal Doa, Menggagas Pengelolaan Zakat oleh Negara Jakarta: Nuansa Madani, 2005, h. 3-4.
40
Lili Bariadi, dkk, Zakat dan Wirausaha Jakarta: Centre of Entrepreneurship Development, 2005, h. 28-29.
untuk memungut zakat dari pemilik-pemiliknya, yaitu para sa’i orang-orang yang datang ke daerah-daerah untuk memungut zakat dan petunjuk-petunjuk
jalan yang menolong mereka, karena mereka tidak bisa memungut zakat tanpa pertolongan petunjuk jalan itu. Menurut Sayyid Sabiq, yang mengangkat adalah
imam kepala negara atau pembantunya. Termasuk ‘amilun adalah para penjaga harta, benda zakat, pengembala binatang-binatang zakat dan para panitra
administrasi zakat. Sedangkan menurut al-Qardhawi: “’Amilun adalah semua orang yang berkerja dalam perlengkapan administrasi urusan zakat, baik urusan
pengumpulan, pemeliharaan, ketatausahaan, perhitungan, pendayagunaan dan seterusnya.”
41
Ayat 60 surah at-Taubah ini tidak merinci cara-cara dan perimbangan pembagian antara orang yang terdapat dalam satu golongan, dan antara golongan
yang satu dengan golongan yang lain. Ayat tersebut hanya menetapkan kategori- kategori yang berhak menerima zakat hanya ada delapan golongan. Nabi SAW
sendiri pun tidak pernah menerangkan cara pembagian itu, bahkan beliau memberi mustahiq sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, dan disesuaikan
pula dengan jumlah persiapan harta benda zakat yang ada. Hal demikian berarti membukakan keluasan pintu ijtihad bagi Kepala Negara dan Badan Amil Zakat,
untuk mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai kebutuhan, situasi dan
41
K. H. Sjechul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, h. 19.
kondisi hasil pungutan yang ada, dalam batas-batas ketentuan ayat 60 surah at- Taubah.
42
Bukti bahwa pengelolaan zakat itu dilaksanakan oleh negara, baik pada masa Rasulullah SAW dan juga pada masa pemerintahan khalifah-khalifah
sesudahnya khulafa al-rasyidin, adanya petugas-petugas pemungut zakat secara resmi, seperti yang dijelaskan dalam beberapa hadits dan periwayatan yang
menjelaskan akan hal itu. Misalnya hadits Nabi SAW melalui Abu Huraiah, yang terdapat dalam shahih Bukhari dan Muslim, yang menyatakan bahwa Rasulullah
SAW telah mengutus seorang laki-laki dari Azad yang bernama Umar Ibnu Lutabiyah sebagai petugas pemungut zakat. Dalam hadits yang lain juga
disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah mengutus beberapa petugas untuk mengumpul zakat, seperti Ibnu Sa’di, Abu Mas’ud, Abu Jahm bin Hudzaifah,
Qais bin Sa’ad, Amir dan Wahid bin Uqbah.
43
Ibnu Hajar dan Imam Rafi’ sepakat menyatakan bahwa zakat baik pada masa Nabi SAW, maupun masa-masa setelah Nabi, seperti masa khulafa al-
rasyidin dan juga pemerintahan-pemerintahan dinasti Islam Bani Umayyah dan Bani Abbas pada masa pertengahan adalah dikelola oleh negara. Pendapat ini
setidaknya dikuatkan oleh sebuah dokumen berupa surat Imam zuhri kepada Umar bin Abdul Aziz salah satu khalifah dari Bani Umayyah, yang berisi
penempatan sunnah dalam urusan zakat, sebagian untuk orang yang sudah pikun
42
K. H. Sjechul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, h. 46.
43
H. M. Djamal Doa, Menggagas Pengelolaan Zakat Oleh Negara, h. 7.
dan orang yang lumpuh. Juga untuk orang miskin yang berpenyakit yang tidak mampu bekerja.
44
Dalam surat itu Imam Zuhri juga menyarankan kepada Sang Khalifah agar mengutamakan pendistribusian zakat itu untuk orang miskin yang mempunyai
utang, bukan untuk maksiat, tidak disangsikan agamanya atau uangnya. Ia juga mengusulkan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz agar musafir yang tidak
mempunyai tempat tinggal dan juga tidak mempunyai keluarga yang bisa disinggahinya diberi zakat sampai ia mendapatkan tempat tinggal atau telah
selesai keperluannya.
45
Dengan ini, terbukti bawah pengelolaan zakat telah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan diteruskan pengelolaan oleh para sahabat dan
pemimpin-pemimpin Islam sesudah mereka. Kandungan ayat 60 surah at-Taubah juga menjelaskan keberadaan ‘amil zakat ‘amilina ‘alaiha, yaitu bahwa zakat
itu ada yang menguruskannya. Harta zakat hendaklah diserahkan atau disampaikan kepada pengelola muzakki untuk diberikan kepada asnaf
mustahiq. Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, menyatakan
pengelolaan zakat oleh lembaga zakat, apalagi yang memiliki kekuatan hukum formal, akan memiliki beberapa keuntungan, antara lain: Pertama, untuk
menjamin kepastian dan displin pembayar zakat. Kedua, untuk menjaga perasaan
44
H. M. Djamal Doa, Menggagas Pengelolaan Zakat Oleh Negara, h. 9.
45
Ibid., h. 10.
rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki. Ketiga, untuk mencapai efisien dan efektivitas, serta
sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat. Keempat, untuk memperlihatkan syiar Islam dalam
semangat penyelenggaraan pemerintahan yang islami.
46
46
K. H. Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perokonomian Modern, h. 126.
33
BAB III PENGELOLAAN ZAKAT DI MALAYSIA
Malaysia sebagai sebuah negara berdaulat yang meletakkan Islam sebagai agama resminya telah membuka ruang untuk pelaksanaan hukum syara’. Dimulai
dengan merancang undang-undang perkawinan menurut hukum syara’, dan seterusnya berusaha merancang undang-undang yang berkaitan dengan uang dan
harta menurut hukum syara’. Namun, pelaksanaannya bukanlah merupakan suatu hal yang mudah untuk dilaksanakan. Dengan terbentuknya undang-undang
mengenai zakat, harus ada pihak yang mengurus dan melaksanakan undang- undang tersebut. Pengurusan dan pengelolaan yang sistematik akan memberi hasil
yang baik kepada negara dan juga masyarakat didalamnya. Malaysia yang mempunyai empat belas buah negeri harus bijak dalam mengatur kewenangan
yang diberikan kepada badan-badan yang berhak mengurus perkara zakat supaya tidak terjadi masalah ketidakadilan dalam pengurusan zakat.
A. Pengelolaan Zakat Di Malaysia