BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Eksistensi lembaga perbankan syariah dalam beberapa tahun terakhir memang menjadi salah satu alternatif lembaga keuangan bagi masyarakat sebagai
dampak krisis ekonomi pada tahun 1997 yang berimbas pada likuiditas perbankan nasional. Dalam kurun waktu tahun 1997 hingga kini, lembaga perbankan syariah
mengalami pengembangan yang signifikan. Berdirinya Bank Muamalat Indonesia di tahun 1992 merupakan indikasi
awal dari perkembangan lembaga syariah di Indonesia. Pada tahun 2005, hanya dalam kurun waktu 13 tahun, lembaga syariah di Indonesia tumbuh dengan pesat.
Lembaga-lembaga itu adalah perbankan syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah, bahkan properti dan hotel syariah.
1
Apalagi setelah keluarnya fatwa MUI tentang bunga bank adalah salah satu bentuk riba yang
diharamkan, dimana riba diharamkan dalam Alqur’an yang terdapat pada Surat Ali Imran ayat 130, yang berbunyi :
+ , -.
1
Hermawan Kertajaya, Muhammad Syakir Sula, Syariah Marketing Bandung: Mizan, 2006, Cet Pertama, h. 160.
01 23 45
6 8 9 :+;
Artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa sampai bulan November 2007, jumlah bank syariah telah
mencapai 143 unit. Perinciannya, tiga bank merupakan Bank Umum Syariah BUS, 26 bank merupakan Unit Usaha Syariah UUS, dan 114 bank merupakan
Bank Perkreditan Rakyat Syariah BPRS. Pertumbuhan jumlah bank syariah yang pesat tersebut juga diikuti oleh peningkatan nilai indikator-indikator
perbankan syariah, seperti aset, dana pihak ketiga DPK, dan pembiayaan. Nilai aset perbankan syariah selain BPR Syariah pada akhir tahun 2003 baru
mencapai Rp. 7,9 trilyun. Pada bulan November 2007, nilai tersebut telah meningkat hingga lebih dari empat kali lipat menjadi Rp. 33,3 trilyun. Nilai dana
pihak ketiga DPK yang dihimpun dan nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah juga mengalami kenaikan yang tajam, dari hanya
Rp. 5,7 trilyun dan Rp. 5,5 trilyun menjadi masing-masing Rp. 25,7 trilyun dan Rp. 26,5 trilyun.
2
Mengingat Indonesia adalah Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Sisi ini patut menjadi potensi aset yang kuat jika diikuti dengan kualitas
sumber daya manusia yang memadai. Pada tahun 2007 sebesar 88 dari total jumlah penduduk yang mencapai 225 juta jiwa adalah muslim, Indonesia
mestinya menjadi pasar yang luar biasa bagi bisnis syariah. Namun kenyataan yang terjadi masih cukup memprihatinkan. Sayang sekali, potensi kependudukan
sedemikian besar itu ternyata tidak secara otomatis memuluskan sosialisasi perbankan syariah.
3
Ada beberapa persoalan yang perlu digarap untuk memuluskan jalan perbankan syariah bisa diterima di negeri mayoritas muslim ini. Pertama,
pertumbuhan Bank Syariah belum merata. Walaupun sudah tersebar di daerah- daerah kotamadyakabupaten, tetapi belum merata tersebar diwilayah Indonesia.
Kedua , masyarakat Muslim Indonesia masih belum sepenuh hati
menerima Bank Syariah. Sebuah survei oleh Bank Indonesia di enam propinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan
Jambi menunjukkan hal itu.
2
Akhmad Akbar Susamto dan Malik Cahyadin, “Praktik Ekonomi Islami di Indonesia dan Implikasinya terhadap Perekonomian”, artikel ini di akses pada 14 September 2008 dari
http;www.lebi.fe.ugm.ac.idshiratdataImplikasiEkonomiIslamterhadapPerekonomianIndonesia.pdf.
3
httpwww.mail-archive.comekonomi-nasionalyahoogroups.com.ms906754.html. Diakses 14 September 2008.
Ketiga, ada kesenjangan antara kebutuhan dan pengetahuan masyarakat
terhadap jenis-jenis produk syariah. Akibatnya, permintaan masyarakat rendah, bank pun kesulitan memasarkan produk syariahnya.
4
Alasan lain yang dapat ditemukan adalah bahwa masyarakat umum masih memerlukan keterangan dan penjelasan tentang seluruh aspek lembaga keuangan
dengan prinsip syariah, ini terutama fasilitas dan produk yang dapat dimanfaatkan oleh calon nasabah, serta sistem dan cara menggunakan fasilitas dan produk
perbankan syariah tersebut. Untuk itu, semua pihak baik kalangan teknisi, akademisi,
ahli ekonomi,
maupun ulama
mesti berperan
dalam mempublikasikannya sehingga pemahaman masyarakat lebih objektif dan
bijaksana dalam memilih produk ekonomi. Dilihat dari pandangan khusus, ada beberapa faktor yang menarik bagi
penulis untuk membahas masalah ini. Pertama, pengembangan perbankan syariah telah masuk ke daerah-daerah termasuk Kota Bukittinggi yang merupakan salah
satu kota di Propinsi Sumatera Barat merupakan sentra ekonomi di Sumatera Barat yang mana pusat perdagangan terletak di kota ini, tetapi belum terlalu
berkembang seperti di kota-kota besar lainnya, padahal semakin banyaknya masyarakat yang memfokuskan untuk menabung ke Bank Syariah. Kedua, dilihat
dari kebiasaan masyarakat daerah Sumatera Barat yang sangat kental dengan keislamannya, dimana merupakan pusat penyebaran dan berkembangnya agama
4
Deni Setiawan, Loyalitas Nasabah pada Perbankan Syariah, http:www.riaupos.comweb
, 28 Agustus 2008.
Islam yang terkenal dengan sebutan “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah
“.
5
Adat dalam arti umum adalah norma dan budaya. Norma adalah aturan-
aturan, dan budaya adalah kebiasaan. Dalam arti hukum, adat adalah pedoman atau patokan dalam bertingkah laku, bersikap, berbicara, bergaul, berpakaian, dan
sebagainya. Basandi, berasal dari sendi, artinya dasar atau potensi yang kuat. Sedangkan syara’, maksudnya ajaran agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an
dan Hadis Rasulullah SAW serta Sunatullah natural law sebagai hukum alam takambang
menjadi guru. Antara adat dan syara’ tidak lagi dipisahkan, dan tidak akan ada
pertikaian. Karena apa yang dikatakan syara’, itulah yang dipakai oleh masyarakat adat Minangkabau. Oleh karena itu, apapun aktifitas kehidupan dan
bagaimanapun interaksi sosial masyarakat adat Minangkabau selalu dilandasi al- Qur’an, Hadis, dan hukum alam dalam Islam dikenal dengan ayat-ayat
kauniyah .
Ketiga , keberadaan PT Bank Syariah Mandiri Cabang Bukittinggi yang
berlokasi di Jl. Jendral Sudirman No. 73 Bukittinggi – 26116 Propinsi Sumatera Barat sebagai salah satu cabang Bank Umum Syariah yang pertama di
Bukittinggi. Bank Syariah Mandiri memiliki perkembangan yang cukup baik dan juga telah memiliki sebuah kantor cabang pembantu di Kota Payakumbuh dan
5
Syukri Iska, ed.,“Dilematis Lembaga Perbankan Syariah dalam Kultur Minang Kabau”, Jurnal Ilmiah Syariah
STAIN Batusangkar, Juni 2006, h. 3-5.
Kantor Kas di Aur Kuning. Dengan dasar inilah penulis ingin mengetahui lebih jauh peran Bank Syariah Mandiri bagi pengembangan ekonomi masyarakat di
Bukittinggi. Dari penjelasan yang sudah penulis uraikan, maka penulis akan mengkaji
“Peran Bank Syariah Mandiri Bagi Pengembangan Ekonomi Masyarakat Di Bukittinggi”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah