tembang lagu, dengan demikian teks ini sebagai teks sandingan yang bisa dilagukan oleh sejumlah lagu Tembang Cianjuran dengan dasar, pupuh Sinom. Teks ini dipandang dari sudut
arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang perjalanan hidup. Di dalam teks ini diungkapkan seolah-olah ada suara dari kejauhan yang mengingatkan
bahwa hidup harus berhati-hati menjaga seluruh perbuatan. Hipogram dari bagian ini mengacu kepada suara hati dalam teks Teosofi Tasawuf Wawacan Jaka Ula Jaka Uli bahwa
Badan Rohani manusia disirati Sifat Dua Puluh dari Allah, di antaranya sifat Samma ’mendengar’ dan Bashar ’melihat.’ Kehadiran sifat Samma inilah kiranya yang dimaksud
oleh teks yang mampu mendengar tentang kebenaran. Hipogram - berhati-hati dalam menjalani hidup antara lain dalam teks yang digubah oleh
Haji Hasan Mustapa sebagai berikut: Doraka jalma balaka, wungkul teu buda teu budi, teu rusia teu rusia, teu tata titi paniti,teu
surti ati-ati, mun parung-parung dirarud, mun catang-catang dirumpak, eusina sato istuning, nu tilelep ti harga kamanusaan. ’Berdosa, orang tanpa kendali, hidup tak beragama dan tak
berbudi, di dalam batinnya pun tak menghadirkan Tuhan rusia dimaknai Dzikir Sir, perbuatannya tanpa aturan, sungai berbahaya dilewati, dirinya sungguh-sungguh binatang,
jatuh dari nilai kemanusiaan.’
Hipogram lainnya teks lagu Ligar ’Mekar’ Surupan Pelog Sobirin, 1987: 68: Pasrahkeun ka Maha Agung, Nu pasti Asih jeung Adil, nu wenang nyiksa ngaganjar, Anjeun
teu pilih kasih, nu dosa tangtu disiksa, nu bersih tangtu diasih. ’Serahkan kepada Yang Maha Agung, Pasti Dia Pengasih dan Adil, mampu menyiksa dan memberi pahla, Dia tidak pilih
kasih, orang berdosa tentu disiksa, orang bersih tentu dikasihi.’ Penerapan teks hipogram pada teks lagu Sinom dengan modifikasi, dari teks lagu Ligar
dengan konversi ’conversion’ pemutarbalikan Lihat Sardjono, 1986. Fungsi semiotik teks hipogram untuk penyajian makna maksud. Matriks teks: Berhati-hati menjaga perbuatan
karena ada pembalasan. Rumpaka ini mengingatkan untuk berhati-hati dalam berbuat, membuka hijab alangan hati supaya dapat menangkap suara hati nurani .
9. Asmarandana Erang Eling-Eling mangka eling
ruminkang di bumi alam darma wawayangan bae
raga taya pangawasa lamun kasasar nya lampah
napsu nu matak kaduhung badan anu katempuhan.
Sobirin, 1987: 60 Berimanlah
berkelana di bumi sekadar menjalani lelakon
raga tak memiliki kekuatan apabila perbuatan tersesat
menuruti nafsu akibatnya penyesalan badanlah yang menderita
Rumpaka Asmarandana Erang, Surupan Sorog berasal dari Asmarandana Lahir Batin karya RA Bratadiwijaya yang ditulis pada tahun 1892, semuanya berjumlah 35 pada.
Rumpaka Asmarandana Erang ini merupakan pada pertama, yang sangat dikenal baik oleh anak-anak maupun orang dewasa, ditembangkan dalam sejumlah lagu, di antaranya Lagu
Wani-Wani ’Berani-berani’ Surupan Pelog Sobirin, 1987: 65 dan Harempoy ’Berjalan
Merendah’ Laras Salendro ? Sobirin, 1987: 133. Teks ini dipandang dari sudut arti
sebagai satu rangkaian informasi, tentang menjalani kehidupan.
Eling memiliki arti iman, atau ingat. Makna eling dalam teks ini, eling menurut Tasawuf yakni Manunggaling kaula-Gusti, menghadirkan Allah di dalam Badan Rohani
bermakrifat. Allah ber-tajalli kepada manusia yang dikehendaki-Nya yaitu manusia yang mampu menghilangkan hijab alangan pada dirinya, manusia yang selalu berada pada jalan
yang diridoi-Nya. Badan Rohani ini disebut juga NurullahRasa Rasulullah, ialah Nur yang diciptakan Allah pada awal penciptaan manusia Wawacan Jaka Ula Jaka Uli. Badan
RohaniNurullahRasa Rasulullah ini merupakan inti kedirian manusia, kemudian manusia setelah mengembara di dunia fana, harus bisa kembali ke Kesucian Awal Lihat uraian
selanjutnya. Para Sufi menyebut Kesucian Awal ini sebagai “Lembur” ‘Kampung Halaman Sejati’ Tentang pengembaraan manusia di dunia fana, lihat hipogram lainnya pada pupuh
Sinom Surupan Sorog - Salendro Sobirin, 1987: 127 Wawayangan dari kata wayang, yaitu kesenian pergelaran wayang, kesenian asli
Nusantara. ”Beberapa ahli sepakat, wayang telah ada kurang lebih seribu tahun SM” Mulyono, 1978: 54. Hipogram wayang, terdapat dalam “naskah Sunda Kuno Sewaka
Darma dari Kabuyutan Ciburuy yang diperkirakan ditulis ketika Agama HinduBudha masih dianut masyarakat” Sardjono., dkk, 1987: 4. Di dalam teks naskah tersebut sudah ada kata
giringsing wayang sejenis kain, serta kata wayang yang digunakan sebagai simbol dari kehidupan manusia, yang dituturkan sebagai berikut:
Awaking ayeuna ini aing upama wayang, rampes beunang ngeureuti, dijieunan suku tangan, ditata panon pangreungeu, geus ma urang dikudangkeun. Sakageuing nu nyarita,
mana leumpang
dileumpangkeun, na leungeun
dipangnyokotkeun, na
ceuli dipangreungeukeun, na mata dipangnyeueungkeun, na irung dipangambeukeun, mana
nyarek dicarekkeun. ‘Kami seumpama wayang, siap untuk dipotong-potong, kaki tangan dibuat, penglihatan dan pendengaran diatur, sesudahnya kami dikotakkan, dibangunkan oleh
yang berceritera, bila berjalan dijalankan, lengan diambilkan, telinga dibantu untuk mendengarkan, mata dilihatkan, hidung diciumkan, bicara dibantu berbicara. Ibid: 77 dan
62 Hipogram lainnya pada pupuh Sinom Surupan Sorog - Salendro Sobirin, 1987: 127:
Gelar kadya wawayangan, ngumbara di alam lahir, hurip waras ku kersa-Na, usik malik kersa Gusti, marga anu utami, satia sarta sumujud, ngesto ka ibu rama, sumembah ka Maha
Suci, teguh pengkuh ngajalankeun papagonna. ‘Gelar di dunia seperti bayan
gan, mengembara di alam lahir, hurip sehat lahir batin oleh Kehendak-Nya, bergerak, membalik
Kehendak Tuhan, pijakan hidup yang utama, taat dan bersujud, taat kepada ibu dan bapak,
menyembah kepada Yang Maha Suci, teguh kuat pendirian dalam menjalankan perbuatan yang diridoi-Nya.
Kata wawayangan, erat hubungannya dengan ngumbara ’mengembara’. Hipogram “mengembara” antara lain teks lagu Talutur ‘NasihatPijakan’ pupuh Dangdanggula
Surupan Salendro: Lemah cai ngageuing ka eling, banjar karang ngahudang panyawang, ngebrehkeun kereteg
hate, Ngusikkeun daya kalbu, nungtun eling ka Purwadaksi, sarengkak paripolah, ngageuing nu linglung, anu lewang sumoreang, geus pinasti elingna engke di akhir, waktuna
balitungan. ‘Tanah air mengingatkan untuk eling, kampung halaman membangkitkan pandangan, pandangan memperlihatkan kepada gerak hati, menggerakkan daya batin,
membimbing untuk eling kepada Asal. Gerak Hati, mengingatkan kepada yang linglung, yang diliputi kekhawatiran, sudah pasti ia ingat di penghujung umur ?di Alam Nanti,
ketika penghitungan baik buruk.’ Kata kunci eling terdapat tiga kali dengan makna berbeda, eling pertama dan kedua
mengacu pada eling bermakrifat. Eling ketiga berarti ingat. Kata kunci lainnya lemah cai, banjar karang, dan Purwadaksi, merupakan satu mata rantai dari rangkaian makna yang
mengacu pada Kampung Halaman Sejati dan Asal Ina Lillahi Waina Ilaihi Rojiun dari Allah dan harus kembali kepada Allah, lihat pembahasan sebelumnya dan selanjutnya.
Apabila hidup hanya diliputi kekhawatiran urusan dunia, sehingga lupa kepada Asal, penyesalan di penghujung umur ketika akan menghadapi penghitungan baik buruk
Hipogram pada naskah-naskah Tasawuf bahwa, manusia diciptakan dalam ada hawadisada indrawi dan Ada Kekal yakni Badan Rohani atau Nurullah. Karena manusia
Laa Hawla Wala Kuwwata Ila Billahi Aliyul Adzim, tak memiliki daya apa pun maka hidupnya harus melalui jalan yang diridoi Allah. Tujuan hidup manusia Ina Lillahi Waina
Ilaihi Rojiun, Berasal dari Allah Yang Maha Suci dan harus bisa kembali kepada Allah . Apabila perbuatan tersesat, menuruti nafsu akibatnya penyesalan, badanlah yang
menderita. Dari teks sebelumnya, kemudian pada pernyataan larik ini, terdapat titik-titik atau kerompangan. Pengisian kerompangan makna ini terpenuhi dengan hipogram dari pemikiran
Tasawuf tersebut bahwa, manusia oleh Allah dianugrahi Badan Rohani yang diemanasi sifat dua puluh Allah di antaranya mampu mendengar, melihat, berpikir, dan mempertimbangkan
buruk baik. Dengan demikian apabila tersesat badan yang menderita. Badan pada kata ini kembali pada pengertian di atas yakni manusia memiliki raga hawadis dan Badan Rohani.
Teks mengacu pada keduanya, apabila menjalani kesesatan maka badan akan mengalami penderitaan di dunia dan akhirat. Tentang siksaan dunia, di Desa Cimaja, Cikakak Sukabumi
terungkap bahwa sorga dan neraka dialami di dunia dengan istilah naraka dan sawarga majaji.
”Akibat dari perbuatan sesat” dalam hipogram Sewaka Darma, diungkapkan:
I yu nekahkeun raga, mamolahkeun sarira, ngalengkahkeun suku tangan, suku milang awak urang, lamunna salah leumpangna, eta matak urang papa, leungeun lamun salah cokot, eta
matak urang papa, ceuli lamun salah denge, eta matak urang papa, mata lamun salah jeueung, eta matak urang papa. Sungut lamun salah hakan inum, manguni salahna sabda,
lamun sabda tan tahu, lamun hamo rahayu, lamun mo tiis babon, eta nu disalahkeun, nu mangka papa kalesa, sanyarah na angen-angen, samilang pangeusi raga, dadi piawak
sarira, eta na mulut ngarurud, eta nu ngindit ngarampid, na maanan ka ra kawah. ‘Itu mengolahkan raga, menggerakkan badan, melangkahkan kaki tangan, kaki menghitung badan
kita, apabila salah langkah, itu menyebabkan kita sengsara, apabila tangan salah ambil, itu menyebabkan kita dosa, telinga bila salah mendengar, itu menyebabkan kita sengsara,apabila
mata salah lihat, itu menyebabkan kita celaka, hidung bila salah cium, itu menyebabkan kita sengsara. Mulut bila salah makan minum, berkata salah ucap, bila perkataan tidak jujur, maka
tidak akan selamat, bila sampai kurang pendapatan, itu yang disalahkan, itu yang menjadi sumber dosa, hanyut oleh angan-angan, menghitung mengejar nafsu, hanya memikirkan diri
sendiri, itulah mulut yang mengurangi pahala ?, yang menyebabkan pergi, yang membawa ke kawah neraka. Sardjono., dkk, 1987: 21 dan 59.
Pada upacara tradisional kelahiran bayi sekitar tahun 50-60-an di Kecamatan Talaga – Kabupaten Majalengka memelihara penciuman, pendengaran, penglihatan, pengucap,
disampaikan kepada bayi setelah dimandikan dengan istilah ditirag. Untuk memelihara tangan dan kaki dilakukan setelah seminggu pada upacara diradinan yakni mengikat
pergelangan kaki tangan dengan benang. Teks lagu Ceurik Rahwana ‘Tangisan Rahwana’ Surupan Sorog Sobirin, 1987: 103
merupakan transformasi dari teks lagu Asmarandana Erang, sebagai berikut: Kaduhung Akang kaduhung, kataji nu lain-lain, kaiwat goda rancana, kagembang ku
Sintawati, geuning kieu balukarna, malindes malik ka diri. ‘Menyesal kakanda menyesal, tertarik kepada perempuan lain, tergoda oleh nafsu, tergoda oleh Sintawati, begini akibatnya,
membalik ke badan sendiri. Teks hipogram lain, teks lagu Kapilara Surupan Salendro ? pupuh Sinom Sobirin,
1987: 114 sebagai berikut: Ibun subuh nu maruntang, dina dangdaunan kai, bray beurang nyakclak ragragan, kawas
tangis nu prihatin, kaendag ku angin leutik, nyakclakna munggah murubut, nyuat manah nu sungkawa, nu nuju nyaliksik diri, keur nyasaran temahna laku lampah. ‘Embun subuh
bergelantungan, pada dedaunan kayu, begitu siang datang menetes jatuh, seperti tangisan orang yang sedang prihatin, tertiup oleh sepoy-sepoy angin, tetesan embun semakin cepat,
semakin menambah kesedihan orang yang menyadari kesalahan dirinya, menelusuri akibat dari perbuatan’
Penerapan teks hipogram pada teks lagu Asmarandana Erang dengan ekserp ’excerpt’
pengintisarian modifikasi ’modification’ pengubahan, dan konversi ‘conversion’ ‘pemutarbalikan Lihat Sardjono, 1986. Fungsi semiotik teks hipogram untuk penyajian
makna maksud. Matriks teks: Manusia dianugrahi kemampuan berpikir, jangan sampai tersesat.
Teks lagu Asmarandana Erang menasihatkan untuk menyadari bahwa manusia tak mempunyai daya apa pun Laa Hawla Wala Kuwwata Ila Billahi Aliyul Adzim. Harus disadari
bahwa segala kemampuan diri baik lahir maupun batin hanyalah sebagai titipan, harus
digunakan pada jalan Kehendak Pemilik-Nya. Oleh karena manusia dianugrahi kemampuan berfikir mampu mempertimbangkan buruk baik, manusia jangan sampai melalui jalan sesat
yang berakibat penderitaan lahir dan batin, dunia dan akhirat.
10. Pangrawit Ciherang cikahuripan