11
2. Dimensi work-family conflict
Menurut Greenhaus Beutell 1985 work-family conflict terdiri dari tiga dimensi, yaitu :
a. Time-Based Conflict
Dimensi time-based conflict mengacu kepada konflik yang muncul ketika waktu yang diperlukan untuk memenuhi salah satu satu peran pekerjaan atau
keluarga membuat individu kesulitan untuk memenuhi tuntutan peran lainnya keluarga atau pekerjaan. Misalnya seseorang yang menghabiskan waktunya
untuk bekerja lembur menimbulkan konflik dalam keluarganya kerena ia tidak dapat hadir dalam jadwal makan malam bersama keluarga.
b. Strain-Based Conflict
Dimensi strain-based conflict mengacu kepada konflik yang muncul ketika ketegangan yang dihasilkan dari tuntutan salah satu peran pekerjaan atau
keluarga mempengaruhi kinerja individu dalam memenuhi tuntutan peran yang lainnya keluarga atau pekerjaan. Misalnya seseorang yang mengalami
kelelalahan, cepat marah, depresi dan kecemasan karena tuntutan yang tinggi dalam pekerjaannya membuat individu kesulitan untuk menjadi orangtua yang
penuh perhatian dan penyayang bagi keluarga. c.
Behavior-Based Conflict Dimensi behavior-based conflict mengacu kepada konflik yang muncul ketika
pola perilaku tertentu dari salah satu peran pekerjaan atau keluarga tidak sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan dalam peran lainnya keluarga atau
pekerjaan. Misalnya seseorang yang berprofesi sebagai manajer diharuskan untuk
Universitas Sumatera Utara
12 mandiri, obyektif dan tidak memihak serta agresif. Tetapi para anggota keluarga
mungkin mengharapkannya untuk bersikap lembut, hangat, tidak emosional, dan manusiawi dalam hubungan dengan mereka.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi work-family conflict
Menurut Ahmad 2008 terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi work-family conflict, yaitu :
a. Job-Related Factors
Faktor ini merupakan faktor penyebab terjadinya work-family conflict yang berasal dari ruang lingkup pekerjaan. Terdapat beberapa hal yang masuk ke dalam
job-related factors, yaitu : 1.
Job type Tipe pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang dapat mempengaruhinya untuk
mengalami work-family conflict. Karyawan yang berada di posisi manajerial dan profesional melaporkan lebih banyak mengalami work-famili conflict daripada
karyawan yang bekerja di posisi non-manajerial dan non-profesional Duxbury Higgins, 2003.
2. Work time commitment
Komitmen terhadap waktu kerja berkontribusi terhadap munculnya konflik antara peran pekerjaan dan non-pekerjaan bagi karyawan Beauregard, 2006;
Grzywacz Marks, 2000. Jam kerja yang terlalu lama dapat membuat karyawan mengalami kesulitan untuk menyeimbangkan tuntutan peran di keluarga dan
pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
13 3.
Job involvement Individu dengan tingkat keterlibatan psikologis yang tinggi dalam peran
pekerjaan mereka mungkin lebih sibuk dengan pekerjaan mereka dan membuat mereka dapat mencurahkan energi dalam jumlah yang berlebihan untuk peran
pekerjaan mereka dengan mengorbankan peran keluarga mereka, sehingga mereka mengalami work-family conflict Hammer, dkk, 1997; Darcy Carthy, 2007.
4. Role overload
Adanya beban kerja yang berlebihan dapat membuat individu mengalami konflik dengan peran mereka dalam keluarga Deery, 2008; Salam, 2014.
Individu yang merasa bahwa beban kerja mereka lebih dari yang dapat mereka tangani, akan mengalami emosi negatif, kelelahan dan ketegangan, sehingga
mereka dapat mengalami work-family conflict. 5.
Job flexibility Pengaturan kerja yang tidak fleksibel dapat membuat karyawan mengalami
work-family conflict. Saat ini banyak dari para pemimpin perusahaan yang menerapkan program pengaturan kerja yang fleksibel bagi karyawan yang
kesulitan untuk menyeimbangkan perannya di pekerjaan dan keluarga Masuda, dkk, 2012; Salam, 2014.
b. Family-Related Factors
Faktor ini merupakan faktor penyebab terjadinya work-family conflict yang berasal dari ruang lingkup keluarga. Terdapat beberapa hal yang masuk ke dalam
family-related factors, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
14 1.
Number of children Kehadiran anak dalam rumah tangga bisa menyebabkan individu mengalami
work-family conflict Carnicer, dkk, 2004. Karyawan yang sudah mempunyai anak dan bertanggung jawab sebagai orang tua lebih mungkin untuk memiliki
komitmen yang tidak fleksibel di rumah, sehingga hal ini dapat bertentangan dengan harapan atau tuntutan di pekerjaan.
2. Life-cycle stage
Tuntutan peran kerja dan keluarga yang ditemui selama masa dewasa bervariasi dengan tahap siklus hidup orang dewasa. Ibu yang bekerja dengan
anak-anak yang lebih muda akan mengalami lebih banyak work-family conflict dibandingkan dengan anak-anak yang lebih tua. Hal ini disebabkan karena ibu
yang bekerja dengan anak-anak yang lebih muda sering memiliki tuntutan yang tak terduga, seperti pengaturan perawatan anak dan perawatan anak yang sakit,
akan menghasilkan tingkat kontrol yang lebih rendah atas pekerjaan mereka dan membuat mereka lebih sering berhadapan dengan keluarga sehingga
meningkatkan potensi munculnya work-family conflict. 3.
Family involvement Karyawan yang memiliki keterlibatan yang lebih dalam domain keluarga dapat
mengalami konflik dalam pekerjaan mereka Carlson Kacmar, 2000. Hal ini disebabkan karena keterlibatan seseorang dalam keluarga menjadikan mereka
untuk mengidentifikasi diri mereka dengan keluarga yang berdampak terhadap citra diri dan konsep diri mereka, sehingga dapat mengganggu peran mereka
dalam pekerjaan dan mengalami work-family conflict. Sejalan dengan hasil
Universitas Sumatera Utara
15 penelitian Greenhaus, Parasuraman, Collins 2001 yang mengungkapkan bahwa
keterlibatan dalam keluarga memiliki hubungan yang positif dengan work-family conflict.
4. Child care arrangements
Pengaturan tentang perawatan anak pada orang tua yang sama-sama bekerja dapat mempengaruhi kondisi dalam pekerjaannya Greenberger O’Neal, 1990.
Pada pasangan dual-earner, wanita yang bekerja lebih cenderung untuk mengambil cuti dari pekerjaan untuk merawat anak yang sakit daripada pasangan
mereka yang juga bekerja. Selain itu, wanita mengalami lebih banyak konflik keluarga-pekerjaan ketika pasangan mereka tidak membantu mereka dalam hal
merawat dan membesarkan anak King, 2005. c.
Individual-Related Factors Faktor ini merupakan faktor penyebab terjadinya work-family conflict yang
berasal dari ruang lingkup indvidu. Terdapat beberapa hal yang masuk ke dalam individual-related factors, yaitu :
1. Life role values
Nilai-nilai peran hidup yang dimiliki seseorang berkaitan dengan work-family conflict yang dialaminya. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai peran hidup
merupakan pusat untuk mengorganisir makna dan tindakan untuk orang yang bekerja Carlson Kacmar, 2000. Terdapat tiga perspektif yang dapat digunakan
untuk menggabungkan nilai-nilai peran hidup ke dalam penelitian konflik pekerjaan-keluarga, yaitu sentralitas, prioritas dan kepentingan Carlson
Kacmar, 2000. Sentralitas mengacu pada ekspresi nilai individu yang berkaitan
Universitas Sumatera Utara
16 dengan bagaimana pentingnya pekerjaan atau keluarga dalam kehidupan mereka
jika dibandingkan dengan peran kehidupan lainnya, prioritas mengacu pada ekspresi
nilai individu
yang berkaitan
dengan bagaimana
individu memprioritaskan peran hidup mereka, sedangkan kepentingan mengacu pada
pentingnya ekspresi nilai diwujudkan dalam suatu peran yang diberikan kepada individu.
2. Gender role orientation
Orientasi peran gender mengacu pada keyakinan individu mengenai peran normal pria dan wanita dalam memenuhi tanggung jawab keluarga dan pekerjaan
Harris Firestone, 1998. Pria cenderung lebih banyak mengalami work-family conflict jika terjadi pertukaran peran dengan istri mereka yang membuat mereka
menerima tanggung jawab lebih untuk tugas-tugas yang berhubungan dengan perawatan anak, menyiapkan makanan dan bersih-bersih. Sedangkan pada wanita
cenderung lebih banyak mengalami work-family conflict jika mereka memegang keyakinan yang kuat terhadap peran gender tradisional yang mengharuskan
mereka untuk lebih menerima tanggung jawab dan tugas-tugas dalam keluarga Carnicer, dkk, 2004.
3. Personality
Kepribadian individu dapat mempengaruhi individu dalam menghadapi konflik antara peran di pekerjaan dan keluarga. Kepribadian yang dimiliki oleh individu
merupakan determinan yang mengarahkan individu untuk berpikir, merasakan, dan berperilaku terhadap pekerjaannya George, 1992; Darshani, 2014. Individu
yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi cenderung lebih banyak
Universitas Sumatera Utara
17 mengalami work-family conflict Wayne, dkk, 2004; Ratanen, Pulkkinen,
Kinnunen, 2005. Selain itu, individu yang workaholics cenderung lebih tinggi mengalami work-family conflict daripada individu yang tidak workaholics
Bonebright, Clay Ankenmann, 2000. Selanjutnya diungkapkan bahwa individu yang memiliki locus of control internal cenderung lebih rendah untuk
mengalami work-family conflict Noor, 2002; Andreassi Thompson, 2007. 4.
Self-evaluations Evaluasi diri dapat mempengaruhi persepsi individu tentang pekerjaan dan
keluarga mereka Fride Ryan, 2005. Individu dengan evaluasi diri yang positif, seperti harga diri yang tinggi dan perfeksionisme, akan memilih situasi yang dapat
menjadikan diri mereka berharga dan menghindari situasi yang menjadikan diri mereka tidak berharga. Sedangkan individu dengan evaluasi diri yang negatif
mengalami lebih banyak situasi yang penuh dengan tekanan baik di pekerjaan maupun di rumah Fride Ryan, 2005; Beauregard, 2006.
B. Locus of control 1. Definisi locus of control
Istilah locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada tahun 1966 Engko Gudono, 2007. Locus of control didefinisikan oleh Rotter 1966
sebagai cara pandang seseorang bahwa ia dapat mengendalikan atau tidak sebuah peristiwa yang sedang terjadi.
Locus of control merupakan persepsi atau keyakinan seseorang terhadap kontrol diri atas peristiwa yang mempengaruhi kehidupannya Greenberg, 2006.
Universitas Sumatera Utara
18 Sejalan dengan pernyataan Larsen Buss 2002 yang mendefinisikan locus of
control sebagai suatu konsep yang menunjuk pada keyakinan individu mengenai sumber kendali akan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.
Locus of control menggambarkan seberapa jauh seseorang memandang hubungan antara perbuatan yang dilakukannya action dengan hasilnya
outcome. Hjele Ziegler 1981 mengungkapkan bahwa locus of control adalah persepsi seseorang tentang penyebab kesuksesan atau kegagalan dalam
melaksanakan pekerjaanya Engko Gudono, 2007. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa locus of control adalah cara
pandang seseorang mengenai kemampuan dirinya dalam mengontrol peristiwa yang dialaminya.
2. Konsep dasar locus of control