Fasilitas Olahraga Penyandang Tunanetra Bandung

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Semua manusia dilahirkan "sama" dan memiliki hak sama pula menjalankan dan menikmati hidup. Dalam kehidupan nyata yang dinamis, pemenuhan hak tersebut menyebabkan setiap orang tanpa terkecuali membutuhkan informasi dari dan tentang lingkungannya untuk melakukan aktivitasnya dengan baik.

Informasi lingkungan diartikan Passini (1984) sebagai semua informasi penting meliputi komponen deskriptif, lokasional, dan waktu, yang memungkinkan seseorang menyelesaikan tugas pencarian jalan. Namun, informasi lingkungan ini akan bermanfaat jika ia bisa dimengerti, diorganisasi, dan diingat. Untuk mencapai ketiga syarat tersebut, media penyampai informasi menjadi alat sangat penting.

Indera penglihatan adalah salah satu sumber informasi vital bagi manusia. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar informasi yang diperoleh oleh manusia berasal dari indera penglihatannya, sedangkan selebihnya berasal dari panca indera yang lain. Dengan demikian, dapat dipahami jika seseorang mengalami gangguan atau cacat pada indera penglihatannya , maka kemampuan aktifitasnya akan menjadi sangat terbatas, karena informasi yang mereka peroleh akan jauh berkurang dibandingkan mereka yang berpenglihatan normal. Tak jarang akibat keterbatasan itu dapat mengakibatkan timbulnya berbagai kendala secara psikologis, misalnya perasaan yang lebih sensitif, perasaan inferior (rendah diri), depresi, atau perasaan hilangnya makna hidup

Tercatat 1,5 % penduduk Indonesia mengalami kebutaan, sehingga diperlukan suatu komunitas khusus untuk penyandang


(2)

tunanetra, karena di dalam komunitas tersebut, dapat terjalin ikatan yang kuat, dengan saling mendukung dan dapat juga berkompetisi dengan komunitas mereka tanpa merasa lebih rendah atau suatu perasaan tidak seimbang. Mental mereka akan semakin kuat dengan tidak lagi dianggap remeh oleh orang disekelilingnya, dan dianggap memiliki kelebihan dan kemampuan untuk dapat membuktikan diri mereka.

Terkait dengan pandangan negatif terhadap para penyandang tunanetra, bahwa mereka selalu membutuhkan bantuan dan tidak dapat mandiri, memerlukan perlakuan khusus, dan perhatian yang lebih. Maka sangat penting untuk mengubah imej tersebut. Di Indonesia, kita cenderung masih memperlakukan orang buta sebagai orang yang tidak mampu, sedangkan di Negara lain, seperti Malaysia, yang memiliki suatu kawasan khusus bagi penyandang tunanetra, membuktikan bahwa para penyandang tunanetra pun dapat hidup mandiri dan melakukan apa yang mereka inginkan tanpa bantuan orang lain.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud perancangan fasilitas ini adalah mendesain sebuah pusat olahraga bagi tunanetra, dengan cara berkomunikasi antar ruang secara fisik dan psikis terhadap tuna netra. Dan lengkapnya sebagai berikut :

 Merancang fasilitas olah raga dengan memperhatikan keterkaitan antara fasilitas yang di sediakan. Merancang sirkulasi dan aksesbilitas bagi para penyandang tunanetra agar mudah mencapai ruangan yang dituju.  Merancang tata ruang, struktur, muka bangunan dan

penataan tapak sesuai dengan kebutuhan dan fasilitas yang disediakan.

 Merencanakan fasilitas yang mampu membantu para penyandang tunanetra dalam proses kegiatan olah raga


(3)

 Merencanakan fasilitas utama pusat olah raga bagi penyandang tunanetra, seperti : olahraga indoor,(tenis meja, fitnes center, voli lantai, renang, goalball), sepak bola outdoor.

 Merencanakan fasilitas Pendukung Fasilitas Olahraga Penyandang Tunanetra Bandung berupa, cafetaria, mushola, ruang pengelola dan ruang servis.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari perancangan Fasilitas Olahraga Tunanetra ini adalah :

a. Menyediakan fasilitas olahraga yang memadai secara fisik maupun psikologis untuk penyandang tunanetra sehingga mereka dapat menikmati olahraga dan rekreasi yang setara dengan mereka yang normal.

b. Meningkatkan kualitas kesehatan kaum tunanetra dan cacat c. Menyediakan suatu tempat dimana kaum tunanetra dapat

bertemu, bersosialisasi dan berkompetisi secara positif

d. Membuka kesempatan bagi masyarakat umum yang ingin membantu mereka yang memiliki keterbatasan.

1.3. Masalah Perancangan

Di dalam proses perencanaan dan perancangan pasti terdapat masalah-masalah yang harus kita selesaikan jalan keluarnya melalui rancangan arsitektural, Masalah rancangan tersebut dapat di artikan sebagai berikut :

 Aksesbilitas bagi penyandang tunanetra.

 Pengunaan material khusus pada bangunan atau pun jalur –jalur khusus untuk penyandang penyandang tunanetra.

 Upaya pemahaman dan pendalaman syarat, standarisasi dan kebutuhan ruang untuk penyandang tunanetra .


(4)

 Kekhasan perilaku penyandang tunanetra sehingga memerlukan perlkuan yang khusus pula.

 Pengolahan ruang luar yang dapat memfasilitasi aksebilitas dan sirkulasi penyandang tunanetra.

1.4. Pendekatan Masalah

Proses perancangan dimulai dari pola pemikiran dan program, dari hasil studi literatur dengan mencari standar peraturan khusus maupun standar peraturan yang sifatnya umum. Beberapa pendekatan masalah, selama proses perencanaan dan perancangan

Fasilitas Olahraga Penyandang Tunanetra Bandung , semua dihubungkan dengan proses awal pada tahap perancangan berupa;

Studi Literatur

Mencari data otentik atau informasi standarisasi yang berhubungan dengan proyek kasus yang sama, sebagai bahan pertimbangan dalam desain perancangan.

Survey Pengamatan Secara Langsung

Mencari studi banding dengan kasus proyek yang sama dengan cara pengamatan langsung baik secara aktivitas pengguna, fasilitas-fasilitas baik penunjang ataupun pendukung, pengambilan foto yang dapat menjadikan konsep dalam perencanaan desain.

Pendekatan Bangunan Secara Prilaku

Pengamatan dengan kurun waktu yang berbeda. Mengamati pola aktivitas pengguna, tentang bagaimana perilaku penyandang tunanetra melakukan olahraga.  Wawancara


(5)

Yaitu suatu cara untuk mendapatkan informasi yang di butuhkan dengan melakukan tanya jawab secara langsung dengan penyandang tunanetra, pihak yang mengetahui seluk beluk dari proyek ini baik secara perilaku maupun secara kearsitekan.

Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul dari hasil survey, literatur, dan pendekatan secara prilaku di jadikan acuan dalam rencana desain. Diperlukan adanya analisa untuk menghasilkan ide atau gagasan yang akan diterapkan dalam desain. Mencari permasalahan yang kongkrit dan nyata baik dalam lingkungan sekitar site ataupun dalam perancangan desain. Memilah dan memilih hasil pengolahan data untuk di jadikan bahan pertimbangan desain.

Proses Desain

Penjabaran dari hasil secara visual atau pun grafis yang di tuangkan dalam konsep desain yaitu sketsa gambar, pra rencana, gubahan massa, sampai proses akhir.

Hasil dari pendekatan ini sebenarnya dapat terlihat pada adanya referensi dalam mengambil keputusan-keputusan yang berkaitan dengan solusi-solusi rancangan yang di gabungkan menjadi satu tujuan dari hasil kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan yang kemudian hadir menjadi batasan dalam merancang.

1.5 Lingkup atau Batasan

Adapun lingkup perancangan dalam Fasilitas Olahraga Penyandang Tunanetra Bandung ini adalah;


(6)

 Membuat sarana olahraga bagi penyandang tunanetra beserta fasilitasnya sebagai rancangan utamanya.

 Luasan rancangan sekitar 1,7 Ha.

 Fasilitas olah raga ruang dalam.

 Fasilitas olah raga ruang luar.

 Pendukung.

 Ruang luar.

1.6. Kerangka Berpikir

Latar Belakang

Studi Literatur

 Jenis olahraga tunanetra

 Regulasi Olahraga

 Standar ruang gerak

tunanetratunanet

Studi Kasus

 Pola perilaku tunanetra

 Karakteristi

Studi Lokasi

 Identifikasi existing

 Studi kelayakan lokasi

 Analisa tapak

Pengumpula Data Analisa

Gagasan

Tema Konsep Perancangan Perancangan Tapak


(7)

1.7. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan laporan Studio Tugas Akhir Akhir ini, Penulis membagi pembahasan dalam beberepa bab, yaitu ;

BAB I PENDAHULUAN.

Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang proyek yang dipilih, maksud dan tujuan perencanaan dan perancangan yang ingin dicapai, masalah-masalah yang menyangkut kasus yang diambil, lingkup dan batasan serta penekanannya dalam proyek ini, diakhiri dengan skema pemikiran yang menjadi dasar dari pelaksanaan perencanaan dan perancangan ini.

BAB II DESKRIPSI PROYEK.

Bab ini membahas mengenai pengenalan dari proyek yang diambil, mencakup lokasi, luas tapak, pemilik, luas bangunan, tinggi bangunan, pemakai dan fasilitas-fasilitasnya, serta program-program kegiatannya dan kebutuhan ruang yang akan dipakai dalam rancangan.

BAB III ELABORASI TEMA.

Berisi mengenai pendalaman terhadap tema yang akan di ambil dalam desain Fasilitas Olahraga Penyandang Tunanetra di Bandung.

Desain


(8)

BAB IV ANALISIS.

Disini dibahas tentang analisa proyek sebelum melakukan perencanaan dan perancangan, seperti : analisa fungsi yang meliputi analisa kegiatan dan aktifitasnya, persyaratan ruang, besaran ruang dan pengelompokkan ruang yang di gunakan, kemudian analisa terhadap tapak meliputi ; analisa lahan sekitar, analisa sirkulasi di dalam dan luar bangunan, dan analisa pengelompokkan massa bangunan.

BAB V KONSEP PERANCANGAN

Pada bab ini berisi tentang konsep dasar dalam perancangan, rencana tapak yang akan di terapkan, dan konsep bangunan yang mencakup konsep bentuk, fungsi sirkulasi, struktur konstruksi, material, utilitas dan penyelesaian ruang luar / lansekap.

BAB VI HASIL RANCANGAN.

Berisi tentang hasil rancangan yang terdiri dari peta situasi,gambar-gambar hasil rancangan beserta foto maket.


(9)

BAB II

DESKRIPSI PROYEK

2.1 Deskripsi Umum Proyek

Dalam proyek Studio Tugas Akhir ini memiliki deskripsi umum sebagai berikut :

 Nama Proyek : Fasilitas Olahraga Penyandang Tunanetra Bandung

 Status Proyek : Fiktif

 Lokasi Proyek : Jl. Pajajaran,

 Kondisi Lahan : Relatif Datar

 Luas Lahan : ± 1,5 Ha

 Batasan Lahan :

- Sebelah Utara, Jl. Pajajaran

- Sebelah Selatan, Pemukiman Penduduk - Sebelah Timur, GOR Pajajaran


(10)

- Sebelah Barat, Jl. Mochamad Yunus

 G S B : 15 m

 K D B/ B C R : 50-60%

 K L B/ F A R : 1,2

Gambar 2.1 Lokasi Site

Lokasi yang dipilih berada di Kecamatan Cicendo, tepatnya di Jalan Pajajaran. Dimana peruntukan lahan daerah tersebut adalah fasilitas pendidikkan dan kesehatan.

Alasan pemilihan lokasi adalah karena proyek yang dibangun adalah sebagai pelengkap dari fasilitas olahraga umum yang ada di


(11)

Komplek GOR Pajajaran. Selain itu, lokasi juga berada dekat dengan Panti Sosial Tunanetra Wyata Guna. Dimana panti tersebut merupakan komunitas penyandang tunanetra, sehingga fasilitas yang akan dibangun dapat mengakomodasi kegiatan olahraga kaum tunanetra.

2.2 Program Kegiatan

Program aktivitas di bagi atas beberapa kriteria sesuai dengan klasifikasi pengguna, pengunjung atau pengelola dan karyawan

Fasilitas Olahraga Tunanetra. Selain itu, program aktivitas juga dibedakan atas jenis fasilitas olahraga yang disediakan. Berikut perincian akitivitas pengunjung di mana setiap aktivitas terdapat wadah atau ruang yang menampung kegiatan tersebut, terdiri dari aktivitas.

1 Program Kegiatan Pengunjung Tunanetra (Visual Impairment)

1 Indoor

Tenis Meja

Aktivitas Kebutuhan Ruang

Datang

Menyimpan Barang Ganti Pakaian

Melakukan Olahraga (tenis meja)

Istirahat

Makan,minum MCK

Menonton

Entrance/parkir Locker

Ruang Ganti

Lapangan Tenis Meja Ruang Bersama Kantin

KM/WC

Area Penonton Tabel 2.1 Program Aktivitas Olahraga Tenis Meja


(12)

Aktivitas Kebutuhan Ruang

Datang

Menyimpan Barang Ganti Pakaian

Melakukan Olahraga (Voli Lantai) Istirahat MCK Makan, minum Menonton Entrance/parkir Locker Ruang Ganti

Lapangan Voli Lantai Ruang Bersama KM/WC

Kantin

Area Penonton Tabel 2.2 Program Aktivitas Olahraga Voli Lantai

Angkat Berat

Aktivitas Kebutuhan Ruang

Datang Menyimpan Barang Ganti Pakaian Melakukan Olahraga/Latihan Istirahat MCK Makan, minum Entrance/parkir Locker Ruang Ganti Fitnes Centre Ruang Bersama KM/WC Kantin

Tabel 2.3 Program Aktivitas Olahraga Angkat Berat

Renang

Aktivitas Kebutuhan Ruang

Datang Menyimpan Barang Ganti Pakaian Melakukan Olahraga (Renang) MCK Makan, minum Menonton Entrance/parkir Locker Ruang Ganti Kolam Renang KM/WC Kantin Area Penonton Tabel 2.4 Program Aktivitas Olahraga Renang


(13)

Catur

Aktivitas Kebutuhan Ruang

Datang Main Catur Istirahat

Makan & Minum MCK Entrance/parkir Ruangan Catur Ruang Bersama Kantin KM/WC Tabel 2.5 Program Aktivitas Olahraga Catur

Goalball

Aktivitas Kebutuhan Ruang

Datang Menyimpan Barang Ganti Pakaian Melakukan Olahraga (Goalball) Istirahat MCK Makan, minum Menonton Entrance/parkir Locker Ruang Ganti Lapangan Goalball Ruang bersama KM/WC Kantin Area Penonton Tabel 2.6 Program Aktivitas Olahraga Goalball

2 Olahraga Outdoor

Aktivitas Kebutuhan Ruang

Datang

Menyimpan Barang Ganti Pakaian

Melakukan Olahraga (Sepak Bola)

Istirahat

Makan & Minum MCK Entrance/parkir Locker Ruang Ganti Lapangan outdoor Ruang Bersama Kantin KM/WC Tabel 2.7 Program Aktivitas Olahraga Sepakbola


(14)

3 Program Aktivitas Pengelola

Aktivitas Kebutuhuan Ruang

Datang Kerja Istirahat Makan

Parkir, Lobby

Ruang Kerja Pengelola Ruang Bersama

Kantin Tabel 2.8 Program Aktivitas Pengelola

4 Program Aktivitas Pelatih

Aktivitas Kebutuhuan Ruang

Datang Menyimpan Barang Ganti Baju Pemanasan Olahraga/Melatih Makan Istirahat Menunggu Parkir Locker Ruang Ganti Ditempat Olahraga Langsung Kolam Renang/GOR Lapang Terbuka Kantin Ruang Bersama Lobi,Ruang Tunggu KM/WC

Tabel 2.9 Program Aktivitas Pelatih

5 Program Aktivitas Pegawai

Aktivitas Kebutuhuan Ruang

Parkir Ruang Penerima Kerja Pegawai Parkir Kantor Lobby Ruang Locker Ruang Administrasi Ruang P3K Ruang Keamanan


(15)

Menunggu Makan

Dapur

Ruang Tunggu Kantin

Tabel 2.10 Program Aktivitas Pegawai

6 Program Aktivitas Tamu atau Pengunjung Lainnya Aktivitas Kebutuhuan Ruang

Parkir Ruang Penerima Olah Raga Menunggu Menonton Parkir Ruang Pengelola Fasilitas olahraga Ruang Tunggu Area Penonton Tabel 2.11 Program aktifitas tamu atau pengunjung lainya

2.3. Kebutuhan Ruang 2.3.1. Fasilitas Utama

No Nama Ruang Standart Kapasitas

1.

2.

3.

GOR Utama (Goalball)

- Lap goalball - Tempat penonton - Locker

- Ruang ganti

- WC/KM

Voli Lantai

- Lapang voli - Tempat penonton - Locker

- Ruang ganti

- WC/KM

Angkat Berat

- Fitnes center - Locker

- Ruang ganti

IBSA IBSA NAD NAD NAD BPOC NAD NAD NAD NAD IBSA NAD NAD

1 bh lap goalball ± 600 orang

1 bh lapang voli ± 120 orang


(16)

4.

5.

6.

- WC/KM

Ruang Catur

- Meja Catur - locker

- WC/KM

Tenis Meja

- Lap Tenis Meja - Tempat penonton - Locker

- Ruang ganti

- WC/KM

Kolam Renang

- Kolam renang - Area Penonton - Ruang Ganti - Locker

- Ruang shower

- WC/KM

- R. Mesin - R. P3K

NAD IBSA NAD NAD BPOC NAD NAD NAD NAD IBSA NAD NAD NAD NAD NAD 12 pasang

3 bh lap tenis meja ± 100 orang

1 bh kolam renang ± 200 orang

Tabel 2.12 Kebutuhan Ruang Fasilitas Utama

2.3.2. Fasilitas Penunjang  Kantor Pengelola  Kantin

 Ruang Sosial  Ruang Bersama  Mushola

 Dapur  Gudang  Ruang Alat


(17)

 Ruang Ganti  Ruang Kontrol  Toilet

 Parkir  Servis

2.4. Studi Banding Proyek Sejenis 1.British Blind Sport

Kegiatan Olahraga :

 Footbal

Traditional ‘footie’ embrace as WES boys score Yes more girls!

Despite the NPower ‘tag rugby’ the girls are playing football!

Silence as the B1 boys listen to the ball


(18)

 Chess

Braille Chess Blind Chess Olympiad Spain 2004

World Junior Championship GB Squad

Spain 2003 Stormin Norman’ in action Gambar 2.3 Catur Tunanetra

 Goalball


(19)

Ball of Goalball Men’s team listening for the ball

Gambar 2.4 Goalball  Swimming

On your marks, get set go

Gambar 2.5 Renang  Archery


(20)

(21)

BAB III

ELABORASI TEMA

3.1 Pengertian Tema

Tema yang diambil pada perancangan proyek ini adalah braille filosofi. Braille adalah sejenis sistem tulisan sentuh yang digunakan oleh orang buta. Sistem Braille merupakan sistem yang berdasar pada metode berkomunikasi yang dikembangkan oleh Charles Barbier untuk merespon permintaan Napoleon untuk membuat kode yang dapat dimengerti tentara untuk berkomunikasi secara diam-diam dan dapat digunakan pada malam hari sehingga disebut night writing. Sistem tersebut ternyata terlalu kompleks untuk dipelajari tentara dan ditolak oleh militer. Pada tahun 1821 Charles Barbier mendatangi National Institute for the Blind di Paris Francis. Di lembaga ini dia bertemu dengan Louis Braille. Braille mengidentifikasi kesalahan fatal pada kode ini dan melakukan modifikasi dengan menggunakan sebuah blok dengan 6 buah titik yang kemudian lebih dikenal dengan sistem Braille . Pada referensi dijelaskan Braille merupakan tulisan timbul yang dibuat sesuai dengan pola 6 titik, dimana dapat dikenali dengan meraba tulisantersebut sesuai dengan bentuknya. Huruf-huruf braille disusun berdasarkan pola enam titik timbul dengan posisi tiga titik vertikal dan dua titik horizontal (seperti pola kartu domino). Titik-titik tersebut dikenal juga dengan ”Braille Cell” atau 3- by-2 (terdiri dari 3 baris dan 2 kolom). Dari kombinasi keenam titik itu akan tersusun berbagai karakter yang diinginkan. Setiap titik yang ada pada cell dapat aktif (timbul/terisi) ataupun tidak aktif


(22)

(datar/kosong). Titik-titik tersebut diberi nomor tetap 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 pada posisi sebagai berikut :

Gambar 3.1 Sistem Penulisan Braille

Teknik membaca naskah braille dimulai dari atas ke bawah dan kiri ke kanan (sama seperti membaca naskah biasa). Sebuah naskah braille dapat di tulis di kedua sisinya (bagian depan dan belakang). Naskah yang hanya memiliki satu sisi saja disebut single-sided, sedangkan yang memiliki kedua-duanya disebut double-sided. Penggunaan double-sided di lakukan untuk menghemat biaya kertas dan materi. Ukuran kertas yang digunakan pun berbeda-beda, diantaranya : 12 x 10" atau 30.5 x 25 cm , 11 x 11.5" , 12"15/250/15 atau 30.5 x 25 cm ataupun menggunakan standar A4 ( 8,27” x 11,69" ).

Standarisasi Braille

Standarisasi braille yang digunakan di setiap negara berbeda-beda. Ada yang menggunakan kombinasi 6 titik dan ada juga yang menggunakan 8 titik.


(23)

Ada berbagai macam alat yang dapat digunakan untuk menulis Huruf Braille diantaranya reglet, mesin tik braille dan embosser. Cara yang paling sederhana dalam menulis tulisan braille adalah dengan menggunakan reglet. Reglet terdiri dari sebuah jarum (stylus) untuk membuat titik timbul braille pada kertas dan sebuah penggaris cetak (slate) yang terdiri dari pola-pola titik Braille sebagai cetakan untuk menulis, seperti yang terlihat pada gambar dan gambar di bawah ini Menulis menggunakan reglet dilakukan dari kanan ke kiri, karena ketikapenulis titik timbul berada pada arah yang berlawanan. Sehingga jika kertasdibalik, huruf braille yang tercetak dapat dibaca dari kiri ke kanan.

3.2 Interpretasi Tema

Dari filosofi huruf braille, dapat diambil sebuah prinsip bahwa rancangan ini mampu dibaca oleh mereka yang memiliki keterbatasan visual. Dengan memanfaatkan sisa indera yang penyandang tunanetra miliki, mereka mampu mngenali dan berorientasi terhadap lingkungannya. Melalui elemen penanda yang mampu dikenali oleh mereka , rancangan ini diharapkan mampu dibaca dengan baik oleh mereka tanpa harus melihatnya. Namun demikian, ada beberapa tingkatan kemampuan visualisasi tunanetra, sehingga akan ada perbedaan perilaku pada aktivitas mereka.

Penyandang tunanetra memiliki beberapa tingkat keterbatasan penglihatan yang berbeda-beda. Dari hasil studi literatur menurut buku Ortopedagogik Tunanetra dan melalui Internet didapat karakteristik tunanetra yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat cacat visual yang dideritanya. Berikut ini perilaku/ karakteristik tunanetra menurut tingkat cacat visualnya.


(24)

3.1.1. Karakteristik Tunanetra Total a. Rasa curiga terhadap orang lain

Keterbatasan akan rangsang visual menyebabkan tunanetra kurang mampu berorientasi terhadap lingkungannya. Mereka sering mengalami sakit hati, kecewa, dan rasa tidak senang akibat peristiwa seperti tabrakan dengan orang lain, terperosok lubang,dsb. Akibatnya mereka selalu berhati-hati dalam tindakan dan menaruh curiga terhadap orang lain.

b. Mudah tersinggung

c. Ketergantungan yang berlebihan terhadap orang lain d. Blindism

Blindism adalah gerakan yang dilakukan tunanetra tanpa mereka sadari. Tindakan ini tidak sedap dipandang mata, seperti selalu menggeleng¬gelengkan kepala atau badan tanpa sebab, dll. Gerakan ini tak terkontrol oleh mereka sehingga orang lain akan pusing bila selalu melihat gerakan-gerakan tersebut.

e. Rasa rendah diri. Perasaan yang muncul saat berinteraksi dengan orang awas (berdasarkan hasil wawancara):

Merasa rendah, terisolir atau tersisih. Mereka sudah mencoba berbicara dengan orang awas, tetapi orang awas sulit diajak bicara. Merasa terisolir, jarang orang awas mau berbicara dengan tunanetra, jarang mau menyapa lebih dahulu.

Merasa mencoba beradaptasi dengan kegiatan lingkunaan, tetapi masyarakat tidak dapat menerimanya. Merasa sering diejek. mendapat belas kasihan.

f. Tangan ke depan, badan membungkuk

Bermaksud untuk melindungi tubuh dari sentuhan benda atau terantuk benda tajam

g. Suka melamun

Karena tidak dapat mengamati lingkungan, mereka cenderung melamun.


(25)

Lamunan akan menimbulkan fantasi pada suatu objek yang pernah diperhatikan dengan rabaannya.Tidak jarang dapat menghasilkan lagu atau puisi yang indah.

i. Kritis

Keterbatasan dalam penglihatannya dan kekuatan berfantasi mengakibatkan tunanetra sering bertanya-tanya tentang hal yang belum dimengerti agar mereka tidak salah konsep

j. Pemberani

Bertindak sungguh-sungguh tanpa ragu. Sering terjadi bila mereka mempunyai konsep dasar yang benar tentang gerak dan lingkungannya.

k. Perhatian terpusat (terkonsentrasi)

l. Akibat dari kebutaannya, penderita pada umumnya memiliki kepekaan yang sangat tinggi pada pendengarannya dan seringkali dijumpai mereka yang memiliki ingatan luar biasa kuat untuk mengenali dan menghafal orang, benda, lingkungan yang pernah dijumpainya. Hal ini karena indera mereka yang lain menjadi lebih terlatih

m. Karena dapat dikatakan tidak memiliki indera penglihatan, kaum ini biasanya kurang memperhatikan penampilan

n. Penderita dalam usia anak-anak, terutama yang belum mampu mandiri masih menggantungkan diri pada bantuan orang lain pada umumnya bersifat sensitif, menutup dan menginginkan ruangan personal yang pribadi.

o. Penderita yang sudah lebih dewasa dan telah mampu mandiri pada umumnya masih cukup sensitif dengan orang lain. Namun bersikap lebih terbuka. mudah berinteraksi, ramah, dan menyukai ruang luar daripada ruang dalam yang tertutup. 3.2.3. Karakteristik Tunanetra Kurang Lihat (Partially Sighted)

a. Selalu mencoba mengadakan fixation atau melihat suatu benda dengan memfokuskan pada titik-titik benda.


(26)

b. Menanggapi rangsang cahaya yang datang padanya, terutama benda yang kena sinar, disebut visually function

c. Bergerak dengan penuh percaya diri

d. Merespon warna, selalu memberi komentar pada warna benda yang dilihatnya.

e. Dapat menghindari rintangan yang besar dengan sisa penglihatannya (selokan, batu besar, tumpukan kayu, penghalang jalan, dll)

f. Memiringkan kepala untuk mencoba menyesuaikan cahaya yang ada dengan daya lihatnya.

g. Mampu mengikuti gerak benda h. Tertarik pada benda bergerak

Berjalan sering membentur atau menginjak benda kecil

i. Berjalan dengan menggeser kaki untuk mendeteksi kemungkinan ada benda kecil yang terinjak.

j. Salah langkah karena salah mendeteksi lingkungan. Mis : dinding kaca di Mal dikira jalan keluar sehingga salah arah. k. Kesulitan mengenali benda jika warnanya tidak kontras.

l. Sulit melakukan gerakan yang halus atau lembut. karena gerakan semacam itu tak tertangkap oleh matanya

m. Melihat benda secara global (tidak mendetail)

n. Koordinasi antara mata dan anggota badan lemah. (misal : sulit memasukkan bola ke dalam gawang, mengiris sesuatu) o. Kondisi penglihatannya mungkin samar-samar atau

ketajamannya sering naik turun

p. Petunjuk penting yang berguna bagi low vision akan nampak membingungkan bagi yang melihat atau orang awas

q. Sering tidak mampu mengontrol cahaya yang dibutuhkan untuk menggunakan penglihatannya dalam berbagai lingkungan.

r. Mereka belajar menggunakan sisa penglihatnnya secara maksimum


(27)

s. Dapat melihat dengan bantuan alat khusus seperti : kacamata dan lensa kontak, teleskop kecil yang dipegang, kaca pembesar, prisma dan lens fish eye, fixed focus stand readers, dan closed circuit TV system.

Dari perilaku karakteristik tunanetra tersebut diatas dapat disimpulkan kebutuhan mereka secara arsitektural sehingga dapat diperoleh respon arsitektural yang sesuai.

Pendekatan Perancangan adalah sudut pandang seseorang dalam mencoba memecahkan masalah perancangan.

Yang dilayani adalah para tunanetra, maka arsitektur bangunan sebagai ‘budak’ tunanetra. Memenuhi kebutuhan tunanetra akan ruang, informasi dan sosialisasi yang dapat dinikmati sekalipun dalam keterbatasan visual.

Dalam Perancangan fasilitas olahraga tunanetra ini. masalah dicoba untuk diselesaikan melalui desain bangunan yang memperhatikan perilaku / karakteristik para tunanetra dengan sisa indera yang mereka miliki, sehingga didapat alternatif desain yang dapat memfasilitasi mereka.

Dari studi perilaku, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Tunanetra  memiliki keterbatasan VISUAL b. Kurang/ tidak mampu berorientasi secara visual

c. Berorientasi dengan bantuan indera-indera lain (pendengar, peraba, pencium, perasa)

d. Melakukan proses kognitif (menyusun suatu pola) sebagai respon dari rangsang yang diterima indera

e. Melakukan proses : skema, akomodasi dan ekuilibrasi f. Berorientasi dengan bantuan suatu pola sirkulasi


(28)

Sirkulasi mudah dikenal dan dihafal tunanetra adalah sirkulasi yang teratur dan sederhana. Semakin sederhana dan teraturnya suatu wujud semakin mudah diterima dan dimengerti (FDK.CHING).

BAB IV

ANALISIS

4.1. Analisis Fungsional

4.1.1. Organisasi Ruang

Dari program aktivitas yang telah dibahas terdahulu, diperoleh kebutuhan ruang yang akan mewadahi aktivitas tersebut. Masin-masing dari ruang tersebut memiliki hubungan yang dinamis sehingga menghasilkan pola aktivitas yang dinamis. Ruang-ruang tersebut diatur berdasarkan intensitas hubungan masing-masing fungís yang diwadahi.

Kebutuhan ruang dan fasilitas a. Kelompok fungsi pengelola

Kelompok ini terdiri dari kelompok fungsi yang menangani urusan administrasi dan penerimaan. Letak berdekatan dengan entrance utama menuju fasilitas untuk mempermudah proses pengawasan


(29)

dan pendaftaran para pengguna, terutama bagi mereka yang baru perama kali datang ke fasilitas ini. - Ruang administrasi

- Ruang staf

- Ruang kepala pengurus - Ruang rapat

- Ruang penjaga - Ruang P3K - Loby penerima - Pantry

b. Kelompok Fungsi Olahraga

Semua fasilitas yang berhubungan dengan kegiatan olahraga.

- Ruang catur - Ruang fitness - Ruang Tenis Meja - Ruang voli lantai - Ruang kolam renang - Ruang Goalball

- Area sepakbola outdoor

c. Kelompok fungsi fasilitas sosial

Ruang yang memungkinkan terjadinya interaksi social antar pengguna.

- Mushola - Kantin

- Ruang rehat

d. Kelompok fungsi penunjang

Dalam kelompok ini, terdiri dari ruang ganti, loker, kamar mandi, ruang mekanikal dan elektrikal serta gudang. Ruang ganti dan kamar mandi yang ada di fasilitas ini dikelompokkan dalam satu area untuk memudahkan pencapaian dan fleksibilitas pengguna ruangnya. Sedangkan gudang disebar dan


(30)

disesuaikan besarnya dengan kebutuhan masing-masing ruang yang membutuhkannya dan peralatan yang dimiliki.

4.1.2. Pemintakatan

Konsep pemintakatan diambil berdasarkan klasifikasi fungsi. Fungsi-fungsi yang ada dikelompokan atas kelompok fungsi penerima, kelompok fungsi pengelola, kelompok fungsi olahraga, kelompok fungsi sosial, kelompok fungsi pendukung, dan kelompok fungsi service.

Kelompok fungsi tersebut kemudian dikelompokkan lagi menurut tingkat kebisingan. Fungsi yang tidak memerlukan respon bunyi diletakkan pada area dengan tingkat kebisingan relatif tinggi. Dan sebaliknya, untuk fungsi yang memerlukan respon suara pada aktivitasnya diletakkan di area dengan tingkat kebisingan rendah.

4.1.3. Persyaratan Teknis

a) Peraturan Menteri PU Nomor 30/PRT/M/2006 Di dalam Peraturan Menteri PU tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan diatur tentang aksesibilitas yang harus dipenuhi dalam setiap bangunan atau lingkungan umum.

Pedoman teknis ini dimaksudkan untuk memberikan acuan bagi kegiatan pembangunan, yang meliputi perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi serta pemanfaatan bangunan gedung dan lingkungan yang aksesibel bagi semua orang dengan mengutamakan semua orang termasuk penyandang cacat dan lansia.


(31)

Tujuan dari penyusunan pedoman teknis ini adalah untuk mewujudkan kesamaan, kesetaraan, kedudukan dan hak kewajiban serta peningkatan peran penyandang cacat dan lansia diperlukan sarana dan upaya yang memadai, terpadu/inklusif dan berkesinambungan yang pada akhirnya dapat mencapai kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat dan lansia. Setiap fasilitas umum harus memenuhi asas berikut ini :

Asas Fasilitas dan Aksesibilitas

1. Keselamatan, yaitu setiap bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan terbangun, harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang.

2. Kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.

3. Kegunaan, yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.

4. Kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.

Stándar Teknis Aksesibilitas Tunanetra 1. Ukuran Dasar Ruang

Ukuran dasar ruang tiga dimensi (panjang, lebar, tinggi) mengacu kepada ukuran tubuh manusia dewasa, peralatan yang digunakan,


(32)

dan ruang yang dibutuhkan untuk mewadahi pergerakan penggunanya.

Persyaratan

a. Ukuran dasar ruang diterapkan dengan mempertimbangkan fungsi bangunangedung. b. Untuk bangunan gedung yang digunakan oleh

masyarakat umum secara sekaligus, harus menggunakan ukuran dasar maksimum.

c. Ukuran dasar minimum harus menjadi acuan minimal pada bangunan gedung sederhana, bangunan gedung hunian tunggal, dan/atau pada bangunan gedung sederhana pada daerah bencana.

d. Ukuran dasar minimum dan maksimum yang digunakan dalam pedoman ini dapat ditambah atau dikurangi sepanjang asas-asas aksesibilitas dapat tercapai.

Gambar 4.1 Jangkauan tanpa tongkat

MIGIE NASEPUL QURBANI |10403022 3 2


(33)

2. Jalur Pedestrian

Gambar 4.3 Prinsip Perencanaan Jalur Pedestrian 3. Rambu

Gambar 4.4 Penempatan Pohon, rambu dan street furniture


(34)

Gambar 4.5 Stándar Bangku Istirahat

5. Jalur Pemandu

Jalur yang memandu penyandang cacat untuk berjalan dengan memanfaatkan tekstur ubin pengarah dan ubin peringatan.

Persyaratan

a. Tekstur ubin pengarah bermotif garis-garis menunjukkan arah perjalanan.

b. Tekstur ubin peringatan (bulat) memberi peringatan terhadap adanya perubahan situasi di sekitarnya/warning.

c. Daerah-daerah yang harus menggunakan ubin tekstur pemandu (guiding blocks):

i. Di depan jalur lalu-lintas kendaraan;

ii. Di depan pintu masuk/keluar dari dan ke tangga atau fasilitas persilangan dengan perbedaan ketinggian lantai;

iii. Di pintu masuk/keluar pada terminal transportasi umum atau area penumpang;


(35)

iv. Pada pedestrian yang menghubungkan antara jalan dan bangunan; dan

v. Pada pemandu arah dari fasilitas umum ke stasiun transportasi umum terdekat. d. Pemasangan ubin tekstur untuk jalur

pemandu pada pedestrian yang telah ada perlu memperhatikan tekstur dari ubin eksisting, sedemikian sehingga tidak

terjadi kebingungan dalam membedakan tekstur ubin pengarah dan tekstur ubin peringatan.

e. Untuk memberikan perbedaan warna antara ubin pemandu dengan ubin lainnya,maka pada ubin pemandu dapat diberi warna kuning atau jingga.


(36)

Gambar 4.6 Tipe Tekstur Ubin Pemandu (guiding blocks)

Gambar 4.7 Susunan Ubin Pemandu Pada Belokan


(37)

Gambar 4.9 Penempatan Ubin Pemandu Pada anak tangga

6. Halte

Gambar 4.10 Ruang Naik Turun Penumpang 7. Pintu

Pintu adalah bagian dari suatu tapak, bangunan atau ruang yang merupakan tempat untuk masuk dan keluar dan pada umumnya dilengkapi dengan penutup (daun pintu).


(38)

Gambar 4.11 Ruang bebas pintu satu daun


(39)

Gambar 4.13 Pintu dengan plat tendang 8. Tangga

Fasilitas bagi pergerakan vertikal yang dirancang dengan mempertimbangkan ukuran dan kemiringan pijakan dan tanjakan dengan lebar yang memadai.

Persyaratan

a. Harus memiliki dimensi pijakan dan tanjakan yang berukuran seragam.

b. Harus memiliki kemiringan tangga kurang dari 60°

c. Tidak terdapat tanjakan yang berlubang yang dapat membahayakan pengguna tangga. d. Harus dilengkapi dengan pegangan rambat

(handrail) minimum pada salah satu sisi tangga.

e. Pegangan rambat harus mudah dipegang dengan ketinggian 65 - 80 cm dari lantai, bebas dari elemen konstruksi yang mengganggu, dan bagian ujungnya harus bulat atau dibelokkan dengan baik ke arah lantai, dinding atau tiang.


(40)

f. Pegangan rambat harus ditambah panjangnya pada bagian ujung-ujungnya (puncak dan bagian bawah) dengan 30 cm. g. Untuk tangga yang terletak di luar

bangunan, harus dirancang sehingga tidak ada air hujan yang menggenang pada lantainya.

b) Standar IBSA (International Blind Sport Association)

IBSA merupakan organisasi Internasional yang mewadahi cabang-cabang olahraga tunanetra. Organisasi tersebut mengatur regulasi dari tiap cabang olahraga yang terdaftar. Dalam kegiatannya, organisasi ini memiliki calendar event untuk masing-masing cabang olahraga yang diselenggarakan di salahsatu negara anggotanya.


(41)

Gambar 4.14 Lapangan Futsal

4.2. Análisis Kondisi Lingkungan

4.2.1. Lokasi

2 METRES

5 METER

SECOND PENALTY SPOT 8 METRES

CENTRE CIRCLE

HALF-WAY LINE

PENALTY AREA 6 METRES

PENALTY SPOT 6

MAX 42 METER MIN 38


(42)

Gambar 4.15 Peta Lokasi

Pemilihan lokasi di Jalan Pajajaran dikarenakan fasilitas ini merupakan fasilitas pelengkap dari komplek GOR Pajajaran. Selain itu, lokasi site juga berdekatan dengan Panti Sosial Wyata Guna, yaitu panti yang menampung penyandang tunanetra. Dengan demikian, fasilitas ini diharapkan mampu mewadahi kebutuhan aktivitas olahraga mereka, kegiatan rekreasi, dan menjadi tempat bersosialisasi bagi komunitas mereka.

4.2.2. Kondisi dan Potensi Lahan

Kondisi lahan yang relatif datar merupakan salahsatu keuntungan bagi rancangan yang khusus ditujukan bagi penyandang tunanetra. Karena dengan kondisi lahan yang rata, dapat meminimasi perbedaan kntur yang sebisa mungkin dihindari pada jalur sirkulasi penyandang tunanetra. Selain itu, lokasi yang berdekatan dengan dua fungsi lain yang tersebut di atas, memungkinkan fasilitas ini menjadi pusat

loka si loka si

Komplek Wyata Guna

Komplek Wyata Guna

Komple k GOR Pajajara

n

Komple k GOR Pajajara


(43)

aktivitas penyandang tunanetra untuk bersosialisasi ideal bagi komunitas tunanetra.

Disamping memiliki keuntungan dengan kontur yang relatif datar, kondisi site merupakan daerah yang relatif panas. Dengan demikian, hal itu dapat disikapi dengan pengolahan vegetasi untuk menciptakan suhu di dalam site lebih terasa sejuk.

4.2.3. Bangunan Sekitar

Meskipun peruntukan lahan di daerah lokasi site berada adalah fasilitas kesehatan dan pendidikan, kondisi bangunan sekitar site cukup beragam. Di samping kiri site merupakan kawasan komersil, di seberang terdapat fungsi pendidikkan, di samping kanan fungsi olahraga dan di bagian belakang merupakan pemukiman penduduk.

4.2.4. Prasarana

Lokasi di sekitar site yang berbatasan langsung dengan Komplek GOR Pajajaran merupakan keuntungan tersendiri. Di komplek tersebut terdapat cantor BPOC Kota Bandung dan BPOC Jawa Barat. Badan ini merupakan wadah yang menaungi cabang olahraga cacat di Indonesia. Dengan segala fasilitas yang dimiliki BPOC, diharapkan dapat terjadi hubungan fungsional yang saling melengkapi dalam aktivitas yang diwadahi oleh Fasilitas Olahraga Penyandang Tunanetra ini.

Selain itu, tidak jauh dari lokasi site terdapat jembatan penyeberangan yang melintas di Jalan Pajajaran, yang menghubungkan Panti Social Wyata Guna dengan Komplek GOR Pajajaran dan nantinya dengan fasilitas yang sedang direncanakan. Jembatan


(44)

ini merupakan salahsatu jembatan penyeberangan yang aksesibel bagi orang cacat. Hal itu dapat membantu mempermudah pencapaian pengguna tunanetra yang akan menyeberangi Jalan Pajajaran yang relatif padat dengan aman.

BAB V


(45)

5.1. Konsep Dasar

Elemen Orientasi Bagi Penyandang Tunanetra

 Kurang atau tidak mampu berorientasi secara visual

 Berorientasi dengan sisa inderanya (pendengaran, perabaan, penciuman, perasa, dan daya ingat)

 Berorientasi membentuk pola

ORIENTASI TUNANETRA ELEMEN ORIENTASI APLIKASI o Pendengaran (suara)

- bunyi air - lonceng

- musik

- dinding pemantul dan penyerap suara

- diterapkan sebagai

penanda fungsi

olahraga air

- dengan berbagai

variasi, bunyi lonceng

dapat menjadi

penanda orientasi bagi tunanetra pada fungsi olahraga yang memakai gotri (alat bunyi pada bola)pada permainannya.

- bagi sebagian besar

orang, musik

dijadikan sebagai rangsang kerja otak.

relevan bila

diterapkan pada

fungsi olahraga catur yang membutuhkan kerja otak pada permainannya.

- penyandang


(46)

o Perabaan - Braille - handrail - pegangan rambat - tekstur - ram mengenali besar kecilnya sebuah ruangan melalui pantulan suara.

semakin luas sebuah

ruang, semakin

kesulitan pula

tunanetra berorientasi.

peletakan furniture

dapat membantu

menyerap suara dan

dapat menjadi

elemen untuk

membantu orientasi. - penerapan Braille

sebagai informasi pada pintu masuk suatu fungsi

- membantu mengarahkan pergerakan

tunanetra. diterapkan pada area yang dianggap berbahaya, seperti perbedaan

ketinggian, cross

circulation, tangga

- dipasang pada

hampir di sepanjang

dinding untuk

membantu pergerakan tunanetra.

- pemasangan tactile paving(pemandu&per


(47)

o Perasa

o Penciuman

- hembusan angin

- respon terhadap bau

ingatan) pada jalur

sirkulasi dapat

dikenali tunanetra dengan tongkatnya. - untuk keamanan,

ram dipasang pada perbedaan ketinggian

dan pertemuan

sirkulasi kendaraan dan pejalan kaki. - angin alami, dapat

menjadi penanda

ketika tunanetra

berada di luar ruangan

- angin buatan,

hembusan angina dari ac pada pintu masuk dapat menjadi

tanda seorang

tunanetra masuk ke sebuah ruangan. - hal lain yang juga

dapat dikenali

melaluio sisa indera

tunanetra adalah

bau. ini bisa

diterapkan pada

fungsi cafeteria

dengan aroma

makanan.

Semua elemen orientasi tersebut di atas merupakan alat yang dapat membantu tunanetra berorientasi. Elemen-elemen orientasi itu dapat memberikan informasi dan membantu mengarahkan jalur sirkulasi, dan menjadi tanda


(48)

bagi pengguna tunanetra. Kemudian elemen-elemen tersebut dikenali melalui sisa indera pengguna tunanetra (informasi sensorik), diolah di dalam otaknya, dan disimpan pada memorinya (informasi memori) untuk digunakan pada aktivitas yang berulang-ulang.

Gambar 5.1 Skema Informasi 5.2. Konsep Perancangan Tapak

5.2.1. Pemintakatan

Konsep pemintakatan diambil berdasarkan klasifikasi fungsi. Fungsi-fungsi yang ada dikelompokan atas kelompok fungsi penerima, kelompok fungsi pengelola, kelompok fungsi olahraga, kelompok fungsi sosial, kelompok fungsi pendukung, dan kelompok fungsi service.

Kelompok fungsi tersebut kemudian dikelompokkan lagi menurut tingkat kebisingan. Fungsi yang tidak memerlukan respon bunyi diletakkan pada area dengan tingkat kebisingan relatif tinggi. Dan sebaliknya, untuk fungsi yang memerlukan respon suara pada aktivitasnya diletakkan di area dengan tingkat kebisingan rendah.

INFORM ASI SENSORI K

INFORMASI MEMORI ORGANISAS


(49)

Gambar 5.2 Zoning Keterangan :

1: tingkat kebisingan rendah 2: tingkat kebisingan sedang 3: tingkat kebisingan tinggi

I : fungsi dengan respon bunyi rendah II : fungsi dengan respon bunyi tinggi 5.2.2. Tata Letak

Konsep perletakan massa bangunan sejalan dengan konsep pemintakatan di atas. Konfigurasi bangunan mengambil salahsatu variasi dari huruf braille. Pada perancangannya dikombinasikan antara ruang luar dan bangunan. Kelompok fungsi penerima dan pengelola diletakkan di bagian depan site, kemudian terhubung dengan fungsi olahraga dengan fasilitas pendukungnya. Di antara fungsi tersebut dilletakkan area sosial sebagai ruang pengikat. Ruang servis seperti genset diletakkan di belakang site, sehingga ketika mesin bekerja suaranya tidak menimbulkan efek bising di dalam site.


(50)

Sejalan dengan pola teratur dan sederhana, bentuk geometris merupakan bentuk yang paling beraturan. Dari berbagai macam bentuk geometris tersebut (lingkaran, segi banyak beraturan, segitiga, segiempat), dipilih bentuk segiempat variasi. Karena bagi tunanetra akan lebih mudah bergerak dalam tatanan segiempat yang pergerakannya tegak lurus (bersudut 90˚). sedangkan dimensi yang bervariasi untuk menyesuaikan dengan program ruang dan modul lapangan.

5.2.4. Sirkulasi

Sirkulasi di dalam tapak dibedakan menjadi 2, yaitu sirkulasi pejalan kaki dan sirkulasi kendaraan. Dengan dipisahkannya sirkulasi kendaraan dan pejalan kaki, akan memberikan rasa aman bagi pengunjung tunanetra.

Sirkulasi Kendaraan

a. Kendaraan pengunjung ; masuk melalui main entrance, menurunkan penumpang di area drop of, kemudian parkir di area parkir, menjemput kembali dan keluar.

b. Kendaraan pengelola ; masuk melalui main entrance, kemudian parkir di area parkir pengelola

c. Kendaraan umum ; hanya dapat mengakses bagian main entrance saja, dan dapat menurunkan penumpang di halte yang tersedia.

Sirkulasi Pejalan Kaki

a. Karena pengguna utama adalah tunanetra, maka pengunjung tunanetra langsung diturunkan di dropping area atau di main entrance.


(51)

b. Dari halte di bagian main entrance, pengunjung dapat langsung mengakses bangunan melalui pedestrian ways yang menggunakan pola lantai khusus menggunakan tactile paving. Jalur pedestrian ini juga didesain sesuai dengan tunanetra yang lebih nyaman dengan jalur lurus, dan sudut pergerakan 90˚.

5.2.5. Parkir

Area parkir dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah area parkir khusus pengelola yang diletakkan bersebelahan dengan ruang pengelola. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan dalam pencapaiannya. Kelompok parkir kedua adalah parkir pengunjung. Karena membutuhkan space yang relatif besar, area parkir pengunjung diletakkan di bagian depan site yang berbatasan dengan jalan sehingga dapat memanfaatkan area bising yang tidak cocok untuk fungsi bangunan.

5.2.6. Tata Hijau

Penataan vegetasi pembentuk landscape dirancang dengan beberapa pertimbangan antara lain :

a. Pembatas site dan pengarah pandangan ke site Pda kelompok ini digunakan pohon palem. Dengan profil pohon palem yang tidak rindang, sehingga tidak menghalangi pemandangan pemakai jalan ke site, namun sebaliknya dapat mengarahkan pandangan pengguna jalan ke site.

b. Sebagai Peneduh

Pada bagian barat diletakkan kelompok pohon dengan konsep teratur yang ditujukan untuk memberikan keteduhan di bagian sisi barat bangunan sehingga mengurangi sinar matahari yang masuk ke dalam bangunan.


(52)

c. Sebagai elemen pembentuk taman 5.3. Konsep Perancangan Bangunan

5.3.1. Bentuk

Sejalan dengan bentukan segiempat yang diambil dari bentuk dasar geometris, maka dari wujud dasar tersebut dapat digeser menjasi ruang yang memiliki bentuk tegas, teratur dan mudah dikenal. Bentuk ini biasa disebut Platonic Solid.

Platonic Solid dari segiempat (bujursangkar) adalah kubus yang merupakan bentuk yang mudah dikenal. Dalam variasinya, bentukan dapat berupa balok yang mengalami transformasi sehingga menghasilkan bentuk yang variatif.

Selain itu, bentuk beraturan adalah bentuk yang hubungan antar bagiannya tersusun dengan konsisten. Umumnya bersifat stabil dan simetris terhadap satu sumbu / lebih. Dalam desain bangunan, sumbu yang diambil adalah garis batas site dan garis yang tegak lurus dengan batas tersebut.

Kemudian setelah ditentukan sumbunya,dibuat pola grid sejajar kedua sumbu. Selanjutnya bentuk-bentuk kubus/balok diletakkan secara stabil pada kedua sumbu yang saling tegak lurus.

Dalam proses desain bentuk dapat dirubah sesuai kebutuhan. Namun demikian, bentuk dapat mempertahankan keteraturannya, meskipun diubah dimensinya maupun dengan penambahan unsurnya. Dalam rancangn bangunan, bentuk balok dan kubus telah mengalami perubahan dimensi dan volume, pengurangan dan penambahan bentuk sesuai program ruang, kekekalan site dan


(53)

harmonisasi tanpa mengkaburkan identitas bentuk asal dan konsep keteraturan.

5.3.2. Fungsi

Perancangan ruang dalam bangunan diperoleh dari studi perilaku tunanetra mulai dari memasuki ruangan sampai dengan cara tunanetra dalam mengakses ruangan tersebut.

Perancangan ruang lebih mengarah ke detil bangunan seperti perancangan pola lantai, ramp, penataan ruang, perabot, antara lain :

a. Semua ruang berbentuk segiempat murni sehingga memungkinkan pergerakan yang linier dan bersudut 90˚.

b. Tata letak perabot pada setiap ruang disesuaikan dengan sirkulasi lincar, sehingga perabor ada di kiri kanan jalur yang dilewati orang. Perabot ditata di bagian tepian agar tidak tertabrak oleh tunanetra. Dengan penataan perabot yang konstan di setiap ruang pada bangunan, tunanetra dapat mengenali jalur yang aman untuk dilewati.

c. Pintu masuk sesuai dengan standar, dengan kusen dan strip kuning setinggi pandangan mata sebagai penanda bagi tunanetra partial akan adanya pintu.

d. Pada sepanjang koridor yang dilewati tunanetra dibuat jalur tunanetra yang bebas dari bahaya (benda/perabot yang mungkin tertabrak). Lebar jalur ini 1,2 meter. Pada jalur ini terdapat Guidance Path Surface. Tactile Paving ini menunjukan arah yang harus ditempuh tunanetra karena berupa tonjolan beralur.

e. Pada belokan atau persimpangan diletakkan blister surface tactile paving sebagai tanda bagi


(54)

tunanetra akan adanya belokan atau persimpangan.

f. Pada bagian depan ramp diletakkan corduroy hazard warning surface yang berwarna merah. Tactile paving ini berfungsi menunjukan adanya bahaya di depan mereka yang berarti terdapat perbedaan ketinggian lantai atau adanya transportasi vertikal.

g. Pada jalur masuk pertama menuju bangunan, diletakkan beberapa peta khusus tunanetra berupa denah timbul yang menggambatkan tata letak bangunan. Peta ini merupakan sumber informasi awal bagi pengguna tunanetra untuk mengenali kondisi fasilitas ini. Terdapat tanda berupa bunyi tertentu untuk menandakan adanya sumber informasi.

h. Di bagian depan fungsi olahraga yang menggunakan gotri (alat bunyi pada bola) dipasang lonceng sebagai penanda. Selain itu, dibuat kolam air pada fungsi kolam renang. hal ini selaras dengan olahraga renang yang berhubungan dengan air.

5.3.3. Sirkulasi

Jalur sirkulsi dipilih jalur linier, karena bentuk ini merupakan jalur yang disukai pengguna tunanetra. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi pengguna tunanetra dalam mengenali jalur sirkulasi. Jalur-jalur tersebut menyusun sebuah pola dan membentuk jalur yang tegak lurus pada setiap pertemuan antar jalur sirkulasi. Di sepanjang jalur sirkulasi tersebut diletakkan ubin pemandu dan ubin peringatan sebagai penuntun tunanetra mengenali jalur sirkulasi.


(55)

Gambar 5.3 Ubin Pemandu dan Peringatan

5.3.4. Struktur dan konstruksi

Sistem struktur bangunan menggunakan sistem rangka. Untuk fungsi olahraga, konstruksi atap menggunakan space trusd dengan metal seed sebagai penutupnya. Penggunaan space trusd pada fungsi olahraga didasarkan pada kebutuhan ruang yang cukup luas yang bebas dari kolom.

5.3.5. Utilitas

a. Sistem air bersih

Sistem yang dipakai adalah system upfeed. Skema sistem air bersih adalah sebagai berikut :

b. Sistem air kotor

Sistem pembuangan air kotor dan kotoran :

meteran reservoir

bawah pompa reservoiratas

pipa utama toilet/pantry


(56)

BAB VI

HASIL RANCANGAN

kran air

air bekas STP

urinoir

kakus

air kotor STP


(57)

Kesimpulan dari proses perancangan Fasilitas Olahraga Penyandang Tunanetra Bandung ini diaplikasikan dalam bentuk gambar rancangan berikut ini :

Peta Situasi

Gambar 6.1 Perspektif Eksterior

Gambar 6.2 Perspektif Interior

Gambar-gambar Perancangan

Terlampir.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.(1975).Teknik berjalan dengan dengan tongkat putih untuk para tunanetra.Jakarta.CV. Harapan Baru.


(58)

Hosni,I.(1996).Buku ajar orientasi dalam mobilitas. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

IBSA. www.ibsa.es/eng/, (2009)

Poerwadarminta. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.

Widjajantin A, Hitipeuw, Imanuel. (1995). Ortopedagogik Tunanetra. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


(1)

harmonisasi tanpa mengkaburkan identitas bentuk asal dan konsep keteraturan.

5.3.2. Fungsi

Perancangan ruang dalam bangunan diperoleh dari studi perilaku tunanetra mulai dari memasuki ruangan sampai dengan cara tunanetra dalam mengakses ruangan tersebut.

Perancangan ruang lebih mengarah ke detil bangunan seperti perancangan pola lantai, ramp, penataan ruang, perabot, antara lain :

a. Semua ruang berbentuk segiempat murni sehingga memungkinkan pergerakan yang linier dan bersudut 90˚.

b. Tata letak perabot pada setiap ruang disesuaikan dengan sirkulasi lincar, sehingga perabor ada di kiri kanan jalur yang dilewati orang. Perabot ditata di bagian tepian agar tidak tertabrak oleh tunanetra. Dengan penataan perabot yang konstan di setiap ruang pada bangunan, tunanetra dapat mengenali jalur yang aman untuk dilewati.

c. Pintu masuk sesuai dengan standar, dengan kusen dan strip kuning setinggi pandangan mata sebagai penanda bagi tunanetra partial akan adanya pintu.

d. Pada sepanjang koridor yang dilewati tunanetra dibuat jalur tunanetra yang bebas dari bahaya (benda/perabot yang mungkin tertabrak). Lebar jalur ini 1,2 meter. Pada jalur ini terdapat Guidance Path Surface. Tactile Paving ini menunjukan arah yang harus ditempuh tunanetra karena berupa tonjolan beralur.

e. Pada belokan atau persimpangan diletakkan blister surface tactile paving sebagai tanda bagi


(2)

tunanetra akan adanya belokan atau persimpangan.

f. Pada bagian depan ramp diletakkan corduroy hazard warning surface yang berwarna merah. Tactile paving ini berfungsi menunjukan adanya bahaya di depan mereka yang berarti terdapat perbedaan ketinggian lantai atau adanya transportasi vertikal.

g. Pada jalur masuk pertama menuju bangunan, diletakkan beberapa peta khusus tunanetra berupa denah timbul yang menggambatkan tata letak bangunan. Peta ini merupakan sumber informasi awal bagi pengguna tunanetra untuk mengenali kondisi fasilitas ini. Terdapat tanda berupa bunyi tertentu untuk menandakan adanya sumber informasi.

h. Di bagian depan fungsi olahraga yang menggunakan gotri (alat bunyi pada bola) dipasang lonceng sebagai penanda. Selain itu, dibuat kolam air pada fungsi kolam renang. hal ini selaras dengan olahraga renang yang berhubungan dengan air.

5.3.3. Sirkulasi

Jalur sirkulsi dipilih jalur linier, karena bentuk ini merupakan jalur yang disukai pengguna tunanetra. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi pengguna tunanetra dalam mengenali jalur sirkulasi. Jalur-jalur tersebut menyusun sebuah pola dan membentuk jalur yang tegak lurus pada setiap pertemuan antar jalur sirkulasi. Di sepanjang jalur sirkulasi tersebut diletakkan ubin pemandu dan ubin peringatan sebagai penuntun tunanetra mengenali jalur sirkulasi.


(3)

Gambar 5.3 Ubin Pemandu dan Peringatan

5.3.4. Struktur dan konstruksi

Sistem struktur bangunan menggunakan sistem rangka. Untuk fungsi olahraga, konstruksi atap menggunakan space trusd dengan metal seed sebagai penutupnya. Penggunaan space trusd pada fungsi olahraga didasarkan pada kebutuhan ruang yang cukup luas yang bebas dari kolom.

5.3.5. Utilitas

a. Sistem air bersih

Sistem yang dipakai adalah system upfeed. Skema sistem air bersih adalah sebagai berikut :

b. Sistem air kotor

Sistem pembuangan air kotor dan kotoran :

meteran reservoir

bawah pompa reservoiratas

pipa utama toilet/pantry


(4)

BAB VI

HASIL RANCANGAN

kran air

air bekas STP

urinoir

kakus

air kotor STP


(5)

Kesimpulan dari proses perancangan Fasilitas Olahraga Penyandang Tunanetra Bandung ini diaplikasikan dalam bentuk gambar rancangan berikut ini :

Peta Situasi

Gambar 6.1 Perspektif Eksterior

Gambar 6.2 Perspektif Interior Gambar-gambar Perancangan

Terlampir.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.(1975).Teknik berjalan dengan dengan tongkat putih untuk para tunanetra.Jakarta.CV. Harapan Baru.


(6)

Hosni,I.(1996).Buku ajar orientasi dalam mobilitas. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

IBSA. www.ibsa.es/eng/, (2009)

Poerwadarminta. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.

Widjajantin A, Hitipeuw, Imanuel. (1995). Ortopedagogik Tunanetra. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.