10
BAB II KAJIAN TEORI
A. Implementasi Kebijakan
1. Pengertian Implementasi
Secara umum istilah implementasi dapat berarti pelaksanaan atau penerapan. Istilah implementasi biasanya dikaitkanya dengan suatu
kegiatan yang dilaksankan untuk mencapai tujuan tertentu. Kamus Webster dalam Solichin Abdul Wahab, 2014; 135 secara lexigrafis
merumuskan bahwa istilah to implant mengimplementasikan itu berarti to provide the means for carrying out menyediakan sarana untuk
melaksanakan sesuatu; to give practical effect to menimbulkan dampakakibat terhadap sesuatu. Implementasi kebijakan dapat dipandang
sebagai suatu proses melaksankan keputusan kebijakan, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau dekrit presiden.
Pengertian implementasi apabila dikaitkan dengan kebijakan adalah sebenarnya kebijakan hanya dirumuskan lalu dibuat dalam bentuk
postip seperti undang-undang dan kemudian didiamkan atau tidak laksanakan, tetapi sebuah kebijakan harus dilaksanakan agar mempunyai
dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan merupakan hal yang paling berat karena
masalah-masalah akan muncul. Implementasi kebijakan dapat dikatakan suatu proses yang dinamis, karena pelaksana kebijakan melakukan suatu
aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan hasil
11
yang sesuai dengan sasaran yang telah direncanakan. Keberhasilan implementasi kebijakan dapat diukur dari proses dan pencapaian tujuan
akhir. Sementara menurut James E. Anderson 1979 dalam Sudiyono
2007: 81 dengan tegas menyatakan bahwa implementasi kebijakan mencakup 4 aspek, yaitu: siapa yang terlibat dalam implementasi
kebijakan, esensi proses administrasinya, kepatuhan terhadap kebijakan, pengaruh implementasi pada isi dan dampak kebijakan.
Sementara makna implementasi menurut Daniel A. Mazmania dan Paul Sabatier 1979 dalam Solihin Abdul Wahab 2008:65 menyatakan:
“Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan
fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman
kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibatdampak
nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
” Suatu proses implementasi kebijakaan itu tidak hanya menyangkut
perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan suuatu program yang ditetapkan serta menimbulkan
ketaatan pada kelompok sasaran, melainkan menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang secara langsung
maupun tidak langsung dan dapat mempengaruhi segala pihak yang terlibat, sekalipun dampak yang diharapkan maupun dampak yang tidak
diharapkan.
12
Van Meter dan Van Horn dalam Subarsono 2006:99 mengemukakan bahwa terdapat enam variabel yang memepengaruhi
kinerja implementasi,yakni: a.
Standar dan sasaran kebijakan, dimana standar dan kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir apabila standar dan sasaran
kebijakan kabur. b.
Sumberdaya, implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik sumber daya manusia maupun sumberdaya non manusia.
c. Hubungan antar organisasi, implementator sebuah program perlu
dukungan dan koordinasi dengan instasi lain, sehingga diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instasi bagi keberhasilan suatu
program. d.
Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan dalam birokras akan
mempengaruhi implementasi suatu program. e.
Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. 3 hal tersebut mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang mendukung keberhasilan
implementasi kebijakaan, kelompok yang berkepentingan memberikan dukungan implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni
mendukung atau menolak dan sifat opini publik yang ada dilingkungan, serta apakah elite politik mendukung implementasi
kebijakan.
13
f. Karakter pelaksana disposisi implementor yang mencakup tiga hal
penting, yaitu respon implementator terhadap kebijakan, kognisi yaitu pemahaman terhadap kebijakan, intensitas disposisi implementator,
yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementator. Dari definisi diatas dapat diketahui implementasi kebijakan terdiri
dari tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari hasil kegiatan. Dapat disimpulkan bahwa implementasi
merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu kegiatan dan pada akhirnya akan mendapatkansuatu hasil
yang sesuai dengan tujuan dan sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi dapat diukur dari proses dan pencapaian tujuan hasil
akhir, yaitu : tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih. 2.
Teori-Teori Implementasi Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah
rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci. Implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaan sudah benar-benar jadi.
Secara sederhana
implementasi dapat
diartikan sebagai
pelaksanaan atau penerapan. Menurut Nurdin Usman implementasi merupakan bukan sekdar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana
dan untuk mencapai tujuan kegiatan. Menurut Van Meter dan Van Horn Arif Rohman, 2009 : 134 mengemukakan bahwa implementasi adalah
pelaksanaan tindakan oleh individu, pejabat, instansi pemerintah atau kelompok swasta yang bertujuan untuk mencapai tujuan yang telah
digariskan dalam
putusan tertentu.
Arif Rohman
2009:136,
14
mengemukakan beberapa teori dari beberapa ahli mengenai implementasi kebijakan, yaitu:
a. Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn
Dalam pandangan Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn implementasi yang sempurna dibutuhkan beberapa syarat yaitu:
1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh instansi pelaksana tidak akan
menimbulkan gangguan yang serius. 2.
Pelaksanaan suatu program, harus tersedia waktu dan sumber-sumber yang memadai.
3. Perpaduan antara sumber-sumber yang ada harus tersedia.
4. Kebijakan yang akan diimplementasikan harus didasari oleh hubungan
kausalitas yang handal. 5.
Hubungan kausalitas harus langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.
6. Hubungan ketergantungan satu sama yang lain harus kecil.
7. Perlu adanya pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap
tujuan. 8.
Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. 9.
Perlu adanya komunikasi dan koordinasi yang sempurna. 10.
Pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan kepatuhan yang sempurna.
15
b. Daniel Mazmania dan Paul A. Sabatier
Teori ini berpendapat bahwa terdapat tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu:
1. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap untuk dikendalikan.
2. Kemampuan dari keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara
tepat proses implementasinya. 3.
Pengaruh langsung berbagai variabel politik trhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan dalam keputusan kebijakan tersebut.
Model lain dikemukakan Model Edward III dalam bukunya Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Subarsono, 2012: 90-92
terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan dan kegagalan pada implementasi kebijakan. Faktor tersebut yaitu faktor
komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Berikut penjelasan dari beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan
implementasi kebijakan: a.
Faktor komunikasi Communication Faktor komunikasi merupakan proses pemberian informasi
kepada pelaksana kebijakan. Edwar III informasi mengenai kebijakan perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar para pelaku
kebijakan dapat mengetahui apa yang harus mereka persiapkan dan lakukan untuk menjalankan kebijakan tersebut sehingga tujuan dan
sasaran kebijkan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan Joko Widodo, 2010:97.
16
Model Edward III berpendapat bahwa dimensi komunikasi kebijakan terdiri dari dimensi transisi transmission, kejelasan clarity, dan
konsistensi consistency. Berikut penjelasan beberapa dimensi dalam komunikasi kebijakan:
1. Dimensi Transmisi
Dimensi transmisi
mengharapkan agar
kebijakan disampaikan tidak hanya kepada pelaksana implementators
kebijakan tetapi juga disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan serta pihak-pihak yang berkepentingan baik secara
langsung maupun tidak langsung. 2.
Dimensi Kejelasan Dimensi
kejelasan menginginkan
kebijakan yang
ditransmisikankan kepada pelaksana dan sasaran kebijakan dapat diterima dan dimengerti dengan jelas agar mereka mengetahui
tujuan dan maksud dari kebijakan tersebut sehingga dapat mempersiapkan segala sesuatu untuk mensukseskan kebijakan
tersebut dengan efektif dan efisien. 3.
Dimensi konsistensi Dimensi konsistensi menginginkan implementasi kebijakan
berlangsung efektif dengan cara pemberian perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas agar kebijakan yang
diterapkan tidak membingungkan.
17
b. Faktor Sumber Daya Resources
Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan. Sumber daya merupakan sarana untuk melaksanakan
kebijakan. Sumber daya tersebut berupa sumber daya manusia, sumber daya anggaran, sumber daya peralatan, dan sumber daya kewenangan.
Berikut sumber daya dalam implementasi kebijakan: 1. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia dapat berwujud implementator atau aparatur yang mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan
kebijakan. Implementator harus memiliki keahlian dan kemampuan melaksanakn kebijakan serta perlu mengetahui siapa saja yang
terlibat dalam pelaksanaan kebijakan. 2. Sumber Daya Anggaran
Edward III dalam Joko Widodo 2010:100 menyatakan bahwa terbatasnya anggaran yang tersedia menyebabkan kualitas
pelayanan yang seharusnya diberikan kepada sasaran kebijakan juga terbatas. Terbatasnya insentif yang diberikan kepada
implementator merupakan penyebab utama gagalnya pelaksanaan program. Kesimpulannya adalah jika sumber daya anggaran
terbatas maka akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Disamping program tidak bisa dilaksanakan dengan
optimal, keterbatasan anggaran menyebabkan disposisi para perilaku kebijakan rendah.
18
3. Sumber Daya Peralatan Edward III dalam Joko Widodo 2010: 102 menjelaskan
sumber daya peralatan merupakan sarana yang digunakan sebagai operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi
gedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan untuk memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan.
4. Sumber daya Kewenangan
Sumber daya wewenang merupakan hal yang terpenting dalam implementasi kebijakan. Sumber daya kewenangan akan
menentukan keberhasilan dalam implementasi kebijakan Edward III
dalam Joko
Widodo 2010:
103 menjelaskan
bahwa:kewenangan authority yang cukup untuk membuat keputusan sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan
mempengaruhi lembaga itu sendiri dalam melaksanakan suatu kebijakan. Kewenangan ini menjadi penting ketika mereka
dihadapkan suatu masalah dan mengharuskan untuk segera diselesaikan dengan suatu keputusan.
Pelaksana kebijakan diberikan wewenang yang cukup untuk membuat keputusan sendiri dalam melaksanakan kebijakan
yang menjadi kewenangannya. Kewenangan tersebut diharapkan mampu mensukseskan implementasi kebijakan.
19
c. Faktor Disposisi
Disposisi merupakan
tindakan yang
dimiliki oleh
implementator seperti kemauan, kejujuran, dan kesungguhan dalam melaksanakan kebijakan. Implementator diharapkan memiliki disposisi
yang baik sehingga tidak terjadi perbedaan perspektif dengan pembuat kebijakan. Edward III dalam Joko Widodo 2010:104-105
menjelaskan bahwa: Jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan
efisien, para pelaksana implementors tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untuk
melakukan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kemauan untuk melaksanakn kebijakan tersebut.
Kesimpulan dari faktor disposisi adalah menuntut pelaksana kebijakan
untuk memberikan kemampuan terbaiknya untuk melaksanakan kebijakan. Kemampuan pelaksana kebijakan menjadi penentu
keefektifan implementasi kebijakan. d.
Faktor Struktur Birokrasi Bureaucratic Structure Struktur organisasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap
implementasi kebijakan. Struktur organisasi memiliki prosedur operasi yang standar standard operating procedures atau SOP. SOP
berhubungan dengan mekanisme, sistem dan pedoman pelaksanaan kebijakan. SOP dibuat untuk memberikan pedoman dalam sebuah
organisasi untuk melaksanakan suatu program dan kebijakan. Edward III dalam Joko Widodo 2010: 107 menyatakan bahwa:
20
Jelas tidaknya standar operasi, baik menyangkut mekanisme, sistem dan prosedur pelaksanaan kebijakn, pembagian tugas
pokok, fungsi dan kewenangan, dan tanggung jawab diantara pelaku, dan tidak harmonisnya hubungan diantara organisasi
pelaksana satu dengan yang lainnya ikut pula menentukan keberhasilan implementasi kebijakan.
Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas adalah implementasi merupakan tahapan yang vital dalam kebijakan. Implementasi kebijakan
mempunyai beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan sebuah kebijakan. Faktor penentu yang mempengaruhi
implementasi kebijakan di antaranya adalah komunikasi transmisi, kejelasan, konsistensi, sumber daya sumber daya manusia, anggaran,
peralatan, kewenangan, disposisi, dan struktur birokrasi. 3.
Faktor Penghambat Implemetasi Kebijakan Menurut Bambang Sunggono dalam Asrul Nurdin 2013,
implementasi kebijakan memepunyai beberapa faktor penghambat, yaitu:
a. Isi Kebijakan
Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samanya isi kebijakan, maksudnya apa yang menjaditujuan tidak terperinci, sarana-
sarana dan penerapan program-program kebijakan terlaluumum atau tidak ada sama sekali. Kedua, kurangnya penetapan intern dan ekstern dari
kebijakan. Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasikan dapat juga menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan. Keempat, penyebab lain
kegagalan implementasi kebijakan karena kekurangan-kekurangan yang
21
menyangkut sumber daya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu, biaya, dan tenaga manusia.
b. Informasi
Implementasi kebijakan mengasumsikan bahwa para pemegang peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu atau sangat
berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan baik. Informasi ini justru tidak ada, misalnya akibatadanya gangguan informasi.
c. Dukungan
Pelaksanaan implementasi kebijakan akan sangat sulit apabila pada pengimplementasiannya tidak cukup mendapat dukungan untuk pelaksana
kebijakan tersebut. d.
Pembagian Potensi Gagalnya implementasi suatu kebijakan juga ditentukan aspek
pembagian potensi diantaranya para pelaku yang terlibat dalam implementasi. Hal ini berkaitan dengan tugas dan wewenang organisasi
pelaksana. Struktur pelaksana dapat menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan
dengan pembagian tugas atau ditandai oleh adanya pembatasan- pembatasan yang kurang jelas.
4. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Suatu kebijakan diambil dan diputuskan biasanya dilatarbelakangi oleh adanya masalah. Masalah muncul ketika deskrepansi antara dunia
cita-cita das sollen dengan dunia nyata das sein, adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Kebijakan pendidikan dilakukan dalam
22
rangka mengurangi kesenjangan antara cita-cita dengan dunia nyata. Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik yang khusus mengatur
regulasi yang berkaitan denggan penyerapan sumber, alokasi, dan distribusi sumber, serta dalam pengaturan perilaku dalam dunia
pendidikan. Menurut Mark Olsen, John Codd dan Anne-
Maria O’niel dalam Riant Nugroho 2008: 36 kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi
keunggulan, bahkan eksistensi, bagi negara bangsa dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas utama
dalam era globalisasi. Sedangkan menurut Margaret E. Goertz dalam Riant Nugroho 2008:37 mengemukakan bahwa kebijakan pendidikan
berkenaan dengan efisiensidan efektivitas anggaran pendidikan. H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho 2008:140 mendefinisikan
kebijakan pendidikan adalah keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi
pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk kurun waktu tertentu.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan kebijakan pendidikan merupakan hasil dari perumusan pendidikan nasional untuk
mencapai tujuan pendidikan yang baik.
23
Aspek-aspek yang tercakup dalam kebijakan pendidikan H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, 2008: 141:
1. Kebijakan pendidikan merupakan suatu keseluruhan deliberasi mengenai
hakekat manusia sebagai makhluk yang menjadi manusia dalam lingkungan kemanusiaan. Proses pendidikan sebagai proses pemanusiaan
terjadi dalam lingkungan alam serta lingkungan sosialnya. Oleh sebab itu, kebijakan pendidikan merupakan penjabaran dari visi dan misi pendidikan
dalam masyarakat. 2.
Kebijakan pendidikan dilahirkan dari ilmu pendidikan sebagai ilmu praktis yaitu kesatuan antara teori dan praktik pendidikan. Oleh sebab itu
kebijakan pendidikan meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi.
3. Kebijakan pendidikan haruslah mempunyai validitas dalam perkembangan
pribadi serta masyarakat yang memiliki pendidikan itu. 4.
Keterbukaan. Pendidikan merupakan milik masyarakat maka suara masyarakat dalam berbagai tingkat perumusan, pelaksanaan dan evaluasi
kebijakan pendidikan perlu mendengarkan suara masyarakat. 5.
Kebijakan pendidikan didukung oleh riset dan pengembangan. Melalui riset dan pengembangan melalui eksperimen, maka berbagai kebijakan
pendidikan dapat diuji validitasnya sehingga kebijakan pendidikan tersebut dapat direvisi.
24
6. Analisis kebijakan. Analisis kebijakan telah berkembang pesat demikian
pula dengan analisis kebijakan pendidikan. Pendidikan bukan hanya milik pribadi tetapi telah merupakan milik seluruh warga negara.
7. Kebijakan pendidikan pertama-tama ditujukan kepada kebutuhan peserta
didik. Dalam dunia modern, pendidikan merupakan rebutan partai-partai politik untuk menyebarluaskan dan mempertahankan ideologi partai
sehingga kebutuhan peserta didik dapat saja dilalaikan. 8.
Kebijakan pendidikan diarahkan pada terbentuknya masyarakat demokratis. Arkeologi proses pendidikan menunjukkan bahwa proses
pendidikan terjadi dalam situasi dialogis. Dari situasi dialogis tersebut peserta didik semakin berdiri sendiri sehingga tugas pendidik adalah
menuntunnya dari belakang Tut Wuri Handayani. 9.
Kebijakan pendidikan berkaitan dengan penjabaran misi pendidikan dalam pencapaian tujuan-tujuan tertentu.
10. Kebijakan pendidikan harus berdasarkan efisiensi. Kebijakan bukan
semata-mata berupa rumusan verbal mengenai tingkah laku dalam pelaksanaan praksis pendidikan. Kebijakan pendidikan harus dilaksanakan
dalam masyarakat, dalam lembaga-lembaga pendidikan. 11.
Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaaan tetapi kepada kebutuhan peserta didik. Kekuasaan harus diarahkan untuk memfasilitasi
dalam pengembangan kemerdekaan peserta didik bukan untuk menguasai peserta didik.
25
12. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan intuisi atau kebijaksanaan yang
irasional. Kebijakan pendidikan merupakan hasil olahan rasional dari berbagai alternatif dengan mengambil keputusan yang dianggap paling
efisien dan efektif dengan memperhitungkan resiko dan jalan keluar bagi pemecahannya.
13. Kejelasan tujuan akan melahirkan kebijakan pendidikan yang tepat.
14. Kebijakan pendidikan diarahkan bagi pemenuhan kebutuhan peserta didik
dan bukan kepuasan birokrat. Titik tolak balik dari segala kebijakan pendidikan adalah untuk kepentingan peserta didik atau pemerdeka peserta
didik. 5.
Teori Perumusan Kebijakan Pendidikan Kebijakan
pendidikan dirancang
dan dirumuskan
untuk diimplementasikan. Kebijakan pendidikan dirumuskan secara hati-hati
dengan landasan teori dalam perumusan kebijakan pendidikan. Proses perumusan, para ahli pemegang kewenangan pengambilkebijakan decision
maker terlebih dahulu mempertimbangkan secara matang. Secara umum para ahli ilmu sosial mengelompokkan tiga teori
tentang perumusan kebijakan negara. Ketiga teori kebijakan negara tersebut adalah: teori rasional komprehensif, teori inkremental, dan teori pengamatan
terpadu. 1.
Teori Rasional Komprehensif Teori ini menjelaskan bahwa: a dalam pembuatan keputusan
dihadapan suatu masalah tertentu yang dapat diperbandingkan satu sama yang lain; b Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau sasaran yang dipedomanii
26
oleh pembuat keputusan, jelas dan dapat ditetapkan rengkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya; c Berbagai alternatif untuk memecahkan
masalah tersebut diteliti secara seksama; d Akibat-akibat seperti biaya dan manfaat yang ditimbulkan oleh setiap alternatif yang dipilih dan
diteliti secara seksama; e Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya dapat diperbandingkan dengan alternatif-alternatif
lainnya: f Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat- akibatnya yang dapat memaksimalkan tercapainya tujuan, nilai atau
sasaran yang digariskan. 2.
Teori Inkremental Teori ini menjelaskan bahwa, setiap pengambilan keputusan selalu
diusahakan menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan dan pada saat yang sama dianjurkan lebih banyak menggambarkan cara yang
ditempuholeh pejabat-pejabat pemerintah dalam pengambilan keputusan sehari-hari.
3. Teori Pengamatan Terpadu
Teori ini lebih mengandalkan pada pendekatan sistem dengan melihat serta melibatkan segenap komponen sistem secara terpadu.
Misalnya, keputusan-keputusan yang merupakan kebijakan yang dibuat oleh pembuat kebijakan penganut teori inkremental akan lebih mewakili
atau mencerminkan kepentingan-kepentingan dari kelompok yang mampu mengorganisasikan kepentingan dalam masyrakat. Sementara kepentingan
27
dari kelompok-kelompok yang lemah dan yang secara politis tidak mampu mengorganisasikan kepentingannya jelas akan terabaikan.
Hudson dalam Arif Rohman 2009: 125 mengelompokan teori perumusan kebijakan pendidikan menjadi lima teori yaitu: a teori radikal,
b teori advokasi, c teori transaktif, d teori sinopsis, dan e teori inkremental.
a. Teori Radikal
Teori ini menekankan lembaga lokal dalam menyusun sebuah kebijakan pendidikan. Semua kebijakan pendidikan yang menyangkut
penyelenggaraan dan perbaikan penyelenggaraan dan perbaikan penyelenggaraan pendidikan ditingkat daerah diserahkan kepala
daerah. Sehingga negara atau pemerintah pusat tidak perlu repot-repot menyusun rencana kebijakan pendidikan bila padaakhirnya kurang
sesuai dengan kondisi lokal. Lebih-lebih kondisi masing-masing daerah memiliki tingkat keragaman dan kekhasan sendiri-sendiri yang
tidak bisa disamakan satu sama yang lain. Teori ini berasumsi bahwa “tidak ada lembaga atau organisasi
pendidikan lokal yang persis sama satu sama lain”. Sehingga untuk
menyusun kebijakan pendidikan yang dianggap terbaik adalah diserahkan kepada lembaga-lembaga lokal yang secara hakiki
memiliki karakteristik secara plural, serta yang mengetahui persoalan untuk dirinya sendiri. Dari sini nampak jelas bahwa teori radikal ini
28
sangat menghargai desentralisasi dalam perumusan kebijakan pendidikan.
b. Teori Advokasi
Teori advokasi ini tidak menghiraukan perbedaan-perbedaan seperti karakteritik lembaga, lingkungan sosial, kultural, lingkungan
geografis, serta kondisi lokal lainnya. Perbedaan lingkungan tersebut hanyalah perbedaan yang didasarkan pada pengamatan empirik
semata. Teori advokasi mendasarkan pada argumen yang rasional, logis dan bernilai.
c. Teori Transaktif
Teori transaktif menekankan bahwa perumusan kebijakan sangat perlu didiskusikan dahulu secara bersama oleh semua pihak.
Proses pendiskusikan ini perlu melibatkan sebanyak mungkin pihak- pihak terkait, termasuk dalam hal ini adalah dengan personalia
lembaga pendidikan di tingkat lokal. Hasil dari proses diskusi tersebut kemudian dievaluasi atau digelindingkan terlebih dahulu secara
perlahan-lahan. d.
Teori Sinopsis Teori ini menekankan bahwa dalam menyusun sebuah
kebijakan supaya menggunakan metode berfikir sistem. Obyek yang dirancang dan terkena kebijakan, dipandang sebagai satu kesatuan
bulat dengan tujuan yang sering disebut dengan “misi”.
29
e. Teori Inkremental
Teori inkremental adalah teori yang meneka perumusan kebijakan
pendidikan berjangka
pendek serta
menghindari perencanaan pendidikan berjangka waktu panjang. Penekanan
semacam ini diambil disebabkan karena masalah-masalah yang dihadapi serta performa dari para personalia pelaksana kebijakan dan
kelompok yang terkena kebijakan sulit diprediksi. Setiap saat, setiap tahun, dan setiap periode waktu mengalami perubahan yang sangat
kompleks.
B. Kebijakan Pemerintah