Periode Bursa Agro Jogja (BAJ)
5.3 Periode Bursa Agro Jogja (BAJ)
Periode ini diawali dengan pembangunan Bursa Agro Jogja oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Dari penjelasan pengelola UPT PASTY, didapatkan informasi bahwa pada saat pembangunan tersebut, Pemerintah Kota telah memikirkan kemungkinan adanya pemindahan pedagang satwa pasar Ngasem ke lokasi lain.
Apabila digambarkan dengan diagram, periode ini adalah terciptanya irisan antara program penataan kawasan Taman Sari oleh Pemprov dengan rencana pengembangan Kawasan Selatan Kota Yogyakarta oleh pemerintah kota.
Gambar 5.12: Diagram kelahiran ide pemindahan pedagang Pasar Ngasem
Pada periode ini pemerintah telah memastikan akan adanya perpindahan pedagang ikan hias ke lokasi BAJ yang sedang dibangun.
Tampaknya memang para pedagang ikan sendiri telah memiliki kesadaran bahwa rencana Pemerintah tidak akan merugikan mereka. Jika ditinjau dari teori communicative planning, seperti yang diungkapkan John Forrester dalam Veeroja (2012) bahwa antara semua pihak yang terlibat mendapat informasi yang setara. Dalam hal ini para pedagang ikan telah mendapat informasi yang cukup mengenai fasilitas Bursa Agro Jogja yang dianggap cukup menguntungkan bagi mereka. Ini dibuktikan dengan ucapan Pak Wahyu, pedagang ikan PASTY yang dulu juga Tampaknya memang para pedagang ikan sendiri telah memiliki kesadaran bahwa rencana Pemerintah tidak akan merugikan mereka. Jika ditinjau dari teori communicative planning, seperti yang diungkapkan John Forrester dalam Veeroja (2012) bahwa antara semua pihak yang terlibat mendapat informasi yang setara. Dalam hal ini para pedagang ikan telah mendapat informasi yang cukup mengenai fasilitas Bursa Agro Jogja yang dianggap cukup menguntungkan bagi mereka. Ini dibuktikan dengan ucapan Pak Wahyu, pedagang ikan PASTY yang dulu juga
Pemerintah, apalagi kan waktu itu di Ngasem kita tempatnya mepet banget sama parkiran, jadi kalau pindah ke tempat lain yang lebih baik, kami gak masalah” Pemahaman yang beda didapat dari hasil wawancara dengan para
pedagang burung. Waktu itu memang BAJ belum disiapkan untuk tempat jual beli satw alain selain ikan. Pak Heru, pedagang kelinci PASTY mengatakan:
“Ya dulu sempat menolak juga Mas, kan memang belum tau tempatnya juga. Dongkelan si juga masih sepi kan waktu itu”
Pemerintah pada periode ini memang belum tegas menjelaskan pemindahan pedagang burung naupun satwa lain.
Namun ternyata, pasca Grand Opening, pedagang ikan tidak mendapatkan hasil seperti yang diharapkan sebelumnya. Sepinya BAJ membuat mereka terpaksa kembali ke Pasar Ngasem.
“Waktu itu masih sepi mas, kan daya tarik Ngasem itu burungnya, kita pindah ke BAJ juga banyak pembeli yang belum tahu. Ya untungnya sama pengelola Ngasem kita masih boleh jualan di sana”
(Pak Wahyu, pedagang ikan hias di PASTY). Ketidakberhasilan ini tampaknya memicu pemerintah kota dan pemerintah
provinsi untuk segera memperjelas arah dan pelaksanaan program penataan Ngasem dan Taman Sari.
Periode ini bisa dikatakan sebagai proses awal sosialisasi tentang pemindahan seluruh pedagang satwa ke BAJ. Bappeda mengatakan bahwa tidak ada lokasi lain yang dipilih selain BAJ. Seperti diungkapkan beberapa pedagang burung, bahwa masa ini mereka masih menolak karena memang belum tahu tentang konsep yang akan dikembangkan di BAJ.
Sementara penolakan lain juga muncul dari masyarakat sekitar Ngasem. Berbagai alasan yang dikemukakan antara lain terangkum dalam wawancara peneliti dengan Pak Sutaryoko, yang pada intinya penolakan yang menurut beliau hanya ada dalam hati dan tidak diungkapkan itu karena dua hal.
Hal pertama adalah kedekatan mereka dengan Ngasem dan juga apa yang mereka percayai bahwa Ngasem tidak boleh dipindah karena akan melanggar wasiat Sultan HB IX. Bisa dikatakan alasan ini adalah alasan yang bersifat budaya atau tradisi. Sedangkan alasan ekonomis adalah ketakutan bahwa mereka akan kehilangan pekerjaan apabila Pasar Ngase dipindah ke lolasi lain, hal ini terutama dikeluhkan oleh para juru parkir dan pedagang kecil yang berjualan di luar pasar.