25 menghilangkan lignin. Perlakuan pendahulan pada lignoselulosa dapat dilakuakn
secara fisikawi, kimiawi dan biologis [23]. Perlakuan pretreatment delignifikasi secara fisika antara lain berupa pencacahan secara mekanik, penggilingan dan
penepungan untuk memperkecil ukuran bahan dan mengurangi kristalinitas bahan [24]. Proses pretreatment dilakukan untuk mengkondisikan bahan-bahan
lignoselulosa baik dari segi struktur dan ukuran dengan memecah dan menghilangkan kandungan lignin dan hemiselulosa, merusak struktur kristal dari
selulosa serta meningkatkan porositas bahan [22]. Rusaknya struktur kristal selulosa akan mempermudah terurainya selulosa menjadi glukosa. Selain itu, hemiselulosa
akan turut terurai menjadi senyawa gula sederhana glukosa, galaktosa, manosa, heksosa, pentosa, xilosa dan arabinosa [25].
Beberapa faktor yang mendorong makin intensifnya dilakukan pemanfaatan bahan lignoselulosa menjadi sumber energi dalam hal ini etanol adalah pertama,
kebutuhan dan konsumsi energi terus meningkat dari tahun ke tahun sementara sumber daya yang dapat menghasilkan energi makin terkuras karena sebagian besar
sumber energi saat ini berasal dari sumber daya alam yang tidak terbarukan seperti minyak, gas dan batu bara. Kedua, bioetanol memiliki karakteristik yang lebih baik
karena dapat meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Dan yang ketiga bahan lignoselulosa tersedia cukup melimpah dan tidak
digunakan sebagai bahan pangan sehingga penggunaannya sebagai sumber energi tidak mengganggu pasokan bahan pangan [24].
Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan ampas tebu sebagai bahan baku yang merupakan bahan lignoselulosa dengan perlakuan delignifikasi yang dilakukan
adalah secara fisika yaitu dengan cara di-blender.
2.3 VINASSE
Produk samping proses fermentasi hidrolisat ampas tebu menghasilkan bioetanol terdiri dari 2 jenis, yaitu produk samping berupa padatan dan cairan.
Produk samping yang berupa cairan dihasilkan dari proses distilasi menggunakan rotary vacuum pump sedangkan produk samping padatan dari proses pemisahan
ampas dengan cairan disebut vinasse.
26 Berikut ini adalah data kandungan vinasse yang telah dianalisa.
Tabel 2.3 Komposisi Vinasse Parameter
Komposisi bb Kadar Glukosa
1,94 Kadar Lignin
24,78 Kadar Selulosa
52,98
Pemanfaatan vinasse menjadi penting karena volumenya yang besar, sehingga jika dibuang ke lingkungan akan menimbulkan pencemaran air. Pemanfaatan vinasse
untuk didaur ulang sebagai bahan baku pembuatan etanol mulai dikembangkan karena selain dapat meningkatkan jumlah etanol yang didapatkan proses daur ulang
tidak memerlukan instalasi pengolahan baru karena dapat menggunakan instalasi produksi yang ada [8].
2.4 SACCHAROMYCESS CEREVISIAE
Jenis khamir yang paling banyak digunakan adalah Saccharomyces cereviseae. Secara komersial khamir roti telah diproduksi pada tahun 1846 dengan ditemukan
proses “wina” oleh Mautner menggunakan bahan dasar malt dan jagung. Biakan Saccharomyces cereviceae secara khusus digunakan dalam pembuatan khamir roti
dan fermentasi alkohol. Saccharomyces cereviseae ini bersifat fermentatif kuat. Tetapi dengan adanya oksigen, Saccharomyces cereviseae ini juga melakukan
respirasi yaitu mengoksidasi gula menjadi karbondioksida dan air [26].
Saccharomyces cerevisiae adalah mikroorganisme dominan yang digunakan dalam industri yang berguna untuk fermentasi alkohol. Organisme ini juga
dikenal sebagai ragi roti atau bir yang merupakan microfungus uniseluler yang memainkan peran penting dalam industri, lingkungan dan ilmu kedokteran.
Mikroorganisme ini sudah dimanfaatkan selama ribuan tahun dalam fermentasi makanan dan minuman dan merupakan sel utama Pabrik dalam proses produksi
bioetanol modern. Merupakan mikroba bioetanol dominan yang mampu memfermentasi gula utama yang berasal dari bahan baku generasi pertama misalnya
glukosa, fruktosa, sukrosa, maltosa di bawah kondisi skala besar produksi industri. Tidak mampu kecuali dengan modifikasi genetik memfermentasi gula pentosa
27 misalnya xylose, arabinosa yang berasal dari generasi kedua berbahan baku
lignoselulosa.
Jenis Saccharomyces cerevisiae tumbuh sangat baik pada suhu 20-30 º C dan pH antara 4,5 dan 5,5. Mengenai kebutuhan oksigen, Saccharomyces cerevisiae
merupakan mikroorganisme anaerob fakultatif dan umumnya tidak dapat tumbuh dengan baik di bawah kondisi benar-benar anaerobik. Hal ini karena oksigen
diperlukan sebagai faktor pertumbuhan untuk membran biosintesis, khusus untuk biosintesis asam lemak misalnya, asam oleat dan sterol misalnya, ergosterol [27].
Saccharomyces cerevisiae tersedia dalam bentuk kultur murni dan ragi. Pada penelitian ini digunakan ragi roti dan ragi tempe dalam proses fermentasi. Menurut
Peppler [28], Saccharomyces cerevisiae dapat diproduksi menjadi ragi, baik untuk pembuatan roti baker’s yeast dan pembuatan minuman beralkohol brewing yeast
dan wine yeast. Pada pembuatan ragi roti digunakan Saccharomyces cerevisiae yang memiliki sifat antara lain menghasilkan karbondioksida yang tinggi serta mampu
memberikan tekstur dan rasa roti yang baik. Sementara Saccharomyces cerevisiae yang digunakan untuk produksi alkohol memiliki sifat antara lain mampu
menghasilkan etanol yang tinggi
Pada fermentasi menggunakan kultur murni diperlukan penyiapan inokulum secara khusus dan membutuhkan biaya yang relatif tinggi. Sementara itu,
Saccharomyces cerevisiae dalam bentuk ragi dapat langsung digunakan sebagai inokulum pada fermentasi etanol. Ragi roti dijual bebas di pasaran sehingga mudah
didapatkan dan banyak digunakan oleh rumah tangga [29].
Ragi Tape mengandung 2 jenis khamir yaitu khamir amilolitik dan non amilolitik. Khamir amilolitik adalah genus Endomycopsis menghasilkan aroma
khas karena menghasilkan enzim pemecah pati. Khamir non amilolitik yaitu genus Saccharomyces yang mampu menghasilkan alkohol, Hanseula dan Candida yang
mampu menghasilkan aroma [30]. Adonan dalam ragi tape bersifat amylolytic kuat dan menurunkan pangkat sebagain besar karbohidrat yang diuraikan menjadi gula
sederhana yang diuraikan lebih lanjut oleh ragi hingga mengandung alkohol [31].
Ragi Saccharomyces cerevisiae umumnya mempunyai ketahanan terhadap konsentrasi glukosa sampai 22 mv [32]. Clark dan Mackie [33] menyatakan
bahwa khamir sangat peka terhadap etanol. Konsentrasi etanol 1-2 vv sudah
28 mengganggu proses fermentasi dan pada konsentrasi etanol 10 vv laju
pertumbuhan khamir akan berhenti sama sekali. Sedangkan menurut Prescott dan Dunn [34], kadar etanol maksimal yang bisa dihasilkan sebelum fermentasi benar-
benar berhenti adalah 13 vv. Mangunwidjaja dan Suryani [35] menambahkan bahwa konsentrasi etanol sebesar 40 gl akan menjadi penghambat baik untuk
pertumbuhan biomassa maupun produksi etanol. 2.5 PROSES PEMBUATAN BIOETANOL
Secara umum proses pembuatan bioetanol meliputi tiga tahapan, yaitu persiapan bahan baku pretreatment, fermentasi dan pemurnian.
Gambar 2.3 Skema Proses Produksi Bioetanol [36]
2.5.1 Tahap Persiapan Bahan Baku Pre-treatment Pengaruh pretreatment pada bahan lignoselulosa telah diakui untuk waktu yang
lama. Tujuan dari pretreatment ini adalah untuk menghilangkan lignin dan hemiselulosa, mengurangi kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan.
29 Pretreatment harus memenuhi persyaratan sebagai berikut [37]:
1. Meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan untuk kemudian membentuk
gula oleh hidrolisis enzimatik 2. Menghindari degradasi atau hilangnya karbohidrat
3. Menghindari pembentukan produk sampingan yang dapat menghambat proses
berikutnya yaitu hidrolisis dan fermentasi 4. Biaya lebih efektif
2.5.2 Tahap Hidrolisis Termal
Pada hidrolisis termal digunakan medium pemanas berupa air. Dengan penggunaan medium air tadi maka korosi terhadap perangkat hidrolisis lebih dapat
diminimalisasi dibandingkan dengan penggunaan asam. Jenis hidrolisis ini juga hanya sedikit menghasilkan produk samping yang tidak diinginkan serta limbah yang
dihasilkan bersifat ramah lingkungan. Keunggulan dari hidrolisis termal dibandingkan dengan jenis hidrolisis lain adalah proses hidrolisis dengan perlakuan
panas tidak memerlukan tahap lebih lanjut seperti tahap pemurnian, tidak perlu dilakukan penyesuaian pH, maupun penggunaan katalis. Alasan itulah yang
mendukung penggunaan hidrolisis termal dalam upaya produksi bioetanol [9]. Larutan gula hasil hidrolisis mendapat perlakuan detoksifikasi untuk menghilangkan
racun yang mungkin terkandung dalam bahan baku [6].
Hidrolisis termal menggunakan tekanan dan temperatur yang tinggi, untuk memisahkan komponen organiknya, menghidrolisis hemiselulosa dan mengubah
sifat-sifat selulosa dan lignin [38].
Pada suhu dan tekanan tinggi, glukosa dan xilosa akan terdegradasi menjadi furfural dan hidroksimetilfurfural. Jika furfural dan hidroksimetilfurfural
terdekomposisi lanjut, akan didapat asam levulinat dan asam format [39].
30 Gambar 2.4 Produk Samping Hasil Degradasi Lanjut Monosakarida [39]
2.5.3 Tahap Fermentasi
Pada tahap ini, tepung telah sampai pada titik telah berubah menjadi gula sederhana glukosa dan fruktosa dimana proses selanjutnya melibatkan penambahan
enzim yang diletakkan pada ragi yeast agar dapat bekerja pada suhu optimum. Berikut adalah reaksi pembentukan etanol dari glukosa:
Gambar 2.5 Reaksi Pembentukan Bioetanol [40] Proses fermentasi berlangsung beberapa jam setelah semua bahan dimasukkan
ke dalam fermentor. Proses ini berjalan ditandai dengan keluarnya gelembung- gelembung udara kecil-kecil Gelembung-gelembung udara ini adalah gas CO
2
yang dihasilkan selama proses fermentasi. Selama proses fermentasi usahakan agar suhu
tidak melebihi 36°C dan pH nya dipertahankan 4.5 – 5. Proses fermentasi berjalan
31 kurang lebih selama 2 sampai 3 hari. Salah satu tanda bahwa fermentasi sudah
selesai adalah tidak terlihat lagi adanya gelembung-gelembung udara [41]. Konsentrasi gula pada larutan fermentasi diatur maksimum 17-18, itu merupakan
kadar gula maksimum yang disukai Saccharomyces untuk mengkonversi gula menjadi etanol [42].
2.5.4 Tahap Pemurnian Distilasi
Pada tahap pemurnian bioetanol, proses yang sering digunakan adalah proses distilasi. Distilasi adalah salah satu metode dari pemurnian dengan cara memisahkan
dua atau lebih komponen-komponen dalam suatu cairan berdasarkan perbedaan tekanan uap masing-masing komponen.
Pada proses distilasi bioetanol, larutan fermentasi yang terdiri dari campuran etanol, air dan bahan-bahan lainnya dipisahkan pada tekanan atmosfir dengan suhu
tertentu. Pada suhu 100
°
C air mendidih dan akan menguap, sedangkan etanol mendidih pada suhu sekitar 77
°
C. Perbedaan titik didih inilah yang memungkinkan pemisahan campuran etanol dan air. Jika larutan campuran etanol-air dipanaskan,
maka lebih banyak molekul etanol menguap daripada air.
Proses pemurnian etanol yang paling banyak digunakan dalam dunia industri adalah proses distilasi. Etanol dan air membentuk titik azeotrop pada komposisi
95,57 berat etanol, sehingga digunakan proses distilasi azeotropik atau adsorpsi untuk memecah titik azeotrop tersebut [43].
Kadar etanol yang terhitung dari hasil distilasi sebenarnya lebih kecil dibandingkan kadar etanol yang sebenarnya terkandung dalam cairan fermentasi. Hal
ini disebabkan karena pengukuran kadar etanol dilakukan dengan menggunakan metode distilasi [29]. Menurut Amerine dan Ough [44], distilasi etanol akan
menyebabkan kehilangan etanol sebanyak 0,6-1,5 vv.
32
2.6 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PEMBUATAN BIOETANOL
2.6.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Hidrolisis
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hidrolisis adalah 1. Suhu
Suhu mempengaruhi jalanya reaksi hidrolisis, terutama pada kecepatan reaksinya. Hidrolisis dari pati mengikuti persamaan reaksi orde satu dengan kecepatan reaksi
yang berbeda-beda untuk setiap jenis pati. Untuk kisaran suhu 90-100
°
C, kecepatan reaksi meningkat dua kali lebih cepat setiap kenaikan suhu 5
°
C. Sedangkan secara keseluruhan, pada umumnya kecepatan reaksi hidrolisis akan
meningkat dua kali lebih cepat setiap kenaikan suhu 10
°
C. Dengan penggunaan suhu yang lebih tinggi, maka waktu reaksi dapat di minimalkan. Penggunaan suhu
tinggi juga dapat meminimalkan penggunaan katalisator sehingga biaya operasional lebih ekonomis.
2. Katalisator Penggunaan katalisator pada reaksi hidrolisis dilakukan pertama kali oleh
Braconnot pada 1819. Beliau menghidrolisis linen selulosa menjadi gula fermentasi dengan menggunakan asam sulfat pekat. Setelah itu ditemukan bahwa
asam dapat digunakan sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi hidrolisis. Katalisator yang biasa di gunakan berupa asam, yaitu asam klorida, asam sulfat,
asam sulfit, asam nitrat, atau yang lainnya. Makin banyak asam yang di pakai sebagai katalisator, makin cepat jalannya reaksi hidrolisa. Penggunaan katalisator
dengan konsentrasi kecil larutan encer lebih disukai karena akan memudahkan pencampuran sehingga reaksi dapat berjalan merata dan efektif. Penggunaan
konsentrasi katalisator yang kecil dapat mengurangi kecepatan reaksi. Namun hal ini dapat diatasi dengan menaikkan suhu reaksi.
3. Waktu Waktu reaksi mempengaruhi konversi yang dihasilkan. Semakin lama waktu
reaksi, maka semakin tinggi pula konversi yang di hasilkan. Hal ini disebabkan oleh kesempatan zat reaktan untuk saling bertumbukan dan bereaksi semakin
besar, sehingga konversi yang di hasilkan semakin tinggi [45].
33 4. Kecepatan Pengadukan
Dengan adanya pengadukan dalam reaksi hidrolisis akan menambah jumlah tumbukan antar zat pereaksi sehingga nilai frekuensi tumbukan A pada
persamaaan Arrhenius bertambah besar.
Persamaan Arrhenius : k = A. e
-
E RT
..........................................................................2.1 dengan
k : konstanta kecepatan reaksi
A : faktor frekuensi tumbukan E : energi aktivasi
R : konstanta gas T : suhu absolut [46]
2.6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Fermentasi Faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi adalah :
1. Substrat
Substrat merupakan bahan baku fermentasi yang mengandung nutrien-nutrien yang dibutuhkan oleh mikroba untuk tumbuh maupun menghasilkan produk
fermentasi. Nutrien yang paling dibutuhkan oleh mikroba baik untuk tumbuh maupun untuk menghasilkan produk fermentasi adalah karbohidrat. Karbohidrat
merupakan sumber karbon yang berfungsi sebagai penghasil energi bagi mikroba, sedangkan nutrient lain seperti protein dibutuhkan dalam jumlah lebih sedikit
daripada karbohidrat.
2. Suhu Suhu fermentasi mempengaruhi lama fermentasi karena pertumbuhan mikroba
dipengaruhi suhu lingkungan fermentasi. Mikroba memiliki kriteria pertumbuhan yang berbeda-beda. Menurut Fardiaz [26], Saccharomyces cerevisiae memliki
kisaran suhu pertumbuhan antara 20-30
°
C. Tetapi Kumalasari [47] menyatakan bahwa Saccharomyces cerevisiae akan tumbuh optimal dalam kisaran suhu
30-35
°
C dan puncak produksi alkohol dicapai pada suhu 33
°
C. Jika suhu terlalu rendah, maka fermentasi akan berlangsung secara lambat dan sebaliknya jika suhu
34 terlalu tinggi maka Saccharomyces cerevisiae akan mati sehingga proses
fermentasi tidak akan berlangsung.
3. pH Derajat keasaman pH merupakan salah satu faktor penting yang perlu untuk
diperhatikan pada saat proses fermentasi. pH mempengaruhi pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae. Oleh karena itu, pada awal pelaksanaan penelitian,
substrat yang akan dipakai terlebih dahulu diuji pH nya.
4. Oksigen Oksigen secara tidak langsung mempengaruhi lama fermentasi yang dilakukan
oleh Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dengan baik pada kondisi aerob, tetapi untuk melakukan proses fermentasi alkohol,
dibutuhkan kondisi anaerob. Saccharomyces cerevisiae tumbuh dengan baik pada kondisi aerob. Pada kondisi aerob, Saccharomyces cerevisiae menghidrolisis gula
menjadi air dan CO
2
, tetapi dalam keadaan anaerob gula akan diubah oleh Saccharomyces cerevisiae menjadi alkohol dan CO
2
. 5. Mikroba yang digunakan
Mikroba sebagai pelaku fermentasi tentu sangat berpengaruh terhadap lama fermentasi. Dalam fermentasi alkohol umumnya digunakan khamir karena khamir
dapat mengkonversi gula menjadi alkohol dengan adanya enzim zimase. Saccharomyces cerevisiae memiliki beberapa kelebihan dibandingkan mikroba
lain yang juga dapat membentuk alkohol. Kluyveromyces fragilis juga merupakan khamir yang dapat memproduksi alkohol. tetapi, Saccharomyces cerevisiae dapat
mengkonversi gula lebih cepat daripada Kluyveromyces fragilis. Dalam 72 jam Saccharomyces cerevisiae dapat menghasilkan alkohol hingga 2 sedangkan
Kluyveromyces fragilis membutuhkan waktu hingga 1 minggu untuk dapat memproduksi etanol hingga 2. Namun, Saccharomyces cerevisiae tidak dapat
memanfaatkan galaktosa [48].
35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
1.6 LOKASI PENELITIAN