MAHKAMAH SYAR’IYAH DALAM SISTIM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

MAHKAMAH SYAR’IYAH PADA MASA OTONOMI KHUSUS ACEH - MAHKAMAH SYAR’IYAH DALAM SISTIM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

===

5. MAHKAMAH SYAR’IYAH PADA MASA OTONOMI KHUSUS ACEH

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka terjadilah sejarah baru bagi peradilan agama di Aceh. Karena salah satu lembaga yang harus ada di Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus adalah Peradilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah.

Mahkamah Syar`iyah adalah lembaga Peradilan Syari'at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam sebagai pengembangan dari Peradilan Agama yang diresmikan pada tanggal 4 Maret 2003 M/1 Muharram 1424 H sesuai dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, Keppres Nomor 11 Tahun 2003 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002.

H.Armia Ibrahim 7 menjelaskan pada saat ini mahkamah syar’iayah aceh (diluar aceh disebut Pengadilan Tinggi Agama) wilayah hukumnya meliputi 23

mahkamah syariyah tingkat kabupaten/kota, sebagai berikut ini:

1. Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh ( Kota )

2. Mahkamah Syar’iyah Aceh Besar

3. Mahkamah Syar’iyah Sabang ( Kota )

4. Mahkamah Syar’iyah P i d i e

5. Mahkamah Syar’iyah Bireuen

6. Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe ( Kota )

7. Mahkamah Syar’iyah Aceh Utara

8. Mahkamah Syar’iyah Langsa ( Kota )

9. Mahkamah Syar’iyah Aceh Timur

10. Mahkamah Syar’iyah Aceh Tamiang

11. Mahkamah Syar’iyah Aceh Tengah

7 H. Armia Ibrahim, Mahkamah Syar’iyah Nangro Aceh Darussalam, Makalah: Disampaikan Pada Diklat II Cakim Angkatan VII, Bogor, 2012.

12. Mahkamah Syar’iyah Bener Meriah

13. Mahkamah Syar’iyah Aceh Tenggara

14. Mahkamah Syar’iyah Gayo Lues

15. Mahkamah Syar’iyah Aceh Jaya

16. Mahkamah Syar’iyah Aceh Barat

17. Mahkamah Syar’iyah Nagan Raya

18. Mahkamah Syar’iyah Aceh Barat Daya

19. Mahkamah Syar’iyah Aceh Selatan

20. Mahkamah Syar’iyah Aceh Singkil

21. Mahkamah Syar’iyah Simeulue

22. Mahkamah Syar’iyah Pidie Jaya

23. Mahkamah Syar’iyah Subulussalam (Kota)

C. MAHKAMAH SYAR’IYAH DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Pengertian Syariat Islam Menurut UU No.44 Th. 1999 tentang keistimewaan Aceh dan Perda No.5 Th.2000 tentang pelaksanaan syari’at islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. Djamil Ibrahim 8 menyatakan bahwa di era reformasi yang mulai bergulir di negeri ini Aceh tidak ketinggalan membaca peluang diantaranya ialah keingin menjalankan Syari’at Islam secara kaffah.

Perjuangan ini membuahkan hasil dengan lahir tiga buah Undang-Undang, yaitu Undang-Undang keistimewaan Aceh No. 44 Tahun 1999 dan Undang-Undang No

18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, dan Undang Undang No.11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Selanjutnya dalam pelaksanaannya diaturlah beberapa Perda dan Qanun sebagai penjabaran dari pada amanah Undang-Undang tersebut. Perda dan Qanun tersebut adalah:

8 Djamil Ibrahim, Mahkamah Syar’iyah Nagro Aceh Darussalam: Makalah Disampaikan Pada Calon Hakim Di Anyer Jawabarat, Tahun 2007.

1. Perda No.5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam

2. Perda No.3 Tahun 2000 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)

3. Perda No.6 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan pendidikan.

4. Perda No.7 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat.

5. Qanun Provinsi NAD No.10 Tahun 2002 tentang peradilan Syari’at Islam.

6. Qanun Provinsi NAD No.11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari’at Islam bidang ibadah dan Syari’at Islam.

7. Qanun Provinsi NAD No.12 Tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya.

8. Qanun Provinsi NAD No.13 Tahun 2003 tentang perjudian.

9. Qanun Provinsi NAD No.14 Tahun 2003 tentang khalwat.

10. Qanun Provinsi NAD No.7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat.

11. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun

12. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal ;

13. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat Dan Adat Istiadat ;

14. Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak .

15. Dan Lain-Lain.

D. KEWENANGAN DAN KEKUASAAN MAHKAMAH SYAR’IYAH DI INDONESIA

1. Kewenangan Relatif

Kewenangan relatif adalah kewenangan mengadili oleh mahkamah syar’iyah berdasarkan pada wilayah teritorialnya masing-masing. Pada kewenangan ini mahkamah syar’iyah hanya menerima perkara yang berada pada wilayahnya. (lihat Bab I bagian D)

2. Kewenangan Absolute

Kewenangan absolute adalah kewenangan mengadili oleh mahkamah syar’iyah berdasarkan hukum materiil yang menjadi lingkup kewenanganya. Mahkamah Syar’iyah adalah pengalihan wujud dari Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya, maka hingga saat ini ada 23 Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota Kewenangan absolute adalah kewenangan mengadili oleh mahkamah syar’iyah berdasarkan hukum materiil yang menjadi lingkup kewenanganya. Mahkamah Syar’iyah adalah pengalihan wujud dari Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya, maka hingga saat ini ada 23 Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota

Adapun Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar`iyah dan Mahkamah Syar`iyah Provinsi (disebut Mahkamah Syar’iyah Aceh) adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan syi`ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun.

Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan Agama, sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

8. shadaqah; dan

9. ekonomi syari’ah “.

Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud pada pada point 1 di atas, adalah kekuasaan dan kewenangan menyangkut hal-hal yang diatur dalam atau didasarkan kepada Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.

Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud pada point 2 di atas, adalah kekuasaan dan kewenangan penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud pada point 2 di atas, adalah kekuasaan dan kewenangan penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris,

Adapun yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a) Bank syari’ah; b) Lembaga keuangan mikro syari’ah; c) Asuransi syari’ah; d) Reasuransi syari’ah; e) Reksa dana syari’ah; f) Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; g) Sekuritas syari’ah; h) Pembiayaan syari’ah; i) Pegadaian syari’ah; j) Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan k) Bisnis

syari’ah 9 .

Dalam melaksanakan amanat dari Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 telah memberikan kewenangan terhadap Mahkamah Syar`iyah untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang:

a. Al-Ahwal al-Syakhshiyah;

b. Mu'amalah;

c. Jinayah.

Kekuasaan dan kewenangan tersebut akan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia dalam kerangka sistem Peradilan Nasional.

Lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak merubah status dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Bahkan dengan Undang-undang tersebut, kewenangan Mahkamah Syar’iyah telah disebut langsung di dalamnya yakni sebagaimana diatur dalam pasal 128 ayat (3) yang berbunyi : ”Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan

9 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 49 Huruf (i) Dan Penjelasannya.

dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhshiah (hukum keluarga), mu’amalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam”. Di samping itu Undang-undang tersebut mengamanatkan pula untuk membentuk Qanun tentang hukum acara bagi Mahkamah Syar’iyah di Aceh, baik hukum acara perdata Islam maupun hukum acara jinayah Islam.

Secara rinci kewengan absolute mahkamah syar’iyah dapat dikelompokan sebagai berikut ini:

a. Bidang Ahwal Al-Syakhshiyah 10 Dalam bidang Munakahah mahkamah syar’iayah berwenang mengadili perkara-

perkara, yang meliputi kewenangan dalam bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama beserta penjelasan dari pasal tersebut, kecuali waqaf, hibah, dan sadaqah.

b. Bidang Muamalah 11 Dalam bidang muamalah mahkamah syar’iayah berwenang mengadili perkara- perkara yang meliputi:

1) Jual beli

2) Hutang piutang

3) Qiradh (Permodalan)

4) Musaqah, muzara`ah, mukharabah (bagi hasil pertanian)

5) Wakilah (Perwakilan)

6) Syirkah (Perkongsian)

7) `Ariyah (Pinjam-meminjam)

8) Hajru (Penyitaan harta)

9) Syuf`ah (Hak lang-geh)

10) Rahnun (Gadai)

10 Qanun Provinsi Nangro Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam pasal 49 huruf (a) dan penjelasannya.

11 Ibid.,Pasal 49 huruf (b) dan Penjelasannya.

11) Ihya`ul mawat (Pembukaan la-han)

12) Ma`din (Tambang)

13) Luqathah (Barang temuan)

14) Perbankan

15) Ijarah (Sewa me-nyewa)

21) Hadiah Kemudian timbul satu pertanyaan apakah mahkamah syar`iyah dengan kekhususannya hanya berwenang mengadili bidang muamalat versi qanun no.

10 tahun 2002 dan tidak berwenang mengadili ekonomi syariah versi uu no. 3 tahun 2006 ? menurut Dr. H. Syamsuhadi Irsyad, SH, MH, dalam disertasinya yang berjudul Mahkamah Syar`iyah Dalam Sistem Peradilan Nasional (2009 : 369) berpendapat bahwa perkara-perkara ekonomi syariah juga merupakan kewenangan Mahkamah Syar`iyah dalam bidang muamalah , karena dalam konteks ini Pengadilan Agama perlu dibaca sebagai Mahkamah Syar`iyah.

Dengan demikian Mahkamah syar’iyah juga berwenang mengadili “ekonomi syari’ah” yang meliputi :

1) Bank syari’ah;

2) Lembaga keuangan mikro syari’ah;

3) Asuransi syari’ah;

4) Reasuransi syari’ah;

5) Reksa dana syari’ah;

6) Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;

7) Sekuritas syari’ah;

8) Pembiayaan syari’ah;

9) Pegadaian syari’ah;

10) Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan

11) Bisnis syari’ah 12 .

c. Bidang Jinayah

Dalam bidang Jinayah 13 mahkamah syar’iyah berwenang mengadili perkara- perkara yang meliputi: hudud, Qishas/diyat dan ta’zir, secara rinci sebagai berikut: Hudud, yang meliputi :

1) Zina

2) Qadzaf (Menu-duh berzina)

3) Mencuri

4) Merampok

5) Minuman ke-ras dan Nafza

6) Murtad

7) Pemberontakan

Qishash/Diyat, meliputi :

1) Pembunuhan

2) Penganiayaan

Ta’zir, hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syariat selain hudud dan qishash, me-liputi :

5) Meninggalkan shalat fardhu

6) Meninggalkan puasa Ramadhan.

12 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 49 Huruf (i) Dan Penjelasannya.

13 Ibid.,Pasal 49 huruf (c) dan Penjelasannya

BAB III

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA MAHKAMAH SYAR’IYAH 14

A. PENDAHULUAN

Salah satu persoalan fundamental yang tidak boleh diabaikan jika kita membicarakan tentang penyelesaian perkara pidana di lingkungan peradilan, adalah

pembicaraan tentang keterkaitan antara asas-asas hukum acara pidana disatu pihak dengan teknis pemeriksaan dan penyelesaian perkara pidana oleh hakim di lain pihak. Fungsi dari asas-asas hukum acara pidana di dalam penyelesaian perkara pidana, tidak lain untuk menjaga agar konsistensi peraturan hukum tetap dapat dipertahankan dalam penegakan hukum yang berkeadilan.

Keberadaan asas-asas hukum acara pidana dalam kewenangan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sampai dengan pemeriksaan dan penyusunan putusan pada majelis persidangan pengadilan negeri atau pengadilan hak asasi manusia ad hoc sampai dengan pelaksanaan putusan yang dibuat oleh hakim itu adalah untuk menjaga ketaatan asas, sebagai contoh : Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia berlaku asas retro aktif (berlaku surut), terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut tanggal 23 November 2000. Misalnya dapat dilakukan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi ketika peristiwa G-30 S PKI, Tanjung Priok, Lampung dan lain sebagainya. Menurut Pasal 46 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 untuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat tidak berlaku ketentuan mengenai kedaluwarsa.

Asas hukum acara pidana sebagai “aturan yang abstrak” dapat “dilahirkan” kembali secara lebih kongkrit melalui berbagai perwujudan, baik dalam peraturan- peraturan hukum tertulis maupun dalam kebiasaan dan jurisprudensi. Untuk itu, bagi

14 Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Bahan Ajar Diklat II Calon Hakim Peradilan Agama Program Pendidikan Dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu (PPC Terpadu), 2012.hal.142-167 dan

disadur dengan beberapa sumber yang lain.

setiap hakim yang memeriksa perkara pidana biasa maupun pelanggaran HAM berat senantiasa harus “taat asas” atau konsisten dengan asas-asas hukum acara pidana yang berlaku dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara pidana maupun pelanggaran HAM.

B. TERMINOLOGI ASAS HUKUM

Pengertian asas berasal dari bahasa arab, asasun. Artinya dasar, basis, fondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem berfikir yang dimaksud dengan asas adalah landasan berfikir yang sangat mendasar. Oleh karena itu, didalam bahasa Indonesia, asas mempunyai arti (1) dasar, alas, pedoman. Asas dalam pengertian ini dapat dilihat misalnya, dalam urutan yang disesuaikan dengan kata-kata:…..”batu itu baik benar untuk fondamen atau fondasi rumah”. (2) kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau pendapat. Makna ini terdapat misalnya dalam ungkapan; “pernyataan itu bertentangan dengan asas-asas hukum acara pidana”. (3) cita-cita yang menjadi dasar organisasi atau Negara. Hal ini jelas dalam kalimat; “dasar Negara Republik Indonesia

adalah Pancasila”. 15

Salah satu “term” yang harus diketahui oleh kalangan hakim dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum dan keadilan adalah mengenai ”asas hukum”. Istilah “asas” dalam bahasa Inggris disebut dengan “principle”. Menurut kamus A.S.

Homby, 16 principle dalam arti sempit adalah “basic-truth” atau “general law of couse and effect”. Sedangkan principle dalam arti yang lebih luas adalah “Principle is a fundamental truth or doctrine, as of law : a comprehensive rule or doctrine which fumishes a basis or origin for others”. Asas hukum adalah yang melahirkan aturan hukum dan merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Dengan demikian, asas hukum adalah lebih abstrak dari peraturan hukum.

15 H. Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Cet.XVI, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal.126.

16 A.S. Homby, The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, The English Language Book Society and Oxford University Press, 1972, halaman 769.

Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum adalah merupakan “jantungnya” peraturan hukum. 17 Sedangkan menurut Paton, asas hukum tidak akan pernah habis kekuatannya hanya karena telah melahirkan suatu aturan atau peratuan hukum, melainkan tetap saja ada dan akan mampu terus melahirkan aturan dan peraturan

hukum untuk seterusnya. 18 Asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntuan-tuntutan “etis”. Apabila kita membaca suatu peraturan hukum, mungkin kita tidak menemukan

pertimbangan etis di situ, tetapi asas hukum menunjukkan adanya tuntutan etis yang demikian itu, atau setidak-tidaknya kita bisa merasakan adanya petunjuk ke arah itu. 19

Aturan hukum sebagai suatu sistem tidak menghendaki adanya konflik, dan andaikata timbul konflik dalam sistem hukum itu, asas-asas hukumlah yang berfungsi untuk menyelesaikan konflik-konflik itu. Sebagai contoh, jika ada konflik antara suatu peraturan yang umum dengan peraturan sederajat yang khusus, maka diselesaikan dengan asas “Lex specialis derogat legi generali ”, hukum khusus didahulukan dari hukum umum. Demikian juga jika ada peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, diselesaikan dengan asas “Lex superior derogat legi inferiori”, hukum yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan dari hukum yang lebih rendah. Jika ada pertentangan antara peraturan lama dengan peraturan baru, maka diselesaikan dengan asas “Lex posteriori derogat legi priori”, peraturan yang baru didahulukan dari peratuan yang lama.

Meskipun asas hukum bukan peraturan hukum, namun keberadaannya adalah sebagai susuatu yang bersifat “ratio legis-nya” hukum, tidak ada hukum yang dapat dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya. Asas hukum berperan sebagai pemberi arti “etis” terhadap peraturan-peraturan hukum, tata hukum, dan sistem hukum.

17 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982, halaman 85.

18 Paton (1971: 204) dalam Rusli Effendy, Achmad Ali, Poppy Andi Lolo, Teori Hukum, Cet. I, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang, 1991, halaman 28.

19 Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hal. 86.

Berbagai pernyataan dari kalangan para pakar ilmu hukum tentang pentingnya peranan asas hukum sebagai pemberi arti etis terhadap aturan hukum, tata hukum, dan sistem hukum, dapat di baca dalam pernyataan-pernyataannya berikut ini : 20

Bellefroid, menyatakan bahwa asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-

aturan yang lebih umum. Asas hukum itu merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.

Van Eikema Hommes, menyatakan bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang kongkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain, asas hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.

Paul Scholten, menyatakan bahwa asas hukum adalah kecenderungan- kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.

Dari ketiga pernyataan para pakar hukum di atas tentang keberadaan asas hukum, pandangan Bellefroid tidak memberikan gambaran jelas tentang apa yang disebut asas hukum. Kemudian apa yang dikemukakan oleh Van Eikema Hommes dan Paul Scholten adalah lebih jelas, di mana dari keduanya dapat disimpulkan bahwa asas hukum bukan peraturan hukum yang kongkrit, melainkan pikiran dasar yang bersifat umum dan merupakan latar belakang dari peraturan yang kongkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam wujud peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim.

20 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1986, halaman 32-34.

Paul Scholten, di samping telah memberikan pernyataan tentang asas hukum sebagaimana diuraikan di atas, dia juga mengajarkan tentang adanya 5 (lima) asas hukum yang universal, yaitu : 21 1). Asas Kepribadian, 2). Asas Persekutuan, 3). Asas Kesamaan, 4). Asas Kewibawaan, dan 5). Asas Pemisahan antara baik dan buruk.

“Asas Kepribadian” dicerminkan dengan pengakuan hak dan kewajiban serta pengakuan adanya subyek hukum. “Asas Persekutuan” dicerminkan oleh kehendak

untuk mewujudkan keutuhan masyarakat. “Asas Persamaan” mencerminkan keinginan untuk memperoleh keadilan dan berdasarkan pada “asas persamaan” itu di bidang peradilan di kenal dengan “asas persamaan bagi” setiap orang untuk diberlakukan sama di muka hukum, dan “Asas Kewibawaan” adalah mencerminkan adanya keinginan akan adanya ketidaksamaan. Sedangkan asas pemisahan antara baik dan

buruk adalah melingkupi ke-empat asas sebelumnya. 22

C. LATAR BELAKANG LAHIRNYA ASAS HUKUM

Latar belakang lahirnya asas hukum adalah dipengaruhi oleh dan dari konteks sosial tertentu. Oleh sebab itu, apabila kita berbicara tentang konteks sosial, maka unsur keyakinanlah yang lebih dominan melatarbelakangi terbentuknya asas hukum, meskipun pada sisi lain tidak tertutup kemungkinan apabila kita berbicara tentang konteks sosial, maka berarti kita berlatar-belakangkan keyakinan bahwa asas hukum itu tidak lain lahir dari hasil pemikiran masyarakat tertentu.

Asas hukum yang lahir dari hasil pemikiran masyarakat tertentu dapat diberikan contoh yang populer di kalangan pemerhati dan pengkaji hukum, yakni asas “the rule

21 Paul Scholten, Handleiding tot de Beoefening vat Het Nederlandsch Burgerlijke Recht, Algemeen Deel, Zwolle, Tjeenk, Willink, 1954, hal.405.

22 Ibid.

of law”. Asas ini lahir pada abad XVIII sebagai alat dari kaum Borjuis 23 ketika itu, untuk melawan kekuasaan raja dan kaum bangsawan yang feodal. 24 Untuk dapat merebut dan meruntuhkan pengaruh raja dan kaum bangsawan yang feodal itu yang keberadaannya sangat dominan pengaruh kekuasaannya, maka kaum borjuis menciptakan suatu struktur sosial baru yang dapat mengatasi dan membatasi kekuasaan raja dan kaum bangsawan, yakni menciptakan “asas hukum” berupa “the rule of law” yang bertujuan untuk mendudukkan semua manusia adalah sama kedudukannya di muka hukum. Sebenarnya asas hukum “the rule of law” ini lahir untuk menunjang kepentingan perebutan kekuasaan golongan borjuis terhadap raja dan kaum bangsawan yang berkuasa ketika itu.

Keberadaan asas “the rule of law” yang sangat populer dewasa ini, memang tidak dapat sangkal mengenai nilai positifnya, namun dengan melihat latar belakang sejarahnya, asas “the rule of law” ini tidaklah dapat kita terima begitu saja sebagai doktrin yang universal, yang pasti cocok dan dapat ditransfer di masyarakat mana saja.

Penerapan asas “ the rule of law” ini membutuhkan “penyesuaian sosial” 25 di mana asas ini ingin diterapkan. Sebab persepsi setiap masyarakat terhadap konkritisasi dari asas “ the rule of law” akan senantiasa ditentukan dan dipengaruhi oleh berbagai faktor non hukum, seperti faktor politik, budaya, dan sosial.

Menurut Schuyt, asas hukum yang dibentuk dalam konteks sosial tertentu, apabila ingin diterapkan pada kondisi masyarakat sosial tertentu lainnya harus selektif dan hati-hati, sebab kondisi sosio-masyarakat dalam satu tempat dengan kondisi sosio- masyarakat pada tempat lainnya tidak selalu sama. Pandangan Schuyt ini sejalan dengan pendapat Robert Seidman yakni “the law of the non transferbility of law” (hukum itu tidak dapat begitu saja ditransfer dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya). Terlebih lagi, dinamika hukum yang hidup di dalam masyarakat tertentu

23 Kaum Borjuis adalah kaum intelektual dan usahawan

24 Kaum Feodal adalah kalangan raja dan bangsawan.

25 Satjipto Rahardjo, Op.Cit., halaman 90.

sangat berbeda dengan dinamika hukum yang hidup pada masyarakat lainnya yang berkembang secara pesat mengikuti perkembangan masyarakatnya masing-masing. Apabila asas hukum yang dibentuk oleh kondisi masyarakat tertentu pada masa lalu, belum tentu sesuai dengan fakta sosial masa sekarang dan masa yang akan datang. Hal ini, sesuai dengan pendapat yang menyatakan “het recht hinkt achter de feiten aan”

(hukum selalu tertatih-tatih mengejar fakta). 26

D.

ASAS HUKUM ACARA PIDANA DALAM AL-QUR’AN 27

1. Asas keadilan

merupakan asas yang sangat penting dalam hukum Islam. Sedemikian pentingnya, sehingga ia dapat di sebut sebagai asas semua asas hukum islam. Di dalam Al-Qur’an karena pentingnya kedudukan dan funfsi kata itu, keadilan disebut lebih dari 1000 kali, terbanyak setelah kata Allah dan ilmu pengetahuan. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menyuruh manusia berlaku adil dan menegakkan keadilan. Antara lain dalam surat Sad (38) ayat; 26:

Artinya: Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di

muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

26 Ibid.

27 Materi ini disadur dari bukunya H. Mohammad Daud Ali, Op.Cit, Hal.127-132. Dan Alqur’an serta terjemahnya.

Dalam Al-Qur’an Surat al-Nisa’ (4) ayat; 135 Allah memerintahkan agar manusia menegakkan keadilan, walaupun terhadap dirinya sendiri, orang tua dan keluarga dekat.

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar

penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia[orang yang tergugat atau yang terdakwa] kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata- kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.(al-nisa’ (4) ayat: 135).

Dalam surat al-maidah (5) ayat; 8, Allah menegaskan agar manusia berlaku adil sebagai saksi, berlaku lurus dalam melaksanakan hukum, kendatipun ada tekanan, ancaman atau rayuan dalam bentuk apapun juga. Didalam ayat itu juga di ingatkan kepada para penegak hukum agar kebencian terhadap seseorang atau suatu golongan tidak menyebabkan ia tidak berlaku adil dalam menyelenggarakan hukum.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang

diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), Maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal. (al-Maidah (5) ayat :8)

2. Asas Kepastian Hukum

Asas ini antara lain disebtkan dalam Al-Qur’an surat Al-Israa (17) ayat: 15:                    

     Artinya:

Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan

Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.

Surat Al-maidah (5) ayat: 95 ada penegasan dari Allah bahwa Allah SWT memaafkan apa yang tejadi dimasa lalu.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.

Dari kutipan kedua ayat diatas, yaitu: “…Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul” dan “….Allah telah memaafkan apa yang telah lalu ..” dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum tidak dapat diberi sanksi kecuali telah diatur oleh undang-undang. Pada era modern asas ini biasa disebut asas kepastian hukum.

3. Asas Kemanfaatan

Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan dan asas kepastian hukum yang sebaiknya dipertimbangkan oleh hakim bagi subjek hukum dan kepentingan masyarakat umum. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al- Baqarah (2) ayat 178:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan

dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.

Pada seorang yang melakukan perbuatan pembunuhan yang diancam dengan hukuman mati maka seorang hakim harus mempertimbangkan dari aspek kemanfaatan yang ada bagi terdakwa dan juga kepentingan masyarakat umum. Jika hukuman mati lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat umum maka hukuman mati lebih baik. Jika tidak melaksanakan hukuman mati lebih bermanfaat bagi terdakwa dan keluarga korban maka dapat diganti dengan hukuman diyat untuk keluarga korban.

4. Asas legalitas

Asas legalitas maksudnya bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dihukum, kecuali jika sudah ada undang-undang yang sebelumnya telah mengancam sanksi atas perbuatan itu. Asas legalitas ini termasuk asas yang tidak bersifat universal, melainkan spesifik sifatnya, karena hanya mungkin dianut oleh masyarakat yang Asas legalitas maksudnya bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dihukum, kecuali jika sudah ada undang-undang yang sebelumnya telah mengancam sanksi atas perbuatan itu. Asas legalitas ini termasuk asas yang tidak bersifat universal, melainkan spesifik sifatnya, karena hanya mungkin dianut oleh masyarakat yang

Artinya: Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka

Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.(Al-Israa [17] ayat:15)

Artinya: Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan Dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah:

"Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)".(Al-An’am

[6] ayat: 19)

5. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Pada Orang Lain

Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan tentang larangan pemindahan pidana pada orang lain. Setiap orang bertanggungjawab

dengan perbuatanya masing-masing. Sehingga tidak dibenarkan seorang memikul tanggungjawab pidana atau kesalahan atas tindak pidana atau kesalahan orang lain.

Adapun ayat Al-qur’an yang menjelaskan asas ini antara lain 6:164, 35:18, 39:7, 53:38, 74:38.

Artinya: Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."( Q.S. Al-An’am [6] ayat:164)

Artinya: Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan jika

seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu Tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. dan Barangsiapa yang mensucikan dirinya, Sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. dan kepada Allahlah kembali(mu).(Q.S.Al-Faathir [35] ayat: 18)

6. Asas Praduga Tak Bersalah

Mohammad Daud Ali 28 menjelas bahwa ayat-ayat al-qur’an yang menjelaskan asas legalitas dan asas tidak boleh memindahkan kesalahan pada orang lain juga dapat ditarik asas praduga tidak bersalah. Seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana harus tianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang menyakinkan menyatakan dengan tegas memutus orang tersebut bersalah.

28 Mohammad Daud Ali, OpCit.,, Hal131-132.

E. ASAS HUKUM ACARA PIDANA UNIVERSAL

Asas-asas hukum acara pidana secara global diatur dalam Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pada umumnya asas-asas hukum acara pidana itu bersifat universal, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat juga asas hukum yang tidak selalu universal, melainkan bersifat spesifik untuk suatu masyarakat tertentu. Dari titik tolak optiik kedua undang-undang tersebut, dapatlah disebutkan bahwa asas-asas universal Hukum Acara Pidana itu adalah:

1. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)

Asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence, keberadaannya tampak pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 dan penjelasan umum angka (3) hurus (c) KUHAP yang menentukan bahwa:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan / atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”

Penerapan asas presumption of innocence adalah bahwa selama proses peradilan masih berjalan, baik di tingkat pertama, banding, maupun kasasi dan belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka terdakwa belum dapat dikategorikan bersalah sebagai pelaku tindak pidana. Untuk itu, selama proses peradilan pidana baginya mendapatkan beberapa hak sebagaimana diatur dalam undang-undang, yaitu : hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam tahap penyidikan, hak segera mendapatkan pemeriksaan oleh pengadilan, hak mendapatkan juru bahasa, hak untuk memperoleh bantuan, dan hak untuk mendapatkan putusan yang seadil-adilnya.

2. Asas Oportunitas

Dalam hukum acara pidana menurut Pasal 1 butir (a dan b) serta Pasal 137 dan seterusnya KUHAP dikenal suatu badan yang khusus diberi kewenangan untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum atau Jaksa. Kewenangan penuntutan oleh penuntut umum bersifat dominus litis artinya bahwa monopoli tugas ini dilakukan oleh Penuntut Umum, sedangkan Hakim menunggu saja dari tuntutan Penuntut Umum.

Sedangkan yang dimaksud dengan asas aportunitas adalah bahwa penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Jadi, demi

kepentingan umum, seseorang yang melakukan delik tidak dituntut. 29

Secara yuridis normatif asas oportunitas diatur dalam Pasal 35c UU Nomor

16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yakni “ Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”.

3. Asas Accusatoir dan Inquisitoir

Kebebasan memberi dan mendapatkan nasehat hukum menunjukkan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas accusatoir. Hal ini, berarti perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada

asasnya telah dihilangkan. 30

Adapun yang dimaksud dengan asas inquisitoir adalah bahwa tersangka dipandang sebagai obyek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR untuk

29 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, WD. II, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 17.

30 Ibid.

pemeriksaan pendahuluan, sama halnya dengan Ned.Sv. yang lama yaitu Tahun

1838 yang dirivisi tahun 1885. 31

Sejak tahun 1926, yaitu berlakunya Ned. Sv. Yang baru di negeri Belanda telah dianut asas gematigd accusatoir yang berarti bahwa tersangka dipandang sebagai pihak pada pemeriksaan pendahuluan dalam arti terbatas, yaitu pada

pemeriksaan perkara-perkara politik, berlaku asas inquisitoir. 32

Asas inquisitur ini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting. Dalam pemeriksaan selalu pemeriksa berusaha mendapatkan pengakuan dari tersangka.

4. Asas Audi Et Alteram Partem

Makna dari asas audi et alteram partem ini pada mulanya adalah “dengarlah juga pihak lain” 33 namun dalam perkembangannya asas ini dapat juga dimaknai sebagai keterangan saksi di persidangan yang bersumber dari keterangan (cerita) orang lain, bukan keterangan yang bersumber dari suatu peristiwa hukum yang saksi dengar, lihat, dan/atau alami sendiri. Kembali pada makna asal dari asas audi et alteram partem, yakni “dengarlah juga pihak lain”, hakim diwajibkan untuk tidak memutus suatu perkara yang diperiksanya sebelum kedua belah pihak yang berperkara didengar keterangannya terlebih dahulu, berikut bukti-bukti yang diajukannya. Di dalam hukum acara pidana, asas

31 Ibid.

32 Fockema Andreae dalam Andi Hamzah, Ibid.

33 Ibid.

ini dapat juga dipersamakan dengan asas “the presumption of innocence” (asas

praduga tak bersalah). 34

Asas audi et alteram partem yang dapat disejajarkan dengan asas the presumtion of innocence di atas, dalam penerapannya menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia adalah diatur dalam Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Kemudian pada Pasal 6 (2) UU ini memperluas pemaknaan asas the presumption of innocence yakni “ Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yag sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.

5. Asas Independen

Asas ini merupakan asas paling sentral dalam kehidupan peradilan. Sebab peradilan diselenggarakan secara merdeka, bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diijinkan undang-undang.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab 1, dalam ketentuan umum, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1, yakni

34 Sebagaimana Pasal 8 dan Pasal 6 (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan /atau dihadapkan di depan pengadilan wajib

dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan bahwa tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorangyang dianggap dapat bertanggung jawab, telah besalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Memperhatikan bunyi pasal tersebut di atas, maka dapat dijabarkan beberapa sendi filosofi dalam upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh

badan-badan peradilan, yakni:

1) Kekuasaan kehakiman (judicial power) dalam melaksanakan fungsi peradilan adalah sebagai “alat kekuasaan negara” yang lazim disebut kekuasaan “yudikatif”.

2) Tujuan diberikan kemerdekaan bagi kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan fungsi peradilan adalah:

a. Agar hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dapat ditegakkan;

b. Benar-benar dapat diselenggarakan kehidupan bernegara berdasar hukum, kerena memang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum ( Rechtstaat).

6. Asas Sidang Terbuka untuk Umum

Pada dasarnya, keterbukaan dari suatu proses peradilan (openbaarheid van het proces) adalah sangat dibutuhkan. Hal ini dimaksudkan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin objektifitas pemeriksaan yang fair.

Asas terbuka untuk umum, secara eksplisit tercermin dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, Penjelasan Umum angka (3) huruf (i) KUHAP dan diuraikan juga dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP, yakni : “untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwanya anak- anak.

Apabila tidak memenuhi asas ini, menurut Pasal 153 ayat (4) KUHAP jo Pasal 13 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009, maka seluruh pemeriksaan dalam perkara tersebut beserta putusannya tidak sah, tidak memiliki kekuatan hukum, serta putusan batal demi hukum. Karena menurut Pasal 13 (2) UU No. 48 Tahun 2009 jo Pasal 195 disebutkan bahwa putusan hanya sah dan memiliki kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Yang dimaksud dengan terbuka untuk umum adalah terbuka untuk siapa saja yang ingin menghadiri, menyaksikan dan mendengar jalannya pemeriksaan persidangan tanpa mempersoalkan apakah mereka ada kepentingan atau tidak.

7. Asas Equality Before the Law

Asas equality merupakan salah satu manifestasi dari negara hukum (rechtstaat), sehingga harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang di depan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet). Adapun elemen yang melekat pada asas Equal Before the Law adalah : a). asas Equal Protection on Law (Hak perlindungan yang sama di depan hukum), dan b). asas Equal Justice Under the Law (hak mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum).

Hukum acara pidana tidak mengenal adanya peraturan yang memberi perlakuan khusus kepada terdakwa (forum prevelegiatum), sehingga pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 dan Penjelasan Umum angka (3) huruf (a) KUHAP.

Bahwa pengadilan agama mengadili perkara menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Untuk itu, hakim harus memperlakukan sama kepada siapapun sebagai terdakwa, sehingga tidak ada pembedaan yang bersifat diskriminatif, baik dalam bentuk diskriminasi normatif maupun diskriminasi Bahwa pengadilan agama mengadili perkara menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Untuk itu, hakim harus memperlakukan sama kepada siapapun sebagai terdakwa, sehingga tidak ada pembedaan yang bersifat diskriminatif, baik dalam bentuk diskriminasi normatif maupun diskriminasi

8. Asas Ratio Decidendi /Basic Reasion (Putusan Harus Disertai Alasan)

Semua putusan perkara pidana lingkungan peradilan umum harus mamuat alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk mengadili, memuat pasal-pasal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum lain yang dapat dijadikan dasar untuk mengadili.

Asas ratio decidendi / basic reation adalah diatur dalam Pasal 50 (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana sebuah putusan harus mencakup tiga hal pokok yakni : a). Rasional; b). Aktual; dan c). Mengandung nilai-nilai kemanusiaan, peradaban dan kepatutan.

9. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan diatur dalam Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 dan Penjelasan Umum Angka (3) huruf (e) KUHAP. Sedangkan yang dimaksud dengan asas sederhana, cepat, dan biaya

ringan adalah : 35

a. Sederhana, yaitu proses beracara dengan jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran;

35 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah (lengkap dengan blanko-blanko), Penerbit IKAHI- MA-RI, Jakarta, 2008 halaman 9.

b. Cepat, yaitu dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventarisir persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persoalan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan untuk selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali mejelis hakim harus secepatnya mengambil putusan untuk dibacakan di muka persidangan yang

terbuka untuk umum;

c. Biaya ringan, yaitu harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam perkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan. Khusus persoalan biaya sebenarnya harus mengacu pada payung hukum tersendiri berupa PP, karena menyangkut mengenai penerimaan negara bukan pajak, melalui lembaga negara berupa pengadilan.

Dengan dilakukan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan dimaksudkan agar terdakwa tidak diperlakukan dan diperiksa sampai berlarut- larut. Penerapan asas ini adalah diterapkannya pembatasan penanganan perkara baik perdata maupun pidana pada tingkat yudex facti (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi), yakni masing-masing selama 6 (enam) bulan, dan bila dalam waktu ini belum selesai diputus, maka Ketua Pengadilan Negeri wajib melaporkan hal tersebut beserta alasan-alasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi, dan hal yang sama bagi Pengadilan Tinggi wajib melapor kepada Ketua Mahkamah Agung RI. (SEMA Nomor 6 Tahun 1992 tanggal 21 Oktober 1992).

10. Asas Nemo Judex Indoneus in Propria Causa

Maksud dari asas “nemo judex indoneus in propria causa” ini adalah bahwa tidak seorangpun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya Maksud dari asas “nemo judex indoneus in propria causa” ini adalah bahwa tidak seorangpun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya

Asas nemo judex indoneus in propria causa ini sering juga disebut sebagai “asas objektivitas” dari hakim dan / atau “asas hak ingkar”. Penerapan asas ini, dalam hukum positif Indonesia diimplementasikan ke dalam Pasal 17 ayat (1 s/d 7) UU Nomor 48 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu hak seorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.

Dilihat dari aspek teoritik dan praktik, secara lebih luas “hak ingkar” dapat dilihat dari 2 (dua) optik pandangan, yaitu:

1) Hak ingkar terminologinya kewajiban mengundurkan diri bagi hakim apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau adanya hubungan suami istri meskipun sudah bercerai dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat atau panitera (Pasal 17 ayat (3) dan (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 jo Pasal 157 ayat (1 dan 2) KUHAP) atau karena ada kepentingan langsung maupun tidak langsung (Pasal 220 KUHAP). Apabila terjadi pelanggaran, seorang hakim atau panitera tidak mengundurkan diri dari persidangan padahal mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dalam perkara yang sedang diperiksanya, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang diadili atau advokat, maka menurut Pasal 17 ayat (6) UU No. 48 Tahun 2009 mengakibatkan putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana berdasar peraturan perundang-undangan.

36 Rusli Effendy, Op.Cit., halaman 72.

2) Hak ingkar terminologinya tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi karena adanya hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa, saudara terdakwa, saudara ibu/bapak dan anak-anak saudara terdakwa sampai serajat ketiga, dan suami istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama terdakwa (Pasal 168 KUHAP).

11. Asas Unus Testis Nullus Testes

Maksud dari asas unus testis nullus testes adalah “satu saksi bukan saksi”. Asas ini berlaku universal sifatnya, yakni berlaku di hampir seluruh sistem hukum di dunia modern dewasa ini, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Untuk membuktikan suatu peristiwa di muka persidangan pengadilan, tidak cukup hanya dengan keterangan seorang saksi saja, tanpa adanya alat bukti lainnya.

12. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori

Maksud asas lex superior derogat legi infiriori ini adalah bahwa jika antara aturan hukum yang lebih tinggi hierakhinya bertentangan dengan aturan yang lebih rendah hierarkhinya, maka yang akan didahulukan adalah aturan yang lebih tinggi hierarkhinya. Asas lex superior derogat legi infiriori tampaknya telah dijadikan sebagai asas hukum yang universal, karena telah dianut pada semua sistem hukum di dunia modern ini. Asas lex superior derogat legi infiriori sejalan juga dengan asas hukum Islam, yakni kalau suatu Hadits bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits itu harus dianggap palsu, siapapun yang meriwayatkan

hadits itu. 37

37 Haekal, 1982 dalam Rusli Effendy, op.cit. halaman 102.

13. Asas Ius Curia Novit

Maksudnya adalah bahwa hakim dianggap tahu akan hukum. Sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak mengetahui hukum.

Asas ius curia novit secara yuridis formal hukum positif di Indonesia adalah diatur dalam Pasal 5 (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 yakni “Hakim wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, Kemudian Pasal 10 (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 disebutkan bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas (recht vacum), melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Menggali hukum dapat dilakukan melalui peraturan perundang- undangan maupun nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law/ local wisdem)”

14. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali

Asas “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” disebut juga dengan asas legalitas maksudnya adalah bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dihukum, kecuali jika sudah ada undang-undang yang sebelumnya telah mengancam sanksi atas perbuatan itu. Asas legalitas ini termasuk asas yang tidak bersifat universal, melainkan spesifik sifatnya, karena hanya mungkin dianut oleh masyarakat yang telah memiliki hukum tertulis saja, terhadap masyarakat yang berpegang pada hukum adat atau kebiasaan misalnya tidak mengenal asas legalitas ini secara konsisten.

Asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ini dianut dan diterapkan dalam perkara hukum pidana, tidak terkecualikan di dalam hukum positif pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

15. Asas Pemeriksaan Perkara Pidana dengan Kehadiran Terdakwa

Asas pemeriksaan perkara pidana dengan hadirnya terdakwa secara yuridis normatif diatur dalam : Pasal 154, Pasal 176 Ayat (2), Pasal 196 ayat (1) KUHAP, dan Pasal 12 (1) UU No. 48 Tahun 2009, yakni : “ Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain”. Asas ini berlaku terhadap perkara-perkara yang diajukan secara biasa (Pid. B) dan singkat (Pid.S).

Adapun ketidakhadiran terdakwa yang dibenarkan menurut undang- undang adalah diatur dalam Pasal 12 (2) UU No. 48 Tahun 2009, yakni “dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa”.

Dikaji dari perspektif praktik peradilan, apabila terdakwa pernah hadir di sidang pengadilan kemudian berikutnya tidak pernah hadir lagi sampai penjatuhan putusan, putusan terhadap terdakwa tetap dijatuhkan (bukan putusan in absentia), karena menurut Mahkamah Agung putusan tersebut

adalah tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 196 ayat (1) KUHAP. 38

16. Asas Bantuan Hukum

Secara yuridis normatif asas bantuan hukum ditegaskan pada penjelasan umum angka (3) huruf (f) KUHAP, yakni “Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya”. Sedang menurut UU Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 56 ayat (1), yakni “ setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.

38 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Normatif, Teoretis, Praktik, dan Permasalahannya), Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman 17.

Lebih lanjut asas bantuan diatur juga dalam Pasal 56, 69 sampai dengan

74 KUHAP dan Pasal 56 ayat (2), Pasal 57 ayat (1, 2, dan 3), yakni “ pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum, bantuan hukum diberikan secara Cuma-Cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap”

17. Asas Pemeriksaan Hakim Secara Lisan langsung

Asas pemeriksaan hakim secara lisan langsung secara yuridis normatif diatur dalam Penjelasan Umum angka (3) huruf (h) dan Pasal 153, 154, 155 KUHAP. Bahwa pada asasnya, dalam praktik pemeriksaan perkara pidana di depan persidangan dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksi-saksi serta dilaksanakan dengan cara lisan dalam bahasa Indonesia.

Lebih lanjut, bahwa hukum acara pidana Indonesia tidak mengenal pemeriksaan perkara pidana dengan cara mewakilkan dan pemeriksaan secara

tertulis sebagaimana halnya dalam hukum acara perdata. 39

18. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi

Secara yuridis normatif asas ganti rugi dan rehabilitasi diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, Pasal 95, 96, dan 97 KUHAP, yakni “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”. Apabila pengadilan memutus bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging), maka menurut Pasal 97 ayat (1) KUHAP

39 Ibid.

maka wajib dipulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

19. Asas Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Pada dasarnya, pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) menurut Bab X1X Pasal 270

KUHAP dan Pasal 54 (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 adalah dilakukan oleh Jaksa. Adapun pengawasan terhadap putusan menurut Pasal 55 (1) UU No. 48 Tahun 2009 adalah dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri, yang dalam praktik didelegasikan kepada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan. Istilah yang biasa digunakan adalah “Hakim Wasmat” atau “Kimwasmat”, hal ini diatur dalam Bab XX Pasal 277 ayat (1) KUHAP, Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 1985 tanggal 11 Februari 1985.

20. Asas Kepastian Jangka Waktu Penahanan

Secara limitatif menurut KUHAP Pasal 24 ayat (1 dan 2) “bahwa batas waktu penahanan dalam setiap tingkat pemeriksaan telah dibatasi jangka waktunya. Misalnya, penyidik secara kumulasi dapat melakukan penahanan sampai 60 (enam puluh) hari dengan perincian wewenang menahan atas perintahnya sendiri selama 20 (dua puluh) hari dan permintaan perpanjangan kepada Penuntut Umum selama 40 (empat puluh) hari”.

Penuntut Umum menurut Pasal 25 ayat (1 dan 2) KUHAP dapat menahan selama 20 (dua puluh) hari dan perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri selama

30 (tiga puluh) hari.

Hakim Pengadilan Negeri menurut Pasal 26 ayat (1 dan 2) KUHAP dapat menahan selama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 60 (enam puluh) hari.

Asas kepastian jangka waktu penahanan secara limitatif seorang terdakwa selama proses persidangan dari tingkat penyidik sampai Mahkamah Agung RI hanya dapat ditahan paling lama 400 (empat ratus) hari dengan perincian 200 (dua ratus) hari dari tingkat penyidik sampai pengadilan negeri dan 200 (dua ratus) hari untuk tingkat banding dan kasasi. Apabila asas ini pada setiap tingkat pemeriksaan dilanggar, akan berakibat terdakwa harus

“dilepaskan demi hukum”. 40

F. ASAS-ASAS PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dianut beberapa asas, yaitu:

1. Hanya Mengadili Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat

Pengadilan Hak Asasi Manusia didirikan hanya untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat saja, yakni Genosida dan kejahatan kemanusiaan. Sementara kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia yang dikualifikasikan sebagai kejahatan ringan diadili di sidang pengadilan pidana biasa, di pengadilan negeri atau pengadilan militer sesuai dengan status hukum terdakwanya (Pasal 4 UU No.

26 Tahun 2000).

40 Ibid.

2. Kejahatan Universal

Pengadilan Hak Asasi Manusia berwenang memeriksa dan mumutus perkara pelanggaran HAM yang berat, yang dilakukan di luar batas teritorial negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia (Pasal 5 UU No. 26 Tahun 2000).

3. Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan

Pelanggarah HAM yang berat Menurut UU No. 26 Tahun 2000 hanya menyangkut genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja (Pasal 7 UU No.

26 Tahun 2000).

4. Jaksa Agung sebagai Penyidik dan Penuntut Umum

Dalam perkara pelanggaran HAM, Penyidik dan Penuntut Umumnya adalah Jaksa Penuntut Umum/Penyidik (Pasal 23 UU No. 26 Tahun 2000).

5. Pejabat Ad Hoc

Dalam Pengadilan HAM dikenal Penyidik Had Hoc (Pasal 18 (2) UU No. 26 Tahun 2000), Penuntut Umum Ad Hoc (Pasal 21 ayat (8) UU No. 26 Tahun 2000), dan Hakim Ad Hoc (Pasal 2 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000).

Majelis hakim Pengadilan HAM berjumlah 5 (lima) orang, yakni 2 (dua) orang hakim pada pengadilan HAM, dan 3 (tiga) orang Hakim ad hoc yang diangkat oleh Presiden.

6. Pemeriksaan Banding dan Kasasi Limiatif

Tenggang waktu pemeriksaan banding dan kasasi dibatasi paling lama hanya dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 32 dan 33 UU No. 26 Tahun 2000).

7. Perlindungan Korban dan Saksi

Dalam perkara pelanggaran HAM, korban dan saksi dilindungi oleh Kepolisian (Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000).

8. Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban

Kepada korban pelanggaran HAM yang berat dapat diberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi (Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000).

9. Ancaman Hukum Diperberat

Dalam pelanggaran HAM ancaman hukumannya berupa hukuman mati, seumur hidup, penjara 25 tahun maksimum, dan minimum 10 tahun. ini berarti

lebih berat dari ketentuan dalam KUHP yang menentukan hukuman penjara paling lama 20 tahun (Pasal 37 UU No. 26 Tahun 2000).

10. Tanggung Jawab Komandan dan Atasan

Dalam perkara pelanggaran HAM yang berat dikenal tanggung jawab komandan atau atasan atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh bawahan (Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000).

11. Retro Aktif

Pelanggaran HAM yang berat dilakukan sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 diadili oleh Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk atas usulan DPR- RI dan ditetapkan dengan Kepres secara kasus per-kasus (Pasal 43 dan 47 UU No.

26 Tahun 2000).

12. Tidak ada Daluwarsa

Perkara pelanggaran HAM tidak mengenal tenggang waktu daluwarsa. Oleh karena itu, sewaktu-waktu dapat saja disidik, didakwa atau diadili (Pasal 46 UU No. 26 Tahun 2000).

13. Komnas HAM Sebagai Penyelidik

Untuk pelanggaran HAM yang berat penyelidikannya dilakukan oleh Komnas HAM. Ini berbeda dengan tindak pidana umum, penyelidiknya adalah Polisi (Pasal

18 UU No. 26 Tahun 2006).

14. Kewenangan Ankum dan Perwira Penyerah Perkara Tidak Ada

Menurut UU No. 31 Tahun 1997, Penyidik Militer terdiri dari Atasan yang berhak mengkum (Ankum) Polisi Militer dan Oditur Militer (Pasal 10). Ankum berwenang untuk memerintahkan melakukan pemeriksaan, menjatuhkan hukuman disiplin dan menunda pelaksanaan hukuman disiplin terhadap prajurit yang berada di bawah wewenangnya (pasal 12). Dalam perkara pelanggaran HAM berat kewenangan Ankum tersebut tidak ada (Pasal 49 UU No. 26 Tahun 2000).

G. ASAS HUKUM SPISIFIK

Selain asas-asas hukum universal yang telah diuraikan di atas, terdapat juga berbagai asas hukum spisifik yang berlaku pada suatu masyarakat tertentu. Asas-asas hukum spisifik itu antara lain adalah:

1. Asas The Binding Force of Presedent

Asas hukum the binding of presedent disebut juga dengan asas “staro decisis et quieta nonmovere” (tetap pada apa yang telah diputuskan dan yang dalam keadaan istirahat tidak digerakkan). Dalam implementasinya, hakim terikat pada putusan terhadap perkara yang serupa dengan yang akan diputus, artinya hakim berpedoman pada putusan-putusan pengadilan terdahulu jika hakim tersebut dihadapkan pada suatu perkara (sengketa).

Asas hukum the binding force of presedent ini hanya dianut oleh sistem hukum Anglo Saks. Asas ini berbeda dengan masyarakat yang menganut sistem Eropa Kontinental, yakni putusan pengadilan bersifat “persuasive presedent” artinya putusan hakim terdahulu tidak memiliki kekuatan yang mengikat Asas hukum the binding force of presedent ini hanya dianut oleh sistem hukum Anglo Saks. Asas ini berbeda dengan masyarakat yang menganut sistem Eropa Kontinental, yakni putusan pengadilan bersifat “persuasive presedent” artinya putusan hakim terdahulu tidak memiliki kekuatan yang mengikat

kekuatan yang meyakinkan. 41

2. Asas Cogatitionis Poenam Nemo Patitur

Asas cogatitionis poenam nemo petitur ini menganggap bahwa tidak seorangpun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan atau dibatinnya. Asas ini

jelas hanya berlaku bagi masyarakat yang menerapkan sistem hukum skuler dan tidak berlaku bagi masyarakat yang menerapkan hukum agama.

3. Asas Restitutio in Integrum

Asas restitutio in integrum ini maksudnya adalah bahwa di dalam masyarakat haruslah dipulihkan pada keadaan semula. Asas restitutio in integrum ini hanya berlaku bagi masyarakat sederhana yang cenderung menghindari konflik di dalam masyarakatnya, di mana budaya kompromistis selalu mewarnai berlakunya asas ini.

4. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali

Asas “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” disebut juga dengan asas legalitas maksudnya adalah bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dihukum, kecuali jika sudah ada undang-undang yang sebelumnya telah mengancam sanksi atas perbuatan itu. Asas legalitas ini termasuk asas yang tidak bersifat universal, melainkan spesifik sifatnya, karena hanya mungkin dianut oleh masyarakat yang telah memiliki hukum tertulis saja, terhadap masyarakat yang berpegang pada hukum adat atau kebiasaan misalnya tidak mengenal asas legalitas ini secara konsisten.

41 Knottenbelt, Inleiding in het Nederlandsrecht, Gouda Quint BV Arnhem, B and R.A.Torringa, 1979, halaman 96.

Asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ini dianut dan diterapkan dalam perkara hukum pidana, tidak terkecualikan di dalam hukum positif pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

H. ASAS HUKUM DALAM SEBUAH PERADILAN

Asas hukum dalam sistem peradilan tergantung pada sistem hukum apa yang dianut oleh suatu masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa sistem peradilan di dunia modern kini tidak seragam. Meskipun demikian, ada sejumlah asas peradilan yang secara universal menjadi asas-asas peradilan yang secara unversal pula telah menjadi anutan dari berbagai masyarakat modern dewasa ini, tentu saja ada hal-hal spesifik dari sebuah asas hukum dalam sistem peradilan tersebut.

Pada umumnya negara modern dewasa ini memproklamirkan bahwa negaranya adalah sebagai negara hukum (rechtstaat) yang menganut asas “the rule of law”. 42 Sebagai konsekuensinya, dengan menganut asas “negara hukum” (rechtstaat) itu, harus dianut pula asas peradilan bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya eksra yudisial, baik dalam hal teknis yudisialnya maupun dalam hal non teknis yudisialnya. Syarat negara hukum seperti ini, tidak hanya dianut oleh negara-negara leberal, tetapi juga dianut oleh negara-negara sosialis seperti Uni Sovyet (sebelum menjadi Negara Rusia dan negara-negara lain pecahan dari Uni Sovyet) menyebutkan pula di dalam konstitusi mereka, yakni “ judges are independent and subject only to the law”. Peradilan yang berlaku di negara Uni Sovyet berprinsip pada “independent of wxtra- judicial factors”.

Prinsip “independent judge” juga dianut oleh negara kita pasca diterapkannya asas “peradilan satu atap” di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 : “Kekuasaan kehakiman adalah

42 Rusli Effendy, op.cit., halaman 112.

kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasar Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indoneseia”. Kemudian di dalam penjelasan otentik UU No. 4 Tahun 2004 ini lebih terlihat kepada keinginan yang kuat untuk berpegang pada “independent judge”, yakni “kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Lebih lanjut penjelasan pasal ini disebutkan “kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia”.

Secara garis besar, sistem peradilan di dunia modern dewasa ini terdapat 2 (dua) kelompok besar, di mana masing-masing kelompok dibedakan lagi menjadi sub- sub sistem dalam suatu negara. Meskipun demikian, dua kelompok besar itu terdapat kesamaan, yakni sama-sama menerapkan asas pemisahan kekuasaan kehakiman (yudikatif) dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Adapun kedua kelompok besar tersebut adalah:

1. Sistem Peradilan Juri

Sistem peradilan Juri ini dianut oleh negara-negara Anglo Saks., seperti Inggris, USA, Australia, dan sebagainya. Dalam praktiknya sistem peradilan juri ini “hakim” bertindak sebagai pejabat yang memeriksa mengenai “hukumnya” saja, sedangkan tentang “peristiwanya” diputus oleh para “juri”. Yang menyatakan “salah” atau “benar” adalah para “juri”, kemudian “hakimlah” yang memutuskan hukumnya. Di dalam sistem peradilan Anglo Saks ini, hakim terikat oleh “presedent” (uraian mengenai precedent telah diuraikan di atas), di samping itu hakim bersikap induktif (cara berfikir dari khusus ke umum), karena hakim tidak terikat pada undang-undang melainkan pada peristiwa secara langsung. Dengan Sistem peradilan Juri ini dianut oleh negara-negara Anglo Saks., seperti Inggris, USA, Australia, dan sebagainya. Dalam praktiknya sistem peradilan juri ini “hakim” bertindak sebagai pejabat yang memeriksa mengenai “hukumnya” saja, sedangkan tentang “peristiwanya” diputus oleh para “juri”. Yang menyatakan “salah” atau “benar” adalah para “juri”, kemudian “hakimlah” yang memutuskan hukumnya. Di dalam sistem peradilan Anglo Saks ini, hakim terikat oleh “presedent” (uraian mengenai precedent telah diuraikan di atas), di samping itu hakim bersikap induktif (cara berfikir dari khusus ke umum), karena hakim tidak terikat pada undang-undang melainkan pada peristiwa secara langsung. Dengan

Sistem Peradilan Anglo Saks, metode yang digunakan oleh hakim adalah “analogi”, di mana hakim melakukan perbandingan antara peristiwa-peristiwa yang sejenis, kemudian hakim melakukan “reasoning by analogy” atau “reasoning from case to case”. Kemudian asas yang digunakan dalam sistem peradilan Anglo Saks adalah “stare decisis” (“berhenti pada atau mengikuti putusan-putusan”, apabila muncul suatu situasi atau serangkaian fakta seperti pernah terjadi sebelumnya, maka putusan yang akan dijatuhkan oleh pengadilan dapat diharapkan sama dengan putusan yang dijatuhkan ketika itu) asas stare decisis

disebut juga dengan asas “the binding force of precedent”. 44 Asas ini sejalan dengan apa yang pernah di gagas oleh Aristoteles, yakni “peristiwa yang sejenis harus diputus sejenis”.

Yang dimaksud dengan “precedent” adalah tidak lain merupakan suatu lembaga yang terdiri dari sebagian besar hukum tidak tertulis (ius non scriptum) yang bersumber dari putusan-putusan pengadilan. Jadi apabila kita sering mendengar istilah “common law sistem” tidak lain adalah sistem pengadilan yang dalam penerapan hukumnya sebagian besar bersumber dari hukum tidak tertulis (ius non scriptum) yang dihimpun dalam “law report”.

Menurut Satjipto Rahardjo, asas precedent bagi negara common law sistem sebenarnya tidak mengikat secara mutlak, sebab ada beberapa alasan yang dapat mengakibatkan hapus atau lemahnya kekuatan mengikat dari precedent itu, yaitu

disebabkan oleh beberapa hal : 45

43 Curzon, L.B., Jurisprudence, M & E Handbooks, 1979. Halaman 85.

44 Bodenheimer, Jurisprudence, The Philosophy and Method of the Law, Cambridge Mass : Harvard University Press, 1974, halaman 76.

45 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985, halaman 99.

a. Keputusan-keputusan yang dibatalkan. Yakni suatu keputusan tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat, manakala sesudah keputusan itu dijatuhkan, diundangkan suatu peraturan yang bertentangan dengannya atau apabila ia digugurkan oleh keputusan yang lebih tinggi. Pengguguran ini terjadi apabila dalam suatu kasus lain, pengadilan yang lebih tinggi menentukan bahwa precedent itu telah diputus secara salah dan oleh karena itu tidak perlu diikuti;

b. Ketidaktahuan mengenai adanya peraturan. Suatu precedent tidak mengikat, apabila ia dibuat karena ketidaktahuan mengenai suatu peraturan;

c. Ketidakadaan konsistensi dengan keputusan pengadilan yang lebih tinggi. Suatu precedent jelas menjadi batal, apabila ia mengabaikan keputusan dari pengadilan yang lebih tinggi yang inkonsisten dengan precedent yang dibuat tersebut;

d. Ketidakadaan konsistensi antara keputusan-keputusan yang setingkat. Suatu pengadilan tidak terikat pada keputusan-keputusan yang ia buat sebelumnya yang bertentangan satu sama lain. Apabila yang demikian itu terjadi, maka pengadilan bebas untuk mengikuti keputusan-keputusan yang terdahulu atau yang sekarang;

e. Precedent-precedent yang dibuat sub silentio atau tidak sepenuhnya dipertahankan. Secara teknik, suatu keputusan yang dibuat sub silentio adalah apabila suatu butir tertentu dalam hukum yang terlibat dalam pengambilan keputusan tidak dipertimbangkan oleh pengadilan atau tidak muncul dalam pikirannya.

f. Keputusan yang keliru. Suatu keputusan bisa juga salah atas dasar bahwa ia dilandaskan pada asas-asas yang keliru atau bertentangan dengan asas-asas fundamental dari common law. Apabila suatu keputusan yang salah telah diterima untuk waktu lama dan dianggap telah membentuk hukum, sehingga masyarakat bertindak sebagaimana hukum itu, dan dalam keadaan yang demikian itu tetap saja dipertahankan, meskipun sebenarnya keliru, maka hal inilah disebut sebagai communis error facit jus.

2. Sistem Peradilan Eropa Kontinental

Sistem peradilan Eropa Kontinental, bahwa hakim terikat dengan undang-undang (peraturan tertulis). Jadi kepastian hukum yang dijamin oleh asas “ the binding force of precedent” di negara Anglo saks, maka di negara Eropa Kontinental, kepastian hukumnya dijamin dengan sifat tertulisnya hukum. Cara berfikir hakim di negara Eropa Kontinental adalah secara “deduktif” (berfikir dari yang umum ke yang khusus), dan metode yang digunakan adalah “subsumptie”, maksudnya adalah memasukkan peristiwa ke dalam peraturannya. Metode subsumptie ini lebih digunakan dalam perkara pidana.

Di dalam sistem peradilan Eropa Kontinental, sangat jelas pemisahannya antara perkara perdata dengan perkara pidana dan hukum acaranyapun berbeda. Perbedaan prinsipil antara hukum acara perdata dan hukum acara pidana adalah:

a. Perbedaan Inisiatif Penuntutan Inisiatif pengajuan perkara pidana di muka pengadilan adalah Jaksa selaku penuntut umum yang mewakili kepentingan publik. Sedangkan dalam perkara perdata, inisiatif terletak kepada para pihak untuk mewakili kepentingannya sendiri. Berbeda juga dalam pengajukan alat bukti. Dalam perkara perdata pembuktian dibebankan kepada pihak berperkara untuk membuktikan kebenaran dalilnya atau bantahan terhadap dalil lawannya, sedangkan perkara pidana, inisiatif bukti kesalahan terdakwa terletak pada jaksa selaku penuntut umum;

b. Perbedaan Keterikatan Hakim Pada Alat Bukti Dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat bukti yang sah atau dalam istilah lain disebut “preponderance of evidence” (pengaruh yang lebih besar dari alat bukti). Sedangkan dalam hukum acara pidana, hakim selain terikat dengan alat bukti yang sah juga harus yakin atas kesalahan terdakwa atau dalam istilah lain disebut “beyond reasonable b. Perbedaan Keterikatan Hakim Pada Alat Bukti Dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat bukti yang sah atau dalam istilah lain disebut “preponderance of evidence” (pengaruh yang lebih besar dari alat bukti). Sedangkan dalam hukum acara pidana, hakim selain terikat dengan alat bukti yang sah juga harus yakin atas kesalahan terdakwa atau dalam istilah lain disebut “beyond reasonable

(satu) orang yang tidak bersalah”. Sebab penghukuman terhadap terdakwa yang tidak bersalah dapat dikategorikan sebagai “ cold blooded execution” (eksekusi berdarah dingin).

c. Perbedaan Kebenaran yang Ingin dicapai Hukum acara perdata lebih mengedepankan pada tercapainya

kebenaran “formal”, sedangkan dalam hukum acara pidana adalah semata-mata ingin mencapai kebenaran “material”.

I. KESIMPULAN

Pentingnya asas hukum terhadap penegakan hukum adalah dimaksudkan untuk menjaga konsistensi para hakim dan pengadilan dalam menerima, memeriksa dan memutus serta melaksanakan setiap perkara yang ia tangani. Di samping itu, asas hukum itu berfungsi sebagai pijakan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam sistem hukum itu sendiri, sebagai contoh: adannya asas “lex superior derogat legi inferiori” (peraturan hukum yang hirarkhinya lebih tinggi harus didahulukan dari pada yang lebih rendah). Dan demikian juga terhadap asas “res judicata proveri tate habetur” (apa yang diputus oleh hakim, harus diterima sebagai hal yang benar).

Bahwa asas hukum sebagai aturan yang abstrak dapat dilahirkan kembali secara lebih kongkrit melalui berbagai bentuk, baik dalam bentuk peraturan-peraturan hukum, maupun dalam kebiasaan dan jurisprudensi.

Dewasa ini, sistem peradilan di dunia masih didominasi oleh 2(dua) kategori besar, yakni : 1). Sistem peradilan juri di negara-negara Anglo Saks, seperti di Inggris,

46 Dalam praktik hukum positif Indonesia baca Pasal 6 (2) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat

pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

USA, Australia, dan sebagainya; dan 2). Sistem peradilan Eropa Kontinental, termasuk di dalamnya adalah negara Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda.

Bahwa asas Hukum Acara Perdata dan Asas Hukum Acara Pidana adalah sangat berbeda, paling tidak perbedaannya adalah meliuti : segi inisiatif penuntutan, segi keterikatan hakim pada alat bukti, dan dari sisi kebenaran yang ingin dicapai.

=====000=====