termuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
2 Dalam Undang-Undang Kesehatan UU No. 23 Tahun 1992,
dalam pasal 73 ditentukan: Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua
kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan
Dalam pasal 76 Undang-Undang itu dijelaskan pula peran pengawasan yang dijalankan oleh pemerintah, sedang Pasal
77 menegaskan wewenang pemerintah untuk mengambil berbagai tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan
dan atau sarana kesehatan yang melanggar Undang-Undang UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 77.
B. Aspek Perlindungan Konsumen Terhadap Pihak Penanam Modal
InvestorBuyer dalam Pelaksanaan Konsep Investasi Kondominium Hotel
Pada dasarnya aspek perlindungan konsumen dalam pelaksanaan konsep investasi kondomnium hotel dapat ditemukan dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan dalam ketentuan-ketentuan mengenai rumah susun yang berlaku di Indonesia UU No. 20 Tahun 2011
tentang rumah susun dan PP No. 4 Tahun 1988 tentang rumah susun, berikut penjelasannya.
Universitas Sumatera Utara
1. Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Pihak pengembang dapat diartikan sebagai pelaku usaha dalam
pelaksanaan konsep investasi kondominium hotel. Hal ini dapat disimpulkan dari pengertian pelaku usaha sebagai berikut. Dalam pasal 1 ayat 3 UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum maupun buka
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dalam penjelasan Undang-Undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah
perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedangang, distributor dan lain-lain.
137
Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha karena meliputi semua
tahapan dalam melakukan kegiatan usaha sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang atau
diproduksi sampai pada tahap purna penjualan. Hal tersebut tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang
dirancang atau diproduksi olek pelaku usaha.
138
Selain itu, pelaku usaha juga memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
137
Az. Nasution, Op. cit., hlm. 17.
138
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Ed. Pertama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. 54.
Universitas Sumatera Utara
mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, hal ini disebabkan karena informasi
yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk cacat informasi, yang akan sanagat merugikan konsumen.
139
Kewajiban- kewajiban untuk memenuhi tanggung jawab seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya tentunya juga melekat pada pihak pengembang sebagai pelaku usaha dalam pelaksanaan konsep investasi kondominium hotel agar pihak penanam
modal sekalu konsumen tidak dirugikan. Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua
bagian yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda seseorang. Di dalam konteks konsep investasi kondominium hotel, kerugian yang
mungkin terjadi tentunya hanya berupa kerugian yang menimpa harta benda. Kerugian harta benda dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan
keuntungan yang diharapkan.
140
Dalam aspek perlindungan konsumen di Indonesia, ketentuan mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha dalam hal kerugian konsumen dalam diatur di
dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UUPK pasal 19 sampai dengan pasal 28.
Di dalam Pasal 19 ayat 1 UUPK dinyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, danatau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang danatau jasa yang dihasilkan
139
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. cit., hlm. 44.
140
Ahmadi Miru, Op. cit., hlm. 133.
Universitas Sumatera Utara
atau diperdagangkan. Memperhatikan substansi pasal 19 ayat 1 UUPK tersebut dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi:
141
a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;
b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; dan
c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
Berdasarkan pasal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa konsumen dalam hal ini pihak penanam modal dilindungi oleh hukum atas kerugian-kerugian umum yang
mungkin timbul setelah dilaksanakannya jual-beli unit kondominium hotel. Selain daripada tanggung jawab secara umum tersebut, pihak pengembang
sebagai pelaku usaha juga mengemban tanggung jawab untuk memenuhi garansi yang telah diperjanjikan. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya,
dalam pelaksanaan konsep investasi kondominium hotel, biasanya pihak pengembang juga memberikan fasilitas garansi kepada pihak penanam modal
dalam hal return guarantee. Return guarantee merupakan pendapatan atau jumlah tetap sesuai dengan yang telah diperjanjian oleh pihak pengembang yang akan
diterima oleh penanam modal selama jangka waktu tertentu.
142
Pengaturan mengenai pelaksanaan garansi ini diatur dalam pasal 25 UUPK. Ketentuan pasal ini memperlihatkan bahwa suatu kontrak tidak hanya
mengikat dalam tahapan pelaksanaan kontrak, tetapi juga mengikat dalam tahapan pasca pelaksanaan kontrak.
143
Sesuai dengan ketentuan pasal ini, pelaku usaha dalam hal ini pihak pengembang wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai
dengan yang diperjanjian.
141
Ibid., hlm. 125.
142
Lampiran I
143
Ahmadi Miru, Op. cit., hlm. 157.
Universitas Sumatera Utara
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pada umunya dalam pelaksanaan konsep investasi kondominium hotel pihak pengembang
menggunakan klausula baku dalam pembuatan perjanjian antara pihak pengembang dengan pihak penanam modal. Hal ini tentunya membuka
kemungkinan dirugikannya pihak penanam modal karena klausula baku adalah suatu peraturan yang hanya dirancang oleh satu pihak, pihak yang lain hanya
dapat menolak ataupun menyetujui perjanjian tersebut. Karena adanya kemungkinan dirugikannya konsumen, maka di dalam
UUPK juga diatur mengenai pencantuman kausula baku dalam suatu perjanjian. Pencantuman klausula baku diatur didalam pasal 18 UUPK. Berikut isi pasalnya:
Pasal 18 1
Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat danatau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila;
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan
kembali barang yang dibeli konsumen; c.
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang
dibeli oleh konsumen; d.
Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langusng maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara anggaran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f.
Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
objek jual beli jasa; g.
Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan danatau pengubahan
Universitas Sumatera Utara
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
2 Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti.
3 Setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan
batal demi hukum.
4 Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang
bertentangan dengan undang-undang ini.
Penjelasan Ayat 1
Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip dasar
berkontrak.
Jika memperhatikan penjelasan pasal 18 angka 1 UUPK, dapat diketahui bahwa yang mendasari pembuat undang-undang adalah upaya pemberdayaan
konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam kontrak dengan pelaku usaha.
144
Penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian anatara konsumen dengan produsen kadang atau bahkan sering terjadi penyalahgunaan keadaan atau yang
dalam istilah Belanda dikenal dengan “misbruik van omstadigheden”.
144
Ibid., hlm. 112.
Universitas Sumatera Utara
Penyelahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat,
ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun
ia tahu atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya.
145
Setelah lahirnya UUPK, maka perlindungan konsumen dari penyalahgunaan keadaan semakin baik karena berdasarkan Pasal 18 UUPK,
dilarang memuat kalusula-klausula baku tertentu dalam perjanjian antara konsumen dengan produsen atau pelaku usaha.pembatasan atau larangan untuk
memuat kalusula-klausula baku tertentu dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keadaaan oleh pihak yang memiliki
kedudukan lebih kuat, yang pada akhirnya akan merugikan konsumen.
146
Hal ini tentunya juga berlaku di dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam pelaksanaan konsep investasi kondominium hotel. Walaupun dalam
perumusannya mencantumkan kalusula baku, namun pihak pengembang tidak dapat mengenyampingkan kepentingan-kepentingan dari pihak penanam modal
sekalu konsumen.
2. Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
serta Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun
145
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Bandung: Modar Maju, 1994, hlm. 61.
146
Ahmadi Miru, Op. cit., hlm. 124.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun UURS sudah bersifat melindungi
konsumen. Dalam hal pembangunan rumah susun, pengembang harus memenuhi 3 tiga persyaratan dalam membangun rumah susun, yakni: persyaratan
administratif; persyaratan teknis; dan persyaratan ekologis.
147
Selain itu, hal-hal umum seperti: perencanaan pembangunan, sertifikat laik fungsi, penyediaan
tanah, peningkatan kualitas, prasarana, sarana, dan utilitas umum lingkungan rumah susun juga telah diatur dengan baik dan jelas dalam UURS. Hal ini
tentunya membuat konsumen kondominium hotel tidak perlu khawatir lagi dalam kualitas dan pembangunan kondominium yang akan dibelinya.
Dalam hal pemasaran dan jual beli rumah susun, UURS memungkinkan pelaku usaha untuk melakukan pemasaran sekalipun pembangunan rumah susun
belum dilaksanakan.
148
Hal ini merupakan salah satu ketentuan pembeda antara UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun dengan Undang-Undang
pendahulunya yakni UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun. Dalam UU No. 16 Tahun 1985 diatur bahwa “satuan rumah susun yang telah dibangun baru
dapat dijual untuk dihuni setelah mendapat izin kelayakan untuk dihuni dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan”.
149
ketentuan ini tentunya berubah karena terjadinya perkembangan zaman. Banyak pengembang rumah susun pada zaman
itu yang merasa terbebani karena harus menanggung beban modal yang sangat
147
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Bab V, Pasal 24.
148
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Bab V, Pasal 42, Angka 1.
149
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Bab VII, Pasal 18, Angka 1.
Universitas Sumatera Utara
besar dalam pembangunan rumah susun sebelum dapat memasarkan unit-unitnya. Selain itu, harga satuan unit rumah susun yang dijual oleh pengembang setelah
rumah susun selesai dibangun tentunya lebih mahal dan akan memberatkan konsumen. Sehingga dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi yang seperti
demikian, maka pemerintah melalui Menteri Perumahan Rakyat mengeluarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 11KPTS1994 tentang
Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun pada tanggal 17 November 1994 yang memberikan keleluasaan kepada para pengembang pembangunan
rumah susun sehingga dapat menjual satuan-satuan rumah susunnya kepada masyarakat walaupun pembangunannya belum selesai dilaksanakan. Ketentuan
SK MENPERA ini kemudian dikembangkan dan diadopsi oleh UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun. Namun, tentunya ketentuan ini juga diikuti dengan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pengembang sebelum memasarkan satuan rumah susunnya, yakni:
150
a. Kepastian peruntukan ruang;
b. Kepastian hak atas tanah;
c. Kepastian status penguasaan rumah susun;
d. Perizinan pembangunan rumah susun; dan
e. Jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin.
150
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Bab V, Pasal 42, Angka 2.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, segala sesuatu yang dijanjikan oleh pengembang kepada konsumen dalam proses pemasaran rumah susun juga mengikat sebagai perjanjian
pengikatan jual beli PPJB bagi para pihaknya.
151
Namun, sebaik apapun suatu peraturan dibuat tetap saja masih akan meninggalkan ruang-ruang yang harus dikembangkan di kemudian hari. Hal ini
dapat disimpulkan dari beberapa pasal yang terdapat di dalam UURS. Dalam UURS, diatur bahwa pemilik satuan rumah susun wajib membentuk Perhimpunan
Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun PPPSRS.
152
Keikutsertaan pengembang dalam pembentukan dan pelaksanaan PPPSRS seharusnya sudah
harus ditiadakan sejak serah terima bangunan. Namun, dalam kenyataannya justru kebanyakan pihak pengembang yang menjabat di dalam PPPSRS. Akibatnya,
ADART PPPSRS disusun berdasarkan selera pengembang dan dalam penyusunannya tidak mengikutsertakan pihak konsumen rumah susun. Hal ini
tentunya akan menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan yang akan menguntugkan pihak pengembang dalam pelaksanaan tugas-tugas dan
pengambilan keputusan oleh PPPSRS. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya klausula baku yang dicantumkan di dalam perjanjian penyerahan hak sewa kelola
yang mengharuskan pihak konsumen menyerahkan kuasa kepada pihak pengembang dalam menjalankan PPPSRS. Seharusnya UURS mengatur secara
jelas bahwa kewajiban konsumen rumah susun dalam pembentukan dan pelaksanaan PPPSRS tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain.
151
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Bab V, Pasal 42, Angka 3.
152
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Bab X, Pasal 74, Angka 1.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal pelaksanaan sertifikasi rumah susun, dapat dilihat secara berurutan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
1988 Tentang Rumah Susun. Salah satu hal yang diatur di dalamnya adalah ketentuan mengenai Izin Layak Huni yang pada intinya pihak pengembang
berkewajiban mengajukan permohonan izin layak huni setelah menyelesaikan pembangunannya.
153
Pada dasarnya, pengaturan mengenai Izin Layak Huni ini telah diadopsi ke dalam UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun. Hal ini
terjadi karena PP No. 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun hanya berupa pengaturan lanjutan atas UU No. 16 Tahun 1985. Sedangkan untuk UURS yang
baru yakni UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, belum ada Peraturan Pemerintah yang diterbitkan untuk mengatur lebih lanjut Undang-Undang tersebut
sampai sekarang April 2014.
3. Upaya hukum yang dapat dilakukan pihak penanam modal investorbuyer
dalam hal terjadi sengketa Secara umum, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang penanam
modal selaku konsumen kondominium hotel dalam hal terjadi sengketa dapat dibedakan menjadi 2 dua bagian, yakni:
a. Upaya hukum litigasi
Upaya hukum litigasi adalah upaya hukum yang dilakukan melalui jalur peradilan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui
pengadilan mengacu kepada ketentuan peradilan umum yang berlaku
153
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, Bab IV, Pasal 35, Angka 1.
Universitas Sumatera Utara
di Indonesia.
154
Pasal 45 Angka 1 UUPK menyatakan “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum.”
155
Dalam kasus perdata di pengadilan negeri, ada 4 empat kelompok penggugat yang dapay menggugat atas pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha, sebagai berikut:
156
1 Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan; 2
Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; 3
Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan
yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
4 Pemerintah danatau instansi terkait jika barang danatau jasa
yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar danatau korban yang tidak sedikit.
154
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Cet. Pertama, Bandung: Nusa Media, 2010, hlm. 86.
155
Shidarta, Op. cit., hlm. 168.
156
Abdul Halim Barkatullah, Op. cit., hlm. 85.
Universitas Sumatera Utara
Pada klasifikasi kedua, dipaparkan bahwa gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan
yang sama. Ketentuan ini berbeda dengan gugatan dengan mewakilkan kepada orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 123
Angka 1 HIR. Penjelasan Pasal 46 menyebutkan gugatan kelompok ini dengan istilah class action.
157
Pasal 45 Angka 1 dan Pasal 46 Angka 2 UUPK memang terkesan hanya membolehkan gugatan konsumen diajukan ke
langkungan peradilan umum. Pembatasan ini jelas menghalangi konsumen yang perkaranya mungkin menyentuh kompetensi peradilan
tata usaha negara. Sekalipun demikian, masih terbuka penafsiran lain melalui celah yang dibuka oleh Pasal 46 Angka 2 UUPK. Pasal ini
menunjuk gugatan yang dilakukan oleh sekelompok konsumen, LPKSM, dan pemerintah, harus diajukan ke peradilan umum.
Sementara itu, untuk gugatan yang diajukan oleh konsumenahli warisnya secara individual tidak ditetapkan lingkungan
peradilannya.
158
b. Upaya hukum non-litigasi
Upaya hukun non-litigasi adalah upaya hukum yang dilakukan di luar pengadilan. Untuk mengatasi keberlikuan proses peradilan,
UUPK memeberi jalan alternatif dengan menyediakan penyelesaian
157
Shidarta, Op. cit., hlm. 170.
158
Ibid., hlm. 172.
Universitas Sumatera Utara
sengketa di luar pengadilan.
159
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti rugi danatau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugian yang diderita
oleh konsumen.
160
Secara umum, upaya hukum non-litigasi lebih digemari karena dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak
merusak hubungan bisnis yang sudah terjalin antara para pihaknya. Di samping itu, ada beberapa alasan yang mendasari orang-orang untuk
lebih memilih upaya hukun non-litigasi, yakni:
161
1 Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat
2 Biaya per perkara yang mahal
3 Pengadilan pada umumnya tidak responsif
4 Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah
5 Kemampuan para hakim yang bersifat generalis
Terdapat berbagai cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan sengketa secara non-litigasi. Berikut merupakan
beberapa cara penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. 1
Arbitrase Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa.
159
Ibid., hlm. 175.
160
Abdul Halim Baratullah, Op. cit., hlm. 86.
161
Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa
, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 240-247.
Universitas Sumatera Utara
Penyelesaian sengketa melalui peradilan arbitrase ini dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, jika para pihak
tersebut telah mencantumkan klausul arbitrase dalam perjanjian yang menjadi pokok sengketa atau mengadakan perjanjian
arbitrase setelah timbulnya sengketa di antara mereka. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena putusannya
langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase ini memiliki kekuatan
eksekutorial, sehingga apabila pihak yang dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang
dapat meminta eksekusi ke pengadilan.
162
2 Konsiliasi
Konsiliasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang juga dapat ditempuh secara non-litigasi. Konsiliasi
ini juga dimungkinkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK.
Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga
untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak. Walaupun demikian, pendapat dan
konsilitator tersebut tidak bersifat mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase. Ketidakterikatan para pihak
162
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Cet. Pertama, Ed. Pertama, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 160.
Universitas Sumatera Utara
terhadap pendapat yang diajukan oleh konsiliator mengenai sengketa yang dihadapi oleh para pihak tersebut menyebabkan
penyelesaiannya sangat tergantung pada kesukarelaan para pihak.
163
3 Mediasi
Mediasi sebagai salah satu alternatif prnyelesaian di luar pengadilan, di samping sudah dikenal dalam perundang-undangan
di Indonesia, juga merupakan salah satu pilihan terbaik di antara sistem dan bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang ada.
164
Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang fleksibel dan tidak mengikat pihak netral, yaitu mediator, yang
memudahkan negosiasi antara para pihak untuk membantu mereka dalam mencapai kompromikesepakatan.
165
Jasa yang diberikan oleh mediator tersebut adalah menawarkan dasar-dasar penyelesaian sengketa, namun tidak
memberikan putusan atau pendapat terhadap sengketa yang sedang berlangsung. Meskipun kekurangan kekuatan mengikat,
karena tidak memberikan putusan dalam proses mediasi, akan tetapi keterlibatan mediator akan mengubah dan mempengaruhi
dinamika negosiasi.
166
163
Ibid., hlm. 162-163.
164
Ibid., hlm. 163.
165
Ibid., hlm. 164.
166
Ibid., hlm. 165.
Universitas Sumatera Utara
Keuntungan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerja sama
untuk mencapai kompromi, sehingga masing-masing pihak tidak perlu saling mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki,
serta tidak membela dan mempertahankan kebenaran masing- masing.
167
4 Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen BPSK Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK adalah
badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan snegketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK dibentuk oleh
pemerintah di daerah tingkat II kabupatenkota untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Sebagai
badan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, putusan BPSK bersifat final dan mengikat, tanpa upaya banding
dan kasasi.
168
Penyelesaian sengketa melalui BPSK dengan arbitrase dan ADR Alternative Dispute Resolution tidak serta merata sama
secara keseluruhan, karena BPSK diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, sedangkan arbitrase dan ADR daitur dalam Undang-
167
Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 392-393.
168
Zulham, Op. cit., hlm. 142.
Universitas Sumatera Utara
Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
169
Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK akan membentuk majelis yang berjumlah harus ganjil,
paling sedikit 3 tiga orang yang mewakili semua sunsur pemerintah, konsumen, pelaku usaha serta dibantu oleh seorang
panitera. Untuk menghindari proses yang penyelesaian sengketa yang berlarut-larut. UUPK memberikan batasan kepada BPSK.
Setelah gugatan diterima, BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 hari kerja.
170
Selain itu, dalam Pasal 56 UUPK juga diatur mengenai jangka waktu pelaksanaan
putusan yakni paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak penerimaan putusan BPSK.
Diluar tugas penyelesaian sengketa, Pasal 52 UUPK juga menetapkan tugas dan wewenang BPSK, yaitu:
171
a Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
b Melakkan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
c Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran
ketentuan dalam UUPK; d
Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
169
Ibid.
170
Ibid., hlm. 145.
171
Shidarta, Op. cit., hlm. 179.
Universitas Sumatera Utara
e Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa
perlindungan konsumen; f
Memanggil pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
g Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli danatau
setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UUPK;
h Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku
usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;
i Mendapatkan, meneliti danatau menilai surat, dokumen, atau
alat bukti lain guna penyelidikan danatau pemeriksaan; j
Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
k Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; l
Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UUPK.
Namun, kewenangan BPSK sendiri sangat terbatas. Lingkup sengketa yang berhak ditanganinya hanya mencakup
pelanggaran Pasal 19 angka 2, Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
Universitas Sumatera Utara
Sanksi yang dijatuhkannya hanya berupa sanksi administratif.
172
Pelanggaran terhadap pasal-pasal lainnya yang bernuansa pidana, sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan.
173
172
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab XIII, Pasal 60.
173
Shidarta, Op. cit., hlm. 180.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN