HUKUM ACARA PIDANA JINAYAT MAHKAMAH SYAR

===

PENERAPAN HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYAR’IYAH DI ACEH

Nur Moklis,S.H.I.,S.Pd. dan Agus Sanwani Arif,S.H.I

PENERAPAN HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYAR’IYAH DI ACEH

Copyright@Nur Moklis & Agus Sanwani Arif

Penyusun: Nur Moklis,S.H.I.,S.Pd. dan Agus Sanwani Arif,S.H.I

Desain Cover: Ahmad Abdul Halim,S.H.I

Tata Letak: Ahmad Mufid Bisri,S.H.I

Edisi I Nopember 2012

Dipublikasikan secara Online Email: nurmoklis@yahoo.com agussanwaniarif@yahoo.com

Dipersilahkan mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini, guna kepentingan akademik, karya ilmiyah atau sejeninya. Dilarang mengutipnya baik sebagian atau seluruhnya untuk kepentingan komersial atau sejenisnya .

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya kepada kita dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Showalat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Agung akhir zaman Muhammad SAW.

Kami berdua sengaja menyusun E-BOOK PENERAPAN HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAT MAHKAMAH SYAR’IYAH DI ACEH dalam sebuah buku guna memudahkan kami dan para pembaca mempelajari hukum acara pidana/jinayah yang menjadi kompetensi Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagaimana amanat Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh pasal 128 ayat 3 menyebutkan “Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam”.

Terkait hal tersebut kami berdua yang saat diklat II calon hakim angkatan VII di Megamendung Bogor, bertepatan tanggal 24 september s.d. 28 nopember 2012 berinisiatif untuk mengumpulkan berbagai makalah, bahan ajar diklat, catatan-catatan saat mengikuti perkuliahan, juga hunting buku di perpustakaan badan litbang diklat kumdil MA-RI tentang hukum acara pidana/jinayah untuk menjadikannya sebuah e-book.

Lebih tepatnya, E-BOOK PENERAPAN HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAT MAHKAMAH SYAR’IYAH DI ACEH ini adalah sebagai salah satu oleh-oleh(cendramata) yang kami bawa salama mengikuti pelatihan tersebut. Dalam pelatihan tersebut bayak hal yang telah kami pelajari seperti hukum acara perdata di Peradilan Agama, termasuk juga hukun acara ekonomi syariah, hukum materiil peradilan Agama, termasuk didalamnya hukum materiil ekonomi syariah, hukum acara pidana/ jinayah di mahkamah syar’iyah di aceh, hukum pidana/jinayah diaceh dan lainnya. Oleh karena itu kami menyebutnya sebagai salah satu oleh-oleh (cendramata) dari diklat.

Ucapan terimakasih yang tulus kami sampaikan kepada Ibu Ny. Siti Nur Jannah,SH.,MH.(Kepala Badan), Ibu Marni,SH.,MH. (Sekretaris Badan), Bapak IG. Agung

Sumanthana,SH.,MH., Bapak Suwoto, S.H.,M.Pd. Bapak Firman,SH, Bapak Suhenda, Bapak H. Moch. Amirullah Sholeh,SH.,MH. Dan seluruh Panitia yang tidak dapat kami sebutkan satu- persatu.

Terimakasih yang sangat dalam kami sampaikan kepada Bapak-Bapak Dosen yang telah memberikan pencerahan luar biasa, antara lain Bapak Prof. Dr. H. Abdul Manan,SH.,S.IP.,M.Hum, Bapak Dr. H. Habiburrahman.S.H.,MH, Bapak Prof. Dr. H. Abdul Ghani Abdullah,S.H.,MH., Bapak Drs. H. Armia Ibramim,S.H.,MH., Bapak Dr. H. Mukti Arto.S.H. MH., Bapak Drs. Rum Nessa,SH.,MH. Bapak Dr. H. Qomari,MH., Bapak Dr. H. Ahmad Mujahidin MH., Bapak Drs. H. Mawardy Amien,MH., Bapak Prof. Dr.H.Hasbi Hasan,SH.,MH dan lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Semoga amal beliau menjadi amal jariyah, amien.

Tidak lupa kami juga mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada sahabat tercinta kami, Sdr. Prasetyo Wibowo Cakim PTUN Jakarta, selama 2 bulan kami bertiga tinggal bersama di Gedung Sari Lt.3 No.15 dengan sangat harmonis guna mengikuti diklat II cakim PPC Terpadu angkatan VII. Rekan-rekan dari Pengadilan Agama Kelas 1B Kudus; Mas Iyan, mas Burhan, Mas Lesta, Mas Halim, Mas Mamat, Mas Kusnoto, Mb. Rica, Mas Dani, dan Mas Sholichin yang selalu meluangkan waktu untuk belajar bersama-sama . Rekan-rekan Pengadilan Agama kelas 1B Cianjur yang selalu bersemangat, mas Jimmy, Mas Rifqi, Mas Ivan, Cak Massadi, A’a Mumu, Bang Iwin, Teteh Habsah, dan A’a Ghani, tetap kompak selalu. Tidak lupa Semua rekan-rekan Cakim PA,PN dan PTUN yang tidak dapat kami sebut namanya satu persatu.

E-book ini menjelaskan sejarah Mahkamah Syar’iyah di Aceh yang tidak lepas dari Peradilan Agama pada umumnya diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah mendapatkan penambahan kompetensi sebagaimana amanat Undang-Undang dibidang muamalah dan jinayat/pidana. Selain hal tersebut dalam e-book ini juga telah kami klasifikafikan dalam bab-bab yang akan memudahkan bagi pembaca.

Secara singat dapat kami sampaikan bahwa e-book ini memuat 22 bab yang terdiri dari sejarah Mahkamah Syar’iyah, kewenanganya, dan lainnya yang bisa dibaca secara rinci dalam daftar isi.

Kami sangat berharap masukan-masukan dari pembaca, apabila dalam penyusunan dan pengumpulan bahan tentang E-BOOK PENERAPAN HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAT MAHKAMAH SYAR’IYAH DI ACEH ada kesalahan atau hal-hal yang perlu diperbaiki. Demikian, semoga e-book ini menjadi amal sholih bagi kami. Amin.

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Megamendung, 28 Nopember 2012 Penyusun

Nur Moklis,S.H.I.,S.Pd. & Agus Sanwani Arif,S.H.I

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR--2 DAFTAR ISI--5 BAB I

HUKUM ACARA PIDANA DALAM PERKARA JINAYAT DI PROVINSI ACEH--11

A. Pendahuluan--11

B. Landasan Normatif--12

C. Istilah-Istilah Dalam Qanun Aceh--16

D. Kompetensi Mahkamah Syar’iyah--19

E. Kewenangan Mengadili Perkara Pidana/Jinayat--20

BAB II MAHKAMAH SYAR’IYAH DALAM SISTIM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA--

A. Sejarah Mahkamah Syar’iyah di Aceh--23

1. Mahkamah Syar’iyah Pada Masa Kesultanan Islam--23

2. Mahkamah Syar’iyah Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda--25

3. Mahkamah Syar’iyah Pada Masa Pendudukan Jepang--25

4. Mahkamah Syar’iyah Pada Masa Revolusi Fisik Hingga Kembali Ke NKRI--26

5. Mahkamah Syar’iyah Pada Masa Otonomi Khusus Aceh--38

B. Mahkamah Syar’iyah dalam Sistem Perundang-Undangan--39

C. Kewenangan dan Kekuasaan Mahkamah Syar’iyah di Indonesa--40

1. Kekuasaan Relative--40

2. Kekuasan Absolute--40

a. Bidang Ahwalus Syakhsiyah--43

b. Bidang Muamalah--43

c. Bidang Jinayah --45

BAB III ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA MAHKAMAH SYAR’IYAH--46

A. Pendahuluan--46

B. Terminologi Asas Hukum--67

C. Latar Belakang Lahirnya Asas Hukum--50

D. Asas-Asas Hukum Acara Pidana Dalam Al-Qur’an--52

1. Asas Keadilan--52

2. Asas Kepastian Hukum--54

3. Asas Kemanfaatan--55

4. Asas Legalitas--56

5. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Pada Orang Lain--58

6. Asas Praduga tidak Bersalah--59

E. Asas-Asas Hukum Acara Pidana Universal--60

1. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)--60

2. Asas Oportunitas--60

3. Asas Accusatoir dan Inquisitoir--60

4. Asas Audi Et Alteram Partem--62

5. Asas Independen--63

6. Asas Sidang Terbuka untuk Umum--64

7. Asas Equality Before the Law--56

8. Asas Ratio Decidendi /Basic Reasion (Putusan Harus Disertai Alasan)--

9. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan--66

10. Asas Nemo Judex Indoneus in Propria Causa--67

11. Asas Unus Testis Nullus Testes--69

12. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori--69

13. Asas Ius Curia Novit--70

14. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali--70

15. Asas Pemeriksaan Perkara Pidana dengan Kehadiran Terdakwa--71

16. Asas Bantuan Hukum--71

17. Asas Pemeriksaan Hakim Secara Lisan langsung--72

18. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi--72

19. Asas Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan--

20. Asas Kepastian Jangka Waktu Penahanan--73

F. Asas- Asas Pengadilan Hak Asasi Manusia--74

1. Hanya Mengadili Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat--74

2. Kejahatan Universal--74

3. Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan--74

4. Jaksa Agung sebagai Penyidik dan Penuntut Umum--74

5. Pejabat Ad Hoc--74

6. Pemeriksaan Banding dan Kasasi Limiatif--74

7. Perlindungan Korban dan Saksi--74

8. Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban--75

9. Ancaman Hukum Diperberat--75

10. Tanggung Jawab Komandan dan Atasan--76

11. Retro Aktif--76

12. Tidak ada Daluwarsa--76

13. Komnas HAM Sebagai Penyelidik--76

14. Kewenangan Ankum dan Perwira Penyerah Perkara Tidak Ada--77

G. Asas-Asas Hukum Spesifik--77

1. Asas The Binding Force of Presedent--77

2. Asas Cogatitionis Poenam Nemo Patitur--78

3. Asas Restitutio in Integrum--78

4. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali--78

H. Asas-Asas Hukum dalam Sebuah Peradilan--79

1. Sistem Peradilan Juri--80

2. Sistem Peradilan Eropa Kontinental--82

I. Kesimpulan--84

BAB IV LEMBAGA PELAKSANA HUKUM ACARA PIDANA MAHKAMAH SYAR’IYAH DI INDONESIA--86

a. Kepolisian/ Wilayatul Hisbah--87

b. Kejaksaan—91

1. Tugas dan Wewenang Kejaksaan—93

2. Tugas dan Wewenang Jakas Agung--94 2. Tugas dan Wewenang Jakas Agung--94

BAB V PENYELIDIK, PENYIDIK, DAN PENUNTUT UMUM--97

A. Penyidik--97

B. Penyidikan—98

B.1. Laporan atau Pengaduan--99

B.2. Informasi yang diperoleh Aparat Penegak Hukum—100

B.3. Tertangkap Tangan--101

C. Penyelidik--102

D. Penyelidik Pembantu--104

E. Penyidikan—104

E.1. Wewenang Penyidik--105

E.2. Tatacara Penyidikan--106

F. Penuntut Umum--113

BAB VI PENANGKAPAN, PENAHANAN, JAMINAN PENANGGUHAN PENAHANAN, PENGGELEDAHAN, PENYITAAN, DAN PEMERIKSAAN SURAT--114

A. Penangkapan--114

B. Penahanan--115

C. Jaminan Penangguhan Penahanan--121

D. Penggeledahan--122

E. Penyitaan--124

F. Pemeriksaan surat--128

BAB VII TERSANGKA DAN TERDAKWA--130

A. Tersangka--130

B. Terdakwa--130

BAB XIII BANTUAN HUKUM--135

BAB IX BERITA ACARA DAN SUMPAH--136

A. BERITA ACARA--136

B. SUMPAH--137

BAB X WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI--138

A. Praperadilan--138

B. Mahkamah Syar’iyah, Mahkamah Syar’iyah Aceh dan MA- RI--140

BAB XI PERADILAN KONEKSITAS--142

A. Pengertian--142

B. Prinsip-Prinsip Koneksitas--143

C. Penyidikan Perkara Koneksitas--143

D. Tatacara Penentuan Pengadilan Koneksitas--144

E. Susunan Majlis Hakim Pengadilan Koneksitas--146

BAB XII GANTI KERUGIAN, REHABILITASI DAN PENGGABUNGAN PERKARA GANTI KERUGIAN--148

A. Ganti kerugian--149

B. Rehabilitasi--149

C. Penggabungan Perkara Ganti Kerugian--149

BAB XIII TAHAP-TAHAP DAN PROSES SIDANG DALAM PERKARA JINAYAT--151

BAB XIV PENUNTUTAN,DAKWAAN DAN PANGGILAN--153

A. Penuntutan--153

B. Panggilan--155

BAB XV SENGKETA WEWENANG MENGADILI--157

BAB XVI ACARA PEMERIKSAAN BIASA--159

BAB XVII ACARA PEMERIKSAAN SINGKATS--172

BAB XVIII ACARA PEMERIKSAAN CEPAT--174

A. Pendahuluan--174

B. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan--174

C. Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan--174

BAB XIX PEMBUKTIAN--178

BAB XX UPAYA HUKUM--186

A. Pengertian Upaya Hukum--186

B. Pemeriksaan Tingkat Banding--186

C. Pemeriksaan Untuk Kasasi--190

BAB XXI UPAYA HUKUM LUAR BIASA--191

A. Pengertian--191

B. Pemeriksaaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum--191

C. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap--191

BAB XI PUTUSAN--195

A. Pelaksanaan Putusan Pengadilan--195

B. Pengawasan Dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan--197

DAFTAR PUSTAKA--199 TENTANG PENYUSUN--201

BAB I HUKUM ACARA PIDANA DALAM PERKARA JINAYAT DI PROPINSI ACEH 1

A. PENDAHULUAN

Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan Syariat Islam, Keistimewaan dan Otonomi khusus,

menjunjung tinggi kepastian hukum, keadilan dan kesamaan di depan hukum.

Dalam melaksanakan Hukum Jinayat, Hukum Acara Jinayat merupakan salah satu aturan tersendiri yang sangat diperlukan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, dan Qanun Nomor 10 Tahun 2002, karena aturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan penegak hukum di Aceh;

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang- Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, mengakui adanya peradilan Syariat Islam sebagai bagian sistem peradilan nasional yang dilakukan oleh mahkamah syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. Kewenangan mahkamah Syari’yah didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional, diatur lebih lanjut dengan Qanun. Untuk melaksanakan ketentuan pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tersebut, pasal tanggal 4 Oktober 2002 telah disahkan qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. Pasal 49 Qanun tersebut mengatur kewenangan mahkamah Syar’iyah yang meliputi bidang al-syaksyiah muamallah

1 Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Bahan Ajar Diklat II Calon Hakim Peradilan Agama Program Pendidikan Dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu (PPC Terpadu), 2012.

dan jinayat. Untuk dapat menjalankan kewenangan tersebut diperlukan adanya hukum formil (hukum acara). Baik muamalat maupun jinayat, Pasal 54 Qanun Nomor 10 tahun 2002 menentukan bahwa hukum formil yang akan digunakan mahkamah adalah bersumber atau sesuai dengan syariat islam yang sesuai dengan Qanun.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai hukum formil yang berlaku dilingkungan peradilan umum, belum menampung

sepenuhnya prinsip-prinsip hukum acara pidana islam sesuai dengan kebutuhan Peradilan Syariat Islam. Karenanya kehadiran hukum acara jinayat merupakan kebutuhan mutlak bagi mahkamah dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Dalam sistem Peradilan Syariat sebagaimana diatur.

B. LANDASAN NORMATIF

Mahkamah Syar’iyah adalah suatu lembaga peradilan yang dilakukan berdasar Syari’at Islam dan menurut cara yang diatur dalam Qanun. 2 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat hanya berlaku di Nagroe Aceh Darussalam (NAD) untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan Syari’at Islam pada

semua tingkat peradilan. 3 Adapun sumber hukum Qanun Aceh adalah bersumber pada dasar-dasar hukum sebagai berikut:

1. AI-Qur’an;

2. Al-Hadits;

3. Pasal 18 B, 28 J dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;

4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103);

2 Rancangan Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat Pasal 3

3 Ibid. Pasal 2.

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277);

7. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958);

8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611);

9. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668);

10. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, in Human or Degrading Treatment or Punishment) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1998 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783);

11. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

12. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893);

13. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);

14. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4234);

15. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288);

16. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);

17. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

18. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);

19. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419);

20. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah untuk yang kedua kalinya dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

21. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);

22. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635);

23. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Daerah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Sumatera Utara menjadi Undang- undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4796);

24. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);

25. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3373);

26. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari'at Islam (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);

27. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2002 Nomor 2 Seri E Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4);

28. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2002 Nomor 54 Seri E Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5);

29. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Naggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 03);

C. ISTILAH-ISTILAH DALAM QANUN ACEH

Berdasar Rancangan Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat Bab I Pasal 1 terdapat beberapa istilah, yakni:

1. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.

2. Kabupaten/Kota adalah bagian dari daerah Provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan dalam sistem dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota.

3. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.

4. Pemerintah Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Pemerintah Aceh adalah unsur penyelenggara pemerintahan Aceh yang terdiri atas Gubernur dan

perangkat daerah Aceh.

5. Gubernur adalah Kepala Pemerintah Aceh yang dipilih melalui suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

6. Pemerintah daerah kabupaten/kota yang selanjutnya disebut pemerintah kabupaten/kota adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas bupati/walikota dan perangkat daerah kabupaten/kota.

7. Mahkamah Agung adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia.

8. Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota adalah pengadilan selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan agama yang merupakan bagian dari sistem peradilan nasional.

9. Mahkamah adalah Mahkamah Syar’iyah, Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Agung.

10. Polri adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas di Aceh.

11. Polisi Wilayatul Hisbah (WH) adalah lembaga yang berfungsi melakukan sosialisasi, pengawasan, pembinaan, penyelidikan, penyidikan dan pelaksanaan hukuman terhadap pelaksanaan Syariat Islam.

12. Penyelidik adalah pejabat Polri di Aceh dan Polisi WH yang telah diberi wewenang oleh undang-undang dan/atau qanun untuk melakukan penyelidikan.

13. Penyidik adalah pejabat Polri di Aceh dan Polisi WH yang telah menjadi PPNS yang diberi wewenang oleh undang-undang dan/atau qanun untuk melakukan penyidikan.

14. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai jarimah guna

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun.

15. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang jarimah yang terjadi guna menemukan tersangka.

16. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh qanun ini dan peraturan perundang-undangan lainnya untuk melakukan penuntutan serta melaksanakan penetapan dan putusan hakim mahkamah.

17. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara jinayat ke Mahkamah Syar’iyah yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang Mahkamah.

18. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan dan/atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun.

19. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun.

20. Putusan Mahkamah adalah pernyataan yang diucapkan hakim dalam sidang mahkamah terbuka yang dapat berupa penjatuhan ‘uqubat atau bebas atau lepas dari tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun.

21. Tersangka adalah orang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku jarimah.

22. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutuskan perkara jinayat berdasarkan azas bebas,

jujur dan adil dalam sidang Mahkamah menurut cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun.

23. Permohonan adalah permintaan terdakwa atau pelaku jarimah yang atas kesadaran sendiri mengakui kesalahan atas jarimah yang dilakukan dan meminta ia dijatuhi ‘uqubat sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun.

24. Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam yang dalam qanun jinayat diancam dengan ‘uqubat hudud dan/atau ta’zir.

25. ‘Uqubat adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelanggaran jarimah.

26. Qarinah adalah salah satu dari berbagai cara pembuktian suatu gugatan/dakwaan yang dapat membantu para penegak keadilan untuk menyingkap rahasia suatu peristiwa.

D. KOMPETENSI MAHKAMAH SYAR’IYAH

Menurut ketentuan Pasal 85 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, Mahkamah Syar’iyah memiliki kewenangan sebagai berikut:

1. Mahkamah Syar’iyah berwenang mengadili segala perkara mengenai jarimah yang dilakukan dalam daerah hukumnya;

2. Mahkamah Syar’iyah yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal atau berdiam terakhir atau di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat 2. Mahkamah Syar’iyah yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal atau berdiam terakhir atau di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat

3. Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa jarimah dalam daerah hukum pelbagai Mahkamah Syar’iyah, maka tiap Mahkamah Syar’iyah itu masing-masing berwenang mengadili perkara jinayat itu;

4. Terhadap beberapa perkara jinayat yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai Mahkamah

Syar’iyah, diadili oleh masing-masing Mahkamah Syar’iyah dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.

Dalam hal keadaan daerah tidak memungkinkan suatu Mahkamah Syar’iyah untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua Mahkamah Syar’iyah atau Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung menetapkan atau menunjuk Mahkamah Syar’iyah lain daripada yang tersebut pada Pasal 85 untuk

mengadili perkara yang dimaksud . 4

Menurut Rancangan Qonun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat Pasal 87 Mahkamah Syar’iyah Aceh berwenang mengadili perkara yang diputus oleh Mahkamah Syar’iyah dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding. Sedangkan menurut Pasal 88 Rancangan Qonun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara jinayat yang dimintakan kasasi.

E. KEWENANGAN MENGADILI PERKARA PIDANA/JINAYAT

Menurut ketentuan Pasal 78 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa Mahkamah Syar’iyah berwenang untuk memeriksa dan memutus tentang hal-hal sebagai berikut:

4 Ibid., Pasal 86.

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

b. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi setiap orang yang perkara jinayatnya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

c. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah dan dibantu oleh seorang panitera. (Pasal 79)

d. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua

Mahkamah Syar’iyah dengan menyebutkan alasannya. (Pasal 80)

e. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Mahkamah Syar’iyah dengan menyebutkan alasannya. (Pasal 81).

f. Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Mahkamah Syar’iyah dengan menyebutkan alasannya. (Pasal 82)

g. Acara pemeriksaaan praperadilan menurut Pasal 83 untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, 81 dan Pasal 82 ditentukan sebagai berikut:

1. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;

2. hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang, dalam memeriksa dan memutus tentang: (1) sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan; (2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; (3) permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya

penangkapan atau penahanan; (4) akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan; dan (5) ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian.

3. pemeriksaan sebagaimana pada huruf b dilakukan sacara cepat dan putusan dijatuhkan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak disidangkan;

4. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;

5. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.

6. Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 sampai dengan Pasal 82, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.

h. Putusan hakim, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf (g) juga memuat hal sebagai berikut:

1. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus membebaskan tersangka;

2. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;

3. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;

4. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa 4. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa

i. Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 91.

j. Ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada huruf (i) dibebankan pada APBA yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. k. Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, sampai dengan Pasal 82 menurut ketentuan Pasal 84 tidak dapat dimintakan banding, dikecualikan apabila putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Mahkamah Syar’iyah Aceh.

======000=====

BAB II MAHKAMAH SYAR’IYAH DALAM SISTIM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

A.

SEJARAH MAHKAMAH SYAR’IYAH DI ACEH 5

1. MAHKAMAH SYAR’IYAH PADA MASA KESULTANAN ISLAM

Peradilan Islam telah lahir di Aceh sejak zaman jayanya Kerajaan Aceh. Pada masa itu peradilan dipegang oleh ”Qadli Malikul ’Adil” yang berkedudukan di ibukota kerajaan, Kutaraja. Qadli Malikul ’Adil ini kira-kira dapat disamakan dengan Mahkamah Agung, sebagai Pengadilan Tertinggi. Di masing-masing daerah Uleebalang terdapat Qadli Uleebalang yang memutuskan perkara di daerahnya. Banding terhadap putusan Qadli Uleebalang diajukan ke Qadli Malikul ’Adil.

Qadli Malikul ’Adil dan Qadli Uleebalang diangkat dari ulama-ulama yang cakap dan berwibawa. Karena perkara yang dibanding ke Qadli Malikul’Adil tidak banyak, maka Qadli Malikul ’Adil lebih banyak bertugas memberikan fatwa dan nasehat kepada kerajaan.

Menurut Syamsudi Irsyad sistem peradilan di Kesultanan Aceh terdiri dari

beberapa tingkat 6 , yaitu:

b. Jurudamai, dua tingkat, yaitu: jurudamai tingkat I, diketuai oleh Keuchik dan jurudamai tingkat II diketuai oleh Imun Mesjid.

c. Pengadilan Mukim, diketuai oleh Imun Mukim, anggotanya terdiri dari Keuchik, Imam Mesjid yang bersangkutan dan Cerdik Pandai.

5 H.Armia Ibrahim, Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nangro Aceh Darussalam, Makalah: Sejarah Perkembangan Peradilan Agama Di Aceh Sebelum Dan Setelah Kemerdekaan RI, 2006. Dan Disadur

Dengan Beberapa Sumber Lainnya.

6 Syamsul Hadi Irsyad, 130 Tahun Peradilan Agama Berahan dan Mengembangkan Eksistensinya, Makalah Dalam Forum Saresehan Tentang Perjalanan 130 Tahun Peradilan Agama Yang Diselenggarakan Oleh Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2012.

d. Pengadilan Uleebalang, diketuai oleh Uleebalang, anggota-anggota serupapengadilan Mukim, mengadili perkara yang diminta banding atas putusan pengadilan Mukim.

e. Pengadilan Panglima Sagoe, diketuai oleh Panglima Sagoe dan anggotanya sama dengan yang diketuai oleh uleebalang, hanya Aceh Besar.

f. Mahkamah Agung (MA), Ketua adalah Sultan Aceh sendiri, wakil ketuanya Qadli Malikul Adil dan anggota-anggota.

2. ... MAHKAMAH SYAR’IYAH PADA MASA HINDIA BELANDA

Zaman Hindia Belanda, peradilan agama merupakan bagian dari pengadilan adat, dimana untuk tingkat Uleebalang ada pengadilan yang diketuai oleh Uleebalang yang bersangkutan. Sedangkan untuk tingkat afdeeling atau onderafdeeling ada pengadilan yang bernama ”Musapat’ yang dikepalai oleh Controleur, dimana Uleebalang serta pejabat-pejabat tertentu menjadi anggotanya.

Dalam prakteknya bila perkaranya melulu bersangkutan dengan hukum agama, seringkali diserahkan saja kepada Qadli Uleebalang untuk memutuskannya, tetapi kalau ada sangkut pautnya dengan hukum yang lain dari hukum agama, diketuai sendiri oleh Uleebalang yang bersangkutan dengan didampingi Qadli Uleebalang dimaksud.

Perlu diketahui pula bahwa dalam sidang peradilan Musapat, agar sah maka harus ada Ketua, sekurang-kurangnya tiga orang anggota dan ada seorang Ulama Islam. Bila menyangkut kasus pidana, maka harus ada seorang opsir justisi bumi putera.

3. MAHKAMAH SYAR’IYAH PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG

Zaman pendudukan Jepang, keadaan peradilan Agama di Indonesia tidak banyak berubah. Apa yang berjalan pada zaman Belanda tetap dipertahankan oleh Pemerintah pendudukan Jepang.

Khusus untuk wilayah Aceh, Jepang mengeluarkan suatu Undang-undang yang bernama ”Atjeh Syu Rei” ( Undang-undang Daerah Aceh ) Nomor 12 tanggal Syowa Ni Gatu 15 ( 15 Pebruari 1944 ) mengenai Syukyo Hooin ( Mahkamah Agama).

Sesuai dengan bunyi pasal 1 Atjeh Syu Rei Nomor 12, ada tiga tingkatan peradilan agama saat itu, yakni :

1. Syukyo Hooin berkedudukan di Kutaraja (sekarang Banda Aceh);

2. Seorang Kepala Qadli dengan beberapa anggotanya di tiap-tiap Bunsyu (Kabupaten sekarang );

3. Seorang Qadli Son di tiap-tiap son ( kecamatan sekarang ).

Syukyo Hooin merupakan pengadilan tingkat banding atas putusan Kepala Qadli dan Qadli Son. Tugas Qadli Son pada saat itu mirip dengan tugas Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan saat ini.

Syukyo Hooin terdiri dari anggota-angota harian dan anggota-angota biasa. Salah seorang dari anggota harian diangkat menjadi Ketua ( Iintyo ) oleh Atjeh Syu Tyokan berdasarkan unjukan/ rekomendasi dari Kepala Pengadilan Negeri Kutaraja yang dipilih dari ulama yang cerdik pandai, jujur dan berpengaruh di dalam daerah Aceh.

Pada saat itu sebagai Ketua Atjeh Syukyo Hooin adalah Tgk.H.Ja’far Shiddiq, sedangkan anggota-anggota harian adalah : Tgk.Muhammad Daud Beureu-eh dan Tgk.Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy serta Said Abubakar.

4. MAHKAMAH SYAR’IYAH PADA MASA REVOLUSI FISIK HINGGA KEMBALI KE NEGARA KESATUAN RI.

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, status Pengadilan Agama di Aceh tidak menentu karena tidak mempunyai landasan hukum yang kuat. Namun di Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, status Pengadilan Agama di Aceh tidak menentu karena tidak mempunyai landasan hukum yang kuat. Namun di

Pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Keresidenan Aceh pada waktu itu hanya didasarkan kepada Kawat Gubernur Sumatera Nomor 189 tanggal 13

Januari 1947 yang waktu itu dijabat oleh seorang tokoh Aceh yaitu Mr.T.Muhammad Hasan, yang disusul dengan Kawat Wakil Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera No. 226/3/djaps tanggal 22 Pebruari 1947.

Adapun mengenai kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh saat itu awalnya didasarkan kepada Kawat Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera yang ditujukan kepada Jabatan Agama Daerah Aceh di Kutaraja Nomor 896/3/djaps yang intinya bahwa hak Mahkamah Syar’iyah memutus soal-soal tentang :

21. Nikah, thalaq, rujuk, nafkah dsb.

22. Pembahagian pusaka ( kewarisan)

23. Harta wakaf, hibah, sedeqah dan selainnya

24. Baitul mal.

Untuk mendapat landasan yang kuat atas surat kawat tersebut, Pemerintah Aceh membawa masalah tersebut ke sidang Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Badan Pekerja DPR Aceh telah menguatkan kewenangan dimaksud dengan Putusannya tanggal 3 Desember 1947 Nomor 35, yang intinya sebagai berikut :

1. Menguatkan Instruksi Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera tentang hak Mahkamah Syar’iyah, yaitu memutuskan :

a. perkara nikah, thalaq, rujuk dan nafkah;

b. pembahagian pusaka;

c. memutuskan harta wakaf, hibah dan sedekah; c. memutuskan harta wakaf, hibah dan sedekah;

2. Vonnis-vonnis yang bersangkutan ini dipandang serupa kekuatan vonnis Hakim Negeri.

3. Buat sementara menunggu ketentuan dari Propinsi, maka urusan harta pusaka ditetapkan terus menjadi hak Mahkamah Syar’iyah dan tidak lagi menjadi hak Hakim Rendah atau Hakim Negeri.

4. Untuk menjalankan urusan ini diserahkan kepada Kepala Jawatan Agama Daerah Aceh.

Ada tiga tingkatan Mahkamah Syar’iyah di Aceh pada era awal kemerdekaan hingga lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1957 tanggal 10 Agustus 1957, yakni :

1. Mahkamah Syar’iyah Daerah Aceh sebagai Pengadilan tertinggi dan tingkat terakhir yang berkedudukan di Kutaraja.

2. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan sebagai Pengadilan tingkat banding sebanyak

20 buah yang berada di seluruh daerah Kewedanaan yang ada di Aceh saat itu.

3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian sebagai Pengadilan tingkat pertama sebanyak 106 buah yang berada di setiap daerah Kecamatan yang ada di Aceh saat itu.

Adapun nama-nama Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan dan Kenegerian dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Kutaraja, membawahi 9 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Mesjid Raya; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Ingin Jaya; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tungkop; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Krueng Raya; 5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kuta Baro; 6). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Darul Imarah; 7). Mahkamah Syar’iyah Lho’nga; 8). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Peukan Bada;

9). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Lhoung.

2. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Seulimum, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Seulimum; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Suka Makmur; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Montasik; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Indrapuri.

3. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Sigli, membawahi 11 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Peukan Baro; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Pidie; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Muara Tiga; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kembang Tanjong; 5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Mutiara; 6). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simpang Tiga; 7). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Delima; 8). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Bandar Baro; 9). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Geulumpang Tiga; 10). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Indra Jaya; 11). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Padang Tiji.

4. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Kota Bakti, membawahi 6 Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu : 1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Sakti; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Titue; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Mila; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tangse; 5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Geumpang; 6). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tiro.

5. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Meureudu, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Meureudu; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Trienggadeng; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Pantee Raja; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Bandar Dua.

6. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Bireuen, membawahi 6 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu : 1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Jeumpa; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Peusangan; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Ganda Pura; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Peudada; 5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Jeunib;

6). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Samalanga.

7. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Lhok Seumawe, membawahi 7 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Samudera; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Syamtalira; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Muara Dua; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Dewantara; 5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kuta Makmur; 6). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Meurah Mulia; 7). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Muara Batu.

8. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Lho’ Sukon, membawahi 8 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Lhok Sukon; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Matangkuli;

3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Blang Jrun; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Aron; 5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Jeurat Manyang ( Tanah

Pasir ); 6). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Alu Ie Puteh ( Baktya ); 7). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Sidondon; 8). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Jambo Air.

9. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Idi, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Idi Rayek; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Darul Aman; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kota Meulati ( Julok ); 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simpang Ulim.

10. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Langsa, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu : 1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Langsa; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Rantau Selamat; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Peureulak; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Lokop.

11. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Kuala Simpang, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu : 1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kuala Simpang; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Karang Baru; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tamiang Hulu; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tamiang Hilir.

12. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Takengon, membawahi 2 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Bukit Linggo; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Bukit Nosar.

13. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kutacane, membawahi 2 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu : 1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tanah Luas; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Pulo Nas.

14. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Blangkejeren, membawahi 1 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Gayo Luas.

15. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Calang, membawahi 5 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu : 1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Teunom; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Krueng Sabee; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Setia Bakti; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Sampoi Niet; 5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Jaya.

16. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Meulaboh, membawahi 8 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu : 1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Seunagan; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kaway XVI; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Samatiga; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Buloh; 5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tungkup; 6). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Beutong; 7). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tripa; 8). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Dayah.

17. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Sinabang, membawahi 3 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu : 1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simeulu Timur; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simeulu Tengah; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simeulu Barat.

18. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Tapaktuan, membawahi 10 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Samadua; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Sawang; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Meukek; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Labuhan Haji; 5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Manggeng; 6). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Blangpidie; 7). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tangan-Tangan; 8). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Susoh; 9). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Inong;

10. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tapaktuan.

19. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Bakongan, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu : 1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Bakongan; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kandang; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Rasian ( Klut Utara ); 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Trumon.

20. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Singkil, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu : 1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Singkil; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simpang Kanan; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simpang Kiri;

4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Pulau Banyak.