Siklus birahi tikus berlangsung selama 4-5 hari dengan lama birahi 12 jam setiap siklus dan birahi terjadi pada malam hari. Birahi pada tikus betina banyak
dipengaruhi oleh bau pejantan Malole dan Pramono 1989. Smith dan Mangkoewidjojo 1988 menyatakan, bahwa pada umumnya tikus mulai kawin
pada umur 8-9 minggu, tetapi disarankan mengawinkan hewan tersebut pada umur 10-12 minggu. Masa birahi terbagi empat periode yaitu proestrus, estrus,
metestrus, dan diestrus. Masa kebuntingan tikus berlangsung 21-23 hari dan sejak 14 hari sudah terlihat adanya perubahan bentuk kelenjar ambing. Kebuntingan
tikus dapat diketahui pada saat berumur 10-14 hari dengan meraba perut tikus.
2.4 Involusi Uterus
Involusi uterus adalah perbaikan uterus ke ukuran dan fungsi normal tidak bunting setelah partus Hafez and Hafez 2000. Lamanya involusi uterus
tergantung pada kemampuan kontraksi miometrium, eliminasi infeksi bakteri, dan regenerasi endometrium. Involusi uterus ini mengakibatkan lapisan luar dari
desidua yang mengelilingi situs plasenta akan necrotic layumati Sulistyawati 2009.
Perubahan uterus selama involusi uterus dapat dideteksi dengan melakukan palpasi daerah abdomen untuk meraba tinggi fundus uterus TFU. Pada saat bayi
lahir, fundus uterus setinggi pusat dengan berat 1000 gram. Hari ke-7 postpartus, TFU teraba pada pertengahan antara pusat dan simpisis pubis dengan berat 500
gram Gambar 2. Setelah 2 minggu postpartus, TFU teraba di atas simpisis dengan berat 350 gram, dan 6 minggu postpartus fundus uterus mengecil tidak
teraba dengan berat 50 gram.
Gambar 2 Tinggi fundus uterus selama proses involusi uterus Sumber : Garrey dan Govan 1974 dalam Sulistyawati 2009.
Simpisis pubis
Perubahan yang terjadi pada uterus ini berhubungan erat dengan perubahan miometrium yang bersifat proteolitik. Perubahan normal uterus selama involusi
pada wanita dapat dilihat pada Tabel 4. Involusi uterus terjadi melalui 3 proses yang bersamaan yaitu autolisis, atropi jaringan, dan kontraksi efek oksitosin.
Autolisis merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam otot uterus. Selama kehamilan, uterus akan membesar hingga 10 kali panjangnya dan
5 kali lebarnya dari ukuran normal. Setelah partus, enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot uterus tersebut hingga kembali ke ukuran normalnya
Sulistyawati 2009. Tabel 4 Perubahan normal pada uterus selama involusi uterus
Involusi Uterus Tinggi Fundus
Berat Uterus
Diameter Uterus
Palpasi cervik Plasenta lahir
Setinggi pusat 1000
gram 12,5 cm
Lembutlunak 7 hari
Pertengahan antara pusat dan simpisis
500 gram 7,5 cm
2 cm 14 hari
Tidak teraba 350 gram
5 cm 1 cm
6 minggu Normal 50
gram 2,5 cm
menyempit
Sumber : Pusdiknakes 2003 dalam Sulistyawati 2009
Selama kehamilan jaringan uterus berproliferasi karena adanya estrogen dalam jumlah yang besar dan setelah partus jaringan uterus mengalami atropi
sebagai reaksi terhadap penghentian produksi estrogen yang menyertai pelepasan plasenta. Selain perubahan atropi pada otot-otot uterus, lapisan desidua akan
mengalami atropi dan terlepas dengan meninggalkan lapisan basal yang akan beregenerasi menjadi endometrium yang baru Sulistyawati 2009.
Intensitas kontraksi uterus meningkat segera setelah bayi lahir. Hal tersebut diduga terjadi sebagai respon terhadap penurunan volume intrauterin yang sangat
besar. Hormon oksitosin yang dilepas dari kelenjar hypofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus, mengecilkan pembuluh darah, dan membantu proses
homoestasis. Kontraksi dan retraksi otot uterus akan mengurangi suplai darah ke uterus. Proses ini akan membantu mengurangi bekas luka tempat implantasi
plasenta dan mengurangi perdarahan. Luka bekas perlekatan plasenta memerlukan waktu 8 minggu untuk sembuh total Sulistyawati 2009.
Selama 1-2 jam pertama postpartus, intensitas kontraksi uterus dapat berkurang dan menjadi teratur. Biasanya untuk mempertahankan kontraksi uterus
ini, disuntikan oksitosin secara intravena atau intramuskuler segera setelah kepala bayi lahir. Pemberian ASI segera setelah bayi lahir juga akan merangsang
pelepasan oksitosin karena isapan bayi pada payudara Sulistyawati 2009. Setelah beberapa bulan laktasi adenohipofisa kembali mengeluarkan hormon yang
akan menstimulasi pematangan folikel di ovarium, menghasikan estrogen, dan kembali menginisiasi siklus reproduksi Guyton 1961.
Selama periode involusi, uterus akan mengekskresikan cairan yang disebut dengan lokia. Lokia terdiri atas mukus, darah, sisa membran fetus, dan jaringan
induk, serta cairan fetus. Pengeluaran lokia dan pengecilan ukuran uterus disebabkan oleh kontraksi miometrium yang terus menerus akibat hadirnya
prostaglandin. Lokia dapat dibagi berdasarkan warna dan waktu keluarnya yaitu 1 lokia rubramerah muncul pada hari pertama sampai hari ketiga postpartus.
Lokia berwarna merah dan mengandung darah, jaringan sisa-sisa plasenta, serabut dari endometrium, dan korion, 2 lokia serosa muncul pada hari ketujuh sampai
keempat belas postpartus. Lokia berwarna kekuningan atau kecoklatan dan terdiri dari sedikit darah dan lebih banyak serum dan juga leukosit, 3 lokia alba muncul
setelah hari keempat belas postpartus. Lokia berwarna putih kekuningan dan lebih banyak mengandung leukosit, selaput lendir, sel epitel, dan serabut jaringan
yang mati Sulistyawati 2009; Suparyanto 2011. Setelah pengeluaran lokia selesai, permukaan endometrium akan mengalami re-epitelisasi dan siap untuk
kembali ke siklus reproduksi normal Guyton dan Hall 1997. Bila uterus mengalami kegagalan dalam involusi disebut subinvolusi.
Subinvolusi sering disebabkan oleh infeksi atau tertinggalnya sisa plasenta dalam uterus sehingga proses involusi uterus tidak berjalan dengan normal atau
terhambat dan bila tidak ditangani dengan baik maka akan mengakibatkan perdarahan yang berlanjut postpartus hemorage. Ciri-ciri subinvolusi
diantaranya adalah pengembalian ukuran uterus tidak progresif, uterus teraba lunak, kontraksi uterus yang buruk, sakit pada punggung, nyeri pada pelvis yang
persisten, perdarahan pervagina abnormal meliputi perdarahan segar, lokia rubra yang banyak dan terus menerus serta berbau busuk Anonim 2004.
Pada tikus, involusi uterus hampir selesai pada hari ke-4 postpartus. Selama involusi normal, berat basah uterus pada hari ke-3 postpartus berkurang dari 3.1 g
menjadi 0.68 g dan total kolagen uterus berkurang dari 8.8 menjadi 1.8 Woessner 1969b. Selama involusi postpartus, uterus kehilangan kolagen sebesar 85
dalam jangka waktu 4 hari Harknes 1956; Woessner 1962. Ryan dan Woessner 1974 menyatakan bahwa hormon estradiol dapat mengurangi kolagenase pada
uterus sehingga dapat menghambat kerusakan kolagen postpartus. Studi laboratorium menunjukan bahwa pemberian estradiol dalam dosis 1µghari secara
nyata mengahambat proses perusakan kolagen uterus tikus pada saat involusi postpartus Woessner 1969a, sedangkan pemberian progestron dengan dosis
sebesar 20-40mghari hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap penghambatan kerusakan kolagen uterus postpartus Woessner 1969b.
Tikus mengalami estrus pertama dalam waktu 48 jam postpartus, namun demikian, sebaiknya tikus tidak dikawinkan dalam masa tersebut supaya anak-
anak yang sedang disusui tidak terlantar. Apabila estrus postpartus pertama tersebut tidak dimanfaatkan, tikus betina akan akan kembali birahi antara 2-4 hari
sesudah penyapihan. Penyapihan anak tikus dilakukan pada umur 21 hari yaitu saat kira-kira berat anak tikus sudah mencapai 40-50 gram. Bila tikus betina
bunting saat menyusui, maka masa kebuntingannya akan lebih lama 3-7 hari. Malole dan Pramono1989.
Ovulasi pertama postpartus pada tikus akan menghasilkan corpora lutea CL dan akan dipertahankan sepanjang masa laktasi. CL tersebut akan
menghasilkan progesteron. Jumlah progesteron yang dihasilkan oleh CL berkolerasi secara tidak langsung dengan peningkatan konsentrasi prolaktin.
Peningkatan prolaktin ini merupakan dampak positif dari suckling effect efek menyusui. Selain itu, prolaktin juga menyebabkan penghambatan pengeluaran
gonadotropin sehingga mencegah pertumbuhan folikel dan ovulasi, akibatnya folikel akan mengalami degenerasi. Secara tidak langsung, penghambatan
pertumbuhan folikel tersebut ditentukan oleh kekuatan efek menyusui. Setelah hari ke 16 laktasi, folikel yang sehat mulai tumbuh sejalan dengan penurunan
isapan anak McNeilly 1988.
BAB 3 BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi dan Kandang Unit Hewan Laboratorium, Fakultas
Kedokteran Hewan IPB, pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010.
3.2 Hewan Coba dan Pemeliharaannya
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih Rattus norvegicus betina bunting 1 hari, galur Sprague Dawley. Tikus dikandangkan
secara individu dalam bak plastik yang berukuran 40x30x15 cm
3
dengan penutup kawat di atas kandang. Kandang dialasi dengan sekam yang diganti 3
hari sekali untuk menjaga kebersihan dan kesehatan. Pemberian minum pada tikus dilakukan ad libitum dan pemberian pakan sesuai perlakuan.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Pembuatan Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk
Pembuatan simplisia, ekstraksi, dan fraksinasi daun katuk dilakukan seperti cara yang dilakukan oleh Suprayogi et al. 2009 yang dapat dilihat pada Gambar
3.
3.3.1.1 Pembuatan Simplisia
Daun katuk segar yang digunakan diperoleh di daerah sekitar Cinangneng, Ciampea Kabupaten Bogor. Daun tersebut dicuci dengan air bersih, kemudian
dijemur di bawah sinar matahari sampai layu. Pengeringan dilanjutkan dengan menggunakan oven pada suhu 60ºC selama 12 jam, sehingga dari pengeringan ini
diperoleh daun katuk kering.
3.3.1.2 Pembuatan Ekstrak Etanol
Ekstraksi daun katuk dilakukan dengan metode maserasi. Sebanyak 2 kg simplisia dilarutkan dengan 13 L pelarut etanol EtOH di dalam panci stenliss.
Campuran tersebut diaduk secara manual dengan pengaduk selama 30 menit dan kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan
menggunakan kain flanel dan kertas saring. Filtrat hasil penyaringan ini