Ketentuan Internasional terhadap perlindungan Desain Industri

Urip S. Tinambungan : Eksistensi Dari Keberadaan UU Desain Industri No.31 Tahun 2000 Sebagai Proteksi Di Sektor Perdagangan, 2009. USU Repository © 2009 64

B. Ketentuan Internasional terhadap perlindungan Desain Industri

terdaftar. Tradisi hukum asli Indonesia sebenarnya kurang bahkan tidak begitu mengenal perangkat hukum yang mengatur perlindungan hak atas kekayaan intelektual. Hal demikian karena akar hukum Indonesia yang bersifat kommunal, kegotongroyongan, tidak begitu mengenal perlindungan karya intelektual yang mengedepankan sifat individual, hal ini terlihat dari beberapa pencipta desainer yang tidak begitu mempedulikan bila karyanya ditiru orang lain, mereka merasa tidak dirugikan bahkan merasa bangga bahwa karyanya mendapat perhatian. Mereka berpandangan bahwa karya ciptanya sebagai karya batiniah yang universal dan dapat dinikmati siapapun, dimanapun, dan kemanapun. Namun dengan diperkenalkannya hukum Barat semasa penjajahan Belanda maka kita kemudian dikenalkan kepada hukum dibidang hak atas kekayaan intelektual tersebut. Pada masa penjajahan perundang-undngan dibidang hak atas kekayaan intelektual juga sudah tampak diperkenalkan, terutama pada awal abad ke-20, yaitu dengan diundangkannya beberapa Stbl 1910 Regleement Industricele Eigendom Reglemen milik Perindustrian Stbl 1912 Nomor 545 jo Stbl 1910 Nomor 214, dan Auteurswet Stbl 1912 Nomor 600. Dalam hal perjanjian internasional dibidang hak atas kekayaan Intelektual khususnya dibidang hak milik perindustrian, yaitu Konversi Paris, Indonesia semenjak tahun 1948 mulia bersentuhan dan terkait dengan ketentuan Konvensi Paris tersebut, dengan diratifikasikan Konvensi Paris versi London 1934 oleh 65 Belanda. Hal demikian terjadi dan sudah menjadi kenyataan karena secara otomatis, semua hak dan kewajiban yang menyangkut Nederlans-Indie, berdasarkan asas kontinuitas terjadi karena berkaitan erat dengan perjanjian Konfrensi Meja Bundar KMB antara Republik Indonesia serikat dengan Belanda. Dalam perkembangan Konvensi Paris terakhir yaitu versi Stockholm tahun 1967, Indonesia mengikuti pertemuan tersebut yang diwakili oleh Jasin Ibrahim yaitu Sekretaris II kedutaan Besar Indonesia di Stockholm Swedia dan selaku wakil delegasi Indonesia beliau telah ikut menandatangani naskah Konvensi Paris revisi Stockholm, dan naskah mengenai pembentukan The World Intellectual Property Organization WIPO. Penandantanganan naskah tersebut tidak langsung mengikat Indonesia atas ketentuan Konvensi Paris revisi Stockholm tahun 1967, namun harus terlebih dahulu ditindaklanjuti dengan diratifikasinya perjanjian tersebut. Baiklah secara lengkap akan dijelaskan dibawah ini. WTO, TRIPs, konvensi Paris Indonesia sebagai Negara berkembang perlu memjukan sektor industri dengan meningkatkan kemampuan daya saing. Salah satu daya saing tersebut adalah dengan memenfaatkan peranan desain industri yang merupakan hak kekayaan intelektual. Keanekaragaman budaya yang dipadukan dengan upaya untuk ikut serta dalam globalisasi, perdagangan 36 Ismail Saleh, Masalah Perlindungan Milik Intelektual Hukum dan Ekonomi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990, Hal 4, dikutip dari H.Muhammad Djumhana, Op.cit, Hal 125 , dengan memberikan pula Urip S. Tinambungan : Eksistensi Dari Keberadaan UU Desain Industri No.31 Tahun 2000 Sebagai Proteksi Di Sektor Perdagangan, 2009. USU Repository © 2009 66 perlindungan hukum terhadap desain industri akan mempercepat pembangunan industri nasional. 36 Dalam kaitan dalam globalisasi perdagangan Indonesia telah meratifikasi konvensi tentang pembentukan organisasi perdagangan dunia world trade organization yang mencakup pula persetujuan tentang aspek-aspek dagang hak intelektual trade. Related Aspect of Intellectual Property Right TRIPs sebagaimana telah disahkan dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1994. Ratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property, yang telah disahkan dengan Keppres Nomor 15 tahun 1997, dan keikutsertaan Indonesia dalam The Hague Agreement Concerning the International Deposit of Industrial Design London act. 37 Indonesia dalam meratifikasi Konvensi Paris revisi Stokholm tahun 1967 yang dituangkan dalam Keppres No. 24 tahun 1979 pada dictum pertamanya. Dengan menyertakan persyaratan demikian maka keikutsertaan Indonesia menjadi anggota Uni Paris versi Stokhlom tidak menyeluruh. Ketentuan yang dikecualikan merupakan ketentuan yang bersifat substantif yang menjamin adanya persamaan hak bagi semua orang di setiap Negara tentang hak dan kewajiban seorang dan badan hukum atau aturan yang mensyaratkan Negara-negara anggota membuat aturan perundang-undangan yang sesuai dengan aturan-aturan umum tersebut. 38 Mengenai pengesahan ratifikasi dengan bersyarat, khususnya menyangkut pasal 28 ayat 1 mempunyai dasar dan dibenarkan oleh ketentuan 67 pasal 28 ayat 2 yaitu bahwa ratifikasi dapat dibarengi dengan pernyataan declaration. Dengan pengecualian pasal 28 ayat 1 ini Indonesia tidak mengakibatkan diri pada ketentuan untuk m “Mencabut persyaratan reservation terhadap pasal 1 sampai dengan pasal 11 Paris Convention For the protection of industrial Property “tanggal 20 Maret 1983 sebagaimana dilampirkan pada Keputusan Presiden No. 24 tahun 1979 eminta penyelesaian sengketa yang terjadi kepada Mahkamah Internasional. Dengan adanya syarat tersebut adanya menganggap tidak terikat untuk menyelesaikan persengketaan kepada Mahkamah Internasional apabila terjadi sengketa dibidang ini dengan negara peserta Uni Paris. Menurut Ismail Saleh, disinilah pentingnya meciptakan suatu keseimbangan dan keserasian antara “Kepentingan Nasional” disatu pihak dan kepentingan International pada pihak lainnya. 39 Namun demikian dengan telah diubahnya Keppres No. 24 tahun 1979 dengan Keppres No. 15 tahun 1997 yang memuat hampir secara menyeluruh pada beberapa hal, maka Indonesia telah terikat hampir secara menyeluruh pada ketentuan-ketentuan dari Konvensi Paris Revisi Stockholm tahun 1967 yang telah diubah pula pada tahun 1997. Walaupun demikian Indonesia belum terikat pada pasal 28 ayat 1, karena menurut Keppres No. 15 tahun tahun 1991, pengecualian terhadap pasal termaksud tetap berlaku, sesuai dengan bunyi pasal 1, yang selengkapnya berbunyi : 37 Ibid 38 Ibid 39 H. Muhammad Djumhana, Aspek-Aspek Hukum Desain Industri di Indonesia; Cetak I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal 7 Urip S. Tinambungan : Eksistensi Dari Keberadaan UU Desain Industri No.31 Tahun 2000 Sebagai Proteksi Di Sektor Perdagangan, 2009. USU Repository © 2009 68 tentang pengesahan Paris Convention for the protection of industrial Property dan Contion Estasblishing the word intellectual Property Organization”. Dengan hanya mengucapkan kepada ketentuan penyelesaian sengketa di Mahkamah International tersebut, maka Indonesia akan mengatur desain industri yang tercantum dalam Konvensi Paris revisi Stockholm tahun 1967 serta perubahan tahun 1979 harus termuat secara keseruhan tanpa kecuali yang berlaku secara International dalam rangka mewujudkan terciptanya keseragaman kerangka hukum dan keseragaman system dalam bidang desain industri, yang dicita-citakan WIPO. 40 Selain pasal-pasal diatas, dalam Konvensi Paris masih ada lagi pasal yang mengatur tentang desaian industri yaitu pasal 1, dan pasal 25 dan pasal 26 persetujuan Trade Related Aspects of Intelectual Property Right TRIPs Indonesia perlu memberikan perlindungan hukum terhadap HaKI dibidang desain industri. Perlindungan hukum ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak pendesain dan kewajiban-kewajibannya serta mencegah perlanggaran desain industri oleh pihak-pihak tidak berhak. 41 Salah satu ketentuan pokok dalam teks Konvensi Paris disebutkan bahwa desain industri tetap mendapat perlindungan dalam kerangka ketentuan Konvensi Paris meskipun desaian tersebut tidak dilaksanakan pada suatu Negara tertentu, sesuai dengan ketentuan pasal 58, 42 40 H. Muhammad Djumhana, Loc.it, Hal 124-127 41 Ibid, Hal 63 69 “The Protection Of Industrial Design Shall not, under any circumstance, be subject to any forfeiture, erther by reason of faiture to work or by reason or importation or articles corresponding to those which are prtotected.” Perlindungan dimikian merupakan suatu pengejawantahan dari ketentuan Konvensi Paris yang bersifat internasional, sehingga sudah menjadi kewajiban bagi para anggota yang tergabung di dalamnya untuk menaati semua ketentuan yang dituangkan dalam konvensi tersebut. Mereka bertindak demikian karena melihat dasar dari pengaturan hak atas kekayaaan intelektual tersebut dilihat dari tujuan dan fungsinya , sehingga dalam sistem pendaftaraan ini mereka menentukan kewajiban tertentu kepada si pemohon dan si pemilik pemegang hak, yaitu diantaranya 43 : a. Mengungkapkan permohonannya dengan jelas dan lengkap termasuk informasi mengenai permohonannya dan pemberian hak atas desain terdaftar tersebut di luar negeri. b. Melaksanakan atau mengaplikasikan desain tersebut di dalam negeri dalam jangka waktu tertentu. c. Membayar biaya – biaya yang ditentukan dalam peraturan perundang - undangan kepada kantor yang mengurus pendafataran hal desain desain yang didaftarkan tersebut. Adapun kewajiban pada butir I itu merupakan suatu cara dalam rangka mempercepat adanya alih teknologi. Hal demikian sesuai dengan tujuan pokok pengaturan HaKI yaitu untuk memberi perlindungan kepada mereka yang 42 Ibid Urip S. Tinambungan : Eksistensi Dari Keberadaan UU Desain Industri No.31 Tahun 2000 Sebagai Proteksi Di Sektor Perdagangan, 2009. USU Repository © 2009 70 berkarya dengan insentif tertentu, tetapi juga mereka dituntut menjalankan fungsi social dari kekayaan intelektualnya untuk pengembangan teknologi serta penigkatan ekonomi , karena mereka dituntut untuk memberikan kesempatan kalangan lain atau kepada umum untuk mengetahui perkembangan teknologi dari hasil karyanya secara lengkap. 44 Ketentuan pokok dalam Konvensi Paris yang juga penting adalah mengenai Prinsip national treatment atau prinsip asimilasi, yang berarti adanya perlakukan yang sama untuk setiap orang dari setiap Negara peserta konvensi paris sebagaimana mereka memperlakukan warga negaranya sendiri. Prinsip ini disebut pula prinsip resiprositas timbal balik, ketentuan ini diatur dalam pasal 7 ayat 1 , Konvensi Paris versi Stockholm 1967 dan perubahannya tanggal 28 September 1997. Perlakuan yang sama juga harus diberikan kepada warga negara dari negara bukan anggota Konvensi Paris. Jika mereka bertempat tinggal di negara anggota Konvensi Paris atau jika mereka memiliki industri dan perdagangan yang nyata dan efektif di negara tersebut. 45 Adanya prinsip asimilasi ini mempengaruhi jangkauan perlindungan hukum atas sesuatu hak atas kekayaan intelektual. Di bidang desain jangkauan yang diharapkan meliputi : 43 Ibid, Hal 63 71 1. Semua hal desain warga negara, penduduk dan badan hukum Indonesia juga yang bukan warga negara bukan penduduk dan badan hukum Indonesia tetapi didaftarkan di Indonesia. 2. Semua hasil desain warga negara, penduduk dan badan hukum yang negaranya mempunyai perjanjian bilateral mengenai perlindungan hak atas kekayaan intelektual dengan Indonesia atau pula negaranya dan Negara Indonesia merupakan peserta dalam suatu perjanjian multilateral Pengaturan desain industri dimaksudkan untuk memberikan landasan bagi perlindungan yang efektif terhadap berbagai bentuk pelanggaran atas desain indus tri yang telah dikenal secara luas. 47

C. Jangka Waktu Perlindungan Hak Atas Desain Industri