BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Politik luar negeri merupakan salah satu bidang kajian dalam Ilmu Hubungan Internasional. Politik Luar Negeri sampai saat ini masih menjadi sebuah studi yang kompleks
karena tidak hanya melibatkan aspek-aspek eksternal namun juga aspek-aspek internal suatu negara.
1
Negara, sebagai sebuah aktor yang melaksanakan politik luar negeri, merupakan unit politik utama dalam sistem hubungan internasional, meskipun akto-aktor “non-state” semakin
memainkan peran penting dalam kajian ilmu hubungan internasional. Dalam kajian politik luar negeri sebagai suatu sistem, rangsangan dari lingkungan
eksternal dan domestik sebagai sebuah input yang mempengaruhi politik luar negeri suatu negara dipersepsikan oleh para pembuat keputusan dalam suatu proses konversi menjadi ouput. Proses
konversi yang terjadi dalam perumusan politik luar negeri suatu negara ini mengacu pada pemaknaan situasi, baik yang berlangsung dalam lingkungan eksternal maupun internal dengan
mempertimbangkan tujuan yang ingin dicapai serta sarana dan kapabilitas yang dimilikinya.
2
Permasalahan Politik Luar Negeri Indonesia ini telah diatur dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945, yang berbunyi “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh karena itu penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Pernyataan tersebut menunjukkan ciri utama dari politik
luar negeri Indonesia.
3
17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Proklamasi kemerdekaan yang dibacakan pada hari Jumat pagi itu bukanlah suatu
akhir, melainkan suatu permulaan untuk hal yang lebih besar lagi. Proklamasi hanyalah suatu bentuk pencapaian negara Indonesiauntuk hadir sebagai negara yang berdaulat, otonom, dan
bebas dari campur tangan negara lain. Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia banyak dihadapkan dengan masalah-masalah besar disamping masalah-masalah lainnya. Salah satunya
yaitu belum adanya pengakuan internasional yang luas atas kemerdekaan dan kedaulatan yang baru saja diterima oleh Indonesia. Belanda tidak mengakui kedaulatan negara Indonesia yang
1James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kennth W. Thompson.1976. World Politics: An Introduction. New York: the Free Press, hal.15
2James N. Rosenau, 1980. The Scientific Study of Foreign Policy. New York: The Free Press, hal. 171, 173. 3 Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa, “Sejarah Diplomasi Republik
Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1966-1995 Jilid IVA”, Jakarta: Departemen Luar Negeri RI, 2005, hlm. 14
dianggap bentukan Jepang yang berbau fasisme. Hal ini menimbulkan ide dari Belanda untuk melaksanakan Agresi Militer I dan Agresi Militer II oleh para tentara sekutu, yang dijadikan
Belanda sebagai alat untuk kembali berkuasa pada masa itu. Kedatangan Sekutu yang membawa orang-orang NICA Netherlands Indies Civil
Administration meresahkan dan menimbulkan ancaman terhadap kedaulatan Republik Indonesia yang saat itu baru seumur jagung. Belanda terus menerus memancing perang dengan Indonesia
hingga akhirnya ibukota Jakarta harus dipindahkan ke Jogjakarta pada 4 Januari 1946. Dan dari Jogjakarta dipindahkan ke Bukittinggi yang dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia. Pada periode tahun 1945-1949 bisa dikatakan Indonesia masuk ke dalam situasi yang
sangat genting. Nasib Indonesia memerlukan pembicaraan ulang antara pihak Republik Indonesia dan Belanda. Belanda dengan berbagai kepentingannya masih saja mempertanyakan
kedaulatan Republik Indonesia. Namun, hal tersebut segera ditanggulangi oleh Sjahrir yang kala itu tampil di panggung internasional untuk berunding dengan Belanda.
Ketika Indonesia menjadi suatu negara yang merdeka, maka terdapat pembagian politik dalam sistem pemerintahan dan pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Republik
Indonesia, yaitu internal dan eksternal. Pembuatan kebijakan internal lebih mengarah kepada kebijakan yang diterapkan oleh negara untuk mengatur permasalahan yang bersifat domestic.
Sedangkan pembuatan kebijakan eksternal lebih mengacu kepada kebijakan yang dibuat Republik Indonesia untuk berinteraksi dan menghadapi sistem internasional.
Pada fase awal kemerdekaan, selain masalah internal, Indonesia juga dihadapkan dengan berbagai masalah dari eksternal. Pemaknaan situasi yang mengacu pada kondisi masa-masa
setelah Perang Dunia II berakhir yang memasuki fase “Cold War”, dimana pada saat itu dunia terpolarisasi menjadi blok Barat dan Blok Timur. Hal tersebut ditanggapi oleh Indonesia dengan
membuat konsep jangka panjang dan jangka pendek. Jangka pendeknya yaitu berkaitan dengan hal yang didasarkan atas kegunaan dan keuntungan bagi kepentingan rakyat Indonesia serta
kepentingan umat manusia, namun tetap berlandaskan pada pancasila sebagai moral bangsa. Sedangkan jangka panjangnya yaitu bertindak nyata dalam pemikiran dan memberikan perhatian
pada perubahan dunia internasional.
4
Hal ini disebabkan karena pada saat itu Indonesia dihadapkan pada perang ideologi antara American Bloc dan Soviet Bloc.
Pada tahun 1946, sebagai negara yang baru merdeka Indonesia langsung menujukkan kontribusinya terhadap dunia internasional melalui kebijakan politik luar negerinya. Hal tersebut
4 Adhitia Pahlawan, Journal of Indonesia’s Foreign Policy
diperlihatkan dengan memberikan bantuan sejumlah 500.000 ton gabah untuk meringankan beban rakyat India yang ditimpa bahaya kelaparan. Bantuan tersebut sebenarnya cukup kecil jika
dibandingkan dengan kebutuhan India yang begitu besar. Namun sebagai sumbangan rakyat Indonesia akan menjadi sangat besar artinya pada masyarakat India dan masyarakat
internasional. Sumbangan tersebut nyatanya dapat menumbuhkan perhatian dunia internasional tertuju kembali pada Indonesia. Sebagai negara yang baru saja mendapatkan kedaulatan,
merupakan sebuah capaian besar bagi Indonesia dapat menolong negara lainnya. Kondisi sistem internasional pada masa “ColdWar” yang mengharuskan Indonesia untuk
memutuskan untuk beraliansi pada salah satu blok, ditanggapi oleh Mohammad Hatta dalam pidatonya didepan KNIP pada tanggal 2 September 1948.
Prinsip dasar politik luar negeri Indonesia adalah “Bebas Aktif”, yang dikemukakan pertama kali oleh Sjahrir pada Asia Conference di New Delhi pada 1946. Kemudian
dikemukakan kembali oleh Mohammad Hatta dalam sidang Komite Nasional Indonesia Pusat yang diberi judul “Mendayung Antara Dua Karang”.
5
Namun, bukan berarti Indonesia bersifat netral terhadap hal tersebut. Menurut Philip.C Jessup, terminologi netral memiliki arti anti sosial. Hal tersebut bisa membuat pandangan dari
masyarakat internasional terhadap Indonesia menjadi buruk, yaitu Indonesia is unsocial. Alasan lain yaitu karena sudah menjadi mandate dari piagam PBB, dimana negara harus memiliki
international solidarity terhadap sebuah iven dan ini telah menjadi sebuah komitmen internasional.
6
Salah satu argument Bung Hatta yang disampaikan dalam pembahasan politik luar negeri mencerminkan Indonesia tidak bisa berada dibawah ketiak negara lain dan menjadi objek
kepentingan, yaitu : “Pemerintah berpendapat bahwa pendirian jang harus kita ambil ialah supaja kita djangan
menjadi objek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus tetap mendjadi subjek jang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperdjoangkan tudjuan kita
sendiri, jaitu Indonesia Merdeka seluruhnya”.
7
5 Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia, 12-13 6 Pada praktiknya solidaritas internasional mengalami pergeseran dimana solidaritas internasional itu lahir akibat
konteks perang antara blok barat dengan blok timur. Indonesia’s Foreign Policy. Page 444 7 Drs. Mohammad Hatta dimuka siding B.P.K.N.P di Djokja 1948, “Mendajung Antara Dua Karang”, Kementrian
Penerangan Republik Indonesia
Kutipan diatas menjelaskan dasar-dasar politik luar negeri yang ingin dicetuskan oleh Mohammad Hatta pada saat itu.
Lebih lanjut, menurut Hatta, the policy of the Republic Indonesia is not one neutrality. Melainkan bebas dan aktif dalam pertentangan kedua blok. PLN bebas-aktif mengandung dua
unsure fundamental yaitu bebas dan aktif. Bebas berarti kita berhak menentukan penilaian dan sikap kita sendiri terhadap masalah dunia dan bebas dari keterikatan pada satu blok kekuatan di
dunia serta persekutuan militernya. Aktif, yaitu secara aktif dan konstruktif berupaya menyumbang tercapainya kemerdekaan yang hakiki, perdamaian dan keadilan di dunia, sesuai
dengan Pembukaan UUD 1945.
8
Secara politis, politik luar negeri Indonesia berpedoman pada amanat konstitusi : “…dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial…”. Dalam pelaksanaannya Indonesia menganut paham “Bebas-Aktif” yang dicetuskan oleh Mohammad Hatta. Prinsip dasar “Bebas-Aktif” itulah yang member kandungan
atau cerminan kepentingan nasional yang ingin diperjuangkan dan dipertahankan melalui mekanisme diplomasi.
9
Faktor lain yang menjadi landasan dari Politik Luar Negeri Indonesia “Bebas dan Aktif” tidak bisa lepas dai konsep Pancasila. Hal ini disebabkan oleh Pancasila sebagai dasar negara
Republik Indonesia. Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia. Menurut Mohammad Hatta, Pancasila menciptakan keteraturan
order dalam politik luar negeri. Oleh karena itu, prinsip dari bebas-aktif itu sendiri memposisikan pancasila sebagi landasan idiilnya dan UUD 1945 sebagai landasan
konstitusionalnya. Namun, yang perlu digaris bawahi adalah prinsip bebas dan aktif dalam operasionalisasinya menurut Hatta senantiasa berubah sesuai kondisi “international system” dan
“national interest” dari negara Indonesia sendiri. Mohammad Hatta berperan aktif memimpin Republik Indonesia sebagai wakil presiden
semenjak diproklamasikannya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada awalnya Mohammad Hatta melalui keadaan yang sangat sulit dengan merangkap sebagai Perdana Menteri
8 Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia, 13. 9 Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa, “Sejarah Diplomasi Republik
Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1966-1995 Jilid IVA”, Jakarta: Departemen Luar Negeri RI, 2005, hlm. 15
pada tahun 1948-1949. Setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk sesuai amanat proklamasi, hatta terpilih sebagai wakil presiden oleh parlemen.
10
Warisan Timur yang menyatu dalam pribadi Hatta merupakan nilai budaya Minangkabau yang egaliter dan nilai Islam modern. Nilai-nilai tersebut diintegrasikan dengan nilai-nilai Barat
berupa nasionalisme dan demokrasi sebagai ilham untuk menegakkan hak asasi manusia, dimana sebuah obsesi Hatta yang masih belum terwujud hingga hari ini. Mohammad Hatta yang pernah
meneruskan studinya ke Belanda selama sebelas tahun dianggap menjadi seorang pemimpin berkualitas baik dalam keilmuwan maupun organisasi pergerakan kemerdekaan. Pemikiran
politiknya sering mendapat predikat integrator warisan Timur dan Barat. Dalam menentukan kriteria mengenai bangsa dan kebangsaan, bukanlah suatu paradigma
yang mudah. Mohammad Hatta tidak sependapat dengan teori geopolitik. Dimana ia menganggap bangsa dan kebangsaan tidak bisa diambil dari kriteria persamaan asal, persamaan
bahasa dan persamaan agama. Sementara geopolitik memandang masalah kekuatan nasional semata-mata dalam istilah geografi dan di dalam proses, merosot menjadi metafisika politis yang
diutarakan dalam jargon yang tidak berdasar ilmu pengetahuan.
11
Pemikirannya mengenai kebangsaan ini mempengaruhi terbentuknya politik luar negeri Indonesia. Bahkan, peranan
Mohammad Hatta diakui oleh Mochtar Kusumaatmaja, bahwa Mohammad Hatta-lah orang pertama sebagai peletak dasar politik luar negeri Indonesia.
12
Hatta termasuk pemikir Indonesia yang mempunyai pendapat bahwa perkembangan suatu masyarakat memerlukan perencanaan yang rasional. Mohammad Hatta memilih cara yang
bertahap namun nyata. Hal ini tercermin jauh sebelum Indonesia merdeka. Pemikiran Hatta dipengaruhi oleh berbagai latar belakang. Dimana Mohammad Hatta dibesarkan dalam zaman
penjajahan, membuatnya melihat keprihatinan akibat perlakuan Belanda terhadap rakyat Indonesia. Keadaan rakyat Indonesia inilah yang kemudian membuat Hatta menolak keras
imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk apapun. Mohammad Hatta sebagi seorang sosialis, sosialisme yang berhaluan Islam. Ia
memberikan pemahaman mengenai sosialisme yang berkaca dari kehidupan di desa yang berupa
10 Mohammad hatta, Potrait of a Patriot. Alih bahasa Deliar Noer, The hauge Paris: Mouton Publisher, 1972. 11 Hans J. Morgenthau, politik Antar Bangsa ke-6. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990, hlm.242.
12 Mochtar Kusumaatmaja, “Bung Hatta: Peletak Dasar Politik Luar Negeri Indonesia”. Jakarta, hlm. 198.
gotong royong dan azas kekeluargaan yang merupakan kesinambungan dari kolektivisme yang beraturan. Pada intinya Mohammad Hatta menginginkan tidak adanya pemimpin yang besar
yang tidak terkontrol untuk melaksanakan segala keinginannya, sebaliknya menginginkan azas kekeluargaan yang mufakat. Sosialisme yang dianut oleh Hatta ini tidak lepas dari pengaruh
Barat, hal ini juga berkaitan erat dengan ia menempuh studinya di Belanda. Salah satu pengaruh yang menonjol dari dalam diri Hatta adalah koperasi yang diterapkannya di Indonesia yang
merupakan hasil belajarnya selama di Skandinavia. Dengan koperasi, Hatta merasa ada kecocokan untuk diterapkan di Indonesia, yang merupakan paham sosialis.
13
Doktrin politik luar negeri bebas aktif ini sejak awal dianggap sebagai komitmen nasional yang harus dipegang teguh, sehingga pelanggaran terhadap doktrin tersebut mengundang kritik
yang tajam. Pemerintahan Perdana Menteri Sukiman jatuh pada tahun 1952 ketika diketahui bahwa Menteri Luar Negeri Subardjo secara diam-diam sepakat menerima bantuan ekonomi
Amerika berdasarkan syarat-syarat yang tertuang dalam Mutual Security Act Of 1951. Berdasarkan fakta tersebut, negara menerima bantuan ekonomi dan teknis dari Amerika Serikat,
dan terikat dalam perjanjian pertahanan keamanan dengan negara adidaya tersebut. Dengan demikian, Kabinet Sukiman telah menjadikan Indonesia sebagai sekutu Amerika Serikat,
sehingga secara jelas telah melanggar doktrin politik luar negeri bebas dan aktif. Hal tersebut mengakibatkan kejatuhan Kabinet Sukiman. Sejak saat itu diputuskan bahwa setiap perjanjian
internasional harus diratifikasi parlemen, sehingga eksekutif tidak dapat lagi menjalankan diplomasi rahasia.
14
Penandatanganan perjanjian MSA Mutual Security Act dengan Amerika Serikat oleh Subardjo sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Sukiman, disalahkan oleh Hatta, dimana
menurut kesimpulannya, “Subardjo bersalah dalam hal ini, ia telah mengetahui segala implikasi perjanjian
tersebut yang diperolehnya dari Duta Besar Amerika Serikat, M. Cocchran, dan ia tidak membicarakan persetujuan itu sebelumnya dengan cabinet,, padahal kepada Duta Besar
Cocchran, Subardjo mengaku telah sudah membicarakannya dengan cabinet. Subardjo telah menjalankan diplomasi rahasia dengan sendirinua seorang diri dengan tidak menginsyafi
13 Noer, Deliar. 1990. Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakarta:LP3ES 14 Bangun, Rikard. ed. 2003. Bung Hatta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
bahwa soal semacam ini tidak dapat dirahasiakan. Ini merupakan kelalaian Subardjo yang kurang peka dan kurang perhatian seperti biasanya pekerjaan Subardjo”
15
Pada tahun 1953, Republik Indonesia menggandengkan politik bebas aktifnya dengan politik bertetangga baik good neigbhour policy. Perkembangan baru dalam pelaksanaan politik
bebas aktif ini terjadi pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Kabinet ini tidak menitikberatkan hubungannya terhadap Barat, namun lebih mendekatkan diri dengan negara-negara Asia-Afrika
yang diwujudkan dengan menggalang solidaritas negara-negara Asia dan Afrika yang bertujuan untuk menghapuskan kolonialisme dan untuk meredakan ketegangan dunia yang ditimbulkan
oleh ancaman perang nuklir antara dua negara raksasa, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Indonesia kemudian berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, pada April
1955. Meneliti peranan Mohammad Hatta dalam pembentukan Politik Luar Negeri Indonesia
yang “Bebas-Aktif” merupakan sebuah usaha yang penting dan sangat bermanfaat untuk pengembangan konsep Politik Luar Negeri, khususnya membahas mengenai Politik Luar Negeri
Indonesia. Menurut peneliti, politik luar negeri merupakan salah satu kajian dalam ilmu Hubungan internasional yang terpenting dan sangat berguna bagi para “scholar” Hubungan
Internasional untuk menganalisis interaksi politik antar aktor di sistem internasional. Pemikiran politik luar negeri Indonesia yang “Bebas-Aktif” merupakan pencapaian yang
sangat berharga dalam kajian Politik Luar Negeri Indonesia. Peneliti sangat tertarik untuk meneliti faktor internal dan eksternal dari sosok Mohammad Hatta dalam mencetuskan
padangannya membuat politik luar negeri yang “Bebas-Aktif”. Inilah yang berusaha penulis upayakan melalui penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul : Peranan Mohammad Hatta
dalam peletakan Politik Luar Negeri Indonesia Bebas-Aktif 1945-1949.
1.2 Permasalahan