BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan
perkawinan, darah atau adopsi Burgess Locke, dalam Khairuddin, 1997.
Keluarga merupakan kelompok sosial yang kecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak Khairuddin, 1997. Keluarga sebagai sistem sosial terkecil
mempunyai fungsi dan tugas agar sistem tersebut berjalan seimbang dan berkesinambungan. Peranan dan fungsi keluarga sangat luas dan sangat
bergantung dari sudut dan orientasi mana akan dilakukan, yaitu diantaranya dari sudut biologi, sudut perkembangan, pendidikan, sosiologi, agama dan ekonomi
Gunarsa Gunarsa, 1993. Majelis umum Perserikatan Bangsa-bangsa PBB mengemukakan bahwa
keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan
fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera Sunarti, 2004.
Glasser dan Navarre 1999 menyatakan bahwa sebagai orang-tua, ada berbagai tugas yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan keluarga. Dukungan keuangan, pengasuhan anak, dan mengurus rumah tangga merupakan tugas-tugas konkrit yang harus dilakukan oleh orang-
1
Universitas Sumatera Utara
tua. Tugas-tugas tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara kedua orang- tua, yaitu ayah dan ibu.
Menurut Menaghan, Sieber Thoits dalam Evenson
Simon, 2005, pada dasarnya, pengalaman menjadi orang-tua menyediakan kepuasan pribadi
bagi individu yang mengalaminya, seperti halnya tujuan dan makna hidup, dimana terdapat dukungan kesejahteraan emosional. Menjadi orang-tua membutuhkan
aturan baru dan tanggung jawab yang besar sebagai ayah maupun ibu Hill dan Aldous, dalam Craig, 1996.
Terdapat banyak tugas dan peran yang harus dilaksanakan sebagai orang- tua, dan hal tersebut membutuhkan kerjasama masing-masing pasangan. Suami
atau istri dalam rumah tangga yang normal merupakan partner yang sanggup memberikan rasa aman dan nyaman. Selain itu dengan adanya pasangan
seseorang dapat berbagi tugas dalam menjawab berbagai kebutuhan hidup, dalam mengatasi berbagai masalah dan tanggung jawab, namun ada kalanya nasib
berkata lain, tidak setiap orang dapat terus menerus hidup dengan pasangannya, tidak selamanya tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara
kedua orang-tua harus dijalankan bersama-sama. Adakalanya tugas tersebut hanya dijalankan oleh satu orang-tua saja dimana seorang suami atau istri harus berperan
ganda ”Sulitnya menjadi orang-tua tunggal,”2007
Sebagian dari orang-tua harus mengalami menjadi orang-tua tunggal oleh berbagai sebab, ada yang karena pasangan meninggal dunia, bercerai, atau karena
kehamilan di luar nikah ”Sulitnya menjadi orang-tua tunggal,”2007. Laswell dalam Wolf, 1995 mengatakan bahwa orang-tua tunggal muncul karena
1
Universitas Sumatera Utara
kematian pasangan dan putusnya ikatan perkawinan dalam keluarga, yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku dalam suatu negara. Sejalan dengan pendapat
tersebut, Papalia 1998 menyatakan bahwa selain perceraian, kehilangan pasangan hidup dapat menyebabkan seseorang menjadi orang-tua tunggal.
Lopata dalam Belsky, 1997 menyebutkan bahwa peristiwa kematian pasangan hidup merupakan peristiwa yang dapat mengganggu kehidupan
emosional, mengubah hubungan individu dengan lingkungan sosialnya dan dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan setelah ditinggalkan
pasangan. Ketika pasangan meninggal, pasangan yang ditinggalkan tidak hanya kehilangan dukungan emosional, persahabatan, dan teman, namun harus
menemukan cara untuk memenuhi semua tugas-tugas dan tanggung jawab dalam keluarga. Menemukan pengganti untuk mengisi peran yang kosong, atau mencoba
untuk melakukannya seorang diri, sendiri dan tanpa dukungan Sanders, 1992. Berdasarkan Holmes-Rahe Social Readjusment Rating Scale dalam
Lemme, 1995, yaitu skala yang mengukur tentang peristiwa hidup yang menimbulkan tingkat stres paling tinggi, diperoleh hasil bahwa kematian
pasangan hidup merupakan peristiwa yang sangat menimbulkan stres, dan menempati urutan tertinggi. Senada dengan yang dikatakan oleh Brubaker dalam
Lemme, 1995 menyatakan hal ini terjadi karena penyesuaian masa menjanda atau menduda yang terjadi secara tiba-tiba. Banyak pasangan yang tidak siap akan
perubahan kehidupan setelah kematian pasangan hidup mereka, apalagi kematian tersebut terjadi secara mendadak. Hal ini dikuatkan oleh Rahe dan Holmas dalam
Kasschau, 1993 yang menyatakan bahwa kehilangan pasangan karena kematian
1
Universitas Sumatera Utara
merupakan peristiwa yang lebih dapat menimbulkan stres daripada kehilangan pasangan karena perceraian. Menurut Mitchell dalam Kasschau, 1993 hal ini
dikarenakan individu yang mengalami perceraian masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang telah putus dengan pasangannya dan masih
dapat mengharapkan bantuan dari pasangannya terutama dalam masalah yang berkaitan dengan keperluan sekolah anak, pertunangan atau pernikahan anak dan
hal-hal lain yang berhubungan dengan kepentingan anak. Brubaker dalam Lemme, 1995 menyatakan bahwa terdapat dua
tantangan utama yang dialami oleh janda atau duda, yaitu mengatasi perasaan duka cita setelah ditinggalkan orang yang dicintai dan membangun kehidupan
baru sebagai orang-tua tunggal. Bankoff dalam Lemme, 1995 menjelaskan tiga tahapan dalam mengatasi tantangan ini. Tahap pertama disebut dengan crisis loss
phase, tahap kedua yang dialami adalah transition phase, dan tahap ketiga dari proses kehilangan pasangan adalah reorganization phase.
Tahap pertama disebut dengan crisis loss phase, yaitu periode dimana masih terjadi kekacauan dan disorganisasi selama beberapa hari, beberapa
minggu, dan terkadang sampai beberapa bulan. Kemarahan, ketidakpercayaan, dan kebingungan mengenai apa yang akan terjadi di masa depan menjadi
karakteristik dari tahap ini. Simptom-simptom depresi, misalnya apatis dan penarikan diri biasanya dihubungkan dengan penghayatan akan kehilangan orang
yang dicintai Lopata, dalam Lemme, 1995. Janda atau duda mulai menghadapi kesulitan dalam keseharian mereka, misalnya dalam hal keuangan atau tugas-
2
Universitas Sumatera Utara
tugas rumah tangga, perasaan kesepian dan kehilangan sebagai akibat dari kematian pasangan mereka Lemme, 1995.
Tahap kedua yang dialami adalah transition phase, terjadi jika rasa kehilangan pada individu tersebut mulai berkurang, dan adanya kemungkinan
akan kehidupan baru yang akan muncul. Di tahap ini juga dimulai pengembangan identitas baru sebagai orang-tua tunggal dan mulai dibangun kembali sistem sosial
Bankoff, dalam Lemme, 1995. Tahap ketiga dari proses kehilangan pasangan adalah reorganization
phase, dimana individu mulai menetapkan kehidupan baru misalnya menikah kembali dan mulai bersikap normal serta menyesuaikan diri terhadap rasa
kehilangan pasangan Bankoff, dalam Lemme, 1995. Menurut Lemme 1995, terdapat perbedaan antara wanita dan pria dalam
menyikapi perasaan kehilangan atas pasangan hidup mereka. Umumnya wanita akan merasa lebih sulit untuk menerima perasaan kehilangan tersebut. Wanita
lebih sulit untuk menerima kenyataan bahwa pasangan hidupnya telah tiada daripada pria. Wanita juga lebih memilih untuk tidak menikah kembali daripada
pria setelah peristiwa tersebut. Hal ini menyebabkan wanita yang ditinggal mati suaminya lebih merasakan kesepian daripada pria yang ditinggal mati istrinya
Lemme, 1995. Hal ini sesuai dengan komunikasi personal yang peneliti lakukan
dengan seorang wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal karena kematian suaminya A, berusia 28 tahun dengan 1 orang anak seperti terdapat dalam
kutipan wawancara berikut ini: ”Mm…waktu suami tante meninggal, ya pasti sedih kali ya. Apalagi waktu itu
usia pernikahan tante belum lagi 2 tahun. Pikiran jadi sering ngambang gitu.
2
Universitas Sumatera Utara
Sempat ada perasaan gini, kenapa Allah gak adil kali dengan ku? Kayaknya baru sebentar kali tante hidup dengan suami, tapi kok cepat kali
dipanggilNya? Pokoknya kayak gak percaya gitu la tante. Tante kadang ngerasa gak ada temen ngomong, buat tempat curhat gitu. Kalau ngerasa
stres dengan kerja, dengan yang lain-lain, gak ada orang yang bisa diajak cerita. Jadi gak ada tempat sharing gitu la..”
Komunikasi Personal, 4 November 2007
Pria memiliki kesulitan untuk mengekspresikan perasaan duka cita daripada wanita, walaupun begitu pria lebih cepat menerima kenyataan tentang
kematian pasangannya Troll, Miller Atchley dalam Nock, 1987. Selain itu, pria juga memiliki kecenderungan yang besar untuk menikah kembali. Hal ini
terjadi karena duda menghadapi kesulitan dengan kesepian dan urusan-urusan rumah tangga Connidis, dalam Aiken, 1994. Hal ini disebabkan kurangnya
pengalaman dari duda tersebut dan sedikitnya teman sesama duda untuk berbagi cerita dan masalah. Mereka menyadari bahwa sahabat, seks, dukungan fisik dan
emosional yang biasanya ada pada istri sangat mereka butuhkan Treas Vantlilst, dalam Aiken, 1994.
Bruce 1995 mengungkapkan bahwa kematian pasangan hidup menyebabkan seseorang menjadi orang-tua tunggal, dan ini banyak dialami oleh
wanita. Alasan mengapa lebih banyak wanita yang menjadi orang-tua tunggal menurut Bruce adalah karena wanita memiliki harapan hidup yang lebih panjang
dan yang kedua adalah pada saat pernikahan, hampir pada semua pasangan, usia suami lebih tua daripada istri. Sejalan dengan hal tersebut, Aiken 1994
menyebutkan mengenai alasan mengapa terdapat perbedaan yang cukup besar mengenai persentase janda dan duda yaitu disebabkan wanita memiliki harapan
hidup yang lebih lama daripada pria, selain itu jumlah janda yang lebih besar
2
Universitas Sumatera Utara
daripada duda juga disebabkan oleh duda yang cenderung untuk menikah lagi setelah kematian istrinya.
Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia tahun 2000, terlihat lebih banyak janda dibandingkan duda, yaitu sekitar 8.670.870 janda dan 1.763.613 duda.
Survei yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana BKKBN tahun 2004 di Indonesia diperoleh hasil sekitar 40 juta keluarga yang berkepala
rumah tangga dengan status janda. Berdasarkan hasil survei tersebut juga diketahui bahwa 13,4 janda di Indonesia masih hidup di bawah garis
kemiskinan Saras, 2005. Sementara itu, data dari Dinas Kependudukan Kota Medan tahun 2005 disebutkan bahwa jumlah janda lebih besar dibandingkan
jumlah duda, dimana janda cerai sebanyak 1,48 , dan janda karena kematian suami sebanyak 6,17 . Jumlah duda cerai sebanyak 0,56 dan duda karena
kematian istri sebanyak 1,01 . Berdasarkan data tersebut di atas apabila dikumulatifkan maka persentase janda lebih besar, yaitu 7,65 daripada
persentase duda yang hanya mencapai persentase 1,57 . Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa peran sebagai orang-tua tunggal ini tampaknya
lebih banyak dipegang oleh wanita. Menurut Perlmutter Hall 1995, orang-tua tunggal adalah orang-tua
yang tanpa pasangan secara kontinu membesarkan anaknya oleh diri mereka sendiri. Kemudian Sager, Walker, Brown, Crohn dan Rodstein dalam Duvall
Miller, 1995 mengartikan orang-tua tunggal sebagai orang-tua yang secara sendirian membesarkan anak tanpa kehadiran, dukungan, atau tanggung jawab
pasangannya.
2
Universitas Sumatera Utara
Haber dan Ruyon 1994 menyatakan bahwa banyak hal yang berubah dan butuh penyesuaian diri bagi seorang wanita yang ditinggalkan suami karena
kematian. Salah satunya adalah menjadi orang-tua tunggal. Hal tersebut menjadikan hidup seorang wanita tidak hanya berperan sebagai ibu, namun juga
berperan sebagai ayah. Keadaan yang demikian menjadikan hidup sebagai orang- tua tunggal bukanlah perkara yang mudah. Wanita yang juga berperan sebagai
kepala rumah tangga lebih sering mengalami stres secara psikologis sebagai hasil dari perjuangannya untuk mempertahankan hidup. Mereka merasakan penderitaan
seperti depresi atau kecemasan, karena mengharuskan kemampuan mereka untuk menjadi orang-tua yang mendukung dan penuh perhatian terhadap anaknya
Craig, 1996. Hal tersebut sesuai dengan pengalaman seorang wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal seperti terdapat dalam kutipan wawancara
berikut: ”Waktu tante ditinggal suami tante, terpikir juga, aduh....gimana ini ngadepin
ke depannya? Takut gak bisa gitu. Tapi ya harus dijalani kan. Kadang ya stres juga lah. Mikirin kerjaan, mikiran keluarga, mikirin anak... ya capek la
pokoknya.”
Komunikasi Personal, 4 November 2007
Perubahan hidup yang tiba-tiba mengharuskan seseorang melakukan penyesuaian diri dengan keadaan hidupnya. Perasaan duka cita yang dialami
wanita yang kehilangan pasangan karena kematian berlangsung selama 1 atau 2 tahun setelah kematian pasangan Kail dan Cavanaugh, 2000. Sejalan dengan
pendapat tersebut, Hoyer dan Roodin 2003 mengatakan bahwa individu yang kehilangan seseorang yang dicintai karena kematian akan mengalami perasaan
duka cita selama lebih kurang 2 tahun setelah ditinggalkan pasangannya. Perasaan
2
Universitas Sumatera Utara
duka cita yang dialami wanita karena kehilangan pasangan hidupnya selama 1 atau 2 tahun tersebut juga harus disertakan dengan adanya penyesuaian diri
terhadap perubahan hidupnya. Lebih lanjut lagi, Heinemann dalam Nock, 1987 menambahkan bahwa kebanyakan individu yang kehilangan pasangannya karena
kematian membutuhkan waktu paling tidak 1 sampai 3 tahun untuk menyesuaikan diri dengan peristiwa tersebut. Pendapat tersebut sesuai dengan pengalaman
seorang wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal seperti dalam kutipan wawancara berikut ini:
”Tante udah hampir 5 tahun ya pisah dengan suami, ya...kadang-kadang masih teringat juga. Pasti la ya...kangen gitu.....Apalagi kalau ngeliat anak
tante ini, nanti dia nyanyi-nyanyi, karaoke gitu...terus tante teringat...Iih...kalau ada papanya, pasti dia senang kali....ya nangis juga,
sampe anak tante kadang nanya mama kenapa....Gak apa-apa sayang....mama teringat papa aja...gitu.”
Komunikasi Personal, 4 November 2007
Saarna 2002 mengungkapkan bahwa menjadi janda bagi wanita merupakan perubahan yang signifikan dalam kehidupan wanita, keadaan tersebut
membawa tantangan dan tanggung jawab yang cukup besar. Menurut Paulin dan Lee 2002, hal ini disebabkan karena wanita yang juga berperan sebagai orang-
tua tunggal bagi anak-anaknya dihadapkan pada tugas-tugas orang-tua yang mestinya dapat dilakukan dengan pasangan hidup atau suami, misalnya mengasuh
anak, membantu anak dalam pekerjaan rumahnya, mengurus rumah tangga, mencukupi kebutuhan anak, dan sebagainya. Tugas-tugas tersebut dilakukan
dengan sumber daya yang terbatas. Sejalan dengan pendapat tersebut, Stroebe Stroebe dalam Cavanaugh, 2006 menyebutkan bahwa ketika individu
kehilangan pasangannya, ia akan mengalami peningkatan penyakit-penyakit fisik,
2
Universitas Sumatera Utara
merasakan simptom-simptom depresi, kehilangan status, kesulitan ekonomi dan rendahnya dukungan sosial.
Kehilangan pasangan hidup secara signifikan dapat mengakibatkan perubahan dalam kesejahteraan seseorang Saarna, 2002. Perubahan tersebut
meliputi perubahan psikologis, ekonomi, fisik dan kesejahteraan sosial. Lebih lanjut, Hetherington 1999 menjelaskan bahwa masalah utama wanita yang
berperan sebagai orang-tua tunggal karena kematian suami berkaitan dengan adanya perubahan tekanan yang dialaminya, antara lain masalah praktis dalam
kehidupan, seperti ekonomi, masalah pekerjaan dan masalah mengurus rumah tangga.
Wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal dihadapkan pada masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan yang sangat beragam. Hurlock 1991
menyebutkan beberapa permasalahan umum yang dihadapi wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal karena kematian suami adalah masalah ekonomi,
keluarga, tempat tinggal, sosial, praktis dan seksual. Masalah ekonomi adalah masalah utama yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal
Egelman, 2004. Pendapat tersebut didukung oleh Troll dalam Lemme, 1995 yang menyatakan bahwa banyak wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal
mengalami kemiskinan, hal tersebut dapat terjadi karena hilangnya pendapatan dari suami yang dulu mendukung perekonomian keluarga. Hal ini sesuai dengan
pengalaman seorang wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal seperti terdapat dalam kutipan wawancara berikut ini:
”Masalah yang nomor satu ya masalah ekonomi. Semuanya gara-gara ekonomi bisa berbuat nekat. Kadang orang-tua ya, apalagi tante udah gak
2
Universitas Sumatera Utara
punya bapak, ya juga harus bantu. Kadang orang-tua butuh gini...gini...Itu rasanya kepala tante mau pecah, dada rasanya berat...kali. Ya Allah...aku
pengen kali membahagiakan orang-tua, tapi apa daya lah. Cuma segini la tante bisa bantu dia. Kadang tante pikir, kalau aja sempat, abis pulang kerja
tante pengen nyari tambahan lagi, kerja paruh waktu gitu lah. Tapi gimana la, pulang kerja aja udah malam jam 8. terkadang kondisi fisik kita gak
sesuai dengan keinginan kita. Kita pingin nyari duit tambahan lagi, tapi badan udah gak bisa...udah capek...kali...”
Komunikasi Personal, 4 November 2007 Cavanaugh dan Fredda 2006 menyebutkan bahwa kehilangan pasangan
hidup karena kematian akan membawa individu kepada perasaan kehilangan atau duka cita yang sangat mendalam, terlebih lagi jika hubungan itu telah lama dibina
dan sangat dekat. Sejalan dengan pendapat tersebut, kualitas hubungan dengan suami juga berpengaruh terhadap perasaan duka cita. Hubungan istri yang
memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan suaminya serta ketergantungan istri dengan suaminya akan menyulitkan istri untuk menyesuaikan diri dengan
perasaan kehilangan suaminya Rando, 1997. Fulton dalam Cavanaugh dan Fredda, 2006 menyatakan bahwa
memahami perasaan duka cita pada seseorang karena kematian pasangan sangat penting karena perasaan duka cita itu dapat mengubah makna hidup seseorang.
Proses duka cita karena kematian seseorang merupakan waktu untuk mencari makna dalam kematian tersebut dan juga dalam kehidupan Saito, dalam
Cavanaugh dan Fredda, 2006. Sejalan dengan hal tersebut, Lieberman Peskin dalam Hoyer Roodin, 2003 menjelaskan bahwa salah satu aspek terpenting
dalam perasaan duka cita karena kematian seseorang yang disayangi adalah mendorong seseorang untuk mencoba membuat penghayatan akan dunianya dan
untuk mencari makna baru dalam kehidupannya. Kematian dapat membawa
2
Universitas Sumatera Utara
perubahan yang positif dalam kehidupan seseorang, dan perasaan duka cita merupakan penggerak bagi pertumbuhan individu dalam mencari makna pribadi
tentang rasa kehilangan tersebut Edmons Hooker, dalam Hoyer Roodin, 2003.
Makna hidup merupakan hal-hal yang dipandang penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan
hidup bagi seseorang Bastaman, 2007. Frankl 1988 menyatakan bahwa makna hidup bersifat unik, spesifik, personal dan konkrit, sehingga masing-masing orang
mempunyai makna hidup yang khas dan cara penghayatan yang berbeda antara pribadi satu dengan yang lainnya.
Frankl dalam Bastaman, 2007 mengatakan bahwa individu dapat memperoleh makna hidupnya melalui tiga sumber, yaitu nilai-nilai kreatif
creative values, nilai-nilai pengalaman experiental values, dan nilai-nilai bersikap attitudinal values.
Berdasarkan teori dan prinsip logoterapi, Viktor Frankl dalam Bastaman, 1996 menggambarkan tentang penghayatan hidup seseorang yang tidak
bermakna yaitu antara lain merasa hampa, gersang, tidak memiliki tujuan hidup, merasa hidup tidak berarti, serba bosan dan apatis. Kadang-kadang tidak
terungkap secara nyata, namun terselubung dibalik berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa, bersenang-senang mencari
kenikmatan seksual, bekerja, dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Dengan kata lain, perilaku dan kehendak yang berlebihan itu biasanya menutupi
penghayatan-penghayatan hidup tanpa makna.
2
Universitas Sumatera Utara
Makna hidup apabila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan biasanya mereka yang menemukan dan
mengembangkannya akan terhindar dari keputusasaan Bastaman, 1996. Crumbaugh dalam Bastaman, 1996 mengemukakan beberapa perilaku dalam
penghayatan hidup bermakna antara lain: menjalani kehidupan dengan semangat, mempunyai tujuan hidup yang jelas, merasakan kemajuan sendiri yang telah
dicapai, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, menyadari bahwa sesungguhnya makna hidup dapat ditemukan dalam berbagai keadaan, tabah
dalam menghadapi suatu peristiwa tragis, benar-benar menghargai hidup dan kehidupan serta mampu mencintai dan menerima cinta kasih dari orang lain.
Ada beberapa komponen yang dapat menentukan berhasilnya perubahan dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna Bastaman, 1996, yaitu
kelompok komponen personal terdiri dari pemahaman diri dan pengubahan sikap, kelompok komponen sosial berupa dukungan sosial dan kelompok
komponen nilai terdiri dari makna hidup, komitmen diri dan kegiatan-kegiatan terarah.
Bastaman 1996 menyatakan bahwa perubahan hidup dari tidak bermakna menjadi bermakna harus melalui proses. Proses tersebut meliputi tahap derita
peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna, tahap penerimaan diri pemahaman diri, pengubahan sikap, tahap penemuan makna hidup penemuan makna dan
penentuan tujuan hidup, tahap realisasi makna komitmen diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna hidup serta tahap kehidupan bermakna penghayatan
bermakna, kebahagiaan.
2
Universitas Sumatera Utara
Proses menemukan makna hidup dapat dilakukan dengan berbagai metode. Bastaman 1996 menyebutkan metode-metode tersebut adalah metode
pemahaman diri, metode bertindak positif, metode pengakraban hubungan, metode pendalaman tri-nilai dan metode ibadah.
Seorang istri yang ditinggalkan suaminya karena kematian, mau tak mau harus menjalani peran ganda sebagai orang-tua tunggal. Peran sebagai orang-tua
tunggal dalam rumah tangga tentu saja tidak mudah, karena dibutuhkan perjuangan berat untuk membesarkan dan mengurus anak, termasuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga ”Sulitnya menjadi orang-tua tunggal,”2007. Namun, kematian pasangan tidak selalu melemahkan, pasangan yang masih bertahan dapat
menemukan makna dalam kehilangan tersebut dan menyadari adanya makna dalam kehidupannya Hoyer Roodin, 2003.
Perjuangan wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal, dimana ia berusaha bertahan dalam hidupnya yang bermasalah, merupakan salah satu bentuk
eksistensi dari manusia. Menurut ajaran logoterapi, kehidupan ini mempunyai makna dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, termasuk dalam penderitaan
sekalipun, hasrat hidup bermakna merupakan motivasi utama dalam kehidupan ini Muhid, 2002
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa wanita lebih banyak yang bertahan menjadi orang-tua tunggal walaupun
kehidupan menjadi orang-tua tunggal terkadang penuh derita dan permasalahan sehingga peneliti ingin melihat bagaimanakah makna hidup pada wanita yang
berperan sebagai orang-tua tunggal.
3
Universitas Sumatera Utara
I.B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini. Dengan demikian dapat
dirumuskan masalah utama dari penelitian ini, yaitu: a. Bagaimanakah penghayatan wanita dalam menghadapi perasaan duka cita
setelah kematian suaminya? b. Bagaimanakah permasalahan hidup yang dialami wanita yang berperan
sebagai orang-tua tunggal? c. Bagaimanakah penghayatan wanita tersebut dalam menghadapi penderitaan
sebagai orang-tua tunggal? d. Bagaimanakah gambaran makna hidup pada wanita yang berperan sebagai
orang-tua tunggal?
I.C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap makna hidup pada wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal.
I.D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara teoritis dan praktis.
I.D.1. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian Psikologi khususnya di bidang Psikologi Klinis mengenai makna hidup pada wanita yang
3
Universitas Sumatera Utara
berperan sebagai orang-tua tunggal. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian
lebih lanjut.
I.D.2. Secara Praktis Bagi Wanita Yang Berperan sebagai Orang-tua Tunggal
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal untuk mengatasi berbagai masalah yang
dihadapinya secara tepat, membantu para wanita tersebut memperoleh makna dari pengalaman-pengalaman hidupnya sejak menjadi orang-tua tunggal serta
membantu mereka dalam mengatasi perasaan duka cita karena kematian pasangan hidupnya.
Bagi Klinisi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi bagi para klinisi khususnya dalam menghadapi kasus-kasus yang berkaitan dengan
makna hidup dan perasaan duka cita karena kematian pasangan hidup pada wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal.
I.E. SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian ini dirancang dengan susunan sebagai berikut: BAB I
adalah pendahuluan yang berisikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta
sistematika penulisan.
3
Universitas Sumatera Utara
BAB II memuat landasan teori yang terdiri dari teori-teori yang
menjelaskan data penelitian yaitu teori tentang makna hidup, termasuk tentang definisi makna hidup, karakteristik makna hidup,
sumber-sumber makna hidup, penghayatan hidup, komponen- komponen perubahan penghayatan makna hidup, dan metode
menemukan makna hidup. Teori tentang orang-tua tunggal, termasuk definisi orang-tua tunggal, perbedaan keluarga utuh dan
keluarga orang-tua tunggal, masalah yang dihadapi oleh orang-tua tunggal, dan masalah yang dihadapi wanita yang berperan sebagai
orang-tua tunggal. Teori tentang duka cita, termasuk definisi duka cita, representasi duka cita, manifestasi psikologis dari duka cita,
dan duka cita pada wanita karena kematian suami serta mengenai dinamika penelitian, yaitu makna hidup pada wanita yang berperan
sebagai orang-tua tunggal. BAB III
membicarakan tentang metode penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini, termasuk subjek dan lokasi penelitian, selain
itu juga memuat teknik pengambilan responden dalam penelitian serta metode pengambilan data yang digunakan.
BAB IV mengenai analisa data dan interpretasi data yang menguraikan
tentang data pribadi responden, analisa data dan interpretasi per responden yang meliputi latar belakang meninggalnya suami,
penghayatan responden terhadap perasaan duka cita atas meninggalnya suami, permasalahan yang dialami oleh responden,
3
Universitas Sumatera Utara
penghayatan responden atas penderitaannya sebagai orang-tua tunggal dan mengenai gambaran makna hidup pada responden
sebagai orang-tua tunggal. BAB V
berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai makna hidup pada wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal. Kesimpulan
berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan. Diskusi berisikan data-data atau temuan yang tidak dapat dijelaskan dengan
teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta saran yang berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan
masalah-masalah peneliitian, dan saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.
3
Universitas Sumatera Utara
BAB II LANDASAN TEORI