1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Belakangan ini sering muncul beberapa istilah-istilah baru dalam kalangan masyarakat kita. Salah satu istilah yang muncul dan sepertinya
sudah sering kali muncul adalah istilah lajang. Istilah tersebut digunakan sebagai sebutan untuk individu yang memilih untuk membujang, atau
individu yang tidak menikah, atau belum menikah, atau pernah menikah namun kemudian menjalani kehidupan sendiri karena proses perceraian atau
pasangannya meninggal dunia Bird, G. Melville, K., 1994. Adapula yang mengatakan bahwa individu yang belum menikah atau tidak pernah menikah
dalam ikatan lembaga perkawinan apapun, juga status janda atau duda, baik cerai ataupun ditinggal mati suami atau istrinya disebut sebagai lajang
Barkas, 2001. Dan secara khusus, lajang dibagi ke dalam 4 tipe yaitu tipe Ambivalent
yang merupakan tipe lajang karena keinginannya sendiri, tipe Wishfull
merupakan tipe yang melajang karena belum dapat pasangan, tipe Resolved
merupakan tipe yang melajang karena pilihan hidup untuk selamanya, dan tipe Regretful merupakan tipe yang melajang karena
menyerah pada nasibnya. Jadi jika ada seorang wanita yang memilih untuk membujang, atau tidak menikah, atau belum menikah, atau pernah menikah
kemudian bercerai atau ditinggal mati oleh suaminya, akan disebut sebagai wanita lajang Shostak, dalam Nurmala, 2006
2 Menjadi wanita lajang sepertinya adalah sebuah pilihan dari wanita itu
sendiri, dan pilihan itu ada karena ada berbagai macam alasan di dalamnya. Alasan-alasan tersebut salah satunya karena keinginan untuk meraih karier
yang lebih tinggi, trauma dengan hubungan sebelumnya, memiliki persepsi negatif mengenai bentuk fisiknya, atau bahkan karena lesbian yaitu mencintai
sesama wanita Hurlock 1991, dalam Meiyuntarini, Tatik, Dwi Sarwendah Pudji Astutiek. 2001.
Wanita yang masih atau memutuskan atau memilih untuk hidup melajang ini semakin hari semakin pesat saja peningkatannya Zainuddin,
1998. Bahkan belakangan ini, hidup melajang seolah menjadi trend baru di kalangan wanita karir dan di kalangan selebritis Lis, 2002. Keputusan
wanita lajang sepertinya semakin menarik perhatian masyarakat, perbincangan tidak hanya muncul di lingkungan masyarakat kita saja,
melainkan sudah masuk menjadi perbincangan di dalam media cetak dan media elektronik. Salah satunya terbukti dari sebuah majalah terbitan dari luar
Indonesia yang melakukan sebuah riset, riset ini dilakukan oleh majalah Asia Week edisi Juni tahun 1997 kemudian diangkat menjadi sebuah topik dalam
majalah Femina 20-26 November 1997, salah satu majalah wanita di Indonesia. Subjek dari riset tersebut adalah wanita yang berasal dari
Hongkong, Jepang, Korea, dan Philipina. Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa menikah bukan merupakan prioritas utama karena
menikah adalah sebuah pilihan bukan suatu keharusan. Bahkan salah satu subjek yang berasal dari Philipina berkata :
3
“Bagi saya pria adalah hadiah, seperti memenangkan undian. Dengan atau tanpa pria, saya sudah hidup puas.” Endang, 1997.
Dengan adanya salah satu pernyataan tersebut sepertinya bisa dikatakan hidup melajang itu bukan berarti hidup dengan rasa kesepian, karena hidup bahagia
tidak selalu berorientasi kepada pernikahan seperti yang dikatakan oleh Santrock 1995. Tetapi mereka masih bisa memiliki kebahagiaan dengan
karier, teman-teman, dan keluarganya. Di dalam kehidupan, individu memiliki tahap-tahap perkembangan
yang akan dijalani Santrock, 1995. Tahap-tahap perkembangan tersebut harus dijalani secara bertahap tanpa boleh ada yang terlewati. Ada beberapa
masa yang harus dilewati oleh setiap individu, yaitu masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Setiap masa-nya terdapat tahap-tahap perkembangan, dan
tahap-tahap perkembangan di setiap masa pun akan berbeda satu sama lain. Pada usia 18 atau 21 sampai 40 tahun, individu akan memasuki tahap
perkembangan yang dinamakan masa dewasa dini Santrock, 1995. Di masa ini, kita akan dihadapkan pada tugas-tugas perkembangan seperti mencari dan
menemukan calon pasangan hidup, belajar membina kehidupan rumah tangga bersama pasangannya, mulai hidup berkeluarga, belajar mengasuh anak-anak,
mengelola urusan rumah tangga, meniti karier dalam rangka memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga Havinghurst 1965, dalam Mappiare,
1997. Pada budaya tradisional yang menganggap bahwa pernikahan sebagai
suatu bagian penting dalam masyarakat, menjadi seorang yang belum atau tidak menikah akan menimbulkan dampak positif dan negatif. Apalagi jika
4 individu itu berjenis kelamin wanita, tentu akan menjadi sasaran kritik
masyarakat, dan biasanya akan muncul juga pembicaraan mengenai peran gender. Dimana wanita selalu dianggap sebagai individu yang identik dengan
ruang lingkup domestik, yaitu menjadi ibu rumah tangga dan mengurus rumah tangga Kartono, 1992. Bahkan saat ini sudah muncul sebuah ideologi
ibuisme, dengan asumsi awal bahwa bagaimanapun juga seorang wanita dipandang, ia takkan terlepas sepenuhnya dari peran dan fungsi sebagai istri
dan ibu Nurrachman, 1993. Terlebih di dalam masyarakat yang menggunakan paham patriarki
yaitu paham dimana laki-laki memegang kuasa atas peran penting dalam masyarakat, pemerintahan, pendidikan, industri, seperti di Indonesia Tukiran,
2001. Bisa dikatakan pada paham ini akan ada perbedaan dalam memandang pria dan wanita yang melajang. Terlihat dari kecenderungan masyarakat
Indonesia yang lebih memperhatikan wanita yang belum menikah daripada pria Prisanti, 1997. Walaupun sudah terdapat kemajuan pola berpikir
masyarakat seiring dengan meningkatnya pendidikan, tetap saja wanita lajang belum dapat diterima oleh masyarakat kita. Dan tampaknya masyarakat Timur
lebih bisa menerima wanita dewasa yang telah menikah daripada wanita yang lajang Wogner, 2002.
Wanita dewasa dini yang sudah menikah tentu tidak perlu merasa resah lagi oleh pertanyaan yang selalu dilontarkan oleh masyarakat saat
wanita sudah beranjak dewasa, yaitu pertanyaan ”Kapan akan menikah, nona?” , ”Sudah menikah, mbak?” , atau ”Apa kamu tidak bosan sendirian,
5 ingat kamu umur berapa?”. Wanita dewasa dini yang berstatus menikah ini
tentu memiliki opini tentang sesama jenisnya yang berada pada masa dewasa dini juga. Opini yang muncul pun berbeda setiap individunya, ada yang
mendukung dan ada juga yang tidak mendukung menjadi wanita lajang. Ada yang menuliskan dalam
http:www.sabda.orgpublikasie-konsel027 ,
opini yang berasal dari salah satu wanita ini adalah bahwa ia akan menerima para
wanita lajang, karena mereka juga memiliki nilai plus, yaitu memiliki waktu lebih banyak dan waktu lebih banyak untuk dicurahkan sesuai dengan
keinginannya. Seorang wanita yang sudah menikah selama 4 tahun, menuliskan opininya mengenai menikah atau tidak menikah dalam situs
Jawaban.com , dalam tulisannya ia mengatakan bahwa menikah tidak seperti
cerita Cinderlella, Putri Salju, maupun Putri Tidur yang menceritakan bahwa menikah adalah puncak dari sebuah kebahagiaan. Menurutnya pernikahan
adalah sebuah pintu awal, ada yang menjadikan pintu itu adalah awal menuju kebahagiaan, ada pula yang menjadikannya sebagai awal ketidakbahagiaan.
Ketidakbahagiaan muncul karena masih banyak tuntutan yang muncul dalam sebuah kehidupan pernikahan, dan tidak semua orang bisa melewatinya. Jadi
sebenarnya buat apa menikah, hanya mengubah nama panggilan saja dari Miss. menjadi Mrs. jika didalam kebudayaan Amerika. Oleh karena itu
kemudian ia berpendapat kembali bahwa sebenarnya wanita menikah dengan wanita lajang sama saja, hanya beberapa bagian berbeda saja, misalnya saat
menuliskan nama, setelah menikah beberapa menggunakan nama suami di belakang namanya, sedangkan lajang tidak Karina, 2004.
6 Di sini juga ada contoh yang tidak mendukung dengan fenomena
wanita lajang. Salah satunya muncul dari pasangan menikah bernama Greg Ethridge dan Shannon Ethridge mengeluarkan buku yang berjudul “Every
Woman’s Marriage”. Di dalam buku itu, kedua pasangan ini memberikan
sebuah pandangan bahwa sebuah pernikahan itu tidak selamanya berisikan kekerasan, keegoisan atau segala sesuatu berunsurkan ketidakbahagiaan yang
biasanya terjadi dalam kekerasan rumah tangga. Mereka bahkan memberikan beberapa tips untuk para suami-istri agar pernikahannya bisa bahagia
Elliott- CBN, 2001, dalam
http. www. Jawaban. com. Bisa dikatakan bahwa
Shannon Ethridge mendukung bahwa seorang wanita haruslah menikah, terlihat dari judul yang mereka ambil untuk salah satu bukunya. Shannon
sepertinya memberikan pandangan kepada para wanita agar tidak perlu takut dengan kehidupan menikah, dan mengajak wanita yang lajang untuk menikah
sesuai dengan tugas perkembangannya. Ibu dari seorang penulis terkenal Ayu Utami juga berpendapat bahwa seorang wanita itu harusnya menikah, karena
jika menikah maka tidak akan kesepian di hari tuanya Utami, 2005. Timbulnya pro dan kontra yang terjadi pada fenomena wanita lajang
ini membuat peneliti tertarik untuk mengangkat fenomena tersebut menjadi topik penelitian. Ketertarikan tersebut kemudian berkembang menjadi
keingintahuan peneliti untuk melihat bagaimana sikap wanita dewasa dini yang sudah menikah terhadap wanita lajang. Sikap yang muncul pun akan ada
dua macam, yaitu positif saat individu memandang objek psikologi positif dan negatif saat individu memandang objek psikologinya negatif. Jadi pada
7 penelitian ini, peneliti ingin melihat sikap wanita dewasa dini yang sudah
menikah khususnya, terhadap teman-temannya yang berada pada masa perkembangan yang sama, tetapi masih atau memilih untuk melajang.
B. Rumusan Masalah