3. Latar
1 Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Dalam novel 2 karya Dony Dhirgantoro terdapat beberapa lokasi yang dipergunakan sebagai landas tumpu penceritaan, antara lain : rumah
sakit besar di Jakarta, rumah sederhana, sekolah, taman kecil, Restoran Bakmi Nusantara, dan Gelanggang Olahraga. Peneliti menganalisis keenam latar tempat
tersebut, karena mempengaruhi ketidakadilan yang dialami tokoh utama. Latar tempat pertama adalah rumah sakit. Pengarang menampilkan tempat
rumah sakit besar di Jakarta sebagai awal penceritaan untuk memperkenalkan tokoh utama, yaitu Gusni. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut :
1 Malam itu hujan turun deras sekali, di sebuah rumah sakit besar di Jakarta sebuah peristiwa besar terjadi. hlm. 1
Rumah sakit tersebut menjadi tempat kesaksian lahirnya seorang anak perempuan dengan berat 6,25 kilo dan panjang 59 cm yang lahir 27 Oktober 1986.
Selain itu juga rumah sakit tersebut menjadi saksi ketika Gusni harus terus semangat dan tegar dalam menghadapi penyakit keturunan yang dideritanya. Hal
tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut : 2 “Dengan penuh hormat Dok, jujur sejak saya tahu semuanya ada
cita-cita dalam diri saya, ada kekuatan harapan dalam pikiran saya, kalau saya harus berjuang melawan penyakit saya... saya harus
percaya cita-cita saya, harapan saya, impian saya. Kalau tidak, untuk apa saya hidup? Kalau tidak, untuk apa saya pergi nantinya kalau
waktu saya tiba?” hlm. 215
Latar tempat yang selanjutnya adalah rumah sederhana, tempat tinggal Gusni. Rumah adalah salah satu tempat bagi Gusni merasakan kehangat dan kasih
dalam keluarga, bersama Papa, Mama, dan Gita. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut :
3 Gusni mengedarkan pandangan ke sekitarnya, belum pernah ia merasakan sesuatu yang luar biasa seperti ini. Senyumnya
mengembang melihat Susi Susanti di televisi, melihat Papa, Mama, dan Gita tersenyum bahagia. hlm. 42
Di rumah tersebut Gusni dapat menemukan cita-citanya ketika ditanya Harry tentang cita-cita, cita-cita itu tidak lain hanya untuk membuat keluarganya
bahagia. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut : 4 “Enggak... cita-cita aku, suatu hari nanti aku mau jadi pemain
bulutangkis.” “Huuu...ikut-ikutan kakak kamu dong...payah.”
“Enggak Kata kamu cita-cita itu sesuatu yang aku suka kan? Waktu kecil aku ingat, aku, Papa, Mama, aku Kak Gita, nonton
pertandingan bulutangkis di televisi, pertandingannya di luar negeri. Waktu itu Papa, kita hormat bendera Merah Putih bareng-bareng di
depan televisi. Papa, Mama, Kak Gita, semuanya senang, aku juga senang, aku nggak bisa lupa...” Gusni menatap Harry. “Kalau kamu
tanya aku senangnya apa? Aku senangnya itu...,” jawab Gusni polos. hlm. 72
Di rumah itu jugalah Gusni mengetahui penyakit genetik atau penyakit keturunan. Papa, Mama, dan Gita merasakan kesedihan yang mendalam,
menerima kenyataan yang dialami Gusni tentang penyakit genetik atau penyakit keturunan. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut :
5 “Gus..., saat seperti ini sudah kita tunggu bertahun-tahun lamanya,.. Papa sama Mama, Kak Gita. Pertama-tama Gusni harus tahu, kalau
kita sayang banget sama Gusni, semenjak Gusni lahir sampai sekarang...” hlm. 205
6 “Ini Kakek Buyut kamu, papanya Kakek...” Papa menunjuk seorang anggota keluarga yang badan sangat besar. “”...dan ini kakaknya
Kakek...,” Papa menunjuk seorang anggota keluarga lagi, seorang wanita yang juga sangat besar. Gusni memperhatikan kedua anggota
keluarganya yang baru saja ditunjuk Papa, begitu jelas perbedaan ukuran badan mereka berdua dengan anggota keluarga yang lain.
Pandangan Gusni langsung beralih ke sebuah foto keluarga yang menempel pada dinding rumahnya, lagi-lagi ia terenyak, melihat
dirinya sewaktu kecil bersama anggota keluarga yang lain. Gusni seperti melihat dirinya dalam foto tua itu, berbeda sekali dengan
anggota keluarga lain yang berukuran normal. hlm. 206
7 “Mereka Kakek Buyut kamu...dan Kakak Perempuan Kakek...,” Papa menggenggam tangan Gusni keras, Papa yang biasanya tegar,
kini bahu keras itu meringkih turun, tertunduk tidak berani menatap mata Gusni, hanya genggaman tangan Papa yang mengeras terus
berbicara dan akhirnya sebuah kalimat terdengar pelan.
“Mereka berdua...tidak hidup lama... ...tidak pernah...
...mencapai... ...usia dua puluh lima tahun...” hlm. 207
Latar tempat yang selanjutnya adalah sekolah. Sekolah menjadi tempat yang menyenangkan bagi Gusni, karena ia bisa bertemu banyak teman dan
warung jajan. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut : 8
Gusni tersenyum dan melihat sekitar, Gusni suka sekali sekolah, ia banyak bertemu teman dan warung jajan. hlm. 55
Di sekolah jugalah Gusni menganal Harry, pria yang dicintainya. Mereka memiliki banyak kesamaan, terlebih mengenai badan yang besar dan makanan
kesukaan yaitu onde-onde dan choki-choki. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut :
9 “Karena kita sama-sama suka onde-onde dan choki-choki...jadinya
aku panggil kamu Gusni-Gusni.” Gusni mengangguk cepat, senang sekali. hlm. 59
10 “Gusni-Gusni mau kan jadi sahabat Harry-Harry?” senyum besar dan baik itu datang lagi. Gusni mengangguk cepat. Dua sahabat
besar itu berjalan lagi. Gusni tertunduk, senyumnya mengembang malirik Harry yang berjalan di sampingnya. Gusni menghela nafas,
mungkin hari ini Gusni Cuma makan satu onde-onde, tapi Gusni yakin sekali kalau hari ini, onde-onde yang Gusni makan adalah
onde-onde paling enak di seluruh dunia. hlm. 60
Latar tempat yang selanjutnya adalah taman kecil yang lataknya tidak jauh dari sekolahnya. Di tempat tersebut Gusni memiliki banyak kenangan, terlebih dia
mulai memikirkan tentang cita-citanya saat ditanya Harry. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut :
11 “Kata Papa Harry, orang hidup itu harus punya cita-cita...kalau kamu ngak punya cita-cita berarti kamu nggak hidup, kamu orang mati
namanya...” ...Orang hidup itu harus punya cita-cita? Bingung. Gusni menatap
Harry penuh tanya. hlm. 71
Latar tempat selanjutnya adalah Restoran Bakmi Nusantara milik papa Harry. Di tempat tersebut Gusni merasakan senyum yang tulus timbul dari hati
keluarga Harry. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut : 12 “Gusni, kamu pernah tanya Papa kan? Apa bukti kalau hati itu
baik?” Gusni mengangguk, ia mengerenyitkan keningnya bingung.
“... Di dini kamu bisa dapat buktinya...,” tutur Papa lembut sambil melihat sekitar Gusni. Mama dan Gita ikut mengikuti pandangan
Papa, senyum keluarga Harry dan para pelayan bertebaran di mana- mana, pada keluarga yang sedang bercengkrama riang sambil
menikmati bakmi. Ucapan terima kasih dari keluarga Harry dan juga para pelanggan mengalir tulus tanpa dibuat-buat, tidak ada seorang
pelanggan pun meninggalkan restoran itu dengan wajah cemberut. Rasa nyaman penuh kehangatan terus tersebar. hlm. 86 – 87
Latar tempat terakhir adalah Gelanggang Olahraga. Di tempat ini Gusni menyaksikan kakaknya yaitu Gita bermain bulutangkis dalam pertandingan
memperebutkan Piala Merdeka 1998. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut: 13 Gelanggang olah raga besar itu penuh sesak dengan penonton. Gusni
duduk di tribun diapit Papa dan Mama. PIALA MERDEKA 1998. Sebuah spanduk besar terbentang vertikal dari atap gelanggang.
“Ayo KAK GITAAA...” Papa berteriak-teriak. “Ayo Kak GITAAA...” Gusni ikut berteriak-teriak sambil
mengacungkan raket nyamuknya. Mama tersenyum geli melihat tingkah mereka berdua. hlm. 79
Gusni merasa sangat senang saat melihat kakaknya bermain bulutangkis, apalagi ketika Gita mendapatkan Juara, saat itu ia melihat Papa dan
Mama bahagia. Gusni juga berharap dia dapat bermain bulutangkis seperti kakaknya dan mendapatkan juara, dengan harapan Papa dan Mama bahagia dan
bangga melihatnya. Tetapi penyakit yang diderita Gusni membuat Papa merasa berat ketika Gusni bertanya kapan dia bisa bermain bulutangkis. Hal tersebut
terdapat dalam kutipan berikut : 14 Mama melihat Gita, semua orang tiba-tiba mengerubunginya
meminta tanda tangan. Papa dan Mama tersenyum, saling berpegangan tangan erat. Di tahun 1998 ini usia Gita baru menginjak
16 tahun, tetapi koleksi piala dan medali telah melebihi usianya. Gita sudak menapak tinggi di dunia bulutangkis, olahraga yang telah
membawa Indonesia berkibar tinggi di dunia. Papa dan Mama berpegnagan erat, memandang uah hati mereka penuh kebanggaan.
Mama menyandarkan kepalanya ke bahu Papa, Gusni ikut tersenyum melihat kedua orang tuanya begitu bahagia. hlm. 83
15 “Kapan Gusni bisa main bulutangkis, Pa?” Gusni menarik kemeja Papa, menatap Papa Mama penuh harap. hlm. 84
Gelanggang olagraga menjadi saksi bagi Gusni akan perjuangannya yang keras menjadi pemain bulutangkis untuk mewujudkan cita-citanya dan untuk
bertahan hidup. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut: 16 Senyum Gusni mengembang teduh, Pak Pelatih mengangguk
beriring semangat dalam tatapannya untuk Gusni sore itu. Perempuan besar itu pun mulai berlari mengelilingi kompleks
gelanggang yang mulai menyepi bersama semburat jingga yang menghias awan di atasnya. Seperti manusia yang ingin selalu hidup
menghirup udara dengan tanpa sengaja, langkah kaki itu mulai bergerak cepat, tahu ia harus bekerja lebih keras lagi menopang berat
badan di atasnya, kali ini bersama senyum yang terlintas tanpa bibir itu memintanya. hlm. 321
2 Latar Sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial dalam novel 2 karya Donny Dhirgantoro ini ditunjukkan dalam:
a. Keluarga Latar sosial ditunjukkan dalam lingkungan keluarga Gusni. Keluarga
sederhana yang selalu ada untuk Gusni. Keluarga yang harus menerima Gusni saat mengetahui penyakit yang dialami Gusni. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan
berikut : 1 Kakek terus berbicara dan berbicara, papa dan Mama bertambah
bingung mendengar segala penjelasan Kakek. Akhrnya, Kakek mengeluarkan beberapa lembar foto dan menjelaskan. Seperti melihat
bukti nyata, wajah Papa kaget bukan kepalang. hlm. 20 2 Kakek menunjuk senuah foto dan menjelaskan. Seperti melihat sebuah
bukti nyata, wajah Papa kaget bukan kepalang. Mama tiba-tiba memegang tangan Papa erat dan menangis di bahu Papa. hlm. 20 –
21
3 Semua pernah Papa bayangkan, sepanjang hidupnya, mengendap di benaknya bertahun-tahun lamanya. Sesuatu yang seharusnya tidak
pernah seorang ayah atau seorang ibu bayangkan dalam hidupnya, menyaksikan anaknya sendiri, buah hatinya, terbujur kaku di
depannya seperti saat ini. hlm. 292
Gusni yang dilahirkan dengan berat 6,26 kilo mendapat pandangan aneh dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Kekurangan yang dimiliki Gusni sejak
lahir sepintas Gita, kakaknya, waktu kecil belum bisa menerima kehadiran Gusni dalam keluarganya. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan :
4 “Tuh, adek bayinya diem...” Mama tersenyum. Gita melihat Gusni ketus.
“Adek bayi jahat... Gita nggak mau adek bayi Adek bayi jahat...”hlm. 18
5 “GITA Nama aku tuh GITA, bukan Kakak” Gita menjawab ketus. Papa dan Mama sesaat terdiam. Gita berujar ketus lagi.
“Nama aku th Gita, aku nggak mau dipanggil Kakak” hlm. 25 6 “Emangnya Gita minta adek? Gita kan nggak minta Kok tau-tau ada
adek” jawab Gita lagi. hlm. 25 Papa dan Mama terus berjuang menerima Gusni dari segala
kekurangannya, dan terus mendampingi Gita untuk dapat menerima keadaan adiknya. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut :
7 Gita tiba-tiba perlahan membereskan susu yang tadi dilemparnya ke
bawah lantai mobil, memasukkannya ke dalam kantong plastik, mengikatnya rapi dan memeluk kantong plastik berisi susu adiknya,
lalu pandangan Gita kembali ke jalanan luar. Papa melirik sedikit, pura-pura tidak melihat. Papa menarik nafas, membawa apa
yangbarusan ia lihat ke dalam hatinya. hlm. 29
8 “Adek diam yaa...nanti kalau udah gede main sama Kakak Gita.”
Gita terus membelai-belai pipi Gusni yang tembem dengan lembutnya. Tidak menyerah, ia terus mencoba mendiamkan Gusni
yang perlahan-lahan tangisnya mulai mereda dan akhirnya benar- benar berhenti. Gita tersenyum, membelai Gusni yang sekarang
sudah kembali tertidur. hlm. 34
Papa sebagai kepala keluarga terus mencoba bersabar menghadapi persoalan demi persoalan yang menimpa keluarganya. Terdapat dalam kutipan
berikut : 9
“Susunya Gusni minggu ini udah mau habis lagi lho, Pa...,” Papa mengangguk pelan.
“Gita juga,... minggu depan, kita harus bayar uang pangkal untuk sekolah Gita...” Mama menyandarkan kepalanya ke bahu Papa.
“Nanti Papa cari cara...” Papa, melihat tumpukan slop kok menatap lalu Mama tenang. Sambil Papa terus berusaha membetulkan mesin,
memutar kunci di tangannya dengan keras. hlm. 33
b. Sahabat Gusni tidak hanya disayangi dalam keluarganya, tetapi ia juga memiliki
kedua sahabat yang baik, dan ia juga kenal dengan seorang laki-laki yang dekat dengan Gusni waktu kecil, yang selalu menguatkan dan mengenalkan cita-cita
padanya. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut: 10 “Ini Nuni, yang ini Ani. Nuni sama Ani, ini yang namanya...Harry...”
Gusni takut-takut mengenalkan Harry kepada Nuni dan Ani, dua sahabat dekatnya. Nuni dan Ani adalah sahabat yang sama panjang,
lebar, dan tingginya dengan Gusni. hlm. 63
11 “Kamu dikatakan gendut ya?” Gusni mengangguk. Harry menatap Gusni tulus dan bertutur lembut.
“Kata Mama Harry... lebih enak jadi orang gendut, karena ukuran hatinya pasti lebih besar.” hlm. 70
12 “Kata Papa Harry, orang hidup itu harus punya cita-cita...kalau kamu nggak punya cita-cita berarti kamu nggak hidup, kamu orang mati
namanya...” hlm. 71
c. Keluarga Harry Keluarga Harry mengenalkan Gusni tentang arti sebuah senyuman dan
hati yang baik. Gusni dapat terus belajar dari setiap peristiwa yang ia hadapi, belajar untuk mengenal dirinya lewat sesama dari ketidakadilan yang belum ia
ketahui. Di Restoren Bakmi Nusantara tempat keluarga Harry berjualan, Gusni mengajak keluarganya bertemu dengan keluarga Harry dan merasakan bakmi
yang lezat. Gusni merasakan senyuman yang tulus dan kekuatan besar datang memenuhi restoran tersebut dan meninimbulkan energi positif. Hal tersebut
ditunjukkan langsung oleh pengarang dalam kutipan tersebut : 13 Senyum besar yang terus membuka hati seseorang dan membiarkan
energi positif yang ada masuk dan menular. Ya, sebuah senyum memang menular. Papa mengangguk-angguk sendiri. Tidak
mengherankan restoran bakmi ini selalu penuh dengan pelanggan di Restoran Bakmi Nusantara ini kita tidak cuma menikmati bakmi,
tetapi udara bersama rasa positif dari senyum yang ditularkan membuat rasa nyaman selalu datang. hlm. 86
d. Pak Pelatih Pak Pelatih adalah orang yang melatih Gita bulutangkis, dan sekaligus
sahabat Papa, ia adalah Andi Hariyanto. Bulutangkis menjadi tempat bagi Gusni untuk melawan ketidakadilan dari penyakit yang dideritanya. Berkat Pak Pelatih
untuk menerima Gusni menjadi anak didiknya, Gusni terus bersemangat dan berjuang dan tidak ingin mengecewakan orang-orang yang mencintainya dan
memberi kesempatan padanya untuk terus berjuang. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan :
14 “Ok, boleh, saya akan latih dia....” Pak pelatih mengangguk, matanya tidak lepas memandang Gusni. hlm. 118
15 “Saya suka tantangannya...,” sambung Pak Pelatih, seperti tahu yang ada di pikiran Papa. hlm. 118
16 “Kamu tau gak saya ada di sini malatih, membagi ilmu setiap hari semampu saya bisa. Ada satu kalimat yang selalu saya pegang...”
“Apa, Pak?”
“Jangan pernah meremehkan kekuatan seorang manusia, karena Tuhan sedikit pun tidak pernah” hlm. 124
17 “Semua ini Gusni lakuin karena Gusni mau hidup. Percaya sama Gusni Ma, Pa, Kak Gita” Gusni mengusap air matanya. “Besok
Gusni mulai latihan bulutangkis lagi, mulai lari lagi, seminggu Gusni sakit, tiduran terus di tempat tidur, berat Gusni sekarang seratus tiga
puluh, kalau ada cara lain pasti Gusni udah tahu kan?” Gusni menatap orang-orang yang dicintainya..., “Gusni ke kamar dulu.”
hlm. 294
Pak Pelatih yang memiliki sosok tegas ini tidak hanya sekedar melatih bulutangkis kepada anak didiknya, tetapi juga memberikan motivasi dalam hidup
untuk tidak pernah menyerah terhadap mimpinya. Seperti halnya dengan Gusni, Pak Pelatih ingin Gusni kuat melawan penyakitnya dari latihan-latihan keras yang
diberikan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut: 18 “Sekarang saya tanya, jujur sama saya Gus, apa yang kamu mau?”
“Saya mau hidup, Pak...,” jawab Gusni tegas. “Saya pelatih bulutangkis...saya bukan dokter atau Tuhan, saya
nggak bisa buat kamu hidup.” Gusni terdiam. Pak Pelatih menatap Gusni tajam, menunggu
jawaban. “Saya mau latihan bulutangkis, Pak,...supaya... saya bisa,... terus
hidup.” Hening sejenak meliputi gelanggang lengang itu. hlm. 244
Gusni selalu mengingat ajaran-ajaran dari Pak Pelatih saat ia latihan bulutangkis. Kata-kata yang sangat bermakna dalam hidupnya. Hal tersebut
terdapat dalam kutipan berikut: 19 “Kamu tahu nggak Ry? Pak Pelatih selalu bilang satu kalimat yang
buat semangat aku terus ternakar kalau lagi latihan....” “Apa Gus?”
“Jangan pernah meremehkan kekuatan seorang manusia, karena Tuhan sedikit pun tidak pernah.” hlm. 260
20 “Tetapi hari ini saya bilang sama kalian semua bahwa mimpi kalian yang telah membawa kalian ke sini adalah omong-kosong. Bermimpi
saja tidak cukup Saya akan meminta lebih dari omong kosong, khayalan, impian dan cita-cita kalian.” hlm. 314
21 “Ke setiap diri di depan saya...hari ini, saya bilang...jika kamu punya impian, impian besar dan begitu bermakna, kekuatan imajinasi
manusia yang luar biasa, tetapi kamu tidak sedikit pun meneteskan keringat untuk memperjuangkan impian kamu,...buat saya kamu
hanyalah pembual nomor satu bagi diri kamu sendiri.” “Juga...ke setiap diri di depan saya hari ini, saya bilang..., jangan
coba-coba bekerja keras, tetapi tanpa impian, tanpa impian yang membakar diri dan benak kamu setiap hari, berkeringat,
lelah,...tetapi tanpa makna, melangkah tapi tanpa tujuan, bangun di pagi hari menyesali apa yang kamu lakukan, bekerja keras tanpa
impian, buat saya..., kamu hanyalah pembual nomor satu bagi dunia.” hlm. 314
3 Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau
dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu yang terdapat dalam novel 2 karya Donny Dhirgantoro ini
pertama diceritakan tentang kelahiran Gusni. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut :
22 Jakarta, 27 Oktober 1986. Malam itu hujan turun deras sekali, di sebuah rumah sakit besar di Jakarta sebuah peristiwa besar akan
segera terjadi. hlm. 1 Latar waktu selanjutnya menunjuk pada kepulangan Gusni, Gusni
diyatakan boleh dibawa ke rumah. Ditunjukkan dalam kutipan : 23 Dua hari kemudian setelah membuat repot seisi rumah sakit, hari
ketiga pagi Gusni dinyatakan boleh pulang. hlm. 12 Latar waktu selanjutnya ditunjukkan dalam kutipan :
24 Malam di Jakarta telah datang, para kerabat sudah pulang, tinggal kakek dan nenek yang memutuskan untuk menginap. hlm. 19
Waktu itulah Kakek mengatakan yang sebenarnya terjadi pada Gusni. Papa dan Mama harus menerima kenyataan bahwa Gusni memiliki penyakit genetik
dan Gusni tidak bisa bertahan lama untuk tetap hidup. Kenyataan pahit yang harus dialami keluarganya, tetapi hal itu harus dihadapi dan tetap menyayangi Gusni
sampai kapan pun. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut : 25 Setelah menarik nafas panjang, Kakek akhirnya berbicara, terdengar
sangat hati-hati dalam memilih kata-kata, suaranya sedikit berat layaknya orang yang sedang memendam kesedihan yang dalam.
Kakek terus berbicara dan berbicara. Papa dan Mama bertambah
bingung mendengar segala penjelasan Kakek. Akhirnya, Kakek mengeluarkan beberapa lembar foto lama yang warnanya mulai
kekuningan. Kakek menujuk sebuah foto dan menjelaskan. Seperti melihat bukti nyata, wajah Papa kaget bukan kepalang. hlm. 20
Meskipun begitu Gusni begitu beruntung, di tengah kekurangan yang ia dihadapi, keluarganya selalu mendampingi dan melindungi Gusni.
Latar waktu selanjutnya ditunjukkan dalam kutipan : 26 Jakarta 1992 35
Waktu tersebut menunjukkan peristiwa di mana Gusni bersama keluarganya menyaksikan pertandingan bulutangkis di televisi, Olimpiade Barcelona 1992.
Gusni merasakan kebahagian ketika melihat Papa, Mama, dan Gita tersenyum bahagia menyaksikan pertandingan bulutangkis. Waktu itu juga terjadi peristiwa
di mana Gusni dilihat banyak orang dengan pandangan yang aneh. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan :
27 Gusni seperti sudah melupakan peristiwa malam sebelumnya. Ia bercanda dengan Gita, berlarian di lorong toko. Beberapa
pengunjung kadang tertawa, heran melihat anak perempuan berkuncir dua yang putih dan besar dengan bintik-bintik merah di
wajahnya. Gusni tahu, beberapa pengunjung melihatnya dengan pandangan aneh dan menyelidik. Gusni berusaha cuek, hari ini
terlalu indah untuk dilewati dengan kesedihan. Papa yang melihat pandangan aneh orang-orang pada Gusni melirik Mama. Dalam hati
ia mengagumi bagaimana Mama melihat kuat, walaupun tetap bagi Papa semuanya berlebihan. Papa memperhatikan Gusni. Setiap
pandangan aneh orang kepada dirinya, selalu dibalas Gusni dengan melirik Mama yang menjawabnya dengan senyuman. Senyum Mama
selalu bisa menguatkan Gusni. hlm. 49
Waktu yang selanjutnya ditunjukkan dalam kutipan : 28 Jakarta 1998 hlm. 53
Waktu tersebut menunjukkan peristiwa ketika Gusni berada di sekolah kelas 6 SD. Gusni merasa bahagia saat di sekolah, karena dapat bertemu banyak teman
dan warung jajan. Ketika itu Gusni mendapat kenalan yang menjadi teman akrabnya yaitu Harry.
Gusni juga memiliki sahabat yang sama besar, lebar, dan tingginya dengan Gusni, namanya Nuni dan Ani. Ketika itu mereka diganggu dan diolok-olok oleh
tiga teman laki-laki. Gusni mencoba melawan dengan raket nyamuknya, tetapi tiba-tiba raket nyamuknya kehabisaan baterai. Anak laki-laki tersebut kembali
menyerang Gusni, tetapi Harry datang menolong dan menguatkan Gusni. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut :
29 “Kamu dikatakan gendut ya?” Gusni mengangguk. Harry menatap Gusni tulus dan bertutur lembut.
“Kata Mama Harry... lebih enak jadi orang gendut, karena ukuran hatinya pasti lebih besar.”
Gusni mengerenyitkan keningnya bingung. hlm. 70
Berkat Harry, Gusni berani bercita-cita. Ia juga dapat belajar banya dari keluargan Harry tentang arti sebuah senyuman yang tidak dibuat-buat. Di tahun
itu juga, Gusni bersama Papa dan Mama menyaksikan Gita dalam pertandingan bulutangkis di gelanggang olah raga memperebutkan Piala Merdeka 1998. Betapa
senangnya Gusni ketika melihat Papa dan Mama bahagia, Gita mendapatkan Juara Piala merdeka 1998. Suatu saat Gusni juga ingin seperti kakaknya, membuat Papa
dan Mama bahagia. Di tahun 1998, Gusni membawa keluarganya ke warung bakmi Papa
Harry, Restoran Bakmi Nusantara. Berkat Gusni, Papa mengahadirkan Andi Hariyanto Maulana, pemain bulutangkis yang digemari oleh Papa Harry. Selain
kebahagian yang dialami Gusni, di waktu itu juga terjadi peristiwa malapetaka Jakarta 1998. Ditunjukkan dalam kutipan berikut :
30 Gusni kecil tergeletak lemah di tanah, di antara sesaknya asap hitam malapetaka Jakarta 1998. hlm. 97
Saat itu Gusni juga harus menerima kenyataan pahit yang dialami keluarga Harry, dan ia harus kehilangan Harry karena harus pindah ke suatu tempat. Hal
tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut : 31 Gusni hampir tidak mempercayai penglihatannya. Gerobak bakmi
besar di depan habis terbakar dan hanya menyisakan bau karet ban yang sesak menyengat. Papan bertuliskan Restoran Bakmi Nusantara
sudah hangus dan tumbang tepat di depan bangunan yang sekarang sudah hampir rata dengan tanah. Tidak terasa air mata Gusni
menetes, keluarga Harry terdiam membatu di depan rumah mereka, Restoran Bakmi Nusantara. hlm. 99
32 Gusni tidak kuat melihat semuanya, tangannya sudah ikut basah mengusap air mata yang jatuh terus-neberus.
“Harry...” Gusni berlari memanggil Harry. Harry di atas mobil pikup menoleh lemah. Gusni menatap Harry mengusap air matanya.
hlm. 101
33 Pagi itu, hari di bulan Mei 1998 Gusni menatap langit Jakarta yang bersih dengan awan putih putih bergerombol. Asap hitam
membumbung di mana-mana. hlm. 102 Kesedihan yang Gusni alami, keluarganya terlebih Papa, Mama, dan Gita selalu
mendampingi dan memberi semangat kepadanya. Waktu yang selanjutnya ditunjukkan dalam kutipan :
34 Jakarta 2003 hlm. 136 Waktu tersebut menjukkan Gusni berada di SMA. Dia merasakan banyak orang
yang menyayanginya, selain keluarga ia juga memiliki sahabat yang sangat baik dan tulus sejak SD, dan terus bersama-sama hingga SMA. Hal tersebut
ditunjukkan dalam kutipan berikut : 35 Di bangku belakang Gusni tersenyum melihat kelakuan kedua
sahabatnya. Gusni menatap sahabat-sahabatnya, sama-sama tinggal
berdekatan, juga terus sama-sama semenjak SD sampai SMA. hlm. 141
Di tahun 2003 tersebut Gusni bertemu kembali dengan Harry, laki-laki yang selalu ada buat Gusni waktu ia kecil dulu. Hal tersebut ditunjukkan dalam
kutipan : 36 Gusni melihat pemuda besar itu akan beranjak pergi, Gusni
menguatkan hatinya, menghela nafas panjang dan sedikit berlari mendekati pemuda itu. hlm. 162
Latar waktu selanjutnya ditunjukkan dalam kutipan berikut : 37 Jakarta 2004 hlm. 201
Pada tahun tersebut Gusni mengetahui penyakit yang selama ini ia derita. Kenyataan pahit yang harus Gusni alami dan terima. Begitu berat juga bagi
keluarganya untuk menerima ini semua, dan merasa berat untuk bercerita kepada Gusni. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut :
38 Papa mengumpulkan keberaniannya, siap mengetuk pintu kamar Gusni, tetapi lagi-lagi Papa tertunduk dan menggelengkan
kepalanya. Untuk sesaat ia ragu apakah yang akan dilakukannya ini benar adanya; Apakah Gusni siap menerima semuanya. Bulir
keringat menetes pelan di keningnya. hlm. 203
39 “Mereka menjadi begitu besar karena sebuah penyakit genetis...penyakit keturunan...,” Aliran darah di badan Gusni seperti
terhenti mendengar kalimat Papa. hlm. 206 40 “Mereka berdua...tidak hidup lama...
...tidak pernah... ... mencapai...
...usia dua puluh lima tahun ...” hlm. 207 Di tahun ini juga Gusni menunjukkan bahwa ia mampu melawati
semuanya. Gusni terus berjuang dan berjuang untuk tetap bertahan hidup. Hari kesembilan puluh dua setelah Gusni mampu menerima kenyataan yang harus ia
terima, akhirnya ia mulai bertanding bulutangkis pertama kalinya. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut :
41 Setibanya di Gelanggang, kabar itu pun datang untuknya, setelah tiga bulan lebih berlatih, Pak Pelatih memutuskan untuk pertama kalinya
Gusni akan bertanding. Kabar di gelanggang beredar begitu cepat. Si Besar Gusni akan menjalani pertandingan pertamanya. hlm. 261
Waktu itu Gusni diberi kepercayaan kepada Pak Pelatih untuk berada pada pertandingan yang sebenarnya. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan :
42 “Mungkin sudah saatnya dia berada pada pertandingan sebenarnya,” ujar Pak Pelatih tegas, matanya tidak pernah lepas memperhatikan
Gusni. hlm. 280 Semua yang dialami oleh Gusni menjadi kekuatan kepada Pak Pelatih
untuk mempercayainya dalam mengikuti seleksi Pelatnas. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan :
43 “Saya ingin sekali anak itu masuk dan ikut seleksi Pelatnas, tetapi dia bukan siapa-siapa, ranking pun tidak punya, tetapi dia, dengan
segala keterbatasannya menciptakan harapan, menunjukkan kalau harapan itu ada...” hlm. 309
Waktu selanjutnya ditunjukkan dalam kutipan : 44 Tiga hari menjelang Khatulistiwa Terbuka hlm. 324
Waktu tersebut menunjukkan bahwa Gusni bergabung dalam Tim Nasional Indonesia. Sesuatu yang luar biasa Gusni tunjukkan pada semua orang yang
menyayanginya bahwa Gusni bisa melewati hidupnya. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut :
45 “Selamat datang di Tim Nasional Indonesia, Gus. Jadi mulai sekarang kamu berjuang untuk tiga hal sekaligus, buat diri kamu,
keluarga kamu, dan buat Tanah Air kamu...,” ujar Pak Pelatih bangga. hlm. 326
Berdasarkan kutipan di atas, terlihat bahwa ketiga latar tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mendukung jalannya suatu cerita. Seperti
yang ditunjukkan dalam kutipan di atas. Pada kutipan 1 dan 38 menunjukkan peristiwa di mana dan kapan Gusni lahir. Kutipan 3 dan 43, terdapat
kehangatan dalam keluarga Gusni yang mau menerima keadaannya dan senantiasa menyayangi serta mendukung Gusni. Kutipan 2 menunjukkan Gusni dapat
menerima penyakit yang ada dalam tubuhnya dan ingin melawannya. Kutipan 4 dan 11, Gusni kecil mulai bercita-cita dan memiliki mimpi.
Kutipan 5 – 7 dan 54 – 56, Gusni mengetahui penyakit genetik yang dialaminya, suatu tantangan berat bagi Gusni menghadapi semuanya. Kutipan
12 dan 29, Gusni dapat belajar tentang arti sebuah senyuman dan hati yang baik. Kutipan 16, Gusni tidak pernah putus asa dari kenyataan pahit yang ada
pada dirinya, ia terus menunjukkan semangat untuk terus berjuang melawan penyakitnya. Kutipan 17 – 19 dan 41, Papa dan Mama mengetahui kenyataan
pahit yang terjadi pada Gusni dan tantangan berat yang harus dihadapi keluarga mereka.
Kutipan 20 – 22 , Gita waktu kecil belum bisa menerima kehadiran Gusni dalam keluarganya. Berkat kesabaran Papa dan Mama, Gita bisa menerima
dan menjaga Gusni, kutipan 23 dan 24. Kutipan 25, ketegaran Papa sebagai kepala keluarga tetap berdiri untuk keluarga yang sangat ia cintai. Kutipan 26 –
28 dan 51 menunjukkan kebersamaan Gusni bersama kedua sahabatnya dan mengenal laki-laki yang sangat ia cintai. Kutipan 48 dan 49 menunjukkan
peristiwa Gusni harus berpisah dengan Harry akibat malapetaka Jakarta 1998.
Kutipan 30 – 37, 57 – 59, dan 61, Gusni sangat bersyukur mengenal Pak Pelatih bersedia melatih bulutangkis dan memberi semangat padanya untuk terus
berjuang dan bertahan hidup. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa latar
mempunyai hubungan erat dengan sosiologi sastra. Hadirnya latar dalam suatu cerita memperkuat atau mempertegas keyakinan pembaca terhadap jalannya suatu
cerita.
4. Tema