IMPLEMENTASI KEBIJAKAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU LUKMAN AL HAKIM INTERNATIONAL.

(1)

i

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU LUKMAN AL HAKIM

INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Ranti Wulandari NIM 12110241024

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

PERSETUJUAN

Skripsi yang berjndul "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU LUKMAN AL HAKIM INTERNASIONAL" yang disusun oleh Ranti Wulandari NIM. 12110241024 ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.

Yogyakarta, 7 Febuari 2017 Pembimbing Skripsi,


(3)

(4)

(5)

iv MOTTO

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, „berilah kelapangan di dalam majelis-majelis‟, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan

memberikan kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, „berdirilah kamu‟, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan

Allah Maha Teliti dari apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al Mujadalah: 11)

orang yang hidup untuk dirinya sendiri, akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup untuk oranglain akan

hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar” (Sayyid Qutbh)


(6)

vi

PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan untuk:

1. Allah dengan segala nikmat-Nya.

2. Kedua orangtua (Ermawati dan Upi Supriyatna) atas sabar dan doa yang tak terbatas.

3. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta. 4. Agama, nusa, dan bangsa.


(7)

vii

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU LUKMAN AL HAKIM

INTERNATIONAL Oleh

Ranti Wulandari NIM 12110241024

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kebijakan gerakan literasi sekolah di SDIT LHI, implementasi berdasarkan 4 isu pokok Edward III yaitu komunikasi, sumber daya, komitmen, dan struktur birokrasi serta akan mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan gerakan literasi sekolah.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian dilakukan di SDIT LHI selama bulan Desember 2016-Januari 2017. Subjek penelitian ialah Kepala Sekolah, Kepala Perpustakaan, Kadiv Akademik dan Kurikulum yang menjabat sebagai guru serta siswa kelas I. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Serta dilakukannya triangulasi sumber dan teknik untuk memastikan keabsahan data.

Hasil penelitian ialah sebagai berikut: (1). Bahwa program yang menunjang kebijakan gerakan literasi di SDIT LHI adalah: Reading Group,

Morning Motivation, Mini library, Pengadaan perpustakaan, Best Reader of The Month, Books Lover, Oktober bulan bahasa, World book day, Waqaf buku, Story Telling, Mading, Library class; (2). implementasi kebijakan ini kemudian didukung oleh a). Komunikasi agen-agen pelaksana melalui rapat elemen sekolah seperti manajemen, orangtua, dan guru; b). Sumber daya yang mendukung kegiatan ini seperti adanya potensi guru, dana dari orangtua, sekolah, dan pemerintah serta sponsor; c). Komitmen dari para agen pelaksana; d). Struktur birokrasi baik dari pihak sekolah; (3). Faktor pendukung berupa tersedianya sarana untuk mensosialisasikan kebijakan, hibah buku dari orangtua, waktu dan dana, guru-guru mempunyai semangat belajar, mahasiswa PPL juga membantu dalam pelaksanaan program-program perpustakaan, serta semua warga sekolah terlibat aktif dalam program yang dibuat sekolah. Sedangkan faktor penghambat nya guru masih harus diingatkan terkait SOP kebijakan dan program yang harus dilakukan, buku yang kaya akan nilai serta gambar-gambar menarik sulit didapatkan di Indonesia, terkadang surat edaran untuk orangtua tidak sampai, perlu adanya pengembangan program agar tidak monoton, belum adanya evaluasi dari berbagai program.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU LUKMAN AL HAKIM INTERNASIONAL” dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan persetujuan untuk penelitian ini.

2. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah menyetujui skripsi ini.

3. Ibu Prof. Dr. Farida Hanum, M. Si., selaku Dosen Pembimbing akademik yang selalu memberikan motivasi selama proses menyelesaikan masa studi.

4. Ibu Ariefa Efianingrum, M. Si., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingannya hingga tersusunnya skripsi ini.

5. Ibu Fourzia Yunisa Dewi, S. Pd., selaku Kepala Sekola SDIT LHI yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian.

6. Seluruh Dosen dan Karyawan Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini.

7. Kedua orangtua yang selalu memberikan doa dan dukungan secara langsung maupun tidak langsung.

8. Teman-teman yang selalu memberikan motivasi.


(9)

(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Batasan Masalah ... 9

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Masalah ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 11

1. Pengertian Kebijakan ... 11


(11)

xi

3. Syarat Implementasi Kebijakan ... 18

4. Faktor yang mempengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 19

B. Deskripsi Teori Gerakan Literasi Sekolah 1. Pengertian Literasi ... 23

2. Komponen Literasi ... 27

3. Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) a. Landasan Filosofis ... 31

b. Landasan Hukum ... 32

c. Tujuan ... 33

d. Ruang Lingkup ... 33

e. Sasaran ... 34

f. Target Pencapaian ... 34

4. Prinsip-prinsip Literasi ... 34

5. Strategi Membangun Budaya Literasi Sekolah ... 36

6. Tahapan Gerakan Literasi Sekolah ... 40

C. Penelitian yang Relevan ... 44

D. Kerangka Berpikir ... 45

E. Pertanyaan Penelitian ... 47

BAB III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 48

B. Setting Penelitian ... 49

C. Subjek dan Objek Penelitian ... 49

D. Teknik Pengumpulan Data ... 50

1. Wawancara ... 50

2. Observasi ... 50


(12)

xii

E. Instrumen Penelitian ... 51

F. Teknik Analisis Data ... 52

G. Keabsahan Data ... 53

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 55

1. Profil Sekolah ... 55

2. Visi Misi dan Tujuan Sekolah ... 56

3. Kurikulum Sekolah ... 57

4. Jumlah Siswa dan Ruangan di SDIT LHI ... 60

5. Potensi Guru dan Karyawan ... 61

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 62

1. Kepala Sekolah ... 62

2. Kepala Perpustakaan ... 62

3. Guru Kelas ... 62

4. Perwakilan Siswa Kelas I ... 63

C. Hasil Penelitian ... 63

1. Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional ... 63

2. Implementasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional ... 86

a. Komunikasi ... 86

b. Sumber Daya ... 88

c. Disposisi ... 92


(13)

xiii

3. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu

Lukman Al Hakim Internasional ... 95

a. Faktor Pendukung ... 95

b. Faktor Penghambat ... 96

D. Pembahasan ... 97

1. Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional ... 97

2. Implemetasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional ... 101

a. Komunikasi ... 101

b. Sumber Daya ... 103

c. Disposisi ... 106

d. Struktur Birokrasi ... 107

3. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional ... 108

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 111

B. Saran ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 115


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Pihak Pelaksana Komponen Literasi ... 27

Tabel 2. Ekosistem Sekolah yang Literat ... 37

Tabel 3. Tahap 1 GLS Tahap Pembiasaan ... 40

Tabel 4. Tahap 1 GLS Tahap Pengembangan ... 41

Tabel 5. Tahap 1 GLS Tahap Pembelajaran ... 42

Tabel 6. Tabel Kisi-Kisi Instrumen ... 50


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Kerangka Pikir ... 46

Gambar 2. Komponen Analisis Data Miles dan Huberman ... 53

Gambar 3. Aktivitas Morning Motivation ... 65

Gambar 4. Pojok Baca di Setiap Kelas ... 67

Gambar 5. Best Reader of The Month ...... 71

Gambar 6. Oktober Bulan Bahasa ... 73

Gambar 7. World Book Day ...... 74

Gambar 8. Story Telling from Parent to Child ... 77

Gambar 9. Mading Sekolah ... 78

Gambar 10. Membumi (Membaca Buku Sepuluh Menit) ... 81

Gambar 11. Koleksi Buku di Perpustakaan ADIBA ... 85


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Kisi-Kisi Instrumen ... 117

Lampiran 2. Pedoman Wawancara Kepala Sekolah ... 118

Lampiran 3. Pedoman Wawancara Kepala Perpustakaan ... 119

Lampiran 4. Pedoman Wawancara Guru ... 120

Lampiran 5. Pedoman Studi Dokumentasi ... 121

Lampiran 6. Catatan Lapangan ... 122

Lampiran 7. Hasil Studi Dokumentasi ... 127

Lampiran 8. Transkrip Wawancara Setelah Reduksi ... 128

Lampiran 9. Triangulasi ... 142

Lampiran 10. Peraturan Menteri Tentang Penumbuhan Budi Pekerti ... 157

Lampiran 11. Jenis Biaya Pendidikan ... 165


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha untuk dapat memanusiakan manusia. Artinya diharapkan dengan proses transformasi pendidikan, manusia dapat meningkatkan seluruh potensi kognitif, afektif dan psikomotornya. Selama proses pendidikan, peserta didik memperoleh bekal pengusaan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan keterampilan fungsional. Hal itu dikemas melalui kurikulum sekolah sebagai acuan kepada semua peserta didik secara tuntas. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengambangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Disebutkan juga dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan penyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan bangsa”. Artinya pendidikan mempunyai peran penting bagi warga negara Indonesia agar tercerdaskan secara intelektual. Salah satu indikator keberhasilan dari suksesnya pendidikan yang terselenggara di Indonesia adalah dengan meningkatnya angka melek huruf pada warga Indonesia.


(18)

2

Dilansir dari kompasiana.com, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang berhasil mengurangi angka buta huruf. Data UNDP tahun 2014 mencatat bahwa tingkat melek huruf masyarakat Indonesia mencapai 92,8% untuk kelompok dewasa, dan 98,8% untuk kategori remaja. Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia telah melewati tahapan krisis literasi dalam pengertian kemelekhurufan. Meskipun demikian, tantangan yang saat ini dihadapi adalah rendahnya minat baca. Selain ketersediaan buku di seluruh Indonesia belum memadai, pemerintah juga menghadapi rendahnya motivasi membaca di kalangan peserta didik. Hal ini memprihatinkan karena di era teknologi informasi, peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan membaca dalam pengertian memahami teks secara analitis, kritis dan reflektif. Sesungguhnya permasalahan umum dalam dunia literasi di Indonesia adalah rendahnya ikatan emosional terhadap sumber informasi salah satunya buku bacaan dan kegiatan pemanfaatan sumber informasi tersebut atau kegiatan membaca. Terkait dengan buku sebagai salah satu sumber informasi, rendahnya minat dan gairah membaca sebagian berakar dari masih kuatnya tradisi lisan dalam kehidupan sosial dan pola berpikir masyarakat Indonesia.

Teknologi yang menawarkan kemudahan untuk mendapatkan informasi telah menjadi jalan pintas untuk menghindari bacaan berupa bacaan cetak. Akibatnya, pengguna teknologi sering mengalami „gagap membaca media informasi‟ yang ditandai dengan kurangnya sikap kritis dalam memilah dan mengevaluasi akurasi informasi, kurangnya


(19)

3

pemahaman terhadap informasi, atau menyalahgunakan informasi secara tidak tepat (misalnya dalam kasus plagiasi). Transisi dari tradisi lisan ke budaya literasi ini mengalami tantangan gempuran teknologi dalam bentuk popularitas media dan alat komunikasi (gadget) yang menyajikan teks dengan cara pembacaan yang unik dan berbeda sehingga membutuhkan pendekatan yang utuh dalam menguatkan literasi dasar di sekolah dasar.

Dikutip dari republika.com, budaya literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Ketua Forum Pengembangan Budaya Literasi Indonesia Satria Darma mengatakan, berdasarkan survei banyak lembaga internasional, budaya literasi masyarakat Indonesia kalah jauh dengan negara lain di dunia. Hasil penelitian PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) menyatakan bahwa rata-rata skor prestasi literasi membaca siswa kelas IV Indonesia (405) berada signifikan di bawah rata-rata internasional (500). Indonesia berada pada posisi 41 dari 45 negara (negara bagian) peserta. Ia pun melansir data statistik UNESCO 2012 yang menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen. Rendahnya budaya literasi di Indonesia membuat pendidikan di Indonesia tertinggal dari negera-negara tetangga. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud, kemampuan membaca anak usia 15 tahun hanya 37,6 persen anak membaca tanpa bisa


(20)

4

menangkap makna. Dalam persoalan menulis, Indonesia hanya mampu menghasilkan 8.000 buku per tahun, tertinggal dari Vietnam yang mampu menghasilkan 15.000 buku per tahun.

Masyarakat global dituntut untuk dapat beradaptasi dengan kemajuan teknologi dan keterbaruan atau kekinian. Deklarasi Praha (UNESCO, 2003) mencanangkan information literacy, yaitu kemampuan untuk pentingnya literasi informasi (mencari, memahami, mengevaluasi secara kritis, dan mengelola informasi menjadi pengetahuan yang bermanfaat untuk pengembangan kehidupan pribadi dan sosialnya). Dalam era global ini, literasi informasi menjadi penting. Deklarasi Alexandria pada tahun 2005 (sebagaimana dirilis dalam www.unesco.org) menjelaskan bahwa literasi informasi adalah kemampuan untuk melakukan manajemen pengetahuan dan kemampuan untuk belajar terus menerus. Literasi informasi merupakan kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi dan saat informasi diperlukan, mengevaluasi informasi secara kritis, mengorganisasikan dan mengintegrasikan informasi ke dalam pengetahuan yang sudah ada, memanfaatkan serta mengkomunikasikannya secara efektif, legal, dan etis.

Kebutuhan literasi di era global ini menuntut pemerintah untuk menyediakan dan memfasilitasi sistem dan pelayanan pendidikan sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 Ayat. Ayat ini menegaskan bahwa program literasi juga mencakup upaya mengembangkan potensi kemanusiaan yang mencakup kecerdasan intelektual, emosi, bahasa, estetika, sosial, spiritual,


(21)

5

dengan daya adaptasi terhadap perkembangan arus teknologi dan informasi. Upaya ini sejalan dengan falsafah yang dinyatakan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan harus melibatkan semua komponen masyarakat (keluarga, pendidik profesional, pemerintah, dll.) dalam membina, menginspirasi atau memberi contoh, memberi semangat, dan mendorong perkembangan anak (www.academia.edu).

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus menggenjot minat baca masyarakat khususnya peserta didik. Salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud ini diwujudkan dengan wajib membaca khususnya bagi siswa SD, SMP atau SMA. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai upaya untuk mengatasi minat baca yang rendah pada siswa di Indonesia. GLS merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik. GLS dikembangkan berdasarkan 9 agenda prioritas (Nawacita) yang terkait dengan tugas dan fungsi Kemendikbud, khususnya Nawacita nomor 5, 6, 8 dan 9. Empat butir Nawacita tersebut terkait erat dengan komponen literasi sebagai modal pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas, produktif, dan berdaya saing, berkarakter, serta nasionalis. Salah satu kegiatan di dalam GLS tersebut adalah kegiatan 15


(22)

6

menit membaca buku non pelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan peserta didik. Terobosan penting ini hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan yaitu sekolah. Pelibatan orang tua peserta didik dan masyarakat juga menjadi komponen penting dalam keberhasilan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).

Sekolah mempunyai peran penting sebagai wadah pengorganisasian pembelajaran. Banyak anggapan mengenai Gerakan Literasi Sekolah (GLS) ini tidak bisa sepenuhnya membantu meningkatkan budaya literasi siswa. Hal ini juga disebabkan karena ketersediaan sarana dan prasarana yang berbeda di setiap sekolah. Namun hal tersebut tidak dijumpai di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional (SDIT LHI). Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional merupakan sekolah dasar yang memiliki misi mewujudkan generasi Islam yang memiliki fisik dan karakter kuat, menguasai dasar-dasar keilmuan dan berwawasan global. Hal ini dapat diwujudkan apabila kegiatan pembelajaran di sekolah sudah mendukung untuk terbentuknya siswa yang memiliki wawasan yang luas dan mempunyai cara pandangan internasional. Salah satunya dengan


(23)

7

membudayakan kegiatan literasi di sekolah. Di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional sudah membiasakan budaya literasi di sekolah dengan adanya pojok baca di setiap kelas agar siswa dapat dengan mudah mengakses sumber literasi yang menunjang kebutuhan setiap siswa untuk berwawasan luas. Terdapat aktivitas “Reading Group” yang mendukung para siswa untuk meningkatkan budaya literasi. Reading Group masuk ke dalam kurikulum sekolah sehingga aktivitas membaca didukung oleh kurikulum yang menunjang hal tersebut. Teknis pelaksanaan Reading Group adalah dengan meminta siswa untuk membaca buku yang dipilih oleh siswa kemudian siswa tersebut menceritakan hasil dari bacaannya. Selain itu perpustakaan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan informasi juga banyak mengadakan kegiatan-kegiatan yang menunjang kebijakan Gerakan Literasi Sekolah. Hal tersebut menunjukkan bahwa SDIT LHI telah mengimplementasikan Gerakan Literasi Sekolah sebagai upaya untuk meningkatkan budaya literasi pada siswa.

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai “Implementasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional” untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan tersebut dan mengetahui faktor yang mendukung serta menghambat terlaksananya program. Penelitian ini juga dapat menjadi rekomendasi khususnya pada kebijakan Gerakan Literasi Sekolah itu sendiri.


(24)

8 B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang dan hasil observasi yang telah dilakukan, maka ditemukan masalah sebagai berikut:

1. Minat baca yang rendah di kalangan siswa Indonesia.

2. Teknologi yang menawarkan kemudahan untuk mendapatkan informasi telah menjadi jalan pintas untuk menghindari bacaan berupa tekstual dan bacaan cetak.

3. Adanya kendala sarana berupa penyediaan sumber literasi yang membuat faktor penghambat Gerakan Literasi Sekolah tidak dapat diimplementasikan di seluruh wilayah Indonesi.

4. Kurangnya pemahaman sekolah mengenai kebijakan Gerakan Literasi Sekolah.

5. SDIT LHI telah mengimplementasikan Gerakan Literasi Sekolah sebagai upaya untuk meningkatkan budaya literasi pada siswa.

6. SDIT LHI dapat menjadi referensi bagi sekolah lainnya untuk mengembangkan budaya literasi di sekolah.

C. Batasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan masalah dan keterbatasan peneliti, maka dalam penelitian ini peneliti membatasi masalah pada tataran implementasi kebijakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional.


(25)

9 D. Rumusan Masalah

Dari latar belakang serta identifikasi masalah yang telah dilakukan diatas maka dirumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana implementasi kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional?

b. Apa saja faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dapat mendeskripsikan implementasi kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional.

2. Dapat mengetahui faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis

a. Bagi sekolah dapat menjadi masukan atau rekomendasi bagi warga sekolah dalam meningkatkan minat baca dan budaya literasi pada siswa.


(26)

10

b. Bagi Pemerintah dapat menjadi sebuah gambaran terkait implementasi kebijakan Gerakan Literasi Sekolah yang sudah dirancang.

c. Bagi masyarakat hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi cara mendidik anak agar tumbuh minat membaca.

2. Manfaat Teoritis

a. Sebagai tambahan ilmu pengetahuan bagi penelitian terkait implementasi kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional.

b. Sebagai bahan masukan bagi pengembangan teori dalam pendidikan dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.


(27)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori Implementasi Kebijakan Pendidikan 1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari bahasa Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai politik, dan lain-lain. Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataan-pernyataan mengenai kontrak penjaminan atau pernyataan tertulis. Pengertian ini mengandung arti bahwa yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana, pernyataan tujuan, kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, partai politik, dan lain-lain. Dengan demikian siapapun dapat terkait dalam suatu kebijakan.

James E. Anderson menyatakan bahwa kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Pengertian ini, menurutnya, berimplikasi: (1). bahwa kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan, (2). bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah, (3). bahwa kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, (4). bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau


(28)

12

bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, (5). bahwa kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif). Dalam pengertian ini, James E. Anderson menyatakan bahwa kebijakan selalu terkait dengan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Tahap-tahap yang dilakukan dalam kebijakan yaitu:

a. Penyusunan agenda

Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan memilih masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas. Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan akan dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diseleksi. Pada tahap ini beberapa masalah dimasukkan dalam agenda untuk dipilih. Terdapat masalah yang ditetapkan sebagai fokus pembahasan, masalah yang mungkin ditunda pembahasannya, atau mungkin tidak disentuh sama sekali. Masing-masing masalah yang dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam agenda memiliki argumentasi masing-masing. Pihak-pihak yang terlibat dalam tahap penyusunan agenda harus secara jeli melihat masalah-masalah mana saja yang memiliki tingkat relevansi tinggi dengan masalah kebijakan. Sehingga pemilihan dapat menemukan masalah kebijakan yang tepat.


(29)

13 b. Formulasi kebijakan

Masalah yang sudah dimasukkan dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh pembuat kebijakan dalam tahap formulasi kebijakan. Dari berbagai masalah yang ada tersebut ditentukan masalah mana yang merupakan masalah yang benar-benar layak dijadikan fokus pembahasan.

c. Adopsi kebijakan

Sekian banyak alternatif yang ditawarkan, pada akhirnya akan diadopsi satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk digunakan sebagai solusi atas permasalahan tersebut. Tahap ini sering disebut juga dengan tahap legitimasi kebijakan (policy legitimation) yaitu kebijakan yang telah mendapatkan legitimasi. Masalah yang telah dijadikan sebagai fokus pembahasan memperoleh solusi pemecahan berupa kebijakan yang nantinya akan diimplementasikan.

d. Implementasi kebijakan

Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan seringkali menemukan berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan secara terencana dapat saja berbeda di lapangan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang sering mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Kebijakan yang telah melewati tahap-tahap pemilihan masalah tidak serta merta berhasil


(30)

14

dalam implementasi. Dalam rangka mengupayakan keberhasilan dalam implementasi kebijakan, maka kendala-kendala yang dapat menjadi penghambat harus dapat diatasi sedini mungkin.

e. Evaluasi kebijakan

Pada tahap ini, kebijakan yang telah dilaksanakan akan dievaluasi, untuk dilihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah atau tidak. Pada tahap ini, ditentukan kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan telah meraih hasil yang diinginkan.

Penelitian ini akan memotret tahapan kebijakan pada tataran implementasi. Sehingga penelitian ini akan menggambarkan pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan.

2. Implementasi Kebijakan

Terdapat banyak teori terkait implementasi kebijakan. Teori pertama adalah teori klasik, yakni teori yang perkenalkan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn ( 1975 ). Teori ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan public, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukan sebagai variabel yang memepengaruhi kebijakan publik adalah variabel: aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi; karakteristik dari agen pelaksana atau implementor, kondisi ekonomi, social dan politik, kecenderungan (Disposition) dari pelaksana atau implementor.


(31)

15

Teori kedua adalah teori yang di kembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Teori Mazmaian dan Sabatier disebut kerangka analisis implementasi (A Framework for implementation Analysis). Dalam teori ini dinyatakan bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kesuksesan implementasi yaitu karakteristik dari masalah (tractability of the problems), karakteristik kebijakan atau undang-undang (ability of statute to structure implementation), dan variabel lingkungan (non statutory variables affecting implementation).

Teori ketiga adalah teori Brian W. Hoodwood dan Lewis A. Gun (1978). Menurut kedua pakar ini, untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan beberapa syarat. Syarat pertama berkenaan dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang di hadapi oleh lembaga atau badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar. Syarat kedua adalah apakah untuk melaksanakanya tersedia sumber daya yang memadai, termasuk sumber daya waktu. Syarat ketiga apakah perpaduan sumber-sumber yang di perlukan benar-benar ada. Syarat keempat adalah apakah kebijakan yang akan di implementasikan di dasari hubungan kausal yang andal. Syarat kelima adalah seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi. Syarat keenam adalah apakah hubungan yang saling ketergantungannya kecil. Syarat ketujuh adalah pemahaman yang mendalam dan kesepakatan


(32)

16

terhadap tujuan. Syarat kedelapan adalah bahwa tugas-tugas telah dirinci dan ditetapkan dalam urutan yang benar. Sebenarnya teori Hood Wood dan Gun mendasarkan pada konsep manajemen strategis yang mengarah pada praktik manajemen yang sistematis dan tidak meninggalkan kaidah-kaidah pokok.

Teori keempat adalah teori Mericlee S. Grindle (1980: 9). Teori Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar nya adalah bahwa setelah kebijakan di tranformasikan, maka implementasi kebijakan dilakukan. Menurutnya keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh content of implementation dan

context of implementation. Content of implementation mencakup kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan, jenis manfaat yang dihasilkan, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, siapa pelaksana program, dan sumber daya yang dikerahkan. Context of implementation mencakup kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa, dan kepatuhan serta daya tanggap.

Teori kelima adalah teori yang di kembangkan secara terpisah oleh Richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971), dan Benny Hjren dan David O‟ Porter (1981). Teori ini di mulai dari mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas dan kontak-kontak yang mereka miliki. Teori implementasi ini di dasarkan pada jenis kebijakan


(33)

17

publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakanya atau masih melibatkan kebijakan pemerintah namun hanya di tataran rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang di buat harus sesuai dengan harapan, keinginan, publik yang menjadi target atau klien nya dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan teori ini biasanya di prakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung atau pun lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM) .

George Edward III (1980:1) ia menegaskan untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu

communication, resource, disposition or attitudes, dan bureaucratic structures. Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan kepada organisasi dan/atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggap dari para pihak yang terlibat, dan bagaimana stuktur organisasi pelaksana kebijakan. Resources berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia, hal yang berkenaan dengan kecakapan dari pelaksana kebijakan publik untuk melaksanakan kebijakan secara efektif. Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk melaksanakan kebijakan publik tersebut. Kecakapan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan komitmen untuk melaksanakan kebijakan. Stuktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara


(34)

18

implementasi kebijakan public. Tantangannya adalah bagaimana agar tidak terjadi missed comunication, hal ini menjadikan proses implementasi jauh dari efektif. Di Indonesia, sering disebutkan bahwa inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerjasama diantara lembaga-lembaga negara dan/atau pemerintahan. Ini merupakan contoh dari dimensi keempat yang disebutkan oleh Edward III.

Teori implementasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan teori Edward III. Dengan empat isu pokok yaitu: komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. 4 hal pokok ini dapat menjadi acuan dalam penggambaran implementasi kebijakan berhasil dilaksanakan atau tidak. Peneliti merasa teori yang dikemukan oleh Edward sudah komprehensif mencakup 4 pokok yang menggambarkan implementasi sebuah kebijakan. Berbeda dengan teori-teori sebelumnya yang hanya melihat keberhasilan sebuah implementasi kebijakan dari beberapa sudut pandang.

3. Syarat Implementasi Kebijakan

Putusan kebijakan dapat dilaksanakan dengan optimal jika memenuhi berbagai persyaratan implementasi. Sabatier dan Mazmanian mengemukakan beberapa persyaratan dalam implementasi kebijakan adalah:

a. Sasaran kebijakan harus memiliki derajat ketepatan dan kejelasan yang berlaku secara internal maupun dalam


(35)

19

keseluruhan program yang dilaksanakan oleh para pelaksana atau agen pelaksana. Derajat ketepatan dan kejelasan tersebut harus dapat dipahami tidak hanya pihak internal tetapi termasuk pihak eksternal pengguna kebijakan. Dengan demikian seluruh pihak dapat memberikan dukungan terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.

b. Sumber dana untuk melaksanakan kebijakan tersebut mencukupi. Sumber dana harus mencukupi baik keperluan gaji, staff, analisis teknis dalam pengembangan peraturan, administrasi perizinan, dan monitoring kebijakan.

c. Sumber daya manusia atau agen pelaksana adalah orang-orang yang memberikan dukungan terhadap kebijakan serta memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan kebijakan, dengan demikian tujuan dari putusan kebijakan dapat tercapai secara optimal. Implementasi dilakukan dengan menunjuk orang-orang atau lembaga yang memiliki orientasi kebijakan yang sejalan dengan kebijakan tersebut.

d. Perlu adanya koordinasi yang kuat antar berbagai agen atau lembaga implementor. Masyarakat harus menaruh kepercayaan kepada pemerintah pusat dan lembaga lokal dalam menyelesaikan rincian program. Sosialisasi dan sanksi perlu dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan kepada seluruh masyarakat dan pelaksana.


(36)

20

e. Perlu dukungan dari seluruh pihak baik internal maupun eksternal. Seluruh sub unit harus dilibatkan dalam pelaksanaan kebijakan (Sudiyono, 2007: 93-97).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa syarat yang harus dipenuhi dalam implementasi kebijakan terdiri dari aspek kebijakan, aspek sumber dana dan sumber daya, aspek koordinasi, dan aspek dukungan.

4. Faktor Keberhasilan yang Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan Pendidikan

Suatu implementasi kebijakan akan menghasilkan keberhasilan yang diharapkan oleh pembuat kebijakan dan kelompok yang menjadi sasaran kebijakan tersebut. Arif Rohman (2009: 147) menyatakan, bahwa ada 3 faktor yang dapat menentukan keberhasilan dan kegagalan dalam implementasi kebijakan, yaitu:

a. Faktor yang terletak pada rumusan kebijakan yang telah dibuat oleh para pengambil keputusan, menyangkut kalimatnya jelas atau tidak, sasarannya tepat atau tidak, mudah dipahami atau tidak, mudah diinterprestasikan atau tidak, dan terlalu sulit dilaksanakan atau tidak.

b. Faktor yang terletak pada personil pelaksana, yakni yang menyangkut tingkat pendidikan, pengalaman, motivasi, komitmen, kesetiaan, kinerja, kepercayaan diri, kebiasaan-kebiasaan, serta kemampuan kerjasama dari para pelaku pelaksana kebijakan.


(37)

21

Termasuk dalam personil pelaksana adalah latar belakang budaya, bahasa, serta ideologi kepartaian masing-masing. Semua itu akan sangat mempengaruhi cara kerja mereka secara kolektif dalam menjalankan misi implementasi kebijakan.

c. Faktor yang terletak pada sistem organisasi pelaksana, yakni menyangkut jaringan sistem, hirarki kewenangan masing-masing peran, model distribusi pekerjaan, gaya kepemimpinan dari pemimpin organisasinya, aturan main organisasi, target masing-masing tahap yang ditetapkan, model monitoring yang biasa dipakai, serta evaluasi yang dipilih.

Sedangkan menurut sabatier dan Mazmanian (Sudiyono, 2007: 90-100) mengemukakan adanya berbagai kondisi yang mendukung agar implementasi dapat dilaksanakan secara optimal, yaitu:

a. Program harus mendasarkan diri pada sebuah kajian teori yang terkait dengan perubahan pelaku kelompok sasaran guna mencapai hasil yang telah ditetapkan. Kebanyakan pengambilan atau perumusan kebijakan didasarkan pada teori sebab akibat. Teori ini terdiri dari 2 bagian, yaitu: 1) adanya keterkaitan antara pencapaian dengan tolak ukur atau hasil yang diharapkan, 2) khusus mengenai cara pelaksanaan kebijakan yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran.

b. Undang-undang atau peraturan tidak boleh ambigu atau bermakna ganda. Dalam hal ini pemerintah harus dapat mengkaji ulang


(38)

22

produk-produk hukum. Sasaran kebijakan harus memiliki derajat ketepatan dan kejelasan, dimana keduanya berlaku secara internal maupun dalam keseluruhan program yang dilaksanakan oleh pihak pelaksana.

c. Para pelaku kebijakan harus memiliki kemampuan manajerial, politis dan komitmen terhadap tujuan yang akan dicapai. Para pemimpin dan perumus kebijakan dapat mengambil langkah baik pada ranah merencanakan sebuah peraturan maupun dalam pengangkatan personil baru non layanan masyarakat, guna meningkatkan isi dan keterdukungan pemimpin terhadap pencapaian tujuan undang-undang.

d. Program harus didukung oleh para pemangku kepentingan (pemilih, perumus undang-undang, pengadilan yang mendukung). e. Prioritas umum dari sasaran perundang-undangan tidak signifikan

direduksi oleh waktu dengan adanya kebijakan yang sangat darurat pada publik, atau perubahan keadaan sosial ekonomi yang sesuai dan didasarkan pada teori perundang-undangan secara teknis ataupun memperoleh dukungan publik.

Oleh karenanya, disimpulkan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan dari sebuah kebijakan. Melalui 2 pandangan ini, maka keberhasilan suatu implementasi kebijakan bergantung pada faktor yang ada pada rumusan kebijakan tersebut baik berupa teori yang mendukung serta dilindungi dengan


(39)

23

konstitusi yang kuat, faktor pada tataran pelaksana kebijakan, dan faktor pada sistem pengorganisasian pelaksanaan kebijakan. Jika dikaitkan dengan teori Edward, maka dalam penelitian ini akan melihat faktor keberhasilan sebuah kebijakan berdasar pada 4 isu pokok yang dijabarkan sebagai berikut:

a. Kebijakan akan efektif dilaksanakan apabila komunikasi yang dilakukan merata sampai pada tataran masyarakat paling bawah. Sehingga sosialisasi yang dilakukan agen pelaksana kebijakan harus tertuju kepada seluruh element yang terlibat dalam sebuah kebijakan.

b. Sumber daya untuk melaksanakan kebijakan tersebut terpenuhi. Baik sumber daya manusia sebagai agen pelaksana, sampai sumber dana serta alokasi waktu khusus untuk melaksanakan kebijakan.

c. Setiap agen pelaksana kebijakan mempunyai komitmen serta cakap untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

d. Yang terakhir ialah berkenaan dengan struktur birokrasi dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan.

B. Deskripsi Teori Gerakan Literasi Sekolah (GLS) 1. Pengertian Literasi

Literasi dalam bahasa Inggris bertuliskan literacy, kata ini berasal dari bahasa Latin littera (huruf) yang memiliki definisi melibatkan


(40)

24

penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang menyertainya. Berkenaan dengan ini Kern (2000) mendefinisikan istilah literasi secara komprehensif sebagai berikut:

“Literacy is the use of socially-, and historically-, and culturallysituated practices of creating and interpreting meaning throughtexts. It entails at least a tacit awareness of the relationships between textual conventions and their context of use and, ideally, the ability to reflect critically on those relationships. Because it is purpose-sensitive, literacy is dynamic – not static – and variableacross and within discourse communities and cultures. It draws on awide range of cognitive abilities, on knowledge of written and spoken language, on knowledge of genres, and on cultural knowledge.” (Literasi adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial, dan historis, serta kultural dalam menciptakan dan menginterpretasikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubunga-hubungan antara konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaanya serta idealnya kemampuan untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan itu. Karena peka dengan maksud/ tujuan, literasi itu bersifat dinamis – tidak statis – dan dapat bervariasi di antara dan di dalam komunitas dan kultur diskursus/ wacana.

Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis dan lisan, pengetahuan tentang genre, dan pengetahuan kultural).

Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa literasi memerlukan kemampuan yang kompleks. Adapun pengetahuan tentang genre

adalah pengetahuan tentang jenis-jenis teks yang berlaku/ digunakan dalam komunitas wacana misalnya, teks naratif, eksposisi, deskripsi dan lain-lain. Terdapat tujuh unsur yang membentuk definisi tersebut, yaitu berkenaan dengan interpretasi, kolaborasi, konvensi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah, refleksi, dan penggunaan


(41)

25

bahasa. Ketujuh hal tersebut merupakan prinsip-prinsip dari literasi. Menurut Kern (2000) terdapat tujuh prinsip pendidikan literasi, yaitu: a. Literasi melibatkan interpretasi

Penulis/ pembicara dan pembaca/ pendengar berpartisipasi dalam tindak interpretasi, yakni: penulis/ pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain-lain), dan pembaca/ pendengar kemudian mengiterpretasikan. interpretasi penulis/ pembicara dalam bentuk konsepsinya sendiri tentang dunia.

b. Literasi melibatkan kolaborasi

Terdapat kerjasama antara dua pihak yakni penulis/ pembicara dan membaca/ pendengar. Kerjasama yang dimaksud itu dalam upaya mencapai suatu pemahaman bersama. Penulis/ pembicara memutuskan apa yang harus ditulis/ dikatakan atau yang tidak perlu ditulis/ dikatakan berdasarkan pemahaman mereka terhadap pembaca/ pendengarnya. Sementara pembaca/ pendengar mencurahkan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman mereka agar dapat membuat teks penulis bermakna.

c. Literasi melibatkan konvensi

Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh konvensi/ kesepakatan kultural (tidak universal) yang berkembang melalui penggunaan dan dimodifikasi untuk


(42)

26

tujuan-tujuan individual. Konvensi disini mencakup aturan aturan bahasa baik lisan maupun tertulis.

d. Literasi melibatkan pengetahuan kultural.

Membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi dalam sistem-sistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai tertentu. Sehingga orang-orang yang berada di luar suatu sistem budaya itu rentan beresiko salah dipahami oleh orang-orang yang berada dalam system budaya tersebut.

e. Literasi melibatkan pemecahan masalah.

Karena kata-kata selalu melekat pada konteks linguistik dan situasi yang melingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca, dan menulis itu melibatkan upaya membayangkan hubungan-hubungan di antara katakata, frase-frase, kalimat-kalimat, unit-unit makna, teks-teks, dan duniadunia. Upaya membayangkan/ memikirkan/ mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk pemecahan masalah.

f. Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri.

Pembaca/ pendengar dan penulis/ pembicara memikirkan bahasa dan hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka berada dalam situasi komunikasi mereka memikirkan apa yang telah mereka katakan, bagaimana mengatakannya, dan mengapa mengatakan hal tersebut.


(43)

27

Literasi tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/ tertulis) melainkan mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu digunakan baik dalam konteks lisan maupun tertulis untuk menciptakan sebuah wacana/ diskursus. Dari poin diatas maka prinsip pendidikan literasi adalah literasi melibatkan interpretasi, kolaborasi, konversi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah, refleksi diri, dan melibatkan penggunaan bahasa.

2. Komponen Literasi

Secara konsep, literasi dipahami lebih dari sekedar membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori. Di era ini, kemampuan yang dimaksud ialah sebagai literasi informasi. Clay (2001) dan Ferguson (www.bibliotech.us) menjabarkan bahwa komponen literasi informasi terdiri atas literasi dini, literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual. Dalam konteks Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai dasar pemerolehan berliterasi tahap selanjutnya. Komponen literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Literasi Dini (Early Literacy)

Yaitu kemampuan untuk menyimak, memahami bahasa lisan, dan berkomunikasi melalui gambar dan lisan yang dibentuk oleh pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dirumah.


(44)

28

Pengalaman peserta didik dalam berkomunikasi dengan bahasa ibu menjadi fondasi perkembangan literasi dasar.

b. Literasi Dasar (Basic Literacy)

Yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan analisis untuk menghitung (calculating), mempersepsikan informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi (drawing) berdasarkan pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.

c. Literasi Perpustakaan (Library Literacy)

Memberikan pemahaman cara membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal, memahami Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan dalam menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan katalog dan pengindeksan, hingga memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah.

d. Literasi Media (Media Literacy)

Yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda, seperti media cetak, media elektronik (radio, televisi), media digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya.


(45)

29

e. Literasi Teknologi (Technology Literacy)

Yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi. Berikutnya, kemampuan dalam memahami teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet. Dalam praktiknya, pemahaman menggunakan komputer (computer literacy) yang didalamnya mencakup menghidupakan dan mematikan komputer, menyimpan dan mengelola data, serta mengoprasikan program perangkat lunak. Sejalan dengan membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini, diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang dibutuhkan masyarakat.

f. Literasi Visual (Visual Literacy)

Adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan leterasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audio-visual secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap materi visual yang tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak, auditori, maupun digital (perpaduan ketiganya disebut teks multimodal), perlu dikelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan yang benar-benar perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan.


(46)

30

Pihak yang berperan aktif dalam pelaksanaan komponen literasi dipaparkan pada tabel berikut:

Tabel. 1. Pihak Pelaksanaan Komponen Literasi

No Komponen Literasi Pihak yang Berperan Aktif 1 Literasi Usia Dini Orangtua dan keluarga, guru/ PAUD,

pamong atau pengasuh 2 Literasi Dasar Pendidikan Formal 3 Literasi Perpustakaan Pendidikan Formal

4 Literasi Teknologi Pendidikan Formal dan Keluarga 5 Literasi Media Pendidikan Formal, keluarga, dan

lingkungan sosial

6 Literasi Visual Pendidikan Formal, keluarga, dan lingkungan sosial

(Sumber: Buku Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa komponen dari literasi terdiri 6 kemampuan yang berbeda dari setiap komponen literasi. Seperti literasi media yang menuntut agar siswa dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda. Berbeda dengan literasi visual yang menghendaki pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi teknologi. Hal ini membuktikan bahwa literasi tidak hanya didefinisikan sebagai aktivitas membaca dan menulis saja.

3. Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS)

GLS merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik.


(47)

31

Berdasarkan buku panduan yang dibuat oleh Kemendikbud terkait kebijakan ini, GLS memiliki:

a. Landasan Filosofis

Sumpah pemuda butir ketiga (3) menyatakan, “menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia yang memiliki makna pengakuan terhadap keberadaan ratusan bahasa daerah yang memiliki hak hidup dan peluang penggunaan bahasa asing sesuai dengan keperluannya.”

1) Butir ini menegaskan pentingnya pembelajaran berbahasa dalam pendidikan nasional.

2) Konvensi PBB tentang Hak Anak pada tahun 1989 tentang pentingnya penggunaan bahasa ibu. Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa, khususnya mikrokultur-mikrokultur tertentu perlu difasilitasi dengan bahasa ibu saat mereka memasuki pendidikan dasar kelas rendah (kelas I, II, III).

3) Konvensi PBB di Praha tahun 2003 tentang kecakapan literasi dasar dan kecakapan perpustakaan yang efektif merupakan kunci bagi masyarakat yang literat dalam menghadapi derasnya arus informasi teknologi. Lima komponen yang esensial dari literasi informasi itu adalah

basic literacy, library literacy, media literacy, technology literacy, dan visual literacy.


(48)

32 b. Landasan Hukum

Landasan hukun dari Gerakan Literasi Sekolah yang tertuang dalam desain induk GLS ialah:

1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31, Ayat 2: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.”

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

6) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014 tentang Pelaksaan UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.


(49)

33 c. Tujuan

GLS mempunyai tujuan umum dan khusus, berikut ini adalah tujuan dari Gerakan Literasi Sekolah:

1) Tujuan Umum

Menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat.

2) Tujuan Khusus

a) Menumbuhkembangkan budaya literasi di Sekolah. b) Meningkatkan kapasistas warga dan lingkungan

sekolah agar literat.

c) Menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan.

d) Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi berbagai strategi membaca.

d. Ruang Lingkup

Ruang lingkup GLS berupa:

1) Lingkungan fisik sekolah (fasilitas dan sarana prasarana literasi).


(50)

34

2) Lingkungan sosial dan afektif (dukungan dan partisipasi aktif seluruh warga sekolah).

3) Lingkungan akademik (program literasi yang menumbuhkan minat baca dan menunjang kegiatan pembelajaran di SD).

e. Sasaran

Sasaran dari GLS ini adalah pendidik, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan di SD

f. Target Pencapaian

GLS di SD menciptakan ekosistem pendidikan di SD yang literat. Ekosistem pendidikan yang literat adalah lingkungan yang:

1) Menyenangkan dan ramah peserta didik, sehingga menumbuhkan semangat warganya dalam belajar.

2) Semua warganya menunjukkan empati, peduli, dan menghargai sesama.

3) Menumbuhkan semangat ingin tahu dan cinta pengetahuan 4) Memampukan warganya cakap berkomunikasi dan dapat

berkontribusi kepada lingkungan sosialnya.

5) Mengakomodasi partisipasi seluruh warga sekolah dan lingkungan eksternal SD

4. Prinsip-prinsip Literasi Sekolah

Menurut Beers (2009), praktik yang baik dalam gerakan literasi sekolah menekankan prinsip-prinsip sebagai berikut:


(51)

35

a. Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang dapat diprediksi

Tahap perkembangan anak dalam belajar membaca dan menulis saling berirusan antartahap perkembangan. Memahami tahap perkembangan literasi peserta didik dapat membantu sekolah untuk memilih strategi pembiasaan dan pembelajaran literasi yang tepat sesuai kebutuhan perkembangan mereka.

b. Program literasi yang baik bersifat berimbang

Sekolah yang menerapkan program literasi berimbang menyadari bahwa tiap peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu, strategi membaca dan jenis teks yang dibaca perlu divariasikan dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Program literasi yang bermakna dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan bacaan kaya ragam teks, seperti karya sastra untuk anak dan remaja.

c. Program literasi terintegrasi dengan kurikulum

Pembiasaan dan pembelajaran literasi disekolah adalah tanggung jawab semua guru di semua mata pelajaran sebab pembelajaran mata pelajaran apapun membutuhkan bahasa, terutama membaca dan menulis. Dengan demikian, pengembangan profesional guru dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru semua mata pelajaran.


(52)

36

d. Kegiatan membaca dan menulis dilakukan kapanpun

Misalnya dengan menulis surat kepada presiden atau membaca untuk ibu merupakan contoh-contoh kegiatan literasi yang bermakna.

e. Kegiatan literasi mengembangkan budaya lisan

Kelas berbasis literasi yang kuat diharapkan memunculkan berbagai kegiatan lisan berupa diskusi tentang buku selama pembelajaran dikelas. Kegiatan diskusi ini juga perlu membuka kemungkinan untuk perbedaan pendapat untuk menyampaikan perasaan dan pendapatnya, saling mendengarkan, dan menghormati perbedaan pandangan.

f. Kegiatan literasi perlu mengembangkan kesadaran terhadap keberagaman

Warga sekolah perlu menghargai perbedaan melalui kegiatan literasi di sekolah. Bahan bacaan untuk peserta didik perlu merefleksikan kekayaan budaya Indonesia agar mereka dapat terpajan pada pengalaman multikultural.

5. Strategi Membangun Budaya Literasi Sekolah

Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam pengembangan budaya literasi, Beers, dkk. (2009) dalam buku A Principal’s Guide to Literacy Instruction, menyampaikan beberapa strategi untuk menciptakan budaya literasi yang positif di sekolah, yaitu:


(53)

37

a. Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi

Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan warga sekolah. Oleh karena itu, lingkungan fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk pembelajaran. Sekolah yang mendukung pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang karya peserta didik dipajang diseluruh area sekolah termasuk koridor, kantor kepala sekolah dan guru. Selai itu, karya –karya peserta didik diganti secara rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua peserta didik. Selain itu, peserta didik dapat mengakses buku dan bahan bacaan lain di sudut baca disemua kelas, kantor, dan area lain di sekolah. Ruang pimpinan dengan pajangan karya peserta didik akan memberikan kesan positif tentang komitmen sekolah terhadap pengembangan budaya literasi.

b. Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai model komunikasi dan interaksi yang literat

Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi dan interaksi seluruh komponen sekolah. Hal itu dapat dikembangkan dengan pengakuan atas capaian peserta didik sepanjang tahun. Pemberian penghargaan dapat dilakukan saat upacara bendera setiap minggu untuk menghargai kemajuan peserta didik disemua aspek. Prestasi yang dihargai bukan hanya akademik, tetapi juga sikap dan upaya peserta didik. Dengan demikian, setiap peserta didik mempunyai kesempatan untuk


(54)

38

memperoleh penghargaan sekolah. Selain itu, literasi diharapkan dapat mewarnai semua perayaan penting disepanjang tahun pelajaran. Ini bisa direalisasikan dalam bentuk fesival buku, lomba poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya. Pimpinan sekolah selayaknya berperan aktif dalam menggerakkan literasi, antara lain dengan membangun budaya kolaboratif antarguru dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap orang dapat terlibat sesuai kepakaran masing-masing. Peran orangtua sebagai relawan gerakan literasi akan semakin memperkuat komitmen sekolah dalam pengembangan budaya literasi.

c. Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademik yang literat Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksaan gerakan literasi di sekolah. Sekolah sebaiknya memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan membaca dalam hati dan guru membacakan buku dengan nyaring selama 15 menit sebelum pelajaran berlangsung. Untuk menunjang kemampuan guru dan staf, mereka perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti program pelatihan tenaga kependidikan untuk peningkatan pemahaman tentang program literasi, pelaksaan dan keterlaksanaannya.


(55)

39

Tabel 2 di bawah ini mencantumkan beberapa parameter yang dapat digunakan sekolah untuk membangun budaya literasi sekolah yang baik.

Tabel 2. Ekosistem Sekolah yang Literat A. Lingkungan Fisik

1 Karya peserta didik dipajang disepanjang lingkungan sekolah, termasuk koridor dan kantor (kepala sekolah, guru, administrasi, bimbingan konseling).

2 Karya peserta didik dirotasi secara berkala untuk memberikan kesempatan yang seimbang kepada semua peserta didik.

3 Buku dan materi bacaan lain tersedia dipojok-pojok baca disemua ruang kelas.

4 Buku dan materi bacaan lain tersedia juga untuk peserta didik dan orangtua/ pengunjung dikantor dan ruangan selain ruang kelas.

5 Kantor kepala sekolah memajang karya peserta didik dan buku bacaan untuk anak.

6 Kepala sekolah bersedia berdialog dengan warga sekolah B. Lingkungan Sosial dan Afektif

1 Penghargaan terhadap peserta didik (akademik dan nonakademik) diberikan secara rutin (tiap minggu/ bulan). Upacara hari Senin merupakan salah satu kesempatan yang tepat untuk pemberian penghargaan mingguan.

2 Kepala Sekolah terlibat aktif dalam pengembangan literasi. 3 Merayakan hari-hari besar dan nasional dengan nuansa literasi,

misalnya merayakan Hari Kartini dengan membaca surat-suratnya.

4 Terdapat budaya kolaborasi antarguru dan staf, dengan mengakui kepakaran masing-masing

5 Terdapat waktu yang memadai bagi staf untuk berkolaborasi dalam menjalankan program literasi dan hal-hal yang terkait dengan pelaksanaannya.

6 Staf sekolah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam menjalankan program literasi.

C. Lingkungan Akademik

1 Terdapat TLS yang bertugas melakukan asesment dan perencanaan. Bila diperlukan, ada pendampingan dari pihak


(56)

40 eksternal.

2 Disediakan waktu khusus dan cukup banyak untuk pembelajaran dan pembiasaan literasi: membaca dalam hati (sustained silent reading), membacakan buku dengan nyaring (reading aloud), membaca bersama (shared reading), membaca terpandu (guided reading), diskusi buku, bedah buku, presentasi (show-and tell presentation).

3 Waktu berkegiatan literasi dijaga agar tidak dikorbankan untuk kepentingan lain.

4 Disepakati waktu berkala untuk TLS membahas pelaksaan gerakan literasi sekolah.

5 Buku fiksi dan nonfiksi tersedia dalam jumlah cukup banyak di sekolah. Buku cerita fiksi sama pentingnya dengan buku berbasis ilmu pengetahuan.

6 Ada beberapa buku yang wajib dibaca oleh warga sekolah. 7 Ada kesempatan pengembangan profesional tentang lietasi yang

diberikan untuk staf, melalui kerjasama dengan institusi terkait (perguruan tinggi, dinas pendidikan, dinas perpustakaan, atau berbagi pengalaman dengan sekolah lain).

8 Seluruh warga sekolah antusias menjalankan program literasi, dengan tujuan membangun organisasi sekolah yang suka belajar. (Sumber: Buku Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah)

Aspek-aspek tersebut adalah karakteristik penting dalam pengembangan budaya literasi di sekolah. Dalam pelaksanaanya, sekolah dapat mengadaptasinya sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah. Guru dan pimpinan sekolah perlu bekerja sama untuk mengimplementasikan strategi tersebut.

6. Tahapan Gerakan Literasi Sekolah

Berikut ini tahapan Gerakan Literasi Sekolah:

a. Tahap ke-1: Pembiasaan kegiatan membaca yang menyenangkan di ekosistem sekolah Pembiasaan ini bertujuan


(57)

41

untuk menumbuhkan minat terhadap bacaan dan terhadap kegiatan membaca dalam diri warga sekolah. Penumbuhan minat baca merupakan hal fundamental bagi pengembangan kemampuan literasi peserta didik.

Tabel 3. Tahap 1 GLS Tahap Pembiasaan

(Sumber: Buku Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah)

b. Tahap ke-2: Pengembangan minat baca untuk meningkatkan kemampuan literasi kegiatan literasi pada tahap ini bertujuan mengembangkan kemampuan memahami bacaan dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif melalui kegiatan menanggapi bacaan pengayaan (Anderson & Krathwol, 2001).


(58)

42

Tabel 4. Tahap 1 GLS Tahap Pengembangan

(Sumber: Buku Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah

c. Tahap ke-3: Pelaksanaan pembelajaran berbasis literasi. Kegiatan literasi pada tahap pembelajaran bertujuan mengembangkan kemampuan memahami teks dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif melalui kegiatan menanggapi teks buku bacaan pengayaan dan buku pelajaran (cf. Anderson & Krathwol, 2001). Dalam tahap ini ada tagihan yang sifatnya akademis (terkait dengan mata pelajaran). Kegiatan membaca pada tahap ini untuk mendukung


(59)

43

pelaksanaan Kurikulum 2013 yang mensyaratkan peserta didik membaca buku nonteks pelajaran yang dapat berupa buku tentang pengetahuan umum, kegemaran, minat khusus, atau teks multimodal, dan juga dapat dikaitkan dengan mata pelajaran tertentu sebanyak 6 buku bagi siswa SD, 12 buku bagi siswa SMP, dan 18 buku bagi siswa SMA/SMK. Buku laporan kegiatan membaca pada tahap pembelajaran ini disediakan oleh wali kelas.

Tabel 5. Tahap 1 GLS Tahap Pembelajaran

(Sumber: Buku Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah

Tahapan yang peneliti pilih ialah tahap 1 yaitu tahap pembiasaan. Karena pada tahap ini merupakan tahapan yang penting untuk menumbuhkan budaya literasi pada anak-anak. Maka peneliti akan fokus pada program sekolah yang menunjang pembiasaan budaya literasi di Sekolah.


(60)

44 C. Penelitian yang Relevan

1. Nuruls Sofa. 2010. Skripsi Universitas Indonesia: “Penerapan Literasi Informasi di Sekolah Alam Indonesia Rawa Kopi. Skripsi ini membahas tentang penerapan literasi informasi melalui penulisan proyek penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain studi kasus. Penelitian ini membahas tentang proses penelitian yang dikaitkan dengan beberapa aspek literasi seperti pemanfaatan perpustakaannya. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa langkah-langkah dalam penulisan penulisan proyek penelitian hampir sama dengan model literasi yang ada. Dari penelitian ini juga disarankan agar perpustakaan dilibatkan dalam penulisan proyek penelitian sebagai tempat sumber literasi.”

2. Yati Kurniawati. 2016. Karya Ilmiah: “Upaya Mewujudkan Sekolah Melek Literasi Melalui Gelis Batuk. Gelis Batuk merupakan program peningkatan kemampuan literasi peserta didik melalui Gerakan Literasi Sekolah Baca Tulis Karya, dengan reward hasil karya terbaik dipublikasikan oleh sekolah dalam bentuk buku kumpulan karya. Gelis Batuk dilaksanakan dengan manajemen partisipatif, kepala sekolah menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran dengan melibatkan berbagai unsur. Dengan menerapkan Gelis Batuk diharapkan dapat mewujudkan SMP Negeri 10 Salatiga sebagai Sekolah Melek Literasi. Upaya mewujudkan sekolah melek literasi melalui implementasi Gelis Batuk dilakukan dengan prosedur


(61)

45

tindakan: penguatan perpustakaan sekolah, membentuk tim literasi, sosialisasi ke seluruh warga sekolah, pelaksanaan gerakan literasi sekolah, evaluasi secara berkala, dan pemilihan karya terbaik.”

Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sudah ada. Penilitian ini akan berfokus pada implementasi kebijakan gerakan literasi sekolah disekolah dasar. Melihat bagaimana program ini dijalankan dengan berbagai faktor yang dapat mendukung maupun menjadi penghambat. Penelitian ini menjadi menarik karena akan melihat proses dibalik jalannya sebuah kebijakan yang menjadi penentu dari keberhasilan gerakan ini dalam meningkatkan budaya literasi pada siswa sekolah dasar.

D. Kerangka Berpikir

Kerangka pikir dari penelitian ini diawali dengan adanya 4 permasalahan mendasar pada pendidikan. Rendahnya budaya literasi siswa sekolah mendasar merupakan permasalahan terkait mutu pendidikan di Indonesia. Pemerintah berupaya untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan mengeluarkan Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang kemudian diturunkan dengan kebijakan Gerakan Literasi Sekolah sebagai upaya untuk menumbuhkan budaya literasi pada anak. Dalam implementasinya, banyak faktor yang menjadi pendukung maupun penghambat kebijakan ini diimplementasikan. Penelitian ini akan melihat bagaimana proses dari kebijakan ini dilakukan dengan melihat 4 pokok bahasan yaitu: komunikasi, sumber daya, komitmen dan struktur birokrasi dari pelaksana kebijakan tersebut


(62)

46 Gambar 1. Kerangka Pikir

Faktor Pendukung

dan penghambat Mutu Pedidikan Pemerataan

Pendidikan

Relevansi Pendidikan

Efektivitas dan efisiensi Pendidikan

Permasalahan Pendidikan

Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang penumbuhan Budi Pekerti

Gerakan Literasi Sekolah

Kemendikbud

Dinas Pendidikan

Satuan Pendidikan/ Sekolah

Implementasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di SDIT LHI

Peningkatan Budaya Literasi 1. Komunikasi

2. Sumber Daya 3. Disposisi 4. Struktur


(63)

47 E. Pertanyaan Penelitian

1. Program apa saja yang diselenggarakan sekolah dalam rangka mewujudkan Gerakan Literasi di Sekolah?

2. Bagaimana pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah di SDIT LHI? a. Bagaimana komunikasi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut? b. Bagaimana sumber daya dalam pelaksaan kebijakan tersebut? c. Bagaimana komitmen dari agen pelaksana kebijakan tersebut? d. Bagaimana struktur birokrasi dari kebijakan tersebut?

3. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di SDIT LHI?


(64)

48 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian

Terkait dengan penelitian ini, maka penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Suharsimi (2005: 234) menyatakan bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status atau gejala yang ada, yaitu gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Bogdan dan Taylor (1975) dalam Lexy J. Moleong (2005: 4) mendefinisikan metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan deskriptif kualitatif bertujuan untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan fenomena yang terjadi di lapangan. Dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berusaha untuk memdeskripsikan sebuah fenomena dimana peneliti melakukan penelitian.

Dengan demikian penelitian ini akan mendeskripsikan implementasi Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional. Dari hasil penelitian tersebut akan diperoleh data mengenai implementasi Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional.


(65)

49 B. Setting Penelitian

Setting dalam penelitian ini adalah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional yang beralamat di Jl. Karanglo, Jogoragan, Banguntapan Bantul, Yogyakarta. Peneliti akan fokus pada jenjang sekolah dasar tingkah bawah (kelas 1 dan kelas 2) karena pada tingkatan ini adalah tingkatan untuk menumbuhkan pembiasaan kepada siswa. Penelitian ini akan dilaksanakan bulan Desember 2016 sampai dengan Januari 2017. Penentuan waktu mempertimbangkan fokus penelitian dan kemampuan peneliti dalam menginterprestasikan sebuah fenomena. Dengan penjabaran proses penelitian yang diawali dari koordinasi dengan pihak sekolah baik kepala sekolah, guru, dan warga sekolah yang lain. dilanjutkan dengan melakukan tahap observasi pertama, observasi kedua, dan seterusnya kemudian diakhiri dengan pemeriksaan hasil penelitian.

C. Subyek dan Obyek Penelitian

Dalam hal ini yang menjadi subyek penelitian adalah warga sekolah yang meliputi kepala sekolah, kepala perpustakaan sekolah, Kadiv. Akademik dan Kurikulum yang menjabat juga sebagai guru kelas I, dan beberapa siswa kelas I. Sedangkan obyeknya adalah situasi sosial dan interaksi sosial yang menggambarkan implementasi Gerakan Literasi Sekolah.


(66)

50 D. Teknik pengumpulan data

Dalam mengumpulkan data-data dilapangan peneliti akan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu teknik wawancara, observasi dan dokumentasi yang biasa disebut dengan trianggulasi data. Trianggulasi data adalah teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber yang telah ada (Sugiyono, 2007: 194). Teknik pengumpulan data berupa:

1. Wawancara

Dalam penelitian ini wawancara akan dilakukan dengan semistruktur, yaitu untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapatnya, dan ide-idenya. Wawancara akan dilakukan pada sebagian anggota di sekolah seperti kepala sekolah,kepala perpustakaan, dan subjek penelitian lainnya untuk menggali informasi terkait implementasi gerakan literasi di sekolah. Peneliti akan mewawancarai kepala sekolah tentang implementasi gerakan giterasi di sekolah. Peneliti juga akan mewawancarai kepala perpustakaan dan guru untuk menggali informasi peran mereka dalam pengimplemtasian kebijakan tersebut. 2. Observasi

Observasi akan dilakukan untuk mengamati implementasi gerakan literasi yang berkembang di sekolah, artefak yang mendukung, maupun tentang program-program yang menunjang. Peneliti menggunakan observasi partisipatif aktif yaitu observasi yang diikuti


(67)

51

oleh peneliti sesuai apa yang dilakukan oleh narasumber tetapi belum sepenuhnya lengkap.

3. Dokumentasi

Dokumentasi ini dilakukan untuk memperkuat data mengenai implementasi gerakan literasi di sekolah. Dokumentasi ini berupa dokumen, foto, video, dan data-data yang ada di sekolah. Dokumentasi tersebut digunakan sebagai suatu bukti data yang mendukung pengamatan peneliti dilapangan.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen dari penelitian kualitatif adalah si peneliti itu sendiri. Peneliti kualilatif sebagai human instrument memiliki fungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan dari temuannya (Sugiyono, 2013). Namun peneliti juga harus menggunakan pedoman dalam mengumpulkan sebuah data. Baik itu pedoman wawancara maupun pedoman studi dokumen yang membantu peneliti dalam mengumpukan data dilapangan. Oleh karena itu, peneliti menyusun kisi-kisi instrumen untuk menjadi landasan dan membantu peneliti dalam pengumpulan data. Berikut ini kisi-kisi yang dibuat oleh peneliti:

Tabel 6. Kisi-kisi Instrumen Penelitian

No Aspek yang Diteliti Teknik

1 Implementasi Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional

Studi dokumentasi dan wawancara


(1)

3. Sesudah berdoa setiap memulai hari pembelajaran, guru dan peserta didik menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan/atau satu lagu wajib nasional atau satu lagu terkini yang menggambarkan semangat patriotisme dan cinta tanah air.

4. Sebelum berdoa saat mengakhiri hari pembelajaran, guru dan peserta didik menyanyikan satu lagu daerah (lagu-lagu daerah seluruh Nusantara).

Contoh-contoh pembiasaan baik yang dapat dilakukan oleh sekolah: 1. Contoh-contoh pembiasaan umum:

• Mengenalkan beragam keunikan potensi daerah asal siswa melalui berbagai media dan kegiatan.

2. Contoh-contoh pembiasaan periodik:

• Membiasakan perayaan Hari Besar Nasional dengan mengkaji atau mengenalkan pemikiran dan semangat yang melandasinya melalui berbagai media dan kegiatan.

III. Mengembangkan Interaksi Positif Antara Peserta Didik dengan Guru dan Orangtua Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara sekolah, peserta didik dan orangtua. Interaksi positif antara tiga pihak tersebut dibutuhkan untuk membangun persepsi positif, saling pengertian dan saling dukung demi terwujudnya pendidikan yang efektif.

Kegiatan wajib:

Sekolah mengadakan pertemuan dengan orangtua siswa pada setiap tahun ajaran baru untuk mensosialisasikan: (a) visi; (b) aturan; (c) materi; dan (d) rencana capaian belajar siswa agar orangtua turut mendukung keempat poin tersebut.

Contoh-contoh pembiasaan baik yang dapat dilakukan oleh sekolah: 1. Contoh-contoh pembiasaan umum:

• Memberi salam, senyum dan sapaan kepada setiap orang di komunitas sekolah.

• Guru dan tenaga kependidikan datang lebih awal untuk menyambut kedatangan peserta didik sesuai dengan tata nilai yang berlaku.

2. Contoh-contoh pembiasaan periodik:

• Membiasakan peserta didik (dan keluarga) untuk berpamitan dengan orangtua/wali/penghuni rumah saat pergi dan lapor saat pulang, sesuai kebiasaan/adat yang dibangun masing-masing keluarga;

• Secara bersama peserta didik mengucapkan salam hormat kepada guru sebelum pembelajaran dimulai, dipimpin oleh seorang peserta didik secara bergantian.

IV. Mengembangkan Interaksi Positif Antar Peserta Didik

Peserta didik hadir di sekolah bukan hanya belajar akademik semata, tapi juga belajar bersosialisasi. Interaksi positif antar peserta didik akan mewujudkan pembelajaran dari rekan (peer learning) sekaligus membantu siswa untuk belajar bersosialisasi.

Kegiatan wajib:

Membiasakan pertemuan di lingkungan sekolah dan/atau rumah untuk belajar kelompok yang diketahui oleh guru dan/atau orangtua.

Contoh-contoh pembiasaan baik yang dapat dilakukan oleh sekolah: 1. Contoh-contoh pembiasaan umum:

• Gerakan kepedulian kepada sesama warga sekolah dengan menjenguk warga sekolah yang sedang mengalami musibah, seperti sakit, kematian, dan lainnya.

2. Contoh-contoh pembiasaan periodik:

• Membiasakan siswa saling membantu bila ada siswa yang sedang mengalami musibah atau kesusahan.

V. Merawat Diri dan Lingkungan Sekolah

Lingkungan sekolah akan mempengaruhi warga sekolah baik dari aspek fisik, emosi, maupun kesehatannya. Karena itu penting bagi warga sekolah untuk menjaga keamanan, kenyamanan, ketertiban, kebersihan dan kesehatan lingkungan sekolah serta diri.


(2)

164

Contoh-contoh pembiasaan baik yang dapat dilakukan oleh sekolah: 1. Contoh-contdh pembiasaan umum:

• Membiasakan penggunaan sumber daya sekolah (air, listrik, telepon, dsb) secara efisien melalui berbagai kampanye kreatif dari dan oleh siswa.

• Menyelenggarakan kantin yang memenuhi standar kesehatan.

• Membangun budaya peserta didik untuk selalu menjaga kebersihan di bangkunya masing-masing sebagai bentuk tanggung jawab individu maupun kebersihan kelas dan lingkungan sekolah sebagai bentuk tanggung jawab bersama.

2. Contoh-contoh pembiasaan periodik:

• Mengajarkan simulasi antri melalui baris sebelum masuk kelas, dan pada saat bergantian memakai fasilitas sekolah.

• Peserta didik melaksanakan piket kebersihan secara beregu dan bergantian regu.

• Menjaga dan merawat tanaman di lingkungan sekolah, bergilir antar kelas.

• Melaksanakan kegiatan bank sampah bekerja sama dengan dinas kebersihan setempat.

VI. Mengembangkan Potensi Diri Peserta Didik Secara Utuh

Setiap siswa mempunyai potensi yang beragam. Sekolah hendaknya memfasilitasi secara optimal agar siswa bias menemukenali dan mengembangkan potensinya.

Kegiatan wajib:

1. Menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata pelajaran (setiap hari).

2. Seluruh warga sekolah (guru, tenaga kependidikan, siswa) memanfaatkan waktu sebelum memulai hari pembelajaran pada hari-hari tertentu untuk kegiatan olah fisik seperti senam kesegaran jasmani, dilaksanakan secara berkala dan rutin, sekurang-kurangnya satu kali dalam seminggu.

Contoh-contoh pembiasaan baik yang dapat dilakukan oleh sekolah: 1. Contoh-contoh pembiasaan umum:

• Peserta didik membiasakan diri untuk memiliki tabungan dalam berbagai bentuk (rekening bank, celengan, dan lainnya).

• Membangun budaya bertanya dan melatih peserta didik mengajukan pertanyaan kritis dan membiasakan siswa mengangkat tangan sebagai isyarat akan mengajukan pertanyaan;

• Membiasakan setiap peserta didik untuk selalu berlatih menjadi pemimpin dengan cara memberikan kesempatan pada setiap siswa tanpa kecuali, untuk memimpin secara bergilir dalam kegiatan-kegiatan bersama/berkelompok;

2. Contoh-contoh pembiasaan periodik:

• Siswa melakukan kegiatan positif secara berkala sesuai dengan potensi dirinya.

VII.Pelibatan Orangtua dan Masyarakat di Sekolah

Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Karena itu, sekolah hendaknya melibatkan orangtua dan masyarakat dalam proses belajar. Keterlibatan ini diharapkan akan berbuah dukungan dalam berbagai bentuk dari orangtua dan masyarakat.

Kegiatan wajib:

Mengadakan pameran karya siswa pada setiap akhir tahun ajaran dengan mengundang orangtua dan masyarakat untuk memberi apresiasi pada siswa.

Contoh-contoh pembiasaan baik yang dapat dilakukan dan/atau didukung oleh sekolah: 1. Contoh-contoh pembiasaan umum:

• Orangtua membiasakan untuk menyediakan waktu 20 menit setiap malam untuk bercengkerama dengan anak mengenai kegiatan di sekolah

2. Contoh-contoh pembiasaan periodik:

• Masyarakat bekerja sama dengan sekolah untuk mengakomodasi kegiatan kerelawanan oleh peserta didik dalam memecahkan masalah-masalah yang ada di lingkungan sekitar sekolah.

• Masyarakat dari berbagai profesi terlibat berbagi ilmu dan pengalaman kepada siswa di dalam sekolah.


(3)

(4)

166

Lampiran 12. Surat Ijin Penelitian


(5)

(6)