Kesimpulan Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat

Di daerah kering, Sakuntaladewi dan Arifanti 2010 menyebutkan adanya, perbedaan nyata terlihat di desa-desa di DAS Noelmina bagian hulu Desa Nenas dan desa Benu di hilir. Badai dan air yang melimpah di desa Nenas hulu DAS menjadikan sawah di sekitar sungai terkikis banjir, tanaman jagung gagal, longsor di daerah perbukitan, ternak dan tanaman sayur banyak yang mati. Desa yang berada di DAS bagian hilir desa Bena mengalami kekeringan yang luar biasa. Tanaman dan semak belukar menjadi kering dan rawan kebakaran. Di desa Benu DAS bagian tengah, dua dusun tidak mengalami kesulitan air di musim hujan maupun kemarau karena dikelilingi oleh hutan alam Sisemeni Sanam milik Balai Diklat Kehutanan Kupang dan dijaga keberadaannya oleh masyarakat setempat. Terdapat sekitar 12 sumber air besar dan masih terlindungi dengan debit air sebesar 125 literdetik. Sumber air tersebut dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro PMLTH-dalam proses pembangunan dengan daya 20 Kilo Watt listrik untuk 87 KK dan 5 fasilitas umum. Selain itu, terdapat pula bangunan irigasi non permanen tradisional di hampir setiap hamparan sawah di Desa Benu yang luasnya mencapai 60 dari total luas Desa. Tiga dusun lainnya di desa Benu mengalami kekeringan luar biasa pada musim kemarau. Di DAS Palu, banjir yang terjadi di desa Toro hulu DAS Palu berubah menjadi banjir bandang di desa Omu dan desa Bobo yang ada di bagian tengah DAS Palu. Dibagian hulu, sawah diserang hama tikus dan dibagian tengah DAS terjadi kebakaran hutan. Perubahan musim yang tidak menentu sebagai dampak dari perubahan iklim, menjadikan produksi tanaman coklat masyarakat turun 50 hingga gagal panen pada tahun 2010, dan sawah diserang tikus. Dampak perubahan iklim pada daerah kering disajikan di lampiran 7 dan 8. Di daerah pegunungan , DAS Kampar, Kabupaten Solok Rochmayanto, 2010 maupun di Kabupaten Manokwari Salosa, 2010, perubahan iklim mengancam mata pencaharian masyarakat. Ancaman dimaksud berupa gagal panen, terbatasnya kesempatan masyarakat untuk melakukan usaha ekonomi, atau banjir yang menjadikan akses masyarakat ke kotake desa terputus, serta longsor yang membahayakan keselamatan jiwa. Di DAS Kampar banjir di bagian hulu diakibatkan oleh debit air sungai yang meningkat akibat curah hujan tinggi dan diperparah kondisinya dengan banyak lahan gundul di perbukitan karena pembukaan lahan untuk tanaman gambir. Masyarakat desa Salayo Tanang Bukit Sileh, Air Dingin, dan Air Batumbuk mengamati adanya perbedaan pola banjir berupa peningkatan frekuensi banjir dan sulit untuk diprediksi kapan banjir akan datang Tabel 14. Sintesis Penelitian Integratif Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim • 71 Tabel 14. Perubahan pola banjir di hulu dan hilir DAS Kampar DAS Kampar Dulu Sekarang Hulu • Banjir terjadi tiap 5 tahun, lama genangan 10-15 hari. • Kejadian banjir dapat diprediksi • Frekuensi banjir meningkat hingga 5 kali dalam 5 tahun, lama genangan 3-4 hari. • Kejadian banjir tidak dapat diprediksi Hilir • Banjir 1 tahun sekali, lama genangan hingga 1 bulan • Kejadian banjir dapat diprediksi • Banjir bisa mencapai 4 – 5 kalitahun, lama genangan hingga 10 hari • Kejadian banjir tidak dapat diprediksi Sumber : Rochmayanto, et al. 2010 Dampak perubahan iklim meliputi 3 sektor: pertanian, kehutanan, dan bioisik. Sektor pertanian mengalami penurunan produktivitas panen hortikultura dan peningkatan hama penyakit tanaman layu daun, layu akar, meningkatnya populasi ulat, munculnya jenis kumbang baru yang menyerang buah. Sektor kehutanan mengalami dampak tidak langsung. Penurunan produktivitas pertanian menyebabkan penduduk melakukan upaya ekstensiikasi, sehingga lahan hutan menjadi alternatif perubahan lahan untuk perladangan. Untuk aspek bioisik, curah hujan bertambah menyebabkan peningkatan kejadian longsor. Hujan yang tidak beraturan dan banjir memberikan dampak turunan berupa penurunan hasil pertanian Tabel 15 dan longsor. Hujan yang tidak beraturan memberikan dampak penurunan produksi pertanian sebesar 10 cabe rawit dan bawang merah hingga 80 kubis. Keadaan ini dengan sendirinya menurunkan penghasilan keluarga petani di tiga desa tersebut. Tabel 15. Dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrem terhadap penurunan produktivitas tanaman pertanian masyarakat di Kabupaten Solok Komoditi pertanian Penurunan produksi pertanian Desa Bukit Sileh Desa Air Batumbuk Desa Air Dingin Cabe rawit 50-60 20-50 10 Kentang 50-60 75 - Bawang merah 60-70 50 10 Cabe 50 - - Kubis 50-75 80 30 Tomat 50 25-50 Teh. 30-50 Sumber : Rochmayanto, Y. et al, 2013 72 • Kerentanan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan Akibat Perubahan Iklim dan Cuaca Ekstrem Dampak lain adalah longsor yang terjadi di desa Air Dingin, khususnya di dusun Koto Baru, yang merusak 10 rumah, masjid, 15 ha sawah, dan membawa korban 18 orang meninggal, 11 orang terluka, dan 60 keluarga diungsikan. Longsor juga ditemukan secara sporadik di kebun warga. Karakter banjir dan longsor yang terjadi ini menunjukkan adanya deforestasi di lahan2 yang miring yang dilakukan masyarakat untuk kegiatan pertanian. Mereka tidak menerapkan teknologi konservasi dalam bercocok tanam di lahan miring.

5.2.2 Adaptasi Masyarakat terhadap Perubahan Iklim

Adaptasi terhadap perubahan iklim di masyarakat bervariasi bentuknya. Bentuk adaptasi dapat berupa adaptasi isik pembuatan bak penampung air, teknologi tepat guna teknologi panen ikan tanpa mengeringkan tambak, perluasan lahan usaha pelebaran tambak udang, aplikasi sarpras pertanian herbisida, perstisida, insektisida, penyesuaian kegiatan dengan musim penanaman dilakukan saat ada tanda-tanda hari akan hujan, hingga beralih profesi misal dari petani menjadi pemandu wisata. Secara umum adaptasi dapat diklasiikasikan menjadi adaptasi yang sifatnya reaktif atau antisipatif, dilakukan secara individu ataupun kelompok, adaptasi spontan atau terencana Romero, 2005, dan dilakukan dengan ataupun tanpa bantuan pihak ke tiga. Di hilir khususnya daerah pesisir , terdapat perbedaan bentuk adaptasi masyarakat untuk mencukupkan penghasilan mereka. Di desa Mojo, Kabupaten Pemalang, masyarakat menerapkan adaptasi reaktif berupa peninggian pematang tambak, penanaman mangrove di pantai dan di sepanjang pematang tambak untuk memperkuat tambak agar terlindung atau tahan terhadap gempuran ombak. Masyarakat desa Mojo berhasil menghijaukan 397 ha mangrove 30,2 total mangrove di Kabupaten Pemalang pada tahun 2010. Bersama kelompok tani lainnya di pesisir utara Kabupaten Malang mereka berhasil menghijaukan 1.059 ha pantai utara dengan mangrove, meliputi pantai daerah pasang surut 82 ha dan areal pertambakan dengan pola wanamina seluas 977 ha. Mangrove selain berhasil mengurangi ganasnya gempuran ombak juga menjadi bufer bagi perekonomian masyarakat. Sintesis Penelitian Integratif Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim • 73