Efek Pengaturan Suhu Outlet pada Pengering Semprot Terhadap Sifat Fisik, Kimia, dan Mikrobiologi Susu Kambing Bubuk

(1)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Susu merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai gizi tinggi bagi kehidupan manusia (Patton, 2005). Susu dihasilkan oleh mamalia melalui kelenjar mamae (Varnam dan Sutherland, 1994). Keberadaan susu sangat diperlukan bagi bayi mamalia yang baru lahir dan merupakan makanan pertama yang diterima oleh bayi setelah dilahirkan. Susu yang pertama kali ini disebut dengan kolostrum. Susu yang berada di pasaran umumnya diambil dari hewan piaraan yang telah didomestikasi seperti sapi, kerbau, unta, kambing, dan domba (Rasyid,1991). Setiap susu memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung sumber hewannya.

Salah satu susu yang telah dikonsumsi secara luas di Indonesia adalah susu kambing. Populasi kambing di Indonesia saat ini tercatat sebesar 15.805.902 ekor (Deptan, 2008). Hal ini menunjukkan potensi yang besar untuk pengembangan susu kambing sebagai alternatif konsumsi susu sapi yang saat ini lebih dominan. Sebagian besar susu kambing yang diperjualbelikan di Indonesia adalah susu yang dihasilkan oleh kambing jenis peranakan etawa atau lebih sering disebut sebagai kambing PE. Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing etawa dan kambing kacang atau kambing lokal Indonesia (Heriyadi, 2008).

Konsumsi susu di Indonesia masih tergolong sangat rendah rata-rata 6 liter per kapita per tahun jika dibandingkan dengan Vietnam, Malaysia, India, dan negara-negara maju dengan konsumsi susu masing-masing 10, 20, 45,dan 80 kg/kapita/tahun (Praharani, 2007). Hal ini disebabkan karena selain belum menjadi budaya di masyarakat, susu kambing memiliki harga pasaran yang cukup tinggi dibandingkan susu sapi, yaitu berkisar Rp 35.000 – 40.000 per liternya (Heriyadi, 2008). Harga yang tinggi ini berkaitan erat dengan besarnya biaya produksi di tingkat peternak.

Susu tergolong bahan pangan yang mudah rusak. Hal ini disebabkan oleh kandungan gizi dan aktivitas air yang tinggi menjadi tempat yang sangat baik bagi mikroba untuk berkembang biak. Mikroba membutuhkan nutrien sebagai


(2)

sumber karbon, nitrogen, energi, mineral, dan vitamin. Sedangkan air dibutuhkan sebagai reaktan dalam berbagai reaksi biokimia (Fardiaz, 1992). Mikroba akan merusak susu sehingga menjadi tidak layak untuk dikonsumsi. Oleh karena itu dikembangkan cara untuk mengawetkan susu, salah satunya dengan dikeringkan menjadi bubuk (Widodo, 2003).

Pembuatan susu kambing bubuk memerlukan beberapa tahapan proses. Susu segar harus melalui berbagai proses yaitu pasteurisasi, evaporasi, homogenisasi, dan pengeringan (Widodo, 2003). Proses ini tentunya mengubah sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing. Proses pengeringan merupakan tahapan proses yang paling menentukan kualitas susu bubuk. Menurut Widodo (2003), terdapat dua macam proses pengeringan yaitu pengeringan beku (freeze drying) dan pengeringan semprot (spray

drying). Pengeringan beku mampu menghasilkan susu bubuk dengan kualitas

tinggi. Namun, pengeringan beku membutuhkan energi tinggi dan tidak aplikatif untuk skala industri. Sedangkan pengeringan semprot sudah banyak diaplikasikan untuk skala Industri.

Proses pengeringan dengan pengering semprot akan mempengaruhi kualitas susu bubuk. Hal ini diakibatkan oleh pemanasan dengan suhu tinggi. Bagian yang paling kritis mempengaruhi kualitas susu bubuk pada pengering semprot adalah suhu outlet (Walstra, 1999; Robinson, 1999). Menurut Varnam (1994), bagian sifat susu bubuk yang sangat dipengaruhi oleh suhu outlet adalah kadar air, kelarutan, dan lemak bebas. Penelitian ini akan mengkaji efek pengaturan suhu outlet terhadap sifat susu kambing bubuk yang dihasilkan dan memilih pengaturan suhu outlet yang tepat untuk menghasilkan susu kambing bubuk terbaik (kelarutan sebagai parameter utamanya).

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkarakterisasi sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing segar 2. Mengetahui efek pengaturan suhu outlet pengering semprot terhadap sifat


(3)

3. Mendapatkan suhu outlet yang tepat pada pengering semprot untuk menghasilkan susu kambing bubuk dengan kelarutan terbaik.

4. Mengetahui karakter kimia, fisik, dan mikrobiologi susu kambing bubuk hasil proses pengeringan semprot dengan pengaturan suhu outlet yang tepat.

C. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian ini adalah didapatkannya informasi mengenai karakter susu kambing segar, efek pengaturan suhu outlet terhadap sifat fisik dan kimia susu kambing bubuk yang dihasilkan, pengaturan suhu outlet yang tepat untuk menghasilkan susu kambing bubuk terbaik dengan parameter utama kelarutan, serta sifat kimia, dan mikrobiologi susu kambing terbaik.


(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SUSU KAMBING

Susu kambing adalah cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ruminansia dari jenis kambing-kambingan (Capriane). Bangsa hewan ini mulai menghasilkan susu sejak masa laktasi pertama, yakni setelah melahirkan untuk pertama kalinya. Dewasa ini penggunaan susu kambing untuk pengobatan, pemeliharaan kesehatan, dan membantu penyembuhan berbagai jenis penyakit, mulai banyak dilakukan masyarakat. Bahkan tidak sedikit kalangan medis yang melakukan terapi kepada pasiennya dengan menggunakan susu kambing (Moeljanto dan Wiryanta, 2002).

Susu kambing layaknya susu yang berasal dari sumber hewan lainnya merupakan campuran yang kompleks, yaitu emulsi lemak dalam air. Jika dibandingkan dengan susu sapi, empat komponen utama penyusun susu kambing yaitu laktosa, lemak, senyawa nitrogen, dan mineralnya memiliki kemiripan dengan susu sapi. Hanya komponen lemak pada susu kambing berukuran lebih kecil dibandingkan lemak pada susu sapi (Ohiokpehai, 2003). Protein yang terdapat dalam susu kambing lebih mudah dicerna dan lebih rendah dalam memicu alergi (Restani, 2004; Ceballos, 2008). Begitu pula dengan karakter lemaknya lebih mudah dicerna (Ceballos, 2008). Lemak pada susu kambing berupa emulsi yang lebih kecil dan tidak membentuk kluster seperti pada globula lemak susu sapi. Ukuran yang lebih kecil membuat luas permukaan totalnya lebih besar dari susu sapi sehingga meningkatkan aktivitas lipase pankreatik dan membuatnya lebih mudah dicerna (Chandan et al., 1992). Susu kambing merupakan sumber energi yang sempurna untuk proses metabolisme, bahkan untuk melawan penyakit metabolisme. Kandungan mineral yang dimiliki susu kambing lebih tinggi dan lebih dapat dimanfaatkan oleh tubuh (Ceballos, 2008). Kandungan gizi susu kambing terlihat pada Tabel 1.


(5)

Tabel 1. Kandungan gizi susu kambing, nilai per 100 gram porsi makanan

No Nama Jumlah Satuan

1 Air 87 g

2 Energi 68 kkal

3 Protein 3,4 g

4 Total Lemak 3,8 g

5 Karbohidrat 4,4 g

6 Serat 0 g

7 Abu 0,8 g

Sumber : Moeljanto dan Wiryanta, 2002

B. SUSU BUBUK

Susu merupakan cairan biologis yang kompleks. Terdiri dari lemak, protein, mineral, vitamin, enzim, laktosa, dan air. Susu tidak hanya sebagai makanan bernutrisi tinggi, namun merupakan bahan dasar yang fungsional. Namun demikian, terkadang sulit untuk ditransportasikan, disimpan atau bahkan diformulasikan dalam bentuk cairnya. Oleh karena itu diperlukan penerapan teknologi pemisahan sebagian besar air dari susu cairnya sehingga menjadi bubuk (Lagrange, 2006).

Produk susu bubuk merupakan bentuk proses pengawetan susu yang menekankan pada pengurangan kadar air sehingga mempunyai kuantitas yang jauh lebih sedikit. Produk susu olahan tersebut dapat disimpan secara efisien, efektif, serta mempunyai daya simpan dalam jangka waktu lebih lama tanpa terjadi adanya penurunan kualitas dengan adanya penurunan kuantitas (Widodo, 2003). Menurut BSN (1999) susu bubuk adalah susu bubuk berlemak, rendah lemak, dan tanpa lemak dengan atau tanpa penambahan vitamin, mineral, dan bahan tambahan makanan yang diijinkan.

Susu bubuk berlemak (full cream milk powder) adalah susu sapi yang telah diubah bentuknya menjadi bubuk. Susu bubuk rendah lemak (party skim milk

powder) adalah susu sapi yang telah diambil sebagian lemaknya dan diubah


(6)

susu sapi yang telah diambil lemaknya dan diubah bentuknya menjadi bubuk (BSN, 1999).

Menurut Syarief dan Halid (1991), pengeringan susu bubuk dapat menggunakan pengering semprot atau pengering drum. Proses pengeringan ini dapat mempengaruhi sifat fisik dan kimia susu bubuk. Susu bubuk yang dikeringkan dengan menggunakan pengering drum memiliki butiran berbentuk pipih dengan ketebalan 8-10 mikron. Susu yang dikeringkan dengan menggunakan pengering semprot akan menghasilkan partikel dengan ketebalan 10-15 mikron, dan kelarutannya dalam air sempurna, hampir sama dengan susu segar.

Susu bubuk yang dibuat secara “spray dryer” dengan kadar air rendah sebaiknya dikemas dalam waktu kurang dari 24 jam kemudian divakum. Susu bubuk selanjutnya disimpan pada kondisi kering dan tidak lembab. Indikasi adanya kerusakan susu bubuk, apabila ditemukan pembentukan gumpalan atau

pemadatan. Penyimpanan susu bubuk dalam kantung plastik, disarankan menggunakan plastik polietilen dan kantung ditempatkan pada lokasi gelap.

Sebaiknya dikemas ulang dalam kantung polietilen hitam sebelum didistribusikan (Syarief dan Halid, 1991).

Standar untuk menjamin kualitas susu bubuk telah banyak dikembangkan. Salah satunya yang dikembangkan oleh industri-industri susu bubuk di Amerika Serikat. Standar-standar ini dipublikasikan oleh American Dairy

Products Institute (ADPI). Karakteristik umumnya terdiri atas analisis kimia,

fisik, dan mikrobiologis. Analisis kimia diantaranya meliputi lemak, protein total, laktosa, kadar air, dan total asam tertitrasi. Keasaman yang dianalisis merupakan bagian dari keasaman titrasi yang terbentuk dari hasil produksi asam laktat dari bakteri yang tidak diharapkan. Analisis fisik diantaranya higroskopisitas, indeks solubilitas, kemampuan dispersi, kemampuan basah, kemampuan mengalir, stabilitas panas. Analisis mikrobiologis diantaranya berupa estimasi bakteri/angka lempeng total. Perhitungan bakteri ini mengestimasi jumlah koloni yang mungkin berkembang per gram dari sampel di bawah kondisi khusus jika seluruh sampel diperiksa (Lagrange, 2006).


(7)

Standar mutu susu bubuk di Indonesia telah dikembangkan oleh Badan Standardisasi Nasional. Persyaratan mutu susu bubuk berdasarkan BSN (1999) terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persyaratan Mutu Susu Bubuk

Sumber : BSN, 1999

C. PROSES PEMBUATAN SUSU BUBUK

Proses pembuatan susu bubuk merupakan salah satu contoh pengolahan dan pengawetan susu dengan tujuan menurunkan kadar air susu dari 87 % ke 3 % dengan cara pengeringan semprot (spray drying). Proses pengeringan melibatkan adanya evaporasi kadar air dari 87 % menjadi 50 %, diikuti dengan

spray drying pada suhu tinggi sehingga dihasilkan susu bubuk dengan kadar

air rendah (sekitar 3%). Rendahnya kadar air ini berakibat pada rendahnya No Jenis Satuan

Persyaratan Susu Bubuk

Berlemak

Susu Bubuk rendah Lemak

Susu Bubuk Tanpa Lemak 1 1.1 1.2 2 3 4 5 6 7 7.1 7.2 7.3 7.4 7.4 7.5 8 8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 Keadaan Bau Rasa Air Abu Lemak Protein Pati Cemaran Logam Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg) Arsen Cemaran Mikroba ALT Bakteri Koliform E.Coli Salmonella S. Aureus - - b/b, % b/b, % % % % mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg koloni/g APM Koloni/g Koloni/100g Koloni/g Normal Normal Maks. 4,0 Maks. 6,0 Min. 25,0 Min. 25,0 Tidak Ternyata Maks. 20,0 Maks. 0,3 Maks. 40 Maks 40,0/250,0* Maks. 0,03 Maks. 0,1

Maks. 5 x 105

Maks. 20 Negatif Negatif 1 x 102

Normal Normal Maks 4,0 Maks. 9,0 1,5 - < 26,0 Min. 26,0 Tidak Ternyata Maks. 20,0 Maks. 0,3 Maks. 40 Maks 40,0/250,0* Maks. 0,03 Maks. 0,1

Maks. 5 x 105

Maks. 20 Negatif Negatif 1 x 102

Normal Normal Maks. 4,0 Maks 9,0 Maks. 1,5 Min. 34,0 Tidak Ternyata Maks. 20,0 Maks. 0,3 Maks. 40 Maks 40,0/250,0* Maks. 0,03 Maks. 0,1

Maks. 5 x 105

Maks. 20 Negatif Negatif 1 x 102


(8)

aktivitas air (aw) sehingga menekan pertumbuhan mikroba. Kebanyakan bakteri dan khamir (yeast) dihambat pertumbuhannya pada aw 0,85. Secara khusus, pertumbuhan bakteri berhenti pada aw 0,75, sedangkan khamir dan jamur berhenti pada aw 0,65 (Widodo, 2003)

Metode spray drying telah banyak diaplikasikan untuk skala industri dibandingkan metode lainnya. Spray drying merupakan proses pembuatan susu bubuk dengan pengeringan semprot terhadap susu yang sebagian airnya sudah dievaporasikan. Spray drying melibatkan penyemprotan susu dalam bentuk butiran halus ke dalam aliran udara panas. Proses pengeringan terjadi dengan cepat sehingga menghindarkan adanya kerusakan berbagai zat gizi yang relatif sensitif terhadap panas (Widodo, 2003).

Proses evaporasi akan menguapkan air yang terdapat dalam bentuk air bebas yang terdapat di antara partikel padatan susu. Air yang diuapkan pada tahapan pengeringan semprot dan pemanasan pasca pengeringan semprot adalah air yang terdapat di pori atau partikel padatan. Hasil dari proses ini adalah susu bubuk dengan kadar air rendah tetapi kandungan nutrisinya tetap tinggi (Widodo, 2003).

Secara garis besar, proses pengolahan susu bubuk melibatkan beberapa tahapan yaitu :1) standardisasi; 2) pasteurisasi; 3) evaporasi; 4) homogenisasi;

5) spray drying (pengeringan semprot); 6) pengeringan pasca spraying (after

dryer) (Widodo, 2003).

Standardisasi adalah tahapan awal pada proses pengolahan susu bubuk dengan tujuan mendapatkan total padatan (total solid) dari susu yang akan masuk ke evaporator. Standardisasi juga dilakukan untuk menentukan kualitas akhir dari susu bubuk yaitu dengan atau tanpa penambahan butter oil, jumlah susu skim serta potasium kaseinat atau bahan tambahan pangan lain yang ditambahkan (Widodo, 2003).

Pasteurisasi dimaksudkan untuk membunuh mikroba patogen dan berbagai mikroba perusak lainnya yang mungkin ada pada susu segar. Proses ini sangat berguna dalam menekan resiko mikrobiologi (Widodo, 2003). Pasteurisasi dapat dilakukan minimum pada suhu 62,8 0C selama 30 menit (LTLT = Low


(9)

Temperature Long Time) atau 71,7 0C selama 15 detik (HTST = High

Temperature Short Time) (Varnam dan Sutherland, 1994).

Evaporasi merupakan kunci pada proses produksi susu bubuk. Tahapan ini berfungsi menguapkan air susu untuk meningkatkan total padatan susu. Proses evaporasi dilakukan secara bertingkat mulai dari suhu sekitar 54 hingga 75 0C pada kondisi vakum. Kondisi vakum sangat memungkinkan penguapan air pada suhu di bawah 100 0C. Semakin vakum, semakin tinggi pula kemampuan penguapan air (Widodo, 2003). Evaporasi diharapkan mencapai konsentrasi

antara 30 – 50% (Juliawati, 1999). Homogenisasi adalah proses penyeragaman globula lemak dalam rangka

mencegah terjadinya creaming atau pemisahan lemak (fat separation). Alat yang digunakan dinamakan homogeniser. Homogenisasi biasanya dilakukan pada susu yang sudah keluar dari evaporator sebelum masuk spray drying. Hal ini disebabkan susu yang sudah dihomogenisasi relatif rentan terhadap adanya oksidasi dan kerusakan selama proses. Susu yang sudah dihomogenisasi harus segera diproses lanjut menjadi susu bubuk dengan spray drying (Widodo, 2003).

Spray drying adalah proses pembentukan bubuk susu setelah sebelumnya

diuapkan airnya dan dihomogenisasi. Spray drying dilakukan dengan alat

spray dryer menggunakan suhu tinggi. Hasil dari spray drying biasanya

mengandung padatan total sekitar 95 % dan kadar air 5 %. Hasil dari proses ini umumnya ditampung pada alat yang disebut egron (Widodo, 2003).

Pengeringan pasca spray drying merupakan tahapan pengeringan lanjut untuk mendapatkan kadar air maksimal sekitar 2,5 – 3 % pada susu bubuk yang sudah dihasilkan. Pengeringan lanjut ini mampu menguapkan air dari partikel susu yang dihasilkan. Tingkat keawetan susu akan lebih tinggi akibat penurunan aktivitas air sampai pada level yang tidak menguntungkan pertumbuhan mikroba pada aw 0,85 (Widodo, 2003).


(10)

D. PENGERING SEMPROT

Pengering semprot adalah satuan operasi dimana di dalamnya produk cair diatomisasi dalam aliran gas panas untuk secara instan mendapatkan bubuk. Gas yang digunakan umumnya adalah udara atau terkadang gas inert seperti nitrogen. Cairan yang dimasukkan ke dalam pengering semprot dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi. Pengeringan semprot menghasilkan bubuk yang sangat halus (10-50 µm) atau partikel berukuran besar (2-3 mm) (Gharsallaoui et al., 2007).

Teknik pengeringan semprot didasarkan pada prinsip dimana produk disemprotkan ke dalam suatu kamar (ruangan) yang diisi dengan udara panas tersirkulasi dalam bentuk butiran kecil sehingga suhu permukaannya meningkat dan memungkinkan tranfer panas yang cepat. Butiran–butiran ini kemudian dibawa udara panas dan disirkulasi sehingga menyerap panas yang dibutuhkan untuk terjadinya evaporasi. Uap air hasil evaporasi diserap oleh udara dan dikeluarkan dari alat pengering semprot. Serbuk kering kemudian jatuh ke bawah dan ditampung dalam wadah tertentu (Speer, 1998).

Pengeluaran air dengan menggunakan pengeringan semprot sudah umum dilakukan. Pengeringan semprot umumnya digunakan pada industri pangan untuk memastikan stabilitas mikrobiologi produk, penurunan kadar air dan aktivitas air, menghindari resiko degradasi kimia dan/atau biologi, mengurangi biaya transportasi dan penyimpanan, dan mendapatkan produk dengan sifat spesifik misalnya kelarutan instan. Proses pengeringan semprot telah banyak dikembangkan pada pengolahan susu bubuk. Proses pengeringan susu dengan pengeringan semprot dapat dikategorikan sebagai mikroenkapsulasi, dimana lemak susu menjadi material inti yang dilindungi oleh material dinding yang terbentuk dari campuran laktosa dan protein susu (Gharsallaoui et al., 2007).

Menurut Brenan et al. (1981) yang termasuk komponen-komponen penting dari pengering semprot antara lain : 1) pemanasan udara dan sistem sirkulasi; 2) alat pembentukan semprotan; 3) ruang pengering; 4) sistem pemulihan produk.

Penggunaan bahan bakar minyak dan pemanas elektrik tidak umum pada pengering semprot. Pemanas uap pada umumnya digunakan sebagai sumber


(11)

utamanya. Kipas sentrifugal atau blower biasanya digunakan untuk menggerakkan udara sepanjang sistem. Beberapa tipe pengering semprot memiliki kipas pemompa tunggal, namun tipe lain menggunakan kipas inlet

dan outlet (Brenan et al., 1981)

Pembentukan hasil semprotan yang seragam dan pendistribusiannya melalui udara panas adalah hal penting dalam kesuksesan proses pengeringan semprot. Istilah untuk mendeskripsikan pembentukan hasil semprot ini adalah atomisasi. Terdapat tiga tipe utama alat pengatomisasi yang digunakan dalam pengering semprot yaitu : pressure nozzle, centrifugal atomizer, dan two fluid

noozle (Brenan et al., 1981).

Prinsip utama dari pressure noozle yaitu material pemasukan dipompa melalui lubang kecil pada tekanan yang relatif tinggi ( 500 – 7000 psig ). Energi dari cairan bertekanan tinggi digunakan untuk membentuk semprotan. Sebuah celah masukan kecil yang terletak sebelum lubang memberi gerakan berputar pada cairan sehingga terbentuk semprotan kerucut. Semprotan kerucut hampa biasanya digunakan pada pengering semprot makanan (Brenan et al., 1981).

Sebuah centrifugal atomiser biasanya terdiri dari sebuah lempeng atau mangkuk berputar yang terletak pada akhir sebuah batang. Cairan yang masuk dialirkan ke bagian tengah dari putaran pengatom, kemudian diakselerasi pada kecepatan linier dari garis keliling bagian kepala, selanjutnya diputar dalam bentuk semprotan ke dalam ruang pengering (Brenan et al., 1981).

Prinsip kerja two-fluid nozzle tergantung pada energi aliran gas berkecepatan tinggi. Energi ini digunakan untuk mengatomisasi material yang dimasukkan ke dalam alat. Tekanan pemasukan yang digunakan pada

two-fluid noozle lebih rendah dari tekanan yang dibutuhkan pada pressure nozzle

(Brenan et al., 1981).

Ruang pengeringan merupakan bagian pengering semprot dimana udara panas dan material pemasukan bertemu, sehingga terjadilah pengeringan. Penelitian pada skala pilot plant atau skala industri merupakan satu-satunya metode yang paling tepat untuk menentukan tipe pengering untuk keperluan tertentu (Brenan et al., 1981).


(12)

Pada beberapa pengering semprot, bagian utama produk kering jatuh ke bagian bawah ruangan dan dikeluarkan dengan bantuan penggaruk, konveyor obeng, dan katup berputar. Ketika produk yang dikeringkan bersifat termoplastis dan/atau higroskopis dibutuhkan desain ruangan khusus yang didalamnya terdapat dinding pendingin, penyapu udara, dan beberapa fasilitas sejenis untuk pengeluaran produk. Sedangkan pada pengering lainnya, seluruh produk yang dikeringkan meninggalkan ruang pengeringan bersama udara yang keluar. Semua pengering membutuhkan pembersihan udara yang keluar dan pemulihan produk yang ada. Tiga metode yang umumnya digunakan untuk tujuan ini adalah dry cyclone separator, wet scrubber, dan bag filters (Brenan et al., 1981).

Brenan et al. (1981) menyebutkan ada beberapa jenis sistem pengering semprot yaitu : 1) horizontal co-current; 2) simple vertical downward

co-current with straight line flow; 3) simple vertical downward co-current with

rotary flow; 4) complex vertical downward co-current; 5) vertical upward

co-current; 6) vertical counter current. Ilustrasi sistem keenam sistem ini seperti


(13)

(14)

Pengering semprot bekerja mengeringkan produk dengan pemanfaatan udara tersirkulasi seperti dijelaskan sebelumnya. Suhu inlet berkisar antara 180 – 230 0C dan suhu outlet 70-95 0C dan produk akhirnya memiliki kadar air 2-5 % (total padatan 95-98%). Selama operasi, kontrol dari sejumlah parameter dibutuhkan untuk memastikan konsistensi kualitas dan menghasilkan susu bubuk dengan karakteristik yang diinginkan (Varnam dan Sutherland, 1994). Tabel 3 menunjukkan hubungan antara parameter operasi pengering semprot dengan sifat susu bubuk.

Tabel 3. Contoh hubungan antara parameter operasi pengering semprot dengan sifat susu bubuk.

Parameter Operasi Sifat Bubuk

Suhu outlet tinggi Mengurangi kadar air Mengurangi kelarutan Meningkatkan lemak bebas Suhu inlet tinggi Mengurangi densitas kamba

Mengurangi lemak bebas Derajat atomisasi tinggi Meningkatkan kelarutan

Mengurangi kadar air

Sedikit mengurangi lemak bebas Total padatan masukan tinggi Meningkatkan densitas kamba


(15)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah susu kambing peranakan etawah yang diperoleh dari peternakan kambing di Cangkurawok, Bogor. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis antara lain berupa H2SO4, K2SO4, ZnSO4, HgO, HCl, aquades, NaOH 60%, Na2S2O3 5%, H3BO3, BaOH 4,5 %, metilen merah, metilen biru, amil alkohol, HCl 0,02 N, etanol 95%, etanol 70%, indikator PP 1%, NaOH, KHP, H2O2 0,5%, plate count agar (PCA), buffer fosfat, Butterfield’s fosfat steril, brilliant green lactose bile broth (BGLBB), lauryl sulfate

tryptose broth (LSTB), eter asam format 1N, amonium dalam asam

format, standar laktosa. 2. Alat

Peralatan yang digunakan untuk penelitian ini adalah panci, timbangan, termometer, pengaduk, evaporator vakum OSK 6513 Universal Reduced Pressure Concentration Still Apparatus Ogawa Seiki Co. Ltd., homogenizer heavy duty laboratory mixer emulsifier model L4R Armfield, pengering semprot Buchi 190 mini spray dryer, neraca analitik, gelas ukur, cawan porselin, gelas piala, tabung reaksi, cawan aluminium, plastik high density polyethylene (HDPE), kertas saring Whatman No. 42, cawan petri, pH meter, autoklaf, oven, tanur listrik, desikator, statis, pemanas listrik atau pembakar, pengaduk magnetik, aluminium foil, ose, pembakar Bunsen, labu Kjedahl 100 ml, pipet, inkubator, spektrofotometer, kapas, labu Erlenmeyer, labu Biuret, laktodensimeter, butirometer, chromameter.


(16)

B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan diawali dengan karakterisasi susu kambing. Tahapan karakterisasi tersebut meliputi analisis fisik, kimia dan mikrobiologi susu kambing segar yang digunakan sebagai bahan baku, serta penentuan waktu evaporasi. Analisis fisik terdiri dari analisis berat jenis susu segar, pH, bahan kering, bahan kering tanpa lemak. Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis kadar lemak, kadar protein, kadar laktosa, serta kadar abu dan total asam tertitrasi pada susu segar. Analisis mikrobiologi yang dilakukan meliputi analisis angka lempeng total dan totalkoliform.

Penentuan waktu evaporasi bertujuan untuk menentukan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan total padatan susu yang diharapkan sebelum dikeringkan. Alat yang digunakan adalah evaporator vakum Ogawa Seiki Co. Ltd. Total padatan yang harus didapatkan adalah 30 – 50 % (Juliawati, 1999). Menurut Walstra et al. (1999) suhu yang baik untuk mengevaporasi susu rendah panas adalah di bawah 60 0C sedangkan penelitian Pratiwi (2005) menyebutkan bahwa telah dilakukan optimasi sampai suhu 50 0C selama 20 menit, namun tidak dicantumkan keterangan volume sampel yang dievaporasi. Oleh karena itu perlu diuji ulang sesuai volume sampel yang digunakan pada penelitian ini. Uji dilakukan dengan metode trial and error dengan pengaturan suhu tetap 50 0C dan waktu proses tahap pertama 20 menit sampai didapatkan waktu evaporasi yang memenuhi total padatan antara 30 – 50 %.

2. Penelitian Utama a. Tahap I

Penelitian utama yang dilakukan pada tahap I yaitu pembuatan susu kambing bubuk. Sampel dibeli dalam kondisi beku dan disimpan dalam freezer sampai waktu persiapan pasteurisasi dan evaporasi selesai. Persiapan pasteurisasi dan evaporasi meliputi penyiapan alat, bahan, dan proses sanitasi alat. Pasteurisasi dilakukan pada suhu


(17)

63-650 C selama 30 menit (Widodo, 2003), pada wadah yang sama dengan proses evaporasi yaitu di panci evaporator vakum seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Panci yang digunakan untuk pasteurisasi

Proses evaporasi dilanjutkan dengan suhu 500C selama waktu yang didapatkan pada penelitian pendahuluan. Setelah itu susu yang telah dievaporasi dikemas kembali dalam plastik HDPE dua rangkap, kemudian disimpan dalam freezer sampai proses pengeringan siap dilakukan.

Persiapan proses pengeringan meliputi penyiapan alat pengering semprot yang telah disanitasi dan diatur suhunya sesuai dengan rancangan percobaan. Setelah proses penyiapan selesai, dilakukan proses

thawing dengan suhu kurang dari 45 0C tidak lebih dari 15 menit

(Andrews dan Hammack, 2003). Kemudian sampel dihomogenisasi dan dilakukan pengeringan dengan pengering semprot. Produk susu kambing bubuk hasil pengeringan dikemas secara aseptis dengan plastik HDPE steril dua rangkap dilengkapi dengan silica gel. Adapun peralatan yang digunakan pada penelitian terlihat pada Gambar 2.

Penelitian utama tahap I dilakukan untuk melihat efek pengaturan suhu outlet pada pengering semprot terhadap sifat fisik dan kimia susu bubuk yang dihasilkan. Sifat fisik yang dianalisis adalah kelarutan, pH dan warna, sedangkan sifat kimia dianalisis total asam tertitrasi (TAT).


(18)

Pengaturan suhu outlet yang digunakan dalam penelitian utama tahap I adalah 80, 90, dan 100 0C. Penggunaan suhu outlet 100 0C didasarkan pada Malik et al. (1994) dan rancangan pengatuan ke suhu yang lebih rendah didasarkan pada pernyataan Robinson (1999) yang menyatakan bahwa pada suhu 100 0C dan diatasnya maka kelarutan susu bubuk akan sangat rendah. Sedangkan suhu inlet yang digunakan adalah 180±2 0C (Malik et al., 1994).

1 2 3

Gambar 3. Peralatan untuk pembuatan susu bubuk : 1) evaporator; 2) homogenizer; 3) pengering semprot.

b. Tahap II Analisis yang dilakukan pada penelitian utama tahap II antara lain :

karakterisasi sifat kimia, fisik, dan mikrobiologi susu kambing bubuk yang terpilih. Karakterisasi sifat kimia yang dilakukan meliputi analisis kadar laktosa, kadar lemak, kadar protein, kadar abu dan kadar air. Sedangkan sifat fisik meliputi total padatan. Analisis sifat mikrobiologi meliputi analisis angka lempeng total dan total koliform. Diagram alir penelitian pembuatan susu kambing bubuk dan analisisnya terlihat pada Gambar 4.


(19)

Gambar 4. Diagram alir penelitian pembuatan susu kambing bubuk dan analisisnya

3. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan dua ulangan. Perlakuan yang diamati pada penelitian utama adalah pengaturan suhu outlet 80, 90, dan 100 0C. Model matematis untuk rancangan acak lengkap adalah sebagai berikut :

Yij = µ + τi+ εij Dimana :

i = perlakuan 1,2…,t dan j = ulangan 1,2,…,r

Yij = pengamatan pada perlakuan suhu ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum

τi = pengaruh perlakuan suhu ke-i

εij = pengaruh acak pada perlakuan suhu ke-i ulangan ke-j Bentuk hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut : H0 = τ1= τ2 = τ3


(20)

4. Metode Analisis

a. Berat jenis (BSN, 1998a)

Susu dihomogenkan dengan sempurna (dituangkan dari gelas piala satu ke gelas piala lainnya), kemudian dengan hati-hati dituangkan ke dalam tabung tanpa menimbulkan buih. Laktodensimeter dicelupkan ke dalam susu dalam tabung tadi dengan hati-hati, dibiarkan timbul dan ditunggu sampai diam. Skala yang ditunjukkan kemudian dibaca dan angka yang terbaca menunjukkan angka ke-2 dan ke-3 di belakang koma, sedangkan desimal ke-4 dikira-kira.

b. Bahan kering dan bahan kering tanpa lemak (BSN, 1998a)

Setelah angka kadar lemak dan BJ didapatkan, maka angka-angka tersebut dimasukkan ke dalam rumus :

BK = 1,311 x L + 2,738

-Keterangan : BK = Kadar bahan kering L = Kadar lemak susu BJ = Berat jenis susu

Penetapan kadar bahan kering tanpa lemak berdasarkan rumus : BKTL = BK – L

Keterangan : BKTL = Bahan Kering Tanpa Lemak BK = Kadar Bahan Kering L = Kadar Lemak Susu

Hasil uji Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak susu dinyatakan dalam (%)

c. Penentuan pH (Apriyantono et al., 1989)

Sampel yang berbentuk larutan homogennya yang tidak terlalu pekat maka penetapan pH-nya dapat langsung, jika terlalu pekat maka harus diencerkan dulu (perhatikan faktor pengencer, untuk setiap sampel harus sama). Sedangkan untuk sampel kering dilakukan dengan metode ekstraksi. Sampel sebanyak 1 gram ditimbang dan


(21)

ditambahkan air 20 ml kemudian dikocok dengan stirer sampai basah semua, kemudian ditambahkan 50 ml air dan dihomogenkan. Sampel dibiarkan selama 1 jam. Tidak perlu disaring dan dibiarkan sampai terbentuk endapan, selanjutnya diukur pH supernatan sampel.

d. Kadar laktosa susu segar (Teles, 1978)

Susu 2 ml dipindahkan ke labu takar 100 ml dan diencerkan sampai tepat 100 ml. dicampurkan dengan baik. Sampel 2,5 ml yang telah diencerkan dalam tabung sentrifus, ditambahkan 2 ml ZnSO4, 0,2 ml BaOH 4,5 %. Sentrifus tabung dengan kecepatan 2500 rpm selama 15 – 30 detik atau 1000 rpm selama 1 menit. Supernatan sebanyak 1 ml dipindahkan ke tabung folin sugar blood dan ditambahkan reagen Teles serta ditutup kencang dengan penutup karet yang kering. Bagian tabung sebesar 4-6 cm dibenamkan dalam air mendidih selama 6 menit kemudian didinginkan secara cepat. Sampel dipindahkan ke 12,5 atau 25 ml air distilasi (tergantung kandungan laktosa dari sampel). Sampel dibolak-balik 6 kali agar tercampur. Absorbansinya dibaca pada 520 nm, untuk blankonya sampel diganti air 2,5 ml.

e. Kadar lemak (BSN, 1998a)

Sebanyak 10 ml asam sulfat pekat dimasukkan ke dalam butirometer. Sebanyak 10,75 ml contoh susu dan 1 ml amil alkohol ditambahkan pula ke dalam butirometer. Urutan dari pemasukan bahan ke dalam butirometer harus runtut seperti cara di atas. Butirometer disumbat sampai rapat, kemudian dikocok sehingga bagian-bagian di dalamnya tercampur rata. Setelah terbentuk warna ungu tua sampai kecoklatan (terbentuk karamel), butirometer dimasukkan ke dalam sentrifus dan disentrifusi pada 1200 rpm selama 5 menit. Kemudian butirometer dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 650 C selama 5 menit. Setelah itu, skala yang tertera pada butirometer dibaca. Skala tersebut menunjukkan kadar lemak.


(22)

f. Kadar protein (Castillo et al, 1962)

Sebanyak 10 ml sampel susu dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 100 ml. Indikator PP 2 – 3 tetes dan 0,4 ml kalium oksalat ditambahkan pula ke dalam Erlenmeyer. Campuran dalam Erlenmeyer kemudian dititrasi dengan NaOH sampai warna merah muda. Formaldehid ditambahkan 2 ml. Warna larutan akan berubah dari merah jambu menjadi bening. Campuran dititrasi kembali dengan NaOH sampai warna berubah menjadi merah muda. Hasil akhir titrasi yang didapat kemudian dicatat (P). Blanko juga dititrasi dengan prosedur yang sama seperti titrasi sampel tetapi susu diganti dengan aquades. Hasil akhir titrasi yang didapat kemudian dicatat (Q).

Perhitungan = (P – Q) x faktor formol

Keterangan : faktor formol : susu sapi = 1.70 susu kerbau = 1.91 susu kambing = 1.95 g. Kadar abu (DSN, 1992)

Sebanyak 2-3 g sampel ditimbang dengan seksama ke dalam sebuah cawan porselen yang diketahui bobotnya, untuk sampel cairan diuapkan di atas penangas air sampai kering. Sampel diarangkan di atas nyala pembakar, lalu abukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550 0C sampai pengabuan sempurna. Sampel didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang sampai bobot tetap.

Perhitungan : Kadar abu (%b/b) =W1- W2 x 100% W

Keterangan : W= bobot contoh sebelum diabukan dalam gram

W1 = bobot contoh+cawan sesudah diabukan dalam gram W2 = bobot cawan kosong dalam gram


(23)

h. Total asam tertitrasi susu segar (AOAC, 1995)

Pengukuran total asam tertitrasi merupakan penentuan konsentrasi total asam. Pada susu segar total asam tertitrasi dihitung sebagai persen asam laktat. Pengukuran asam tertitrasi menggunakan prinsip asam basa. Sebanyak 10 ml sampel dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 3 tetes indikator phenolphtalein 1%. Sampel dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N yang telah distandardisasi sampai terbentuk warna merah muda yang merupakan titik akhir titrasi. Jumlah (volume) titran yang digunakan, normalitas basa standar, volume atau berat contoh digunakan untuk menghitung total asam tertitrasi.

Total asam laktat (%) = [(VNaOH x NNaOH x 90) : (Vsampel x 1000)] x 100

i. Angka lempeng total(Maturin dan Peller, 2001)

Pengenceran desimal disiapkan dengan pipet steril terpisah sampai sejumlah keperluan. Pengenceran dilakukan terhadap sampel sampai pengenceran yang telah dibuat. Pengenceran 1 ml hasil dipipet dan diduplikat serta cawan petri ditandai. Sebanyak 12 – 15 ml PCA ditambahkan pada tiap cawan 15 menit dari pengenceran aslinya. Agar dibiarkan memadat. Kemudian diinkubasi terbalik 48±2 jam pada 35°C. Setelah itu dihitung koloni yang tumbuh.

j. Total koliform metode solid (Feng et al., 2002)

Violet red bile agar (VRBA) disiapkan sesuai dengan instruksi

pabrik kemudian didinginkan sampai suhu 48 0C sebelum digunakan. Sampel disiapkan, dihomogenisasi dan diencerkan sehingga koloni yang diisolasi dapat diperoleh di cawan nantinya. Sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran dipindahkan ke cawan petri. VRBA 10 ml dituangkan ke dalam cawan, kemudian digoyang agar tercampur dan dibiarkan memadat. Untuk mencegah koloni permukaan dan sebar, agar padat dilapisi kembali dengan 5 ml VRBA dan dibiarkan memadat. Cawan kemudian diinkubasi terbalik selama 18-24 jam pada


(24)

suhu 35 0C. Koloni yang dihitung adalah yang berwarna merah-ungu berukuran 0,5 mm atau lebih besar. Cawan harus memiliki 25-250 koloni. Koliform dikonfimasi dengan mengambil sedikitnya 10 perwakilan koloni dan dipindahkan dalam BGLBB. Kemudian diinkubasi pada 35 0C dan diperiksa terdapat gas atau tidak setelah 24-48 jam.

k. Totalkoliform metode MPN(Feng et al., 2002)

Sampel ditimbang untuk diencerkan dalam pengenceran 1:10 secara aseptis. Pengenceran desimal kemudian disiapkan dengan pengencer Butterfield’s fosfat steril. Jumlah pengenceran yang disiapkan tergantung dari densitas koliform yang diantisipasi. Suspensi divortex dan dipindahkan sebanyak 1 ml bagian ke 3 tabung LSTB untuk setiap pengenceran sedikitnya 3 pengenceran berurutan. Penyiapan sampai inokulasi ke media yang dituju tidak lebih dari 15 menit. Inkubasi tabung LSTB pada suhu 350C. Tabung diperiksa dan reaksi dicatat pada 24±2 jam untuk gas. Tabung yang negatif diinkubasi kembali untuk tambahan 24 jam dan reaksi diperiksa serta dicatat kembali sampai 48±2 jam. Uji konfirmasi dilakukan terhadap tabung LSTB yang positif.

Uji konfirmasi untuk koliform :

Untuk setiap tabung LSTB bergas, seose suspensi dipindahkan ke dalam tabung BGLBB. Tabung BGLBB dinkubasi pada 35 0C dan diperiksa untuk produksi gas pada 48±2 jam. MPN dari koliform dihitung berdasarkan proporsi dari tabung LSTB yang positif untuk 3 pengenceran berurutan.

l. Kelarutan (Nuraini, 2001)

Sampel susu bubuk (a gram) dilarutkan dalam air bersuhu 40oC dengan konsentrasi 5%. Larutan kemudian diaduk secara kontinyu selama 20 menit. Larutan disaring dengan kertas saring yang telah diketahui bobot tetapnya. Kertas saring dan bagian sampel yang tidak lolos saringan dioven selama satu jam pada suhu 105 oC. Bobot sampel


(25)

yang tidak tersaring (b gram) diperoleh dari selisih bobot kertas saring akhir dan bobot kertas saring awal.

x 100 %

m. Total asam tertitrasi susu bubuk (Apriyantono et al., 1989)

Sebanyak 10 gram larutan dari persiapan sampel dilarutkan menjadi 250 ml dalam labu takar. Kemudian dititrasi dengan NaOH 0,1 M dan indikator Phenolphtalein (0,3 ml PP untuk 100 ml larutan yang dititrasi). Hasilnya dinyatakan sebagai ml NaOH 0,1 M/100 g atau 100 ml bahan. Nilai persen asam laktat diperoleh dengan acuan dasar 1 ml NaOH 0,11 N = 0,01 g asam laktat dalam 100 ml susu (Robinson, 1999).

n. Pengukuran warna metode Hunter Lab (Sopian, 2005)

Pengukuran warna dilakukan dengan alat chromameter. Sampel diletakkan pada cawan petri dengan alas putih. Sampel diratakan sampai seluruh permukaan tertutup sampel. Pengukuran dilakukan pada dua posisi yang berbeda dan dua kali untuk tiap sampel. Pengukuran menghasilkan nilai Y, x, y, L, a, b, Hue, dan C. Dalam pengukuran ini dipakai parameter sistem Hunter L, a, b. L menyatakan kecerahan sampel (warna akromatis dari hitam mutlak dengan nilai 0 sampai putih mutlak dengan nilai 100). Parameter a menunjukkan campuran merah hijau ( a+ = 0 – 100 untuk warna merah, a- = 0 – (-80) untuk warna hijau). Parameter b menunjukkan campuran biru kuning (b+ = 0 - 70 untuk warna kuning, b- = 0 – ( -70) untuk warna biru).

o. Nilai Hue (Kristie, 2008)

Nilai Hue didapatkan dari rumus Hue = arctan (b/a).

Intepretasi dari bola imajiner Munsell : merah (150– 470 kuadran I), kuning-merah (470– 800 kuadran I), kuning (800 kuadran I – 170 kuadran II), hijau-kuning (170– 560 kuadran II), hijau (560– 850


(26)

kuadran II), biru-hijau (850 kuadran II- 300 kuadran III), biru (300– 760 kuadran III), ungu biru (760 kuadran III – 310 kuadran IV), ungu (310– 660 kuadran IV), merah-ungu (660 kuadran IV – 140 kuadran I).

p. Kadar laktosa susu bubuk (Mistry dan Pulgar, 1996) Laktosa dihitung dengan by difference :

% Laktosa = % Total Padatan - (% Protein + % Lemak+ % Abu) q. Kadar Protein Metode Kjeldahl-mikro (Apriyantono et al., 1989)

Sejumlah kecil sampel ditimbang (kira-kira akan membutuhkan 3-10 ml HCl 0,01 N atau 0,02 N). Sampel dipindahkan ke dalam labu Kjedhl 30 ml dan ditambahkan 1,9±0,1 g K2SO4, 40±10 mg HgO, dan 2,0±0,1 ml H2SO4. Jika sampel lebih dari 15 mg ditambahkan 0,1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Beberapa butir batu didih ditambahkan ke dalam labu Kjedahl. Sampel didihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Campuran didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian ini dipindahkan ke dalam alat distilasi. Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (Campuran 2 bagian metil merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian metil biru 0,2 % dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Sebanyak 9-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3 ditambahkan kemudian distilasi dilakukan sampai tertampung kira–kira 15 ml destilat dalam Erlenmeyer. Tabung kondenser dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam Erlenmeyer yang sama. Isi Erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Penetapan blanko juga dilakukan.

Kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus :

% Nitrogen = (HCl – Blanko) ml x N HCl x 14,007 x 100 mg sampel


(27)

q. Kadar air (DSN, 1992)

Sebanyak 1-2 g cuplikan ditimbang dengan seksama pada sebuah botol timbang bertutup yang sudah diketahui bobotnya. Untuk contoh berupa cairan, botol timbang dilengkapi dengan pengaduk dan pasir kwarsa/ kertas saring berlipat. Sampel dikeringkan pada oven suhu 105 0

C selama 3 jam kemudian didinginkan dalam eksikator. Hasilnya ditimbang dan pekerjaan ini diulangi hingga diperoleh bobot tetap.

Perhitungan :

Kadar air (%) = W/W1 x 100

W= bobot cuplikan sebelum dikeringkan dalam gram W1= kehilangan bobot setelah dikeringkan dalam gram

r. Total padatan (AOAC, 1995)

Total padatan ditentukan dengan menimbang sampel susu, mengeringkan susu, dan menimbang residu susu kering. Sampel dikeringkan semalam di dalam oven suhu 100±10C. Kandungan total padatan adalah berat dari residu susu yang dikeringkan dan diekspresikan dalam bentuk % dari berat susu bubuk aslinya. Pelaksanaan metodenya disesuaikan dengan kondisi yang ada.

Perhitungan :

Total Padatan (%) = (W2-W)/(W1-W) x 100 Keterangan : W = berat cawan

W1 = Berat cawan + sampel susu W2 = Berat cawan + susu kering


(28)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN

1. Karakterisasi sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing segar Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing segar serta menentukan lamanya waktu evaporasi susu kambing. Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat fisik pada susu kambing segar adalah berat jenis, berat kering, berat kering tanpa lemak, dan pH. Hasil yang didapatkan terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik susu kambing segar

Parameter Fisik Sampel Literatur Jurnal SNI 3) Berat jenis susu 1,030±0,001 1,028 -1,0301)

Minimal 1,028 Bahan kering (%bb) 15,42±0,29 13,572)

- Bahan kering tanpa

lemak (%bb) 9,70±0,10 8,37 – 10,45 3)

Minimal 8,0

pH 6,78±0,04 6,7 – 6,91) -

Keterangan :

1) Kambing peranakan etawah (Sukarini, 2006) 2) Kambing granadina (Ceballos et al., 2008) 3) Kambing saanen dan toggenberg (Lytghoe, 1940) 4) Susu segar (BSN, 1998b)

Berat jenis susu kambing yang didapatkan dari pengukuran adalah sebesar 1,030 (Lampiran 1). Berat jenis yang sama juga didapatkan dalam penelitian Sukarini (2006) dan berada di atas jumlah berat jenis yang terdapat dalam SNI yaitu sebesar 1,028 (Tabel 4). Berat jenis menunjukkan perbandingan relatif antara massa jenis susu dengan massa jenis air murni. Berat jenis susu dapat mengalami perubahan dari saat pemerahannya karena adanya penggumpalan lemak, gas-gas yang keluar dari air susu, dan perubahan-perubahan protein (Ressang dan Nasution, 1986).

Susu mengandung banyak air yakni 7/8 beratnya terdiri dari air, 1/8 terdiri dari bahan kering. Bahan kering memiliki kaitan erat dengan kadar


(29)

lemak dan berat jenis. Susu yang memiliki kadar bahan kering yang tinggi umumnya juga memiliki kadar lemak dan berat jenis yang tinggi pula (Ressang dan Nasution, 1986). Bahan kering dan bahan kering tanpa lemak yang didapat pada penelitian ini merupakan hasil perhitungan dengan Rumus Fleischmann (BSN, 1998a) masing-masing nilainya sebesar 15,42 % dan 9,70 % (Lampiran 2; Lampiran 3). Bahan kering menunjukkan nilai di atas nilai yang didapatkan oleh Ceballos et al. (2008) pada Tabel 4. Bahan kering tanpa lemaknya sesuai nilai yang didapatkan Lythgoe (1940), namun berada di atas nilai minimum yang ditetapkan di dalam SNI (Tabel 4). Hal ini juga sebagai bukti keterkaitan antara bahan kering tanpa lemak dan berat jenis karena keduanya memiliki nilai di atas nilai minimum SNI. Nilai pH yang didapatkan dari sampel sebesar 6,78 (Lampiran 4). Angka ini sesuai dengan rentang pH yang didapatkan oleh Sukarini (2006) yaitu antara 6,7 – 6,9 (Tabel 4). Sementara SNI tidak memberikan batasan pH tertentu untuk susu segar.

Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat kimia susu kambing adalah kadar laktosa, kadar lemak, kadar protein, kadar air, kadar abu, total asam tertitrasi (TAT). Hasil yang didapatkan terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil analisis sifat kimia susu kambing segar

Parameter Kimia Sampel Literatur Jurnal SNI4)

Kadar laktosa (%bb) 7,48±0,25 4,111) -

Kadar lemak (%bb) 5,7±0,4 5,231) 3,44 – 4,862)

Minimal 3,0 Kadar protein (%bb) 2,78±0,21 2,93 – 3,652) Minimal 2,7

Kadar abu (%bb) 0,79±0,02 0,751) -

TAT (asam laktat) (%bb) 0,46±0,06 1.353) - Keterangan :

1) Kambing granadina (Ceballos et al., 2008) 2) Kambing peranakan etawah (Sukarini, 2006) 3) Tidak disebutkan jenisnya (Imran et al., 2008) 4) Susu segar (BSN, 1998b)


(30)

Dibandingkan literatur, kadar laktosa yang didapatkan dari hasil analisis sampel menunjukkan nilai yang tinggi yaitu 7,48 % (bb) (Lampiran 5). Hal ini mungkin disebabkan dua hal yaitu perbedaan metode analisis terhadap kadar laktosa dan jenis kambing yang berbeda. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode cepat yang dikembangkan Teles (1978), sementara Ceballos et al. (2008) menggunakan metode by difference (Tabel 5). Sedangkan, SNI tidak mensyaratkan angka tertentu untuk kadar laktosa.

Lemak yang didapatkan dari hasil analisis sampel memiliki kadar 5,7 % (bb) (Lampiran 6). Ceballos et al. (2008) mendapatkan kadar lemak mendekati hasil analisis, yakni sebesar 5,23 %. Sementara Sukarini (2006) mendapatkan rentang nilai di bawah hasil analisis kadar lemak dalam penelitian ini (untuk jenis kambing yang sama) yaitu 3,44 – 4,86 (Tabel 5). Hal ini diduga akibat jenis pakan yang dikonsumsi berbeda. Menurut Ressang dan Nasution (1986) kadar lemak ini sangat berarti dalam penentuan nilai gizi susu. Lemak ini ditemukan di dalam air susu sebagai emulsi.

Hasil analisis kadar protein yang terkandung dalam sampel adalah sebesar 2,78 % (bb) (Lampiran 7). Dibandingkan dengan SNI nilai ini sangat dekat dengan nilai minimum yang disyaratkan yaitu 2,7 % (Tabel 5). Sukarini (2006) mendapatkan rentang nilai di atas nilai kadar protein yang didapatkan dalam penelitian ini yaitu sebesar 2,93 – 3,65 % (Tabel 5).

Kadar abu hasil analisis menunjukkan hasil sebesar 0,79 % (bb) (Lampiran 8). Hasil ini hanya berbeda 0,04 % dari hasil penelitian Ceballos et al. (2008) yaitu sebesar 0,75 % (Tabel 5). Kadar abu menunjukkan kandungan mineral total yang terdapat dalam susu kambing segar. Hasil analisis total asam tertitrasi pada susu segar dinyatakan dalam persen asam laktat. Total asam tertitrasi yang didapatkan pada susu kambing segar adalah sebesar 0,46% (bb) (Lampiran 9). Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan yang didapatkan oleh Imran et al. (2008) untuk susu kambing yaitu 1.35 % (Tabel 5). Asam laktat pada susu umumnya


(31)

akan meningkat dengan adanya perombakan laktosa oleh mikroorganisme untuk kebutuhan pemenuhan nutriennya (Robinson, 1999).

Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat mikrobiologi susu kambing adalah angka lempeng total (ALT) dan total koliform. Adapun hasil analisis ALT dan total koliform pada sampel susu kambing segar terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Sifat mikrobiologi susu kambing

Parameter Mikrobiologi Jumlah SNI1)

Angka lempeng total 1,6 x 104 cfu/ml Maksimum 106 cfu/ml Totalkoliform 1,3 x 103 cfu/ml 20 cfu/ml Keterangan : 1) Susu segar (BSN, 1998b)

Analisis angka lempeng total menunjukkan jumlah keseluruhan bakteri yang terdapat dalam susu segar. Nilai yang didapatkan sebesar 1,6 x 104 cfu/ml (Lampiran 10). Nilai ini lebih rendah dari persyaratan maksimum yang ditetapkan SNI (Tabel 6). Sementara uji terhadap total koliform menunjukkan nilai yang jauh lebih tinggi dari syarat maksimum SNI (Tabel 6) mencapai 1,3 x 103 cfu/ml (Lampiran 11). Hal ini terjadi diduga akibat higienitas yang kurang baik dan cemaran koliform yang telah ada dalam air yang digunakan untuk keperluan di peternakan. Menurut Walstra (1999) pengukuran higienitas yang dilakukan selama dan setelah pemerahan penting untuk menentukan mikroorganisme apa yang mencemari susu termasuk yang patogen bagi manusia. Cemaran koliform dapat berasal dari hewan, tanah, kotoran, debu, pakan, alat perahan, air yang digunakan, dan pemerahnya.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa berdasarkan parameter fisik, kimia, dan mikrobiologi pada susu kambing segar jika dibandingkan dengan syarat mutu susu segar menurut SNI (BSN, 1998b) maka dapat disimpulkan bahwa susu kambing segar yang diperoleh telah memenuhi syarat mutu susu segar kecuali untuk parameter total koliform.


(32)

2. Penentuan lamanya waktu evaporasi

Penentuan lamanya waktu evaporasi didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan Pratiwi (2005) bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai total padatan total sebesar 36% adalah 20 menit pada suhu 500C. Namun, tidak disebutkan berapa volume sampel yang digunakan untuk percobaan penentuan waktu evaporasi sehingga percobaan dilakukan dengan metode trial and error, dimulai dengan lama waktu evaporasi 20 menit sampai didapatkan padatan total yang diharapkan. Pada tahap awal dilangsungkan selama 40 menit dengan pengambilan contoh per 10 menit. Adapun hasil percobaan terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Waktu dan persen padatan total dalam penentuan lama waktu evaporasi

Waktu (menit) Total padatan (%)

0 11

20 13

30 16

40 19

Hasil percobaan awal menunjukkan bahwa sampai waktu evaporasi 40 menit pada suhu 50 0C didapatkan padatan total 19 % (Tabel 7). Namun ini belum mencapai padatan total yang diharapkan menurut Juliawati (1999) yaitu antara 30 – 50 %. Oleh karena itu selanjutnya digunakan metode yang didasarkan pada besarnya volume uap air yang terkondensasi dalam tabung penampung air pada evaporator. Kondensat yang harus tertampung dalam tabung penampung air diperkirakan 3,8 liter untuk menghasilkan padatan total mencapai 30 % dari 6000 ml susu kambing. Hal ini didasarkan pada padatan total awal 11%. Namun dalam proses penanganan kemudian, susu yang benar-benar dapat dimasukkan dalam evaporator adalah sebesar 5690 ml, sehingga total air tertampung yang diharapkan adalah sebesar 3,6 liter. Hasil percobaan menunjukkan bahwa


(33)

untuk mencapai 3,6 liter kondensat dengan padatan total 30% dibutuhkan waktu 51 menit seperti terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Interval waktu jalannya mesin dan jumlah air yang tertampung di tabung penampung kondensat

Interval waktu (menit ke-) Kondensat (ml)

0 - 23 2500

28 – 38 400

41 – 51 500

54 – 72 200

`

Kondisi optimasi yang diperoleh belumlah ideal karena mesin evaporator diberhentikan selama 4 kali untuk melihat perkembangan air yang tertampung. Oleh karena itu pada proses optimasi akhir, waktu yang digunakan adalah 60 menit. Hal ini didasarkan pada hipotesis bahwa untuk mencapai total padatan 30 % dengan jumlah sampel sebelumnya sebesar 5690 ml dibutuhkan waktu 51 menit sehingga dengan jumlah sampel 6000 ml untuk mencapai total padatan 30% tentunya dibutuhkan waktu lebih lama. Berdasarkan data pada Tabel 8, untuk menguapkan 400 ml dibutuhkan waktu sekitar 10 menit sehingga perkiraan yang mungkin untuk 6000 ml adalah ±60 menit.

Setelah dilakukan percobaan ulang dengan sampel 6000 ml pada suhu 500C dan waktu 60 menit didapatkan kondensat yang tertampung hanya sebesar 3.3 liter. Jumlah tersebut di bawah volume percobaan sebelumnya, sehingga karena alasan inilah kemudian ditambahkan waktu evaporasi selama 20 menit untuk mencapai kondensat total yang diharapkan yaitu 3,8 liter. Hasil akhir menunjukkan bahwa dengan total waktu 80 menit, total padatan yang didapatkan adalah 45 %. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Juliawati (1999).


(34)

B. PENELITIAN UTAMA 1. Tahap I

Penelitian utama tahap I diawali dengan pembuatan produk susu kambing bubuk dari sampel yang sama, melalui proses pasteurisasi (63-65 0

C, 30 menit) kemudian evaporasi, homogenisasi dan pengeringan dengan pengering semprot dengan pengaturan suhu inlet 180 0C dan suhu outlet yaitu 80, 90, dan 100 0C. Pengering semprot yang digunakan adalah jenis pengering semprot simple vertical downward co-current with straight line flow dimana aliran udara searah dengan aliran bahan. Efek yang dihasilkan dari suhu outlet-nya akan berbeda jika digunakan pengering semprot jenis lainnya. Susu kambing bubuk yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan kelarutan, pH, TAT, dan warna. Hasil analisis dipilih yang terbaik dan dikarakterisasi sifat fisik, kimia, dan mikrobiologinya.

a. Kelarutan, TAT, dan pH

Kelarutan adalah suatu ukuran dari kondisi akhir dimana unsur pokok dari bubuk dapat dibawa dalam larutan atau suspensi yang stabil (Fox, 1992). Nilai yang didapatkan dari hasil analisis kelarutan pada pengaturan suhu outlet 80, 90, dan 100 0C masing-masing sebesar 75,43 %, 84,63%, dan 75,08% (Lampiran 12). Kelarutan paling tinggi yang didapat dalam penelitian ini adalah pada pengeringan dengan suhu outlet 90 0C yaitu sebesar 84,63 % (Gambar 5). Berdasarkan hasil uji ragam ternyata nilai P<0,05 sehingga H0 ditolak atau dengan kata lain ada pengaruh nyata dari suhu outlet terhadap kelarutan susu kambing bubuk yang dihasilkan (Lampiran 16). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan maka diketahui bahwa kelarutan yang dihasilkan pada pengeringan dengan suhu 90 0C berbeda nyata dengan suhu outlet 80 0C dan 100 0C (Lampiran 16). Kelarutan yang terdapat pada susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 80 0C dan 100 0C keduanya tidak berbeda nyata dengan nilai P>0,05 (Lampiran 16) .


(35)

Keterangan: Angka dengan huruf berbeda pada grafik batang menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Gambar 5. Kelarutan susu kambing bubuk hasil pengeringan

Kelarutan merupakan parameter fisik utama yang dijadikan penentu dalam pemilihan susu kambing bubuk terbaik dalam penelitian. Hal ini karena suhu outlet sangat berpengaruh pada kelarutan. Menurut Varnam (1994) tingginya suhu outlet akan mengurangi kadar air, mengurangi kelarutan, dan meningkatkan lemak bebas.. Menurut Walstra (1999) suhu

outlet 100 0C memiliki kelarutan rendah karena adanya fraksi dari protein

yang menyumbangkan ketidaklarutan jika suhu pengeringan terlalu tinggi pada kadar air yang rendah, sedangkan Robinson (1999) menyatakan bahwa pada suhu outlet 100 0 C dan diatasnya maka kelarutan susu bubuk akan sangat rendah. Rendahnya kelarutan susu bubuk disebabkan oleh tingginya tingkat denaturasi protein khususnya kasein.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan kecuali pada pengeringan dengan suhu outlet 80 0C. Pengeringan dengan suhu

outlet tersebut kondisi kelarutannya tidak berbeda nyata dengan kondisi

kelarutan pada pengeringan dengan suhu 100 0C. Hal ini diduga karena ada faktor lain yang turut mempengaruhi kondisi ini.

Terdapat dua parameter dalam penelitian yang dapat menjawab kondisi tersebut di atas yaitu parameter total asam tertitrasi yang dinyatakan dalam persen asam laktat dan nilai pH. Robinson (1999) menyatakan bahwa

75,43a

84,63b

75,08a

70.00 72.00 74.00 76.00 78.00 80.00 82.00 84.00 86.00

80 90 100

%

k

elarutan


(36)

peningkatan keasaman akan menyebabkan kerusakan serius pada produk akhir susu bubuk. Akibatnya, tidak hanya nilai TAT yang melebihi tingkat yang diijinkan, tetapi juga kelarutannya. Tingginya kandungan asam laktat akan menyebabkan peningkatan konsentrasi ion hidrogen sehingga kondisi tersebut menyebabkan masalah pada stabilitas protein selama proses.

Gambar 6 menunjukkan bahwa kadar asam laktat pengeringan dengan suhu outlet 80 0C memiliki persentase paling tinggi, yaitu 0,19 %. Sementara, susu kambing hasil pengeringan dengan suhu outlet 90 dan 100 0C didapatkan kadar asam laktat masing-masing 0,14% dan 0,16% (Lampiran 13). Hasil uji ragam menunjukkan nilai P<0,05 sehingga H0 ditolak atau dengan kata lain terdapat paling tidak satu kadar asam laktat yang berbeda nyata (Lampiran 17). Hasil uji lanjutan Duncan menunjukkan bahwa kadar asam laktat pada pengeringan dengan suhu

outlet 80 0C berbeda nyata (P<0,05) dengan persentase asam laktat yang

terdapat pada susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 90 0C dan 100 0C (Lampiran 17).

Kadar asam laktat yang terdapat pada susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 80 0C melebihi batas maksimum pada dua standar susu bubuk yaitu U.S. Extra Grade dan U.S. Standard Grade (USDA, 2001) masing-masing maksimum 0,15 dan 0,17. Susu kambing bubuk yang dikeringkan dengan suhu outlet 100 0C memiliki kadar asam laktat di bawah U.S. Standard Grade namun masih di bawah batas maksimum U.S. Extra Grade. Sementara susu kambing yang dikeringkan dengan suhu outlet 90 0C memiliki kadar asam laktat di bawah batas maksimum baik U.S. Extra Grade maupun U.S. Standard Grade. Walaupun sebenarnya berdasarkan hasil uji lanjut Duncan antara suhu

outlet 90 0C dan 100 0C secara statistik keduanya tidak berbeda nyata


(37)

Keterangan: Angka dengan huruf berbeda pada grafik batang menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Gambar 6. Total asam tertitrasi susu kambing bubuk hasil pengeringan

Nilai pH memiliki peran penting dalam kestabilan panas susu selama proses pemanasan. Menurut Fox (1992) kestabilan panas adalah resistensi relatif dari susu untuk terkoagulasi ketika dipanaskan pada suhu sterilisasi. Varnam (1994) menyatakan kestabilan panas susu sebagai waktu yang dibutuhkan untuk menyebabkan penampakan koagulasi pada suhu yang diberikan. Nilai pH yang terendah dimiliki oleh susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 90 0C yaitu 6,84 (Gambar 7). Sementara, susu kambing hasil pengeringan dengan suhu outlet 80 0C dan 100 0C masing-masing sebesar 6,98 dan 6,97 (Lampiran 14). Hasil uji ragam menunjukkan nilai P<0,05 sehingga H0 ditolak atau dengan kata lain paling tidak terdapat satu nilai pH yang berbeda nyata (Lampiran 18). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai pH pada suhu outlet 90 0

C berbeda nyata (P<0,05) dengan susu kambing hasil pengeringan dengan suhu outlet 80 0C dan 100 0C. Sementara antara nilai pH pada suhu outlet 80 0C dan 100 0C tidak berbeda nyata dengan nilai P>0,05 (Lampiran 18). Jika dibandingkan dengan standar nilai pH susu bubuk yang digunakan di Sudan, Argentina, dan Amerika Serikat (Khier et al., 2009) yaitu pada rentang 6,6 – 6,8, maka hanya susu kambing bubuk hasil pengeringan hasil pengeringan 90 0C yang memenuhi standar.

0,19b

0.14a 0.16

a

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25

80 90 100

Asam

L

ak

tat

(

%

)


(38)

Perbedaan di atas berpengaruh pada kestabilan panas susu. Menurut Fox (1992) untuk susu yang telah dipekatkan kestabilan panasnya akan tidak stabil jika nilainya berada diatas 6,8. Turunnya kestabilan panas akan berakibat waktu koagulasi protein yang lebih cepat dan berakibat pada turunnya kelarutan. Pada susu kambing hasil pengeringan dengan suhu

outlet 80 0C dan 100 0C didapatkan bahwa nilai pH keduanya berada diatas

6,8, artinya keduanya berada pada kondisi dimana kestabilan panas susunya tidak stabil. Inilah kemudian yang menjadi alasan kedua yang memperkuat mengapa kelarutan susu kambing hasil pengeringan dengan suhu outlet 80 0C lebih rendah daripada suhu 90 0C. Alasan lain yang mempengaruhi hasil secara keseluruhan adalah tidak dilakukannya standardisasi di awal terhadap komponen susu sehingga dapat terjadi perbedaan hasil pada produk susu kambing bubuk yang dibuat.

Keterangan: Angka dengan huruf berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Gambar 7. Nilai pH susu kambing bubuk hasil pengeringan

b. Warna

Warna susu kambing pada dasarnya putih dan tidak memiliki warna kuning seperti susu sapi. Hal ini dikarenakan susu kambing tidak memiliki karoten (Ohiokpehai, 2003). Analisis warna dengan metode Hunter Lab

6,98b

6,84a

6,97b

6.75 6.80 6.85 6.90 6.95 7.00

80 90 100

Nilai

p

H


(39)

menunjukkan 3 nilai yaitu nilai L menyatakan kecerahan sampel (warna akromatis dari hitam mutlak dengan nilai 0 sampai putih mutlak dengan nilai 100). Parameter a menunjukkan campuran merah hijau ( a+ = 0 – 100 untuk warna merah, a- = 0 – (-80) untuk warna hijau). Parameter b menunjukkan campuran biru kuning (b+ = 0 -70 untuk warna kuning, b- = 0 – ( -70) untuk warna biru). Nilai a dan b dapat dinyatakan dalam nilai Hue yang dapat diintepretasikan kepada warna tertentu berdasarkan bola imajiner Munsell.

Hasil analisis warna pada Gambar 8 menunjukkan nilai L yang tertinggi dimiliki oleh susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu

outlet 80 0C yaitu 91,71. Sementara susu kambing bubuk hasil

pengeringan dengan suhu outlet 90 0 C memiliki nilai L sebesar 88,25 dan susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 100 0C memiliki nilai L sebesar 87,93 (Lampiran 15). Hasil uji ragam menunjukkan nilai P<0,05 sehingga H0 ditolak atau dengan kata lain paling tidak terdapat satu nilai L yang berbeda nyata (Lampiran 19). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa Nilai L pada suhu outlet 80 0C berbeda nyata (P<0,05) dengan suhu outlet 90 0C dan 100 0C. Namun, antara suhu outlet 90 0C dan 100 0C memiliki tingkat kecerahan yang tidak berbeda nyata dengan P>0,05 (Lampiran 19).

Keterangan: Angka dengan huruf berbeda pada grafik batang menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Gambar 8. Nilai L hasil analisis warna susu kambing bubuk hasil pengeringan

91,71b

88,25a

87,93a

84.00 86.00 88.00 90.00 92.00 94.00

80 90 100

Nilai

L


(40)

Nilai a hasil analisis warna pada susu kambing bubuk hasil pengeringan, baik dengan suhu outlet 80, 90, dan 100 0C, ketiganya menunjukkan nilai a (-) (Gambar 9). Ini berarti bahwa warna susu kambing bubuk lebih mengarah ke warna hijau, semakin tinggi nilainya semakin mengarah ke warna hijau. Hasil uji ragam menunjukkan nilai P<0,05 sehingga H0 ditolak atau dengan kata lain paling tidak terdapat satu nilai a yang berbeda nyata (Lampiran 19). Susu Kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 100 0C memiliki nilai terendah yaitu -3.72 (Lampiran 15). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai a pada suhu outlet 100 0C berbeda nyata (P<0,05) dengan nilai a suhu 80 0C dan 90 0C. Sementara nilai a pada suhu outlet 80 0C dan 90 0C, masing-masing -4,92 dan -4,63 (Lampiran 15), keduanya tidak berbeda nyata dengan nilai P<0,05 (Lampiran 19).

Keterangan: Angka dengan huruf berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Gambar 9. Nilai a hasil analisis warna susu kambing bubuk hasil pengeringan

Nilai b hasil analisis warna pada susu kambing bubuk hasil pengeringan baik dengan suhu outlet 80, 90, dan 100 0C, ketiganya menunjukkan nilai b (+) (Gambar 10). Ini berarti warna susu kambing

-4,63a

-4,92a

-3.72b

-6.00 -5.00 -4.00 -3.00 -2.00 -1.00 0.00

80 90 100

Nilai

a


(41)

bubuk lebih mengarah ke warna kuning, semakin tinggi nilainya semakin mengarah ke warna kuning. Hasil uji ragam menunjukkan nilai P>0,05 sehingga H0 diterima atau dengan kata lain nilai b pada suhu outlet 80, 90, dan 100 0C tidak berbeda nyata (Lampiran 19), masing-masing sebesar 19,33, 23,76, dan 22,18 (Lampiran 15). Nilai Hue yang didapatkan dari masing-masing suhu outlet 80, 90, dan 100 0C masing – masing sebesar 76,53, 78,30, dan 80,48 (Lampiran 15) . Ketiga nilai ini berada di kuadran II. Berdasarkan bola imajiner Munsell maka didapatkan warna ketiganya adalah hijau. Secara tampak mata warna susu bubuk dapat dilihat pada Lampiran 20, 21, dan 22.

Keterangan: Angka dengan huruf berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Gambar 10. Nilai b hasil analisis warna susu kambing bubuk hasil pengeringan

Hasil dari keseluruhan parameter yang dijadikan acuan dalam pemilihan pengaturan suhu outlet terbaik maka dipilih suhu outlet 90 0C dengan pertimbangan utama kelarutan yang dimiliki susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 90 0C merupakan yang tertinggi didukung dengan kadar asam laktat dan nilai pH-nya, walaupun pada

19,33a

23,76a

22,18a

0 5 10 15 20 25 30

80 90 100

Nilai

b


(42)

analisis warna suhu outlet 90 0C tidak menghasilkan tingkat kecerahan tertinggi.

2. Tahap II

Penelitian tahap II selanjutnya dilakukan karakterisasi sifat kimia, fisik, dan mikrobiologi terhadap susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 90 0C. Analisis kimia meliputi kadar air, kadar abu, kadar laktosa, kadar lemak, kadar protein. Sifat fisik meliputi total padatan dan sifat mikrobiologi meliputi angka lempeng total dan total koliform.

a. Sifat Kimia

Tabel 9. Perbandingan sifat kimia susu kambing bubuk terpilih dengan susu kambing menurut SNI susu sapi bubuk dan spesifikasi industri susu kambing

Parameter Susu Kambing

Bubuk Terpilih SNI

1) Spesifikasi industri2) Kadar air (%bb) 9,50±1,32 Maks. 4,0 Maks. 3 Kadar abu (%bb) 5,97±0,23 Maks. 6,0 6 Kadar lemak (%bb) 40,50±0,71 Min. 26 31 Kadar Protein (%bb) 20,67±0,76 Min. 25 25

Kadar Laktosa (%bb) 27.84±0,79 - 35

Keterangan :

1) Susu bubuk (BSN, 1999)

2) Susu kambing bubuk komersial (CBM, 2009)

Kadar air yang dimilliki oleh susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 90 0C ini, termasuk sangat tinggi yaitu 9,50 % (Lampiran 24) mengingat nilai yang disyaratkan SNI maksimum adalah 4 % (Tabel 9). Sementara sebuah perusahaan penghasil susu kambing bubuk di Belanda membuat spesifikasi kadar air produknya maksimum hanya sebesar 3 % (Tabel 9). Nilai ini juga berbeda jika dibandingkan dengan performa produk susu kambing bubuk yang digunakan pada penelitian utama (Lampiran 23). Hasil pemantauan selama berlangsungnya


(43)

penelitian, terdapat beberapa hal yang diduga menyebabkan kadar air tinggi antara lain : 1) Fungsi pompa penghisap udara pada pengering semprot yang sudah tidak optimal; 2) Sampel terlalu lama terpapar udara sebelum dikemas.

1) Fungsi pompa penghisap udara pada pengering semprot yang sudah tidak optimal.

Pompa penghisap udara yang tidak bekerja dengan optimal menyebabkan udara jenuh tidak dapat keluar dengan sempurna. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kontak antara susu kambing yang telah kering dengan udara jenuh. Akibatnya kadar air susu kambing bubuk meningkat dan tidak mampu memenuhi batasan yang telah ditetapkan di SNI.

2) Sampel terlalu lama terpapar udara sebelum dikemas.

Setelah dilakukan pengeringan dengan pengering semprot Buchi 190 mini spray dryer, susu kambing bubuk harus dilewatkan media kertas bersih sebelum dimasukkan ke dalam kantung HDPE. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pemasukan susu kambing bubuk ke dalam plastik dan menjadi wadah bagi susu kambing bubuk yang masih tersangkut kering di chamber. Kondisi ini memberikan jeda cukup lama untuk terjadinya kontak antara udara sekitar dengan sampel. Seperti terlihat pada Gambar 11.


(44)

Kadar abu yang dimiliki susu kambing hasil pengeringan sebesar 5,97 % (Lampiran 25). Nilai ini masih masuk dalam batasan SNI untuk susu bubuk dan juga spesifikasi yang digunakan sebuah industri susu kambing bubuk di Belanda yaitu sebesar 6 % (Tabel 9).

Kadar lemak yang dianalisis menggunakan metode Gerber hasilnya sebesar 40,50 % (Lampiran 26). Nilai ini cukup jauh dibandingkan dengan SNI yang menetapkan batasan minimum kadar lemak susu bubuk sebesar 26 % (Tabel 9). Sementara spesifikasi sebuah industri susu kambing bubuk Belanda menyebutkan kadar lemak untuk susu kambing bubuk adalah sebesar 31 % (Tabel 9). Hal ini berkebalikan dengan kondisi kadar protein susu kambing bubuk. Hasil analisis kadar proteinnya menunjukkan nilai 20,67 % (Lampiran 27). Nilai ini di bawah standar SNI dan spesifikasi industri yaitu 25 % (Tabel 9). Keseluruhan karakter kadar air, kadar lemak, dan kadar protein ini ternyata berimplikasi kepada kadar laktosa karena dalam penelitian ini kadar laktosa dihitung dengan metode

by difference sehingga ketika dilakukan perhitungan yang terjadi kadar

laktosa menjadi sangat rendah yaitu 27,84 % (Lampiran 28). Ini menjadi konsekuensi dari kadar lemak dan kadar air yang tinggi.

b. Sifat Fisik

Dalam tahapan karakterisasi ini hanya total padatan yang menjadi bagian dari sifat fisik karena sebelumnya di penelitian utama telah didapatkan 3 sifat fisik yaitu kelarutan, pH, dan warna. Total padatan yang didapatkan adalah sebesar 90,50 % (Lampiran 29). Total padatan menunjukkan total dari keseluruhan padatan yang terdapat dalam susu kambing bubuk. Keseluruhan padatan tersebut terdiri atas banyaknya protein, lemak, abu, dan laktosa dalam susu kambing bubuk. Oleh karena itu nilai total padatan ini juga digunakan dalam perhitungan kadar laktosa yang menggunakan metode by difference ( Mistry dan Pulgar, 1996).


(45)

c. Sifat Mikrobiologi

Tabel 10. Perbandingan sifat mikrobiologi susu kambing bubuk terpilih dengan susu kambing menurut SNI dan spesifikasi industri

Parameter Sampel SNI1) Spesifikasi

industri2) Angka

lempeng total

2,6 x 103 koloni/g

Maksimum 5 x 105 koloni/g

< 10.000 koloni/g TotalKoliform 9,2APM/g Maks. 20 APM/g Tidak

terdeteksi/0,1 g Keterangan :

1) Susu bubuk (BSN, 1999)

2) Susu kambing bubuk komersial (CBM, 2009)

Sifat mikrobiologi yang dijadikan parameter adalah angka lempeng total yang menggambarkan jumlah bakteri secara keseluruhan yang ada di susu bubuk dan total koliform yang menggambarkan kondisi sanitasi terutama kondisi air. Hasil perhitungan angka lempeng total terhadap mikroba yang ada pada susu kambing bubuk adalah sebesar 2,6 x 103 koloni/g (Lampiran 30). Nilai ini masih lebih rendah dibanding nilai maksimum yang ditetapkan SNI yaitu sebesar 5 x 105 koloni/g (Tabel 10). Sementara total koliform yang didapatkan dari uji yang dilakukan adalah sebesar 9,2 APM/g (Lampiran 31). Nilai ini juga lebih rendah dari nilai maksimum yang ditetapkan SNI yaitu sebesar 20 APM/g (Tabel 10) . Jika dibandingkan dengan spesifikasi industri susu kambing bubuk di Belanda yang juga ditampilkan pada Tabel 10, kondisi mikrobiologi susu kambing bubuk dalam penelitian ini kurang baik. Hal ini diduga akibat adanya kontaminasi silang pasca pengeringan sesaat sebelum dikemas. Karena terdapat jeda waktu yang cukup lama untuk susu kambing bubuk terpapar udara dan juga digunakannya alas kertas yang tidak steril sebagai wadah sebelum dimasukkan ke dalam kantong plastik. Menurut Walstra (1999) kontaminasi dapat terjadi dimana saja baik pada pengering semprot maupun selama pengemasan. Spesies bakteri yang manjadi kontaminan dapat bervariasi sangat luas, tetapi umumnya merupakan spesies yang


(46)

dapat tumbuh di bagian basah sisa susu bubuk yang menempel pada alat pengeringnya maupun sekitar jalur manufaktur.


(47)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Susu kambing segar dalam penelitian ini mempunyai karakter fisik meliputi berat jenis sebesar 1,030; bahan kering 15,42 % (bb); bahan kering tanpa lemak 9,70 % (bb); dan pH 6,78. Karakteristik kimianya meliputi kadar laktosa sebesar 7,48 % (bb); kadar lemak 5,7 % (bb); kadar protein 2,78 % (bb); kadar abu 0,79 % (bb); dan total asam tertitrasi 0,46 % (bb asam laktat). Sedangkan kandungan mikrobanya meliputi angka lempeng total sebesar 1,6 x 104 cfu/ml dan total koliform 1,3 x 103 cfu/ml. Secara umum karakteristik fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing segar dihubungkan dengan persyaratan mutu susu segar menurut SNI disimpulkan bahwa susu kambing segar yang diperoleh telah memenuhi syarat mutu susu segar kecuali untuk parameter total koliform.

Pengaturan suhu outlet pengering semprot berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia susu kambing bubuk yang dihasilkan. Kelarutan terbaik dimiliki oleh susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 900C yaitu 84,63 %. Total asam tertitrasi terbaik dimiliki oleh susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 90 0C yaitu sebesar 0.14 % (asam laktat). pH terbaik dimiliki oleh susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu

outlet 900C yaitu sebesar 6,84. Warna tercerah dimiliki oleh susu kambing

hasil pengeringan dengan suhu outlet 80 0C yaitu dengan nilai L sebesar 91,71. Hasil dari keseluruhan parameter yang dijadikan acuan dalam pemilihan pengaturan suhu outlet terbaik maka dipilih suhu outlet 90 0C dengan pertimbangan utama kelarutan suhu outlet 90 0C yang tertinggi didukung dengan kadar asam laktat dan nilai pH-nya, walaupun analisis warna tidak menghasilkan tingkat kecerahan tertinggi

Susu kambing bubuk terpilih memiliki sifat kimia meliputi kadar air sebesar 9,50 %; kadar abu 5,97 %; kadar lemak 40,50 %; kadar protein 20,67 %; kadar laktosa 27.84 %. Sifat fisik meliputi total padatan sebesar 90,50 %. Sifat mikrobiologi meliputi angka lempeng total sebesar 2,6 x 103 koloni/g dan total koliform sebesar 9,2APM/g. Secara umum, jika keseluruhan sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing bubuk dihubungkan dengan


(48)

syarat mutu susu bubuk menurut SNI maka dapat disimpulkan bahwa susu kambing bubuk yang diperoleh memenuhi syarat hanya untuk parameter kadar lemak, kadar abu, angka lempeng total, dan total koliform.

B. SARAN

Beberapa hal yang disarankan terkait dengan penelitian susu kambing bubuk selanjutnya yaitu sebaiknya dilakukan standardisasi terhadap susu kambing segar yang akan dikeringkan sehingga efek yang diperlihatkan pada susu kambing bubuk merupakan efek bersih dari pengaturan pada suhu outlet. Sebaiknya alat yang digunakan dalam skala laboratorium memiliki kesamaan dengan yang digunakan di dunia industri sehingga hasilnya dapat lebih aplikatif. Alat ini meliputi pasteurizer, evaporator jenis falling film

evaporator, homogeniser yang menggunakan tekanan, pengering semprot

yang masih berfungsi dengan baik dan dilengkapi dengan peralatan after

dryer. Efek pengaturan suhu outlet pada pengering semprot terhadap umur

simpan perlu diteliti lebih lanjut. Namun, memerlukan susu kambing bubuk dengan kadar air yang baik, minimal sesuai dengan batas maksimum yang disyaratkan SNI.


(1)

Lampiran 23. Kadar air susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 80, 90, dan 100 0C

Suhu

Outlet Ulangan Plo

Cawan Kosong (g)

Bobot Cawan Kering (g)

Bobot Sampel

(g)

Bobot cawan+ Sampel (g)

Rerata Bobot Sampel + Cawan

per Ulangan (g)

Kadar Air (%)

80

1 1 4.7872 4.7874 2.0014 6.6753 6.6756 5.66

2 4.7875 6.6758

2 1 4.6502 4.6503 2.0014 6.5657 6.5658 4.29

2 4.6504 6.5659

90

1 1 4.5419 4.5419 2.0013 6.4412 6.4414 5.09

2 4.5419 6.4415

2 1 4.8475 4.8476 2.0017 6.6604 6.6615 9.38

2 4.8476 6.6625

100

1 1 4.7366 4.7367 2.0015 6.6569 6.6574 4.04

2 4.7368 6.6578

2 1 4.7649 4.7650 2.0014 6.6358 6.6363 6.50

2 4.7650 6.6367

Lampiran 24. Kadar air susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 900C

Ulangan Plo Bobot Cawan Kering (g)

Bobot Sampel (g)

Bobot Cawan+sampel (g)

Kadar Air

(%) Rerata Rerata SD

1 1 4.4520 2.0053 6.2645 9.61 8.57

9.50 1.32

2 5.0609 2.0062 6.9161 7.53

2 1 5.1619 2.0020 6.9605 10.16 10.43


(2)

66 Lampiran 25. Kadar abu susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 900C

Ulangan Plo Bobot Cawan (g)

Bobot Sampel (g)

Bobot Cawan + Sampel (g)

Kadar Abu

(%bb) Rerata Rerata SD

1 1 23.0278 1.8308 23.1336 5.78 5.81

5.97 0.23

2 23.9228 1.8308 24.0296 5.83

2 1 17.0925 1.7964 17.2045 6.23 6.13

2 20.2075 1.7953 20.3156 6.02

Lampiran 26. Kadar lemak susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 900C

Ulangan Plo Angka di Butirometer

Kadar Lemak

(%bb)

Rerata Rerata SD

1 1 4.1 41 41.00

40.50 0.71

2 4.1 41

2 1 4.0 40 40.00

2 4.0 40

Lampiran 27. Protein susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 900C

Ulangan Plo Bobot Sampel (g)

HCl (ml)

Blanko

(ml) N HCl konstanta

protein

(%bb) Rerata Rerata SD

1 1 0.0861 6.4 0.1 0.03025 14.007 19.78 20.13

20.67 0.76

2 0.0752 5.8 0.1 0.03025 14.007 20.49

2 1 0.0800 6.45 0.1 0.03025 14.007 21.45 21.21


(3)

Lampiran 28. Laktosa susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 900C

Ulangan Plo laktosa

(%bb) Rerata Rerata SD

1 1 23.25 27.28

27.84 0.79 2 31.30

2 1 28.67 28.40

2 28.13

Lampiran 29. Total padatan susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 900C

Ulangan Plo Bobot Cawan Kering (g)

Bobot Sampel (g)

Bobot Cawan + Sampel (g)

Total

padatan (%) Rerata Rerata SD

1 1 4.4520 2.0053 6.2645 90.39 91.43

90.50 1.32

2 5.0609 2.0062 6.9161 92.47

2 1 5.1619 2.0020 6.9605 89.84 89.57

2 4.5022 2.0045 6.2922 89.30

Lampiran 30. Angka lempeng total susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 900C

Ulangan Plo Pengenceran Total Koloni

(cfu/ml) 10-1 10-2 10-3 10-4

1 1 26 8 1 0

2.6 x 102

2 23 3 4 0

2 1 21 3 0 0


(4)

68 Lampiran 31. Total koliformsusu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 900C

LSTB

ulangan Pengenceran

10-1 10-2 10-3 10-4

1 +++ --- --- ---

2 +++ --- --- ---

BGLBB

ulangan Pengenceran

10-1 10-2 10-3 10-4

1 ++- --- --- ---


(5)

Ari Try Purbayanto. F24052702. Efek Pengaturan Suhu Outlet pada Pengering Semprot Terhadap Sifat Fisik, Kimia, dan Mikrobiologi Susu Kambing Bubuk. Di bawah bimbingan Made Astawan dan Miskiyah.

RINGKASAN

Susu merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai gizi tinggi bagi kehidupan manusia. Susu yang berada di pasaran umumnya diambil dari hewan piaraan yang telah didomestikasi seperti sapi, kerbau, unta, kambing, dan domba. Salah satu susu yang telah dikonsumsi secara luas di Indonesia adalah susu kambing. Populasi kambing di Indonesia saat ini tercatat sebesar 15.805.902 ekor ekor. Hal ini menunjukkan potensi yang besar untuk pengembangan susu kambing sebagai alternatif konsumsi susu sapi yang saat ini lebih dominan.

Susu tergolong bahan pangan yang mudah rusak. Oleh karena itu dikembangkan cara untuk mengawetkan susu, salah satunya dengan dikeringkan menjadi bubuk. Pembuatan susu kambing bubuk memerlukan beberapa tahapan proses, yaitu pasteurisasi, evaporasi, homogenisasi, dan pengeringan. Proses pengeringan merupakan tahapan proses yang paling menentukan kualitas susu bubuk. Bagian yang paling kritis mempengaruhi kualitas susu bubuk pada pengering semprot adalah suhu outlet. Penelitian ini mengkaji efek pengaturan suhu outlet terhadap sifat susu kambing bubuk yang dihasilkan dan memilih pengaturan suhu outlet yang tepat untuk menghasilkan susu kambing bubuk terbaik.

Penelitian yang dilakukan terdiri dari dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri atas karakterisasi susu kambing segar dan penentuan waktu evaporasi. Tahapan karakterisasi tersebut meliputi analisis fisik, kimia dan mikrobiologi. Penelitian utama terdiri atas dua tahap. Tahap I adalah pembuatan susu kambing bubuk dan pengaturan suhu outlet

untuk melihat efek pengering semprot terhadap sifat fisik dan kimia susu kambing bubuk yang dihasilkan. Sifat fisik yang dianalisis adalah kelarutan, pH dan warna, sedangkan sifat kimia dianalisis adalah total asam tertitrasi (TAT). Pengaturan suhu outlet yang digunakan dalam penelitian utama tahap I adalah 80, 90, dan 100 0

C. Tahap II adalah karakterisasi sifat kimia, fisik, dan mikrobiologi susu kambing bubuk yang terpilih.

Susu segar dalam penelitian ini mempunyai karakter fisik meliputi berat jenis sebesar 1,030; bahan kering 15,42 % (bb); bahan kering tanpa lemak 9,70 % (bb); dan pH 6,78. Karakteristik kimianya meliputi kadar laktosa sebesar 7,48 % (bb); kadar lemak 5,7 % (bb); kadar protein 2,78 % (bb); kadar abu 0,79 % (bb); dan total asam tertitrasi 0,46 % (bb asam laktat). Sedangkan kandungan mikrobanya meliputi angka lempeng total sebesar 1,6 x 104 cfu/ml dan total koliform1,3 x 103 cfu/ml. Secara umum karakteristik fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing segar dihubungkan dengan persyaratan mutu susu segar menurut SNI disimpulkan bahwa susu kambing segar yang diperoleh telah memenuhi syarat mutu susu segar kecuali untuk parameter total koliform. Suhu dan waktu evaporasi yang didapatkan adalah 50 0C selama 80 menit.

Pengaturan suhu outlet pengering semprot berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia susu kambing bubuk yang dihasilkan. Kelarutan terbaik dimiliki oleh susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 900C yaitu 84,63 %. Total


(6)

asam tertitrasi terbaik dimiliki oleh susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 90 0C yaitu sebesar 0.14 % (asam laktat). pH terbaik dimiliki oleh susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 900C yaitu sebesar 6,84. Warna tercerah dimiliki oleh susu kambing hasil pengeringan dengan suhu

outlet 80 0C yaitu dengan nilai L sebesar 91,71. Hasil dari keseluruhan parameter yang dijadikan acuan dalam pemilihan pengaturan suhu outlet terbaik maka dipilih suhu outlet 90 0C dengan pertimbangan utama kelarutan suhu outlet 90 0C yang tertinggi didukung dengan kadar asam laktat dan nilai pH-nya, walaupun analisis warna tidak menghasilkan tingkat kecerahan tertinggi.

Susu kambing bubuk terpilih memiliki sifat kimia meliputi kadar air sebesar 9,50 %; kadar abu 5,97 %; kadar lemak 40,50 %; kadar protein 20,67 %; kadar laktosa 27.84 %. Sifat fisik meliputi total padatan sebesar 90,50 %. Sifat mikrobiologi meliputi angka lempeng total sebesar 2,6 x 103 koloni/g dan total koliform sebesar 9,2 APM/g. Secara umum, jika keseluruhan sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing bubuk dihubungkan dengan syarat mutu susu bubuk menurut SNI maka dapat disimpulkan bahwa susu kambing bubuk yang diperoleh memenuhi syarat hanya untuk parameter kadar lemak, kadar abu, angka lempeng total, dan total koliform.