Pembahasan Bagian yang Hemiplegia Usia Crosstabulation

22 orang 73,3, hemiplegia mencolok atau tampak nyata berjumlah 6 orang20, hemiplegia sedang dan hemiplegia ringan sama-sama berjumlah 1 orang 3,3. Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Status Fungsi Motorik Pasien Pasca Stroke di RSUP H. Adam Malik Medan n=21 Karakteristik Frekuensi n Persentase Hemiplegia berat 22 73.3 Hemiplegia mencoloknyata 6 20.0 Hemiplegia sedang 1 3.3 Hemiplegia ringan 1 3.3 Total 30 100.0

5.2. Pembahasan

Stroke mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Gangguan kontrol motorik volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motor yang paling umum adalah hemiplegia paralisis pada salah satu sisi karena lesi pada sisi otak yang berlawanan Smeltzer Bare, 2002. Pada penelitian ini, status fungsi motorik pasien pasca stroke yang paling banyak adalah kategori hemiplegia berat dengan jumlah 22 orang. Penelitian Sanford et al 1993, juga didapatkan bahwa dari 12 orang responden sebanyak 3 orang Universitas Sumatera Utara mengalami hemiplegia berat, 4 orang mengalami hemiplegia mencolok, 4 orang mengalami hemiplegia sedang dan hanya 1 orang yang mengalami hemiplegia ringan. Berdasarkan karakteristik usia, peneliti menemukan bahwa pada kategori hemiplegia berat dan hemiplegia tampak nyata yang paling banyak yaitu pada rentang usia 56-65 tahun lampiran 6. Penelitian Dinata, Safitra dan Sastri 2012, didapatkan bahwa lebih dari 50 penderita stroke berusia di atas 50 tahun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rumahorbo 2014 resiko stroke akan bertambah 2 sampai 3 kali lipat setiap 10 tahun setelah usia 50 tahun. Stanley Beare 2007, mengatakan bahwa perubahan normal muskuloskeletal terkait usia pada lansia adalah penurunan tinggi badan, redistribusi massa otot dan lemak subkutan, peningkatan porositas tulang, atrofi otot, pergerakan yang lambat, pengurangan kekuatan dan kekakuan sendi-sendi. Perubahan pada tulang, otot dan sendi mengakibatkan terjadinya perubahan penampilan, kelemahan dan lambatnya pergerakan yang menyertai penuaan. Teori diatas didukung dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pada hemiplegia kanan lebih banyak terjadi pada usia 56-65 tahun dengan jumlah 6 orang dan pada hemiplegia kiri paling banyak juga terjadi pada rentang usia 56-65 dengan jumlah 5 orang lampiran12. Penelitian Patmawati, Lisal dan Singara 2014, berdasarkan umur, bahwa dari 35 responden dengan letak lesi dihemisfer kanan berada dalam kategori umur 51 – 60 dengan jumlah 27 77,1 dan dari 35 responden dengan letak lesi dihemisfer kiri berada dalam kategori umur 51 – 60 dengan jumlah 23 65,7 . Universitas Sumatera Utara Pada penelitian ini, laki-laki lebih banyak mengalami stroke daripada perempuan. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Kabi, Tumewah dan Kembuan 2015, yang menemukan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak mengalami stroke daripada jenis kelamin perempuan. Berbeda dengan penelitian Dinata, Safitra dan Sastri 2012, menyatakan bahwa angka kejadian stroke pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Pada pasien pasca stroke yang mengalami hemiplegia berat dengan jenis kelamin laki-laki memiliki jumlah yang sama dengan jenis kelamin perempuan, yaitu masing-masing berjumlah 11 orang lampiran 7. Pada penelitian Patmawati, Lisal dan Singara 2014, berdasarkan jenis kelamin bahwa dari 35 responden dengan letak lesi dihemisfer kanan bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 22 orang 62,9 dan yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 13 orang 37,1. Dari 35 responden dengan letak lesi dihemisfer kiri ditemukan bahwa yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 22 orang 62,9 dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 13 orang 37,1. Sehingga peneliti menyimpulkan bahwa kejadian stroke dengan lesi pada hemisfer kiri atau kanan antar jenis kelamin bervariasi. Burhanuddin, Wahiduddin dan Jumriani 2013, juga mengatakan bahwa jenis kelamin laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk terkena stroke. Hasil penelitian ini menunjukkan, pasien pasca stroke yang mengalami hemiplegia sebelah kanan lebih banyak daripada yang mengalami sebelah kiri. Hal ini sesuai dengan penelitian Shofa 1999, dari 43 responden pasien stroke yang Universitas Sumatera Utara mengalami hemiplegia, sebanyak 26 orang mengalami hemiplegia kanan dan 17 orang mengalami hemiplegia kiri. Hasil penelitian lampiran 9 juga menunjukkan bahwa pada kategori hemiplegia berat, pasien yang mengalami hemiplegia sebelah kanan berjumlah 13 orang dan pasien yang mengalami hemiplegia sebelah kiri sebanyak 9 orang, pada kategori hemiplegia mencolok atau tampak nyata jumlah pasien yang mengalami hemiplegia kanan sebanyak 4 orang, pada kategori hemiplegia sedang terdapat 1 orang pasien yang mengalami hemiplegia kiri dan pada kategori hemiplegia ringan didapatkan hanya 1 orang pasien yang mengalami hemiplegia kanan. Hemiplegia pada bagian tubuh sebelah kanan menandakan kerusakan pada otak sebelah kiri. Hemiplegia paralisis satu tangan dan kaki pada sisi tubuh yang sama adalah salah satu contoh paralisis UMN. Jika terjadi hemoragi, embolus atau trombus dapat merusak serat-serat pada daerah motor di kapsula interna, tangan dan kaki pada sisi yang berlawanan menjadi kaku dan sangat lemah atau lumpuh dan refleks yang berlebihan Smeltzer Bare, 2002. Refleks yang berlebihan tersebut dapat dilihat dari pemeriksaan refleks patela dan achilles pada penelitian ini bahwa sebanyak 4 orang didapatkan mengalami refleks yang hiperaktif. Peneliti menemukan bahwa lama menderita stroke yang paling banyak dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan adalah 2 minggu pertama pasca serangan stroke. Pada pasien yang mengalami hemiplegia berat ditemukan bahwa lama pasien mengalami stroke yang paling banyak dengan jumlah 22 orang adalah 2 minggu pertama pasca serangan stroke. Menurut Purwanti dan Maliya 2008, klien dengan Universitas Sumatera Utara stroke harus dimobilisasi dan dilakukan fisioterapi sedini mungkin, bila kondisi klinis neurologis dan hemodinamik stabil. Secara teori pemulihan fungsional stroke mempunyai “periode emas” yang terbatas waktunya.Stimulasi yang diberikan pada 3 bulan pertama akan lebih memberikan hasil dibandingkan fase kronis dan tentu tidak boleh disia-siakan. Pasien harus diberikan motivasi untuk selalu aktif melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuan yang ada. Terapi latihan diprogramkan dengan durasi dan frekuensi latihan secara bertahap ditingkatkan. Latihan mencapai lingkup gerak penuh pada semua persendian disertai latihan regangan otot sedikitnya 2 kali per hari diperlukan Wirawan, 2009. Regularitas dalam latihan paling penting. Perbaikan kekuatan otot dan pemeliharaan rentang gerak dapat dicapai hanya melalui latihan harian Smeltzer Bare, 2002. Bila otot diam pada satu posisi tertentu dalam waktu lama kelenturannya akan hilang. Otot akan kaku pada posisi tersebut, sulit dan memerlukan tenaga lebih besar untuk kontraksi memendek ataupun memanjang. Demikian pula berlaku pada sendi, yang akan menjadi kering dan kaku. Kontraktur sendi dan spastisitas juga dapat menimbulkan nyeri saat otot digerakkan. Kedua kondisi ini membuat pasien yang karena kelumpuhannya sudah sulit bergerak menjadi tambah tidak mungkin bergerak Wirawan, 2009. Serangan stroke dapat berulang. Seseorang yang pernah terserang stroke mempunyai kecenderungan lebih besar akan mengalami serangan stroke berulang Siswanto, 2005. Mayoritas responden pada penelitian ini mengalami kejadian Universitas Sumatera Utara stroke yang pertama kali dan sebanyak 5 orang 16,7 mengalami stroke berulang. Seluruh pasien yang mengalami stroke berulang berada pada rentang usia 56-65 tahun. Pada penelitian Ratnasari 2010, pada kelompok usia 51-60 penderita stroke iskemik berulang sebanyak 6 orang 40 dan kelompok usia 61-70 jumlah penderita stroke iskemik berulang yaitu sebanyak 7 orang 46,7. Penanganan yang tepat diperlukan untuk mencegah kejadian stroke berulang. Wirawan 2009, mengatakan perlu diupayakan agar pasien tetap aktif setelah stroke untuk mencegah timbulnya komplikasi tirah baring dan stroke berulang secondary prevention. Komplikasi tirah baring dan stroke berulang akan memperberat disabilitas dan menimbulkan penyakit lain yang bahkan dapat membawa kepada kematian. Universitas Sumatera Utara BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan