Kajian Psikologi Sastra dalam Novel Sebelas Patriot Karya Andrea Hirata.

2. Kajian Psikologi Sastra dalam Novel Sebelas Patriot Karya Andrea Hirata.

Sigmund Freud membagi susunan kepribadian menjadi tiga sistem yang penting, yaitu id, ego, dan super ego. Id merupakan watak dasar pada

commit to user

naluri seksual dan agresif. Id cenderung menghendaki penyaluran atau pelampiasan untuk setiap keinginan yang jikalau tertahan atau tersumbat, akan mengalami ketegangan. Oleh sebab itu yang dikenal id adalah prisip kesenangan (the pleasure principle) dan ia akan mengejawantahkan penyalurannya dengan cara yang impulsif, irasional serta narsistik, dengan tanpa mempertimbangkan akibat atau konsekuensi. Watak ini juga tidak mengenal rasa takut dan cemas sehingga tindakan hati-hati tidak diperlukan di dalam upaya penyaluran hasrat keinginan.

Id adalah jembatan antara segi biologis dan psikis manusia yang berupa dorongan-dorongan atau nafsu-nafsu yang berisi ingin dipuaskan, termasuk di dalamnya naluri dan hasrat alamiah manusia, sehingga dikatakan bahwa id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle). Ego adalah segi kepribadian yang dapat membedakan antara khayalan dan kenyataan dan mau menanggung ketegangan, dalam batas tertentu. Ego menjalankan proses sekunder, yaitu menggunakan kemampuan berpikir seccara rasional dalam mencari pemecahan masalah yang terbaik. Maka dari itu, ego bekerja berdasarkan prinsip realitas (reality principle). Super ego merupakan perwakilan dari berbagai nilai dan norma yang diajarkan dari orang tua yang ada dalam masyarakat.

Pembahasan proses kejiwaan jiwa tokoh-tokoh dalam novel Sebelas Patriot karya Andrea Hirata ini berpangkal dari pembahasan terhadap aspek penokohan yang terdapat dalam analisis struktural, sehingga dapat dikatakan bahwa analisis psikologi ini merupakan tindakan lanjutan dari analisis struktural.

Pembahasan aspek psikologi sastra atau proses kejiwaan dari para tokoh novel Sebelas Patriot karya Andrea Hirata, akan diteliti unsur psikologi sastra dari tokoh-tokoh dalam cerita tersebut, dengan pelaksana perwatakan, yang digambarkan memiliki perkembangan atau konflik yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal (lingkungan). Berikut ini akan dijabarkan

commit to user

Andrea Hirata.

a) Proses Kejiwaan Tokoh Aku (Ikal)

Aku (Ikal) digambarkan oleh pengarang adalah seorang anak yang selalu ingin meneruskan perjuangan sang ayah, seorang anak yang ingin ayahnya bangga. Masa lalu sang ayah yang suram karena selalu disiksa dan ditindas oleh penjajah Belanda menjadi awal konflik yang mempengaruhi peristiwa-peristiwa selanjutnya dalam novel Sebelas Patriot .

Tokoh Aku (Ikal) adalah tokoh protagonis yang memiliki jiwa patriotisme tinggi dalam meneruskan perjuangan sang ayah sebagai pemain bola nasional (PSSI) yang digagalkan oleh Belanda.

Namun, jangan risau Ayah, ini aku, anakmu, akan menggantikanmu. Aku akan menjadi pemain PSSI! (Andrea Hirata, 2011:36).

Keinginan Ikal untuk meneruskan perjuangan ayahnya sangat tinggi, karena dia ingin membahagiakan dan membuat ayahnya bangga. Hal ini ia tunjukkan dengan cita-citanya menjadi pemain sepak bola nasional. Untuk menjadi pemain sepak bola nasional harus melalui seleksi yang panjang.

Aku tahu, untuk menjadi pemain PSSI, panjang jalurnya. Jalur pertama harus masuk klub kampung karena sesekali nanti akan ada seleksi untuk menjadi pemain junior kabupaten. Jika terpilih menjadi pemain junior kabupaten, aka nada seleksi lagi untuk menjadi pemain junior provinsi, dan seorang tidak mungkin- walaupun ada katebelece dari ketua persatuan sepak bola internasional-bisa menjadi pemain junior PSSI, jika tidak menjadi pemain junior provinsi. Mengapa gerangan bisa begitu? Jawabannya adalah karena para pemain junior PSSI dipilih dari para pemain junior provinsi. Sederhana, bukan? (Andrea Hirata, 2011:38).

Hal tersebut merupakan pengaruh dari ego Ikal yang berfungsi dengan baik. Ego ini merupakan kepribadian yang dapat membedakan antara khayalan dan kenyataan dalam batas tertentu, ego menggunakan

commit to user

yang terbaik. Maka dari itu, ego bekerja berdasarkan prinsip realitas. Pada musim penerimaan pemain sepak bola untuk pemain baru Ikal bersama Trapani dan Mahar mendaftarkan diri untuk menjadi pemain junior di klub kampung yang dibina Pelatih Toharun. Setelah terdaftar menjadi pemain junior di klub kampungnya, Ikal semakin mencintai olahraga yang bertumpu pada kaki untuk menendang dan memperebutkan bola di tengah lapangan hijau dalam waktu dua kali empat puluh lima menit.

Aku makin keranjingan pada sepak bola. Jika mengaji di masjid, rasanya tak sabar ingin cepat selesai agar bisa segera kabur ke lapangan bola. Huruf-huruf Arab yang berbentuk bulat-bulat kulihat seperti bola. Pintu masjid menjadi gawang. Jika mencium tangan Wak Haji usai mengaji, aku meliuk di depannya seperti stricker mau mengecoh penjaga gawang, dia dongkol. Jika melihat Wak Haji memelototi kami mengaji dengan kedua tangan bersilang di depan perut kulihat dia seperti pemain sepak belakang sedang menjaga aset terpentingnya saat mengadang tendangan bebas (Andrea Hirata, 2011:42).

Masuknya Ikal ke dalam dunia bola merupakan pengaruh dari adanya dorongan id yang merupakan aspek psikologi kepribadian paling dasar yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan organisme. Timbulnya rasa cinta terhadap dunia bola yang muncul di dalam dirinya merupakan representasi psikologi bawaan dari eksistensi yan diakibatkan oleh munculnya suatu keinginan untuk meneruskan perjuangan sang ayah dan ingin membahagiakan sang ayah.

Untuk menjadi pemain sepak bola yang hebat segala cara telah dia lakukan. Ikal ingin menjadi pemain sayap kiri yang hebat seperti ayahnya. Untuk menjadi pemain sayap kiri yang hebat ikal meminta petuah kepada pelatihnya, Pelatih Toharun bagaimana agar tendangan kaki kirinya bisa menggelegar seperti tendangan halilintar ayahnya dulu.

Untuk menghidupkan kaki kirimu, maka seluruh isi otak kananmu, kalau memang ada isinya di situ, pindahkan semuanya ke otak kirimu, dan lakukan apa- apa dengan tangan kiri,” begitu wejangan Pelatih Toharun” (Andrea Hirata, 2011:43).

commit to user

Setelah mendengar wejangan dari pelatihnya, Ikal mulai menerapkan semua amanat dari pelatihnya itu demi bisa memiliki tendangan Halilintar sepertti ayahnya dulu. Namun, semua itu tidaklah mudah karena semua hal yang dilakukan dengan menggunakan bagian tubuh kanan harus diubah dengan mulai membiasakan menggunakan tubuh bagian kiri.

Adanya rasa cinta kepada sang ayah dan pada sepak bola yang ada dalam diri Ikal memberikan dorongan id nya untuk menyalurkan keinginannya tersebut. Hal itu tampak dari usahanya untuk menjadi pemain sayap kiri seperti ayahnya ia harus mengubah segala hal yang biasanya di kanan harus dipindahkan ke kiri. Seperti tampak pada kutipan berikut:

Maka, menulis yang sebenarnya sudah bagus dengan tangan kanan, kucoba dengan tangan kiri. Jika naik sepeda, kulepaskan pegangan stang kanan, jadi hanya dengan sebelah kiri saja. Akibatnya, aku tertungging-tungging. Jika tidur miring ke kiri. Sisir rambut kugeser dari belah samping kanan menjadi belah samping kiri. Memukul beduk, memberi makan ayam, memompa lampu petromak, menghapus papan tulis, semua dengan tangan kiri. Jika melirik, hanya dengan mata kiri. Ketika mengaji, aku memegang lidi untuk menunjuk huruf Arab dengan tangan kiri, akibatnya aku kena kepret Wak Haji (Andrea Hirata, 2011:43).

Usaha mengubah semua hal dari kanan ke kiri ini merupakan stimulus eksternal yang menyalurkan energi psikis pada id dan menggerakkan ego Ikal untuk melakukan proses identifikasi terhadap kebiasaan barunya, yaitu melakukan semua dengan bagian kiri. Proses identifikasi tersebut pertama-tama berlangsung secara sadar, dan selanjutnya irasional yaitu mampu memunculkan semangat dan proses kreatif yang ada dalam diri Ikal, ia mulai menggeluti kegemaran barunya yaitu sepak bola dan berlatih dengan memindahkan semua hal ke kiri.

Semua latihan dan usahanya untuk menjadi pemain sepak bola yang hebat seperti ayahnya membuahkan hasil. Hal ini terbukti Ikal dapat mencetak gol pada saat pertandingan melawan klub sekampungnya yang

commit to user

tersingkir dari kompetisi, Ikal menjadi pahlawan dengan mencetak gol dalam pertandingan itu, dan merupakan pencetak gol satu-satunya dalam pertandingan di sore hari itu.

Golku adalah satu-satunya yang tercipta pada pertandingan itu. Sore itu aku menjadi pahlawan. Tak percuma aku telah memindahkan segala sesuatu dalam hidupku ke sebelah kiri (Andrea Hirata, 2011:51).

Langkah Ikal menjadi pemain sepak PSSI semakin dekat karena dia telah terpilih menjadi pemain junior kabupaten. Dengan terpilih menjadi pemain junior kabupaten dia dapat mengikuti seleksi pemain junior tingkat provinsi. Dan benar, Ikal pun berhasil masuk menjadi pemain sepak bola junior tingkat provinsi mewakili Provinsi Sumatra Selatan. Dengan demikian langkahnya menjadi pemain nasional tinggal satu langkah lagi.

Hari pengumuman yang ditunggu-tunggu itu tiba, namun nama Ikal tidak terpilih dalam pemain sepak bola junior nasional. Dengan demikian ia telah gagal menjadi pemain junior PSSI yang tinggal selangkah lagi itu. Dia gagal meneruskan perjuangan ayahnya menjadi pemain nasional. Namun, semangatnya untuk menjadi pemain PSSI tak pernah surut. Meskipun gagal, dia selalu mencoba mengikuti seleksi untuk menjadi pemain PSSI. Namun, berulangkali mencoba selalu gagal, bahkan Ikal tak lagi bisa melampaui seleksi pemain kabupaten. Karir bermain sepak bolanya sudah diambang sakaratul maut.

Kegagalan itu membuat Ikal semakin hancur, dan hal ini mendorong id dalam dirinya berperan menjadikan seorang yang tak berguna dalam dirinya, sehingga ego dalam dirinya mulai muncul dan menimbulkan kateksis yaitu niatnya untuk melupakan karir bolanya dan mengembalikan semua di kiri menjadi ke kanan.

Ikal mulai menata perasaan dan kehidupannya lagi setelah mengalami keterpurukan akibat gagal menjadi pemain PSSI. Dia berusaha

commit to user

berikut: Usaha itu kumulai dengan bersungguh-sungguh mengembalikan

gaya sisir rambutku dari kiri ke kanan dan kembali ke gaya asalnya ke kanan sebelum euforia PSSI melandaku. Setelah berkaca, kulihat belah rambut samping kanan itu memang selayaknya memang selayaknya berada di situ (Andrea Hirata, 2011:62).

Keinginan Ikal untuk meneruskan perjuangan sang ayah untuk menjadi pemain sepak bola telah gagal. Namun, dia tetap ingin membuat bangga dan bahagia ayahnya dengan memberikan sebuah kejutan kaos bertuliskan Luis Figo. Seorang pemain asal Portugal yang tergabung dalam klub sepak bola yang paling tersohor di dunia, yaitu Real Madrid. Keinginan Ikal untuk membuat ayahnya bahagia merupakan super ego yang sangat kuat, dari perasaan telah gagal meneruskan perjuangan sang ayah menjadi pemain PSSI. Ego Ikal dapat berfungsi dengan baik sehingga, perasaan Ikal sedikit demi sedikit semakin tertata dan tenang. Terbukti meskipun gagal menjadi pemain PSSI, ia masih ada cara untuk membahagiakan ayahnya adalah dengan keinginannya untuk memberikan kejutan pada sang ayah dengan membelikan kaos pemain kesayangan sang ayah. Masa lalu sang ayah yang kelam karena kejamnya siksaan Belanda merupakan tekanan super ego yang sangat kuat, kegagalan meneruskan perjuangan sang ayah menjadi pemain PSSI, namun usaha Ikal untuk membuat ayahnya bahagia tidak berhenti begitu saja. Cara lainnya adalah Ikal ingin memberikan sang ayah kejutan dengan membelikan kaos Luis Figo pemain kesayangan ayahnya.

Perjuangan Ikal untuk mendapatkan kaos bertuliskan pemain kesayangan ayahnya itu tidaklah mudah. Untuk mendapatkan kaos tim kesayangan ayahnya itu, Ikal harus membelinya di toko resmi Real Madrid, di markas besar klub itu yaitu, stadion Santiago Bernabeu. Untuk menempuh perjalanan dari Paris menuju Spanyol, ia harus hidup ala backpaker. Selain itu, memang keadaan keuangannya sangat kritis.

commit to user

toko itu yang bernama Adriana, seorang yang berdiri dengan anggun di belakang sebuah cash register.

“Hola, buenas tardes…, “ sapanya. “Hola.” “A, Figo, “ (Andrea Hirata, 2011:72).

Ikal tidak begitu mengerti bahasa yang diucapkan oleh Adriana, tp ia sedikit mengerti bahwa di toko menjual kaos bertanda tangan asli Luis Figo, dan laku sekali, hanya tinggal satu. Mendengar hal itu, Ikal sangat tergoda dan tak terbayangkan rasanya jika ia dapat memberi kejutan pada Ayahnya yang diam-diam menggemari Luis Figo. Namun semua itu terganjal dengan masalah harga. Kaos itu harganya dua ratus lima puluh euro, sedangkan uang Ikal hanya enam puluh euro. Ikal hampir putus asa. Ia merasa jadi anak yang tak berguna jika tidak mendapatkan kaos bertanda tangan asli Figo, pemain kesayangan ayahnya yang sudah di depan mata.

Lama kutatap, tiba-tiba aku merasa menjadi anak tak berguna jika tahu ada kaos bertanda tangan asli Figo di situ dan aku berlalu tanpa berusaha mendapatkannya demi paman-pamanku sang libero dan pemain sayap kanan-demi Pelatih Amin, demi keseluruhan cinta kami pada sepak bola, dan terutama demi ayahku. Ayah yang tak pernah meminta apapun dariku, yang aku telah gagal, menggantikan posisinya di sayap kiri PSSI, kini harus gagal pula membelikannya kaus pemain sepak bola kesayangannya? (Andrea Hirata, 2011:74).

Setelah berfikir dan merenung sejenak, akhirnya ia mengatakan pada Adriana bahwa akan kembali untuk kaos bertanda tangan asli Figo itu. Adriana memandangnya lama, kemudian tersenyum.

Harus cepat, karena peminatnya banyak, dan Figo tidak mau menandatangani kaus. Menandatangani kaus adalah perbuatan para amatir, begitu katanya, ha ha, baiklah, tapi ini kesempatan terakhirmu. Aku akan kembali (Andrea Hirata, 2011:75).

commit to user

itu menjadi semacam kiblat bagi para backpaker. Kepada sesama backpacker, ia bertanya tentang pekerjaan-pekerjaan cepat dengan bayaran per jam. Di beberapa kota, menggunakan tenaga backpacker telah menjadi kebiasaan setiap musim panas. Seorang backpaker Australia memberi tahu bahwa di luar Barcelona ada yang perlu tukang cat dan tukang angkat- angkat furnitur karena mereka sedang membuka beberapa toko. Ia langsung bergegas ke tempat itu dan bekerja dengan harapan dapat segera mengumpulkan uang. Ikal melakukan pekerjaan itu meskipun bayarannya sangat murah. Semua itu dilakukan demi kaos Figo, pemain kesayangan ayahnya.

Berbagai usaha yang dilakukan Ikal untuk memperoleh kaos Luis Figo itu merupakan pangaruh dari ego Ikal yang berfungsi dengan baik. Ego ini merupakan kepribadian yang dapat membebaskan antara khayalan dan kenyataan dalam batas tertentu, ego menggunakan kemampuan berfikir secara rasional dalam mencari pemecahan masalah yang terbaik. Maka dari itu, ego bekerja berdasarkan prinsip realitas.

Suatu ketika Ikal melihat pengumuman lowongan pekerjaan tidak tetap sebagai pembantu umum untuk latihan klub junior Barca. Pekerjaan itu dilakukan setiap malam hari. Ikal pun langsung melamar pekerjaan itu, menuju sebuah ruangan untuk menemui seorang bernama Margarhita Vargas. Pekerjaan pembantu umum untuk klub sepak bola bukan pekerjaan yang faforit di Spanyol. Ikal menjadi general assistant, nama kerennya kacung kenyataannya, di mana ia menjadi anak buah bagi semua orang. Bahkan tukang potong rumput adalah bosnya.

Pekerjaanku memunguti bola, mengumpulkan kaus pemain, dan diperintah-perintah pembantu dari pembantu pelatih utama atau oleh Margarhita alias Nyonya Vargas, begitu dia memintaku memanggilnya. Aku tak peduli, sebab aku gembira, karena kian hari aku kian yakin dapat mengumpulkan uang 250 euro yang kuperlukan untuk membawa pulang kaus Luis Figo bertanda tangan asli untuk kupersembahkan pada ayahku. Teringat semua itu, kesusahan di Nou Cam tak ada artinya bagiku (Andrea Hirata, 2011:81-82).

commit to user

Meskipun pekerjaan yang dilakukan Ikal itu berat, karena memerlukan banyak tenaga, tak pernah menyurutkan semangatnya. Semua pekerjaan dilakukan dengan senang hati. Kebahagiaan sang ayah adalah motivasi terbesarnya untuk semangat bekerja. Keinginan membelikan kaos Luis Figo untuk sang ayah merupakan stimulus internal yang menyalurkan energi psikis pada id dan menggerakkan ego. Usaha Ikal untuk mendapatkan uang untuk mendapatkan kaos Figo dengan bekerja berlangsung secara sadar, dan selanjutnya irasional, yaitu mampu memunculkan semangat dalam bekerja pada dirinya, ia mulai tekun menggeluti setiap profesinya dengan cara tak pernah mengeluh saat bekerja.

Perjuangan Ikal untuk mendapatkan uang 250 euro tidaklah mudah. Karena ia harus menjadi tukang cat dan angkat-angkat perabot pada siang hari da tukang pungut bola pada malam hari. Adakalanya bersama para backpacker lainnya ia ikut mengamen di Placa de Catalunya. Maka ia mengambil tiga pekerjaan sekaligus demi kaos Luis Figo untuk ayahnya. Usahanya bekerja sebagai kacung di klub sepak bola junior membuahkan hasil. Nyonya Vargas memberikan bayarannya setelah bekerja jadi tukang pungut bola, dan 250 euro sudah terkumpul. Ikal segera bergegas ke Madrid.

Aku berlari kencang menuju stasiun terdekat. Sampai di stasiun terdekat. Sampai di stasiun kereta Madrid, aku berlari kencang lagi menuju Estadio Santiago Bernabeu. Langkah rasanya ringan karena senang akan segera mendapat kaus bertanda tangan asli Figo, karena membayangkan senyum Ayah, sekaligus sangat berat karena cemas kaus itu telah dibeli orang lain (Andrea Hirata, 2011:83).

Keberhasilan Ikal mengumpulkan uang untuk membelikan sang ayah kaos Figo yang diekspresikan dengan berlari kencang menuju stasiun untuk ke Madrid merupakan ekspresi dorongan id dalam dirinya yang menjadikannya senang, bahagia, dan puas. Sehingga ego dalam dirinya

commit to user

Madrid untuk mendapatkan kaos bertanda tangan asli Luis Figo.

Namun, betapa kecewanya Ikal karena kaos yang ia inginkan hanya tinggal bingkainya saja. Ia telah dua kali gagal memenuhi harapan ayahnya. Gagal menjadi pemain PSSI dan kini gagal sekedar untuk membelikannya kaos bertanda tangan pemain sepak bola kesayangannya. Kenyataan bahwa sepanjang hidup ayahnya tak pernah meminta apapun darinya, membuat kegagalan itu semakin menyakitkan.

Aku telah dua kali gagal memenuhi harapan Ayah. Gagal menjadi pemain PSSI dan kini gagal sekedar untuk membelikannya kaus bertanda tangan pemain sepak bola kesayangannya. Kenyataan bahwa sepanjang hidupku Ayah tak pernah meminta apa pun dariku, membuat kegagalan ini semakin menyakitkan. Aku tersandar ke dinding di sebelah lemari display. Aku mau terkulai, kucoba menguat-nguatkan diri (Andrea Hirata, 2011:84).

Harus menghadapi kenyataan kaos Luis Figo sudah hilang, membuat Ikal kecewa dan hancur. Kondisi ini membuat ego nya tidak berfungsi dengan baik. Ini adalah kegagalan kedua kalinya untuk membuat ayahnya bangga dan bahagia. Hanya bersandar di dinding dan mencoba menguatkan diri merupakan super ego yang ada pada diri Ikal. Kondisi ini membuat jiwanya tertekan. Dengan demikian dapat dipahami apabila Ikal sulit menerima kegagalan ini.

Dalam kondisi Ikal yang putus asa, Adriana justru mengamatinya dengan tersenyum riang. Saat ia hendak meninggalkan tempat itu, Adriana menunjukkan jarinya seakan meminta Ikal menunggu. Adriana kembali ke meja kasir lalu menunduk untuk mengambil sesuatu dari laci meja. Dia tegak lagi dan memiringkan kepalanya dua kali, tanda agar Ikal mendekat. Meskipun merasa heran, Ikal pun mendekati Adriana. Dan alangkah terkejut juga sekaligus senangnya Ikal, karena ia melihat ditangan Adriana membawa sebuah kaos bertanda tangan asli Luis Figo.

Tak tahu mengapa, tapi aku tahu kau pasti kembali. Kaus ini kusimpan untukmu (Andrea Hirata, 2011:85).

commit to user

mengucapkan terima kasih pada Adriana hingga berkali-kali. Dan Adriana pun tersenyum lebar melihat tingkah Ikal yang melonjak-lonjak karena girang itu. Kegembiraan Ikal ini merupakan stemming yang mendalam. Hal tersebut merupakan pengaruh dari ego pada diri Ikal yang selalu mengalami baik surut. Ego nya untuk mendapatkan uang demi membelikan kaos pemain kesayangan sang ayah, yaitu Luis Figo. Kejutan dari Adriana, dengan masih menyimpankan kaos Figo itu membuatnya senang bukan main, merupakan pengaruh dari dorongan id. Dorongan id ini merupakan aspek psikologi yang paling dasar di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan organisme. Ekspresi gembira yang muncul pada dirinya merupakan representasi psikologis bawaan dari eksistensi yang diakibatkan oleh munculnya suatu kepuasan karena usahanya tidak sia-sia. Hal itu tampak ketika Ikal melonjak-lonjak girang dan tidak berhenti mengucapkan terima kasih pada Adriana.

Aku melonjak-lonjak girang. Kuucapkan terima kasih berkali-kali. Dia tersenyum lebar. Dia tampak senang melihatku melonjak- lonjak. Butuh beberapa waktu sampai aku tenang kembali. Adriana bertanya mengapa kaus itu begitu penting bagiku.

“Ini untuk Ayahku, “ kataku (Andrea Hirata, 2011:85).

Mendengar jawaban dari Ikal, ia mengangguk-angguk. Adriana bercerita bahwa toko resmi Real Madrid telah dikunjungi orang dari seluruh dunia dan masing-masing mereka punya kisah yang menakjubkan soal sepak bola. Ikal baru menyadari ternyata Adriana juga penggemar Real Madrid dan senang mendengar kisah sesama penggemar dari berbagai penjuru dunia.

Bagaimana kisahmu? Kisah yang panjang. Aku ingin mendengarnya (Andrea Hirata: 86).

Setelah pertemuan itu, Ikal dan Adriana janjian untuk berjumpa di coffee shop yang masih berada di kawasan Santiago Bernabeu. Ketika berjalan menuju coffee shop, Ikal meminta Adriana untuk mengambil fotonya bersama kaus Figo di depan stadion.

commit to user

menjadi Madridistas. Madridistas, adalah sebutan untuk penggemar Real Madrid. Ikal menceritakan jika Madrid adalah klub faforid keduanya setelah PSSI. Baginya PSSI adalah klub faforid pertamanya. Karena selain merupakan timnas Indonesia, tim asal negaranya, PSSI memiliki sejarah yang sangat berarti baginya.

Sepak bola merupakan sebuah lambang pemberontakan demi kemerdekaan. Di situ ayahnya juga berperan sebagai pemberontak melawan Belanda melalui sepak bola. Karena bola pula kaki ayahnya harus kesulitan berjalan karena tempurung lutut kirinya dihancurkan Belanda, agar tidak bisa lagi bermain bola. Ikal menyebut sebutan untuk penggemar PSSI dengan patriotisme. Meskipun timnas Indonesia jarang menang, ia akan tetap mencintai dan mendukung PSSI. Baginya cinta sepak bola, adalah cinta buta yang paling menyenangkan.

Setelah saling bertukar cerita, Adriana menawarkan sesuatu yang tak pernah Ikal bayangkan ataupun ia impikan. Sebuah tiket pertandingan antara Real Madrid melawan Valencia, yang tidak mungkin didapat karena hanya diprioritaskan untuk member. Adriana adalah member istimewa yang punya akses pada tiket itu.

Adriana menawarkan sesuatu yang rasanya berterima kasih padanya berulang-ulang pun masih tak cukup. Yaitu, sebentar lagi Real Madrid akan bertanding melawan Valencia, dan tiket hampir tidak mungkin didapat karena hanya diprioritaskan untuk member. Adriana adalah member istimewa yang punya akses pada tiket itu (Andrea Hirata, 2011:90).

Demikianlah proses kejiwaan Ikal dalam perjalanan hidupnya ingin meneruskan perjuangan dan membahagiakan sang ayah harus melalui perjalanan yang berliku. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dalam proses kejiwaannya, Ikal mengalami berbagai kesulitan dan kegagalan, dia menggunakan semangat dan pertahanan ego.

commit to user

Proses kejiwaan Ayah Ikal (si bungsu berusia 13 tahun) mengalami ketegangan dan tekanan batin yang bersumber dari dalam diri mau pun dari luar dirinya. Dalam menghadapi kondisi tekanan batin masa penjajahan tersebut Ayah Ikal (si bungsu berusia 13 tahun) harus mengatasi antara dorongan id, ego dan super ego.

Ayah Ikal adalah seorang kuli di PN Timah dengan gaji kecil untuk memenuhi keluarganya. Ia berangkat kerja dan pulang kerja dengan naik sepeda.

Ayah bekerja menjadi kuli di PN Timah, bergegas berangkat kerja naik sepeda, dan bergegas pula pulangnya. Menerima gaji kecil dan beras 60 kilogram setiap tanggal 1. Selalu begitu, tetap, bertahun- tahun (Andrea Hirata, 2011:3).

Ayahnya adalah seorang yang pendiam dan tidak pernah menuntut apapun dari siapa pun, selain kasih sayang untuk keluarga, tidak banyak tingkah.

Ayah adalah inti dari kesederhaanan itu karena sikapnya yang sangat pendiam, tak pernah menuntut apa pun dari siapa pun, merasa tak perlu membuktikan apa pun pada siapa pun, selain kasih sayang untuk keluarga, tak banyak tingkah (Andrea Hirata, 2011:3-4).

Sifat Ayah ikal yang pendiam dan tidak pernah menuntut apapun itu merupakan, sebuah id. Id ini disebabkan karena ego. Karena semasa masih kecil hingga dewasa dia tertekan dengan kekejaman Belanda. Tekanan itu berlangsung cukup lama, dan ego nya mendorongnya untuk melakukan segala perintah Belanda jika tidak ingin mendapat siksa. Ayah Ikal berusaha menurut dan menerima semua perintah kompeni jika masih ingin hidup. Hal ini termasuk super ego.

Demikianlah, pada masa penjajahan Belanda kondisi psikis Ayah Ikal dikuasai oleh peranan super ego yang disertai dengan siksaan dan tekanan terus-menerus dari Penjajah. Sehingga yang terlihat dalam tingkah

commit to user

apapun. Ayah Ikal adalah si bungsu dari tiga saudara yang dipaksa Belanda untuk menggantikan ayahnya yang sudah habis tenaganya. Dalam masa penjajahan kolonial Belanda, penjajah mempekerjakan anak-anak lelaki Melayu di bawah umur diseret ke parit-parit tambang untuk kerja rodi. Di antara anak-anak lelaki kecil itu terdapat tiga anak masing-masing berusia

13, 15, dan 16 tahun. Mereka saudara kandung dan dipaksa Belanda meninggalkan rumah untuk menggantikan ayah mereka yang hampir sepanjang hidup telah ditindas Belanda, sampai lunas tenaga dan usianya.

Ketiga anak itu bergabung dengan ratusan anak seusia mereka, bergelimang lumpur, membanting tulang sepanjang waktu. Wajib ganti tenaga adalah tradisi yang diciptakan kolonial di Tanah Melayu dan beresiko tembak di tempat bagi pembangkang (Andrea Hirata, 2011:5-6).

Kondisi yang dialami oleh Ayah Ikal ini juga di alami masyarakat pribumi saat dalam jajahan kolonial Belanda terutama di Belitong. Masa penjajahan Belanda ini tokoh pribumi harus menjalani kerja paksa di daerahnya sendiri. Kaum pribumi di Belitong dijadikan budak untuk mengolah hasil kekayaan alam mereka sendiri untuk kaum kompeni.

Dalam putaran kerakusan nan dahsyat itu anak-anak lelaki Melayu di bawah umur diseret ke parit-parit tambang untuk kerja rodi (Andrea Hirata, 2011:5).

Di bawah pimpinan Distric beheerder Van Holden ketidakadilan dan kekejaman semakin kejam dan merajalela. Dalam pertandingan sepak bola untuk memperebutkan piala Distric beheerder, tiga bersaudara itu berhasil mengangkat unit tambang, karena telah menang dalam menghadapi unit-unit di lingkungan maskapai timah Bangka Belitong.

Kekejaman penjajah ini membuat kaum pribumi semakin tertekan. Karena takut disiksa mendorong id dalam dirinya berperan menjadikan mereka menurut. Sehingga ego dalam diri kaum pribumi muncul dan menimbulkan kateksis yaitu terpaksa menuruti apa yang diperintahkan

commit to user

memberontak. Keinginan terbebas dari penjajah merupakan tekanan super ego yang sangat kuat, beberapa pemberontakan telah dilakukan namun tetap gagal.

Para penyelam tradional melawan dengan membocorkan kapal- kapal dagang Belanda yang mendekati perairan Belitong. Para pemburu melawan dengan meracuni sumur-sumur yang akan dilalui tentara Belanda. Para imam membangun pasukan rahasia di langgar-langgar. Para kuli parit tambang melawan dengan sepak bola (Andrea Hirata, 2011:6-7).

Selain kejam, Belanda sama sekali tak pernah menghargai kaum pribumi. Belanda hanya menganggap kaum pribumi layaknya kuda beban, jika sudah tak bermanfaat harus digantikan oleh anaknya. Kaum pribumi biasanya oleh Belanda hanya ditempatkan di unit parit tambang, unit paling rendah dalam tambang timah.

Lebih ironi lagi, kaum pribumi dipaksa Van Holden (pemimpin district beheerder Belanda) memeriahkan hari kelahiran Ratu Belanda di tanah jajahan. Orang-orang Melayu dipaksa memeriahkan hari kelahiran ratu dari bangsa yang siang bolong menindas mereka. Perayaan itu ditandai dengan pertandingan olahraga dalam kompetisi piala Distric beheerder. Orang jajahan bertanding sesama orang jajahan, atau Belanda melawan orang jajahan. Tapi tentu saja, sehebat bagaimanapun, orang jajahan tidak boleh menang melawan penjajah.

Kondisi membuat kondisi rakyat pribumi semakin tertekan. Salah satu rakyat pribumi itu adalah si bungsu dari tiga bersaudara (ayah Ikal). Hal ini merupakan id. Id ini menjadikannya merasa geram dengan kekejaman dan ketidakadilan Belanda. Id mendorong ego untuk memberontak. Pemberontakan itu dilakukan melalui sepak bola. Selain sebagai simbol pemberontakan sepak bola merupakan sebuah hiburan dan kesenangan dalam waktu dua kali empat puluh lima menit.

Si bungsu bersama kedua kakaknya melawan penjajahan melalui sepak bola. Permainan sepak ketiga saudara kandung ini sangat hebat.

commit to user

tambang merupakan unit paling buruk, paling rendah di antara unit-unit lain.

Padahal unit itu adalah unit yang paling terhinakan dalam segala seginya. Unit itu merupakan tempat pembuangan bagi orang-orang yang tidak terpakai. Tak ada yan dimanfaatkan dari mereka selain tenaganya. Mereka diperlukan penjajah bak kuda beban. Tak ada rasa hormat kemanusiaan dan penghargaan harkat manusia di sana. Kuli parit tambang adalah pekerjaan kasta terendah, lubang tambang adalah kerak nasib orang Melayu. Yang lebih rendah dari itu hanya dibuang Belanda ke pulau-pulau terpencil untuk membangun bungker persembunyian, gudang senjata, pabrik kopra, ladang garam, penjara, atau dermaga. Pekerjaan itu bagi para narapidana dan sering kali terjadi demi melindungi kerahasiaan fasilitas-fasilitas itu, usai membangun, para pekerjanya langsung ditembak (Andrea Hirata, 2011:15-16).

Kabar tiga saudara itu akhirnya sampai ke telinga Van Holden. Dalam peringatan ulang tahun ratu Belanda berikutnya, Van Holden sengaja datang ke lapangan sepak bola untuk menyaksikan anak-anak muda itu bermain. Van Holden terpana. Berita tentang tiga saudara rupanya bukan berita kosong. Melihat kondisi itu, Van Holden merasa hal ini merupakan sebuah ancaman yang tidak main-main. Tim sepak bola Belanda tak pernah dapat dikalahkan oleh tim mana pun. Maka tiga bersaudara itu telah mengancamnya dari dua pejuru, yaitu simpati pada mereka perlahan-lahan berkembang menjadi lambang pemberontakan dan anak-anak muda itu berterang-terangan mengancam kejayaan tim sepak bola Belanda. Mereka harus dibungkam. Alhasil, di tengah sebuah pertandingan yang disaksikan oleh Van Holden dan para petinggi maskapai, Pelatih Amin terpaksa memanggil ketiga saudara itu tanpa alasan

sehingga harus membangkucadangkan mereka. Pada pertandingan-pertandingan selanjutnya, tiga bersaudara dilarang tampil. Posisi tim parit yang telah berada di ambang kemenangan kompetisi menjadi kritis. Dalam sebuah pertandingan, mereka nekat tampil. Mereka tak menghiraukan bahaya yang bahkan dapat mengancam

commit to user

Karena sepak bola adalah kegembiraan mereka satu-satunya. Karena mereka tahu bahwa sepak bola berarti bagi rakyat jelata yang mendukung mereka. Lapangan adalah medan pertempuran untuk melawan penjajah.

Keberanian tiga bersaudara ini untuk nekat main bola meskipun dilarang dan diancam belanda merupakan id. Id ini merupakan penolakan dan pemberontakan akan larangan bermain sepak bola oleh Belanda. Reaksi itu muncul karena tekanan-tekanan dari Belanda yang semakin kejam, maka hal tersebut menggerakkan ego nya untuk melakukan hal. Ego ini irasional karena tanpa sadar mereka tidak memperdulikan keselamatan dan nasibnya dalam ingin mengalahkan tim Belanda. Dan super ego yang begitu kuat dalam diri masing-masing tiga bersaudara itu terutama si bungsu untuk mengalahkan Belanda.

Pertandingan yang penuh dengan ketakutan itu berlangsung seru. Tim kuli parit tambang menang dengan gol yang diciptakan si saudara tengah. Meski getir, dengan gagah berani ribuan penonton bersorak-sorai mendukung mereka. Usai pertandingan, Pelatih Amin dan tiga bersaudara kena ringkus tentara Belanda.

Atas perintah Distric beheerder, kalian ditangkap!” (Andrea Hirata, 2011:22).

Karena membangkang dan menolak untuk takluk, si bungsu seorang pemain sepak bola sayap kiri berbakat itu harus dibuang Belanda ke pulau terpencil. Dalam suatu pertandingan final sepak bola antara tim Belanda melawan para kuli parit tambang. Tiga saudara menggempur pertahanan kompeni habis-habisan dengan formasi segitiga maut mereka. Kakak beradik itu bahu-membahu menggebrak dan menyerbu tak kenal lelah. Akhirnya, si bungsu berhasil mencetak satu-satunya gol dalam pertandingan pertaruhan martabat itu. Untuk pertama kalinya, selama pendudukan Belanda, tim Belanda berhasil dikalahkan.

commit to user

karena senang dan bangga. Dan si bungsu tak henti-hentinya berteriak dengan memekikkan, Indonesia! Indonesia!”

Ayahmu berteriak- teriak, „Indonesia! Indonesia! Indonesia! Indonesia! (Andrea Hirata, 2011:29).

Disambut ribuan penonton Indonesia! Indonesia! Belanda berang mendengar si bungsu tak berhenti berteriak Indonesia! Pelatih Amin, dan tiga bersaudara diangkut ke tangsi. Mereka dikurung selama seminggu. Tempurung kaki kiri si bungsu dihancurkan Belanda, karena ia telah mencetak gol sehingga ia takkan pernah bisa main sepak bola lagi (Andrea Hirata, 2011:30).

Demikianlah proses kejiwaan si Bungsu dalam perjalanan hidupnya. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dalam proses kejiwaannya, si Bungsu menghadapi ketegangan, dan dia menggunakan id.

Id karena dorongan ingin lepas dari penjajah.

c) Proses Kejiwaan Tokoh Pelatih Toharun

Pelatih Toharun adalah anak dari Pelatih Amin. Ia meneruskan perjuangan sang ayah dengan menjadi seorang pelatih sepak bola dengan menganut filosofi buah-buahan dan pemain sepak bola itu dapat dilihat dari pantatnya. Sang ayah dulu dilarang Belanda untuk melatih sepak bola untuk tim parit tambang. Masa lalu sang ayah yang dilarang melatih sepak bola oleh Belanda ini merupakan id yang muncul dalam diri Pelatih Toharun. Dorongan id ini merupakan aspek psikologi kepribadian yang mendorongnya untuk meneruskan perjuangan ayahnya menjadi pelatih sepak bola.

Kini Pelatih Toharun ingin melatih sepak bola untuk anak-anak di kampungnya. Kisah masa lalu ayahnya merupakan stimulus internal yang menyalurkan energi psikis pada id dan menggerakkan ego Pelatih Toharun untuk mengikuti jejak ayahnya menjadi pelatih sepak bola klub junior di kampungnya. Salah satu anak didiknya adalah Ikal, anak si bungsu

commit to user

didikan sang ayah. Pelatih Toharun ingin melahirkan pemain sepak bola yang hebat. Dengan menerapkan filosofi buah-buahan diharapkan dapat melahirkan seorang pemain sayap yang dapat melahirkan tendangan melengkung seperti buah pisang. Para striker dapat menyundul bola dengan umpan- umpan tinggi dan mampu melakukan tandukan secara akurat melalui teknik sudulan buah labu. Cara Pelatih Toharun mengajarkan anak didiknya dengan menggunakan filosofi buah-buahan merupakan ego. Ego Pelatih Toharun berfungsi dengan baik karena dia menyelesaikan masalah meskipun dengan cara irasional. Namun, cara yang dia gunakan berpengaruh positif. Dan super ego yang begitu kuat dalam diri Pelatih Toharun digunakan mengingat masa lalu yang pernah dialami oleh sang ayah saat disiksa dan ditindas Belanda.

Pada para defender, Pelatih Toharun menggunakan teknik kuda- kuda buah nangka. Maksudnya, agar para pemain belakang bertindak selayaknya buah nangka besar yang tidak mudah digeser. Dengan berjiwa buah nangka, menurut Pelatih Toharun para pemain belakang tidak akan mudah dijungkalkan penyerang. Teknik yang diajarkan oleh Pelatih Toharun ini merupakan dorongan id dalam dirinya yang berperan menjadikan dia tegas dan disiplin, sehingga ego dalam dirinya mulai muncul dan menimbulkan kateksis yaitu niatnya untuk membuat anak didiknya kuat dari menahan serangan musuh.

Untuk penjaga gawang Pelatih Toharun menggunakan teknik durian runtuh, yakni seluruh pemain yang ada di lapangan disuruh menendang bola sekuat-kuat tulang secara bersamaan dalam jarak dekat dan sang keeper harus mampu menangkap bola sebanyak- banyak kemampuannya (Andrea Hirata, 2011:45).

d) Proses Kejiwaan Adriana

Adriana adalah seorang pegawai di toko resmi cendera mata Real Madrid. Ia bekerja sebagai cash register. Selain itu, Adriana juga seorang penggemar Real Madrid. Melihat seorang Madridistas yang sangat

commit to user

membuatnya semakin ingin tahu alasannya. Salah satunya, adalah ia ingin tahu kenapa Ikal begitu berobsesi ingin mendapatkan kaos bertanda tangan asli Luis Figo. Keinginan tahuan Adriana pada obsesi Ikal memiliki kaos Luis Figo merupakan dorongan id yang ada pada dirinya.

Adriana melihat kesungguhan Ikal untuk memiliki kaos Luis Figo, membuatnya terpana. Karena semua yang Ikal lakukan adalah dipersembahkan untuk sang Ayah. Ayahnya adalah penggemar Real Madrid, terutama Luis Figo. Perasaan terpana yang dirasakan Adriana merupakan dorongan id yang mampu menggerakan ego nya. Hal ini yang membuat Adriana menyimpan kaos Luis Figo untuk Ikal. Adriana yakin Ikal akan kembali mengambil kaos itu dari melihat tekad dan kesungguhan Ikal. Yang dilakukan Adriana itu merupakan ego. Dan super ego yang kuat dalam diri Adriana digunakan, dia mengingat pengorbanan dan kesungguhan Ikal untuk mendapatkan kaos Luis Figo demi ayahnya.

e) Proses Kejiwaan Tokoh Margarhita Vargas

Margarhita Vargas adalah seorang pembantu umum di klub sepak bola junior Barca. Ia adalah atasan Ikal sebagai tukang pungut bola di klub junior barca itu. Ia sangat senang dengan kinerja Ikal dalam bekerja. Karena itu, saat ia berhenti bekerja jadi asisstennya. Nyonya Vargas biasa dipanggil, sangat kehilangan sosok yang sangat rajin dan bersemangat seperti Ikal. Ia sangat sedih saat Ikal kembali ke Madrid. Kesedihan nyonya Vargas ketika ditinggal Ikal pergi merupakan dorongan id. Nyonya Vargas menyuruh Ikal kembali jika di Madrid kurang beruntung. Hal ini karena nyonya Vargas masih berharap suatu saat Ikal kembali. Hal ini merupakan ego yang muncul dari dalam dirinya dan menimbulkan kateksis yaitu harapan Ikal bekerja kembali.

commit to user

Andrea Hirata

Analisis psikologi sastra terhadap novel Sebelas Patriot karya Andrea Hirata, telah penulis jabarkan satu demi satu. Dengan analisis penokohan tokoh-tokoh dalam novel tersebut maka dapat diperoleh gambaran mengenai proses perkembangan kejiwaan dari masing-masing tokohnya yang dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan faktor dari luar. Walaupun pengarang menampilkan tokoh-tokoh yang memiliki karakter yang unik dan kompleks (lain dari yang lain).

Namun melalui analisis penokohan dengan bantuan teori psikologi sastra, proses kejiwaan dari masing-masing tokoh dapat dipahami dan hal tersebut memberikan efek realistis dalam karya ini.

Analisis Psikologi sastra novel Sebelas Patriot karya Andrea Hirata ini mampu memberikan gambaran perwatakan pada masing-masing tokohnya. Proses kejiwaan tokoh-tokohnya dapat dipahami melalui pendalaman teori Sigmund Freud (id, ego, dan super ego) yang dapat menggambarkan suasana dan perasaan hati para tokoh. Hal tidak lepas dari kemampuan pengarang dalam melukiskan perwatakan tokoh yang ada dalam karyanya.