1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbelanja merupakan kegiatan yang sangat lazim dilakukan masyarakat saat ini. Berbelanja bukan sekedar untuk membeli barang-barang
yang dibutuhkan sehari-hari melainkan sebagai aktivitas pengisi waktu luang dan gaya hidup yang utama Lury; Bayley dan Nancarrow dalam Herabadi,
Verplanken, dan van Knippenberg, 2009. Data dari Consumer Survey Indonesia pada bulan Februari tahun 2010 yang didapat dari 512 responden di
Jakarta menunjukkan bahwa setiap responden mengunjungi pusat perbelanjaan dengan frekuensi rata-rata 6,5 hari sekali. Durasi kunjungan
rata-rata 3,5 jam dan jumlah uang yang dibelanjakan responden pada setiap kunjungan rata-rata Rp.194.500,00 Oei, 2010. Data tersebut menjadi
petunjuk lain bahwa berbelanja sudah menjadi aktivitas rutin bagi masyarakat, terutama di kota besar.
Alasan yang mendorong orang berbelanja pun bermacam-macam. Selain untuk membeli produk yang dibutuhkan, berbelanja juga didorong oleh
beberapa alasan lain. Bagi sebagian orang, khususnya wanita, berbelanja dilakukan sebagai perwujudan perannya sebagai seorang ibu atau istri
Tauber, 1972. Berbelanja dapat dilakukan sebagai hiburan atau rekreasi setelah melakukan rutinitas sehari-hari dan sarana pemuasan diri ketika
suasana hati sedang buruk Gardner dan Rook, 1988; Tauber, 1972. Di luar
motif-motif pribadi tersebut, terdapat pula motif-motif sosial yang mendorong orang untuk berbelanja. Motif-motif tersebut antara lain
melakukan aktivitas sosial di luar rumah, berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki kesamaan minat, acara teman sebaya, merasakan status dan
otoritas sebagai tamu yang dilayani, dan menikmati kegiatan tawar-menawar Tauber, 1972.
Merencanakan produk yang hendak dibeli sebelum berbelanja merupakan hal yang lazim. Akan tetapi, banyak pula orang tidak membuat
daftar belanja. Dari hasil riset yang dilakukan Nielsen terhadap 1804 responden dengan pengeluaran di atas Rp 1.500.000,00 di beberapa kota
besar di Indonesia, 21 responden tidak pernah membuat perencanaan belanja. Selain itu, 39 responden mengaku membeli produk di luar daftar
belanja yang telah disusun. Hal ini menjukkan adanya peningkatan aktivitas belanja yang tidak terencana dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya
dan menunjukkan bahwa konsumen di Indonesia semakin impulsif Industrial Post, 2011.
Di dalam sebuah forum di halaman situs FemaleDaily, seorang anggota menulis:
Pas lagi di sale. Aduh gak tahan deh ... Biasanya beli accessories, langsung deh secepat kilat tanpa pikir panjang ... Terkadang puas
sekali karena dapet barang yang bagus melebihi yang dipikirkan, tapi kadang nyesel setengah mati karena barangnya tidak sesuai
dengan yang dikehendaki.femaledaily.com, 2012
Anggota-anggota lain juga mengaku pernah, bahkan sering mengalami hal serupa. Ketika melihat suatu produk, para anggota situs tersebut
merasakan dorongan yang kuat dan tidak dapat ditahan untuk segera
membelinya serta kurang ada pertimbangan lebih lanjut. Ketika membeli produk mereka merasa sangat bersemangat tetapi setelah membeli terkadang
timbul perasaan menyesal. Perilaku membeli seperti ini disebut perilaku pembelian impulsif Beatty dan Ferrell, 1998; Rook, 1987.
Pembelian impulsif sangat menguntungkan bagi pihak produsen ataupun pemasar karena dapat meningkatkan penjualan. Sebaliknya,
konsumen dapat mengalami kerugian setelah melakukan pembelian impulsif. Kerugian tersebut dapat berupa rasa menyesal atau bersalah dan masalah
finansial Gardner dan Rook, 1988; Rook, 1987. Perilaku pembelian impulsif dapat pula berkembang menjadi perilaku membeli yang berlebihan atau
kompulsif Faber O’Guinn, 1992; Dittmar Drury, 2000; Dittmar, 2005
dalam Herabadi, Verplanken, dan van Knippenberg, 2009. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku pembelian impulsif
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal individu, misalnya harga yang murah dan adanya promosi berupa kupon atau potongan harga Rook, 1987; Tendai
dan Crispen, 2009; Karbasivar dan Yarahmadi, 2011. Ketersediaan waktu dan uang juga memiliki pengaruh terhadap perilaku pembelian impulsif.
Ketika seseorang memiliki waktu lebih banyak untuk berbelanja dan melihat- lihat produk di toko, semakin besar peluang untuk membeli produk secara
impulsif, terutama jika individu memiliki uang yang cukup untuk membelinya Beatty dan Ferrell, 1998. Lingkungan belanja yang
menyenangkan juga mendorong terciptanya suasana hati yang menyenangkan sehingga dapat membuat seseorang mau menghabiskan waktu lebih lama di
tempat tersebut dan berpeluang lebih besar untuk melakukan pembelian impulsif Tendai dan Crispen, 2009.
Penelitian-penelitian lain yang menggunakan subjek orang dewasa menunjukkan bahwa selain dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, perilaku
pembelian impulsif pada dasarnya sangat terkait dengan faktor-faktor internal individu.
Verplanken dan
Herabadi 2001
menemukan bahwa
kecenderungan pembelian impulsif berkaitan erat dengan kepribadian. Dimensi neurotisisme Shahjehan et al., 2012; Sun, Wu, dan Youn, 2010 dan
ekstraversi Shahjehan et al., 2012; Sun, Wu, dan Youn, 2010; Verplanken dan Herabadi, 2001 dari kepribadian Big Five berhubungan positif dengan
perilaku dan kecenderungan pembelian impulsif. Namun, studi Pirog III dan Roberts 2007 menemukan bahwa pengguna kartu kredit yang memiliki
kepribadian introvert memiliki perilaku pembelian impulsif yang lebih tinggi. Selain itu, dimensi kewaspadaan dan otonomi atau keterbukaan, Verplanken
dan Herabadi, 2001 memiliki hubungan negatif dengan kecenderungan perilaku pembelian impulsif.
Di luar faktor kepribadian Big Five, regulasi diri juga mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam perilaku pembelian impulsif secara negatif
Vohs dan Faber, 2007. Beberapa penelitian lain Mick and Demoss 1990; Rook dan Gardner 1993; Youn dan Faber, 2000 dalam Vohs dan Faber, 2007
mengemukakan bahwa suasana hati positif maupun negatif dapat memicu perilaku pembelian impulsif.
Berdasarkan definisi, beberapa faktor penyebab, dan dampak perilaku pembelian impulsif tampak bahwa komponen afektif menjadi ciri khas
sebagai penggerak dan memegang peran dominan dalam episode-episode pembelian impulsif Beatty dan Ferrel, 1998; Gardner dan Rook, 1988;
Herabadi, Verplanken, dan Van Knippenberg, 2009; Rook, 1987; Verplanken dan Herabadi, 2001. Pembelian impulsif merupakan contoh pengambilan
keputusan dengan sedikit upaya yang lebih berdasarkan pada pemrosesan perasaan daripada pemrosesan kognitif dan disertai komponen afektif yang
kuat Hoyer and Macinnis dalam Sharma, Sivakumaran, dan Marshal, 2006; Verplanken dan Herabadi, 2001.
Penelitian yang dilakukan Wood dalam Kacen dan Lee, 2002 menemukan bahwa pembelian impulsif mengalami peningkatan pada usia 18-
39 tahun dan setelahnya menurun. Penemuan tersebut memperkuat hasil studi Bellenger et al. dalam Kacen dan Lee, 2002 yang menunjukkan bahwa
individu dewasa di bawah usia 35 tahun lebih rentan melakukan pembelian impulsif daripada yang berusia di atas 35 tahun. Jika ditinjau berdasarkan
masa perkembangannya, rentang usia tersebut termasuk dalam usia dewasa awal Santrock, 2002.
Hal ini menarik karena pada usia dewasa awal, individu diharapkan sudah mencapai kematangan, termasuk secara kognitif maupun emosional
Jahja, 2011. Secara kognitif, individu dewasa awal pada umumnya sudah mampu berpikir abstrak dan kompleks, tetapi lebih sistematis dan pragmatis
dibandingkan masa-masa perkembangan sebelumnya. Berdasarkan teori dan
penelitian neo-Piagetian, individu dewasa awal juga dapat berpikir reflektif, yaitu dengan pertimbangan secara aktif, terus-menerus, dan hati-hati
berdasarkan bukti-bukti yang mendukung dan kesimpulan yang hendak dibuat Papalia, Olds, dan Feldman, 2005. Kemampuan berpikir tersebut
tampak bertentangan dengan aspek kognitif pembelian impulsif, yang dicirikan dengan sedikitnya pertimbangan yang dilakukan atas konsekuensi
yang dapat terjadi. Dari segi perkembangan emosi, pada separuh masa dewasa awal,
individu dihadapkan pada banyak penyesuaian hidup yang mungkin menyebabkan ketegangan emosi Jahja, 2011; Santrock, 2002. Dengan
melihat hal ini, berbelanja atau membeli sesuatu, yang kadang dilakukan secara impulsif, pada masa masa dewasa awal dapat dipahami sebagai sarana
untuk menghibur diri atau menghilangkan perasaan-perasaan yang mengganggu seperti bosan, sedih, dan frustrasi Gardner dan Rook, 1988;
Herabadi, Verplanken, dan van Knippenberg, 2009; Tauber, 1972. Dengan kata lain, pembelian impulsif dapat dipandang sebagai suatu bentuk regulasi
emosi Vohs dan Faber, 2007. Sayangnya, ketika seseorang melakukan regulasi emosi dengan cara membeli sesuatu secara berulang, yang dalam
konteks ini dilakukan secara impulsif, regulasi emosi yang dilakukan justru dapat menjadi kontraproduktif Kamp dan Kopp, 2011.
Dari penelitian-penelitian tentang hubungan faktor-faktor individual dengan pembelian impulsif, dapat dilihat bahwa karakteristik individu,
terutama yang terkait dengan emosi, memiliki peran dalam pembelian
impulsif. Salah satu konsep yang menyediakan operasionalisasi komprehensif dari aspek-aspek kepribadian yang berhubungan dengan emosi adalah
kecerdasan emosional dengan model trait Carroll dalam Petrides et al., 2010. Beberapa faktor individual yang berhubungan dengan pembelian
impulsif, seperti harga diri, regulasi emosi, dan impulsivitas yang rendah juga terangkum sebagai faset dalam kecerdasan emosional dengan model trait
Petrides dan Furnham, 2007. Dalam model trait, kecerdasan emosional dipandang sebagai
sekumpulan persepsi diri dan disposisi terkait emosi Mikolajzack, Petrides, dan Hurry, 2009; Petrides, Furnham, dan Mavroveli, 2007. Konsep
kecerdasan emosional dengan model trait sering disebut trait kecerdasan emosional atau lebih lebih tepat disebut efikasi diri emosional karena
mengacu pada persepsi diri individu tentang kemampuan emosionalnya Petrides et al., 2010. Kecerdasan emosional dengan model trait berbeda
dengan model kemampuan yang dikembangkan Mayer dan Salovey. Model kemampuan melihat kecerdasan emosional sebagai kemampuan atau suatu
jenis kecerdasan inteligensi yang harus diukur dengan tes performansi maksimal sedangkan model trait melihat kecerdasan emosional sebagai
bagian dari kepribadian dan dapat diukur dengan pelaporan diri Petrides dan Furnham, 2001.
Trait kecerdasan emosional terdiri dari lima belas faset kepribadian yang terkait dengan emosi, yaitu adaptabilitas, persepsi emosi pada diri dan
orang lain, manajemen emosi pada orang lain, regulasi emosi, impulsivitas
yang rendah, relasi, harga diri, motivasi diri, kesadaran sosial, manajemen stres, trait empati, trait kebahagiaan, dan trait optimisme Mikolajzack,
Petrides, dan Hurry, 2009; Petrides, Furnham, dan Mavroveli, 2007. Tiga belas faset terkelompokkan ke dalam empat faktor yang lebih umum, yaitu
kesejahteraan, pengendalian diri, emosionalitas, dan sosiabilitas. Dua faset yang tersisa, yaitu adaptabilitas dan motivasi diri, tidak termasuk dalam
faktor manapun tetapi tetap memberi sumbangan pada trait kecerdasan emosional secara keseluruhan Mikolajzack, Petrides, dan Hurry, 2009.
Trait kecerdasan emosional yang dikembangkan Petrides dan rekan- rekannya ini memiliki hubungan yang unik dengan model kepribadian Big
Five. Trait kecerdasan emosional memiliki hubungan yang negatif dan kuat dengan dimensi neurotisisme, serta memiliki hubungan positif dengan
ekstraversi dan kewaspadaan. Ketiga dimensi tersebut juga merupakan dimensi kepribadian yang berkaitan dengan pembelian impulsif. Individu
dengan dimensi neurotisisme yang tinggi dan kewaspadaan yang rendah memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi pula Shahjehan et
al., 2012; Sun, Wu, dan Youn, 2010. Di sisi lain, dimensi ekstraversi yang tinggi maupun rendah memiliki hubungan dengan tingginya pembelian
impulsif Pirog III dan Roberts, 2007; Shahjehan et al., 2012; Sun, Wu, dan Youn, 2010; Verplanken dan Herabadi, 2001.
Peter dan Krishnakumar 2010 melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara kecerdasan emosional dengan model kemampuan dan
pembelian impulsif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat
hubungan negatif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan pembelian impulsif. Peneliti lain Lin dan Chuang, 2005 mencoba melihat
karakteristik individual remaja yang mencakup kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif dengan perilaku pembelian impulsif.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa remaja dengan kecerdasan emosional yang rendah memiliki kecenderungan dan perilaku pembelian
impulsif yang secara signifikan lebih tinggi daripada remaja yang memiliki kecerdasan emosional lebih tinggi. Meskipun Lin dan Chuang 2005 tidak
menyatakan mengenai model kecerdasan emosional yang dijadikan acuan dalam penelitian tersebut, alat ukur kecerdasan emosional yang digunakan
adalah alat ukur dengan model trait yang dikembangkan oleh Schutte. Berdasarkan paparan tersebut, peneliti tertarik untuk melihat
hubungan antara kecerdasan emosional, khususnya dengan model trait, dan kecenderungan perilaku pembelian impulsif pada individu dewasa awal.
Lebih lanjut, penelitian ini juga hendak melihat sejauh mana trait kecerdasan emosional dapat memprediksikan kecenderungan pembelian impulsif pada
individu dewasa awal. Dengan meneliti hal tersebut, informasi mengenai perilaku pembelian impulsif dan hubungannya dengan aspek kepribadian
terkait emosi pada konsumen dewasa awal akan semakin lengkap. Hal ini dapat menjadi dasar untuk menemukan cara-cara yang lebih efektif dalam
mengatur perilaku pembelian impulsif individu dewasa awal agar tidak berkembang menjadi masalah-masalah yang lebih serius.
B. Rumusan Masalah