Konsep/Teori Pemisahan Kekuasaan
J. Konsep/Teori Pemisahan Kekuasaan
Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Apalagi jika kekuasaan itu di warnai dengan paham teokrasi yang menggunakan prinsip kedaulatan Tuhan, maka kekuasaan Raja semakin absolute dan tak terbantahkan sebagaimana yang telah tergoreskan dalam sejarah peradaban Mesir, Yunani dan Romawi kuno, peradaban China, India, hingga peradaban Eropa. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.
1. Prinsip Pemisahan Kekuasaan/ The principle of Separation of powers
a. Prinsip Pemisahan/separation atau Pembagian/division
Kekuasaan.
52 William G. Andrews menyatakan: ― The mumbers of a political community have, by definition, common interest which they seek to promote or protect through the
creation and use the compulsory political mech anism we call the state‖. Lihat rd Wiliiam. G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, 3
Edition,(New Jersey; Van Nostrand Company,1968,hal.9.
Prinsip pemisahan kekuasaan merupakan asas perlawanan yang bersandar dari sistem pemerintahan demokrasi. Prinsip ini memandang perlunya memberikan jaminan kebebasan/al-hurriyah serta menghapus kediktatoran dan kesewenang-wenangan/al-istibdad. Maksudnya, prinsip ini memberikan kekuasaan negara kepada beberapa lembaga yang berbeda dan independent tanpa memusatkan kekuasaan pada satu tangan atau lembaga
Prinsip ini tegak atas 2 (dua) dasar:
1) Memberikan kekuasaan pada lembaga-lembaga khusus atau tertentu, yang mana masing-masing lembaga tersebut menjalankan tugasnya yang telah di tentukan dan di tetapkan.
2) Memberikan kebebasan pengaturan bagi lembaga-lembaga yang memegang kekuasaan. Akan tetapi setiap lembaga tidak dapat menginterfensi urusan lembaga lainnya. Dan tidak boleh menjalankan fungsi yang bukan fungsinya.
b. Sejarah Munculnya Teori Pemisahan Atau Pembagian Kekuasaan.
Pada dasarnya, prinsip pemisahan kekuasaan telah lama dibicarakan pada masa sebelum masehi/ashr al-qadim oleh tokoh filsafat Yunani yaitu plato (427-347 SM) dan aristoteles (322-384 SM). Akan tetapi kemunculannya dalam bentuk yang lebih matang muncul pada era modern/ashr al-hadits ketika terjadi revolusi perancis tahun 1690 Masehi oleh filsuf berkebangasaan Inggris, John locke dengan bukunya
"Pemerintahan Sipil/al-hukumah al-madinah/Civil Goverment yang selanjutnya diterangkan dalam bentuk yang jelas oleh filsuf politik Perancis Montesquieu dalam bukunya "L'Esprit des lois/ruh al-qawanin/the spirit of laws " (1748 M) yang mengikuti jalan pemikiran John Locke walau ada sedikit perbedaan.
2. Prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam teori
politik kenegaraan (konstitusional).
a. Pemisahan atau pembagian Kekuasaan Menurut John Locke
John Locke, ketika masa pemerintahan parlementer/al-hukumah an-niyabiyah dalam bukuny a yang berjudul ―Two Treaties of Goverment‖ mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ- organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurutnya agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembagian pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif/Sulthah Tasyri'iyah (membuat undang- undang)
2. Kekuasaan Eksekutif/Sulthah Tanfidziyah (melaksanakan undang-undang)
3. Kekuasaaan Federatif/Sulthah Ittihadiyah atauTa'ahudiyah (melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain seperti:mengumunkan perang
perdamaian, dan menetapkan perjanjian-perjanjian).
dan
Pendapat John Locke inilah yang mendasari munculnya teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
b. Pemisahan atau pembagian Kekuasaan Menurut Montesquieu
Menurut Montesquieu dengan teorinya trias politica yang tercantum dalam bukunya ―L‟esprit des Lois‖ selaras dengan pikiran John Locke, membagi kekuasaan dalam tiga cabang :
1. Kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undang-undang
2. Kekuasaan Eksekutif sebagai pelaksana UU
3. Kekuasaan Yudikatif yang bertugas menghakimi. Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan
negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive function), dan yudisial (the judicial function). Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:
a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan
c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima.
c. Pemisahan Kekuasaan Menurut Rousseau
Menurut Rousseau filsuf kelahiran Geneva/jenewa abad 18, kekuasaan terbatas pada eksekutif yang merupakan hak rakyat semata. Dan kekuasaan ini tidak di lakukan kecuali hasil kesepakatan rakyat. Adapun legislatif menurutnya hanyalah penengah dan perantara rakyat dengan kekuasaan eksekutif yang menetapkan undang-undang dan tunduk sepenuhnya pada kekuasaan eksekutif yang merupakan representasi dari keinginan umum rakyat. Dia juga setuju dengan adanya kekuasaan yudikatif.
Pemikirannya ini, sebagian ahli hukum berpendapat bahwa Rousseau bukanlah pendukung gagasan pemisahan kekuasaan negara, karena kekuasaan menurutnya hanya pada rakyat yang sekaligus bertindak sebagai eksekutor. Dan legislatif hanyalah perantara belaka. Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
d. Cabang-cabang kekuasaan Menurut Jimly Asshiddiqe
1) Cabang kekuasaan Legislatif
a) Fungsi Pengaturan (legislasi) Fungsi legislasi ini menyangkut 4 kegiatan: Prakarsa
undang-undang (legislative initiation); Pembahasan rancangan undang-undang (law making process); Persetujuan atas pengesahan rancangan undang- undang (law enactment approval); Pemberian persetujuan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hokum yang mengikat lainnya (binding decision making on international agreement treaties or other legal binding documents).
pembuatan
b) Fungsi Pengawasan (control) Fungsi-fungsi control atau pengawasan oleh parlemen sebagai berikut:
Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making); Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control ofpolicy executing);
Pengawasan terhadap penganggaran dan pembelanjaan negara (control of budgeting); Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara(control of budget implementations); Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performances); Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public officials).
c) Fungsi perwakilan (representation) Ada 3 (tiga) sistem perwakilan yang di praktikkan di berbagai negara demokrasi, ketiga fungsi itu adalah:
Sistem perwakilan politik (political representation); Sistem perwakilan territorial (territorial or regional
representation); Sistem perwakilan fungsional (functional representation);
2) Cabang Kekuasaan Eksekutif
a) Sistem pemerintahan;
b) Kementerian Negara;
3) Cabang Kekuasaan Yudikatif
a) Kedudukan kekuasaan kehakiman Dalam kegiatan bernegara, kedudukan hakim pada pokoknya bersifat sangat khusus. Dalam hubungan kepentingan yang bersifat triadik (triadic relation) antara negara (state), pasar
(market), dan masyarakat madani (civil society), kedudukan hakim haruslah berada di tengah. Demikian pula dalam hubungan antara negara(state) dan warga negara (citizens), hakim juga harus berada di antara keduanya secara seimbang. Jika negara dirugikan oleh warga negara, karena warga negara melanggar hukum negara, maka hakim harus memutuskan hal itu dengan adil. Jika warga negara dirugikan oleh keputusan- keputusan negara, baik melalui perkara tatausaha negara maupun perkara pengujian peraturan, hakim juga harus memutusnya dengan adil. Jika antarwarga negara sendiri atau pun dengan lembaga-lembaga negara terlibat sengketa kepentingan perdata satu sama lain, maka hakim atas nama negara juga harus memutusnya dengan seadil-adilnya pula.
Oleh karena itu, hakim dan kekuasaan kehakiman memang harus ditempatkan sebagai cabang kekuasaan yang tersendiri. Oleh sebab itu, salah satu ciri yang dianggap penting dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak (independent and impartial). Apapun sistim hukum yang dipakai dan sistim pemerintahan yang dianut, pelaksanaan the principles of independence and impartiality of the judiciary haruslah benar- Oleh karena itu, hakim dan kekuasaan kehakiman memang harus ditempatkan sebagai cabang kekuasaan yang tersendiri. Oleh sebab itu, salah satu ciri yang dianggap penting dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak (independent and impartial). Apapun sistim hukum yang dipakai dan sistim pemerintahan yang dianut, pelaksanaan the principles of independence and impartiality of the judiciary haruslah benar-
Lembaga peradilan tumbuh dalam sejarah umat manusia dimulai dari bentuk dan sistimnya yang sederhana. Lama-lama bentuk dan sistim peradilan berkembang menjadi semakin kompleks dan modern. Oleh karena itu, seperti dikemukakan oleh Djokosoetono ada empat tahap dan sekaligus empat macam rechtspraak yang dikenal dalam sejarah, yaitu:
1) Rechtspraak naar ongeschreven recht (hukum adat), yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti pengadilan adat;
2) Rechtspraak naar precedenten, yaitu pengadilan yang didasarkan atas prinsip presedent atau putusan-putusan hakim yang terdahulu, seperti yang dipraktikkan di Inggris;
3) Rechtspraak naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas kitab-kitab hukum, seperti dalam praktik dengan pengadilan agama (Islam) yang menggunakan kompendium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah wal- jama‘ah atau kitab-kitab ulama syi‘ah; dan
4) Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang atau pun kitab undang-undang. Pengadilan demikian ini merupakan penjelmaan dari paham hukum positif atau moderne 4) Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang atau pun kitab undang-undang. Pengadilan demikian ini merupakan penjelmaan dari paham hukum positif atau moderne
b) Prinsip Pokok Kehakiman Secara umum dapat dikemukakan ada 2 (dua) prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistim peradilan , yaitu (i) the principle of judicial independence , dan (ii) the principle of judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai pra syarat pokok sistem di semua negara yang disebut hukum modern atau modern constitutional state.
Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Di samping itu , independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan , masa kerja, pengembangan karir, sistim penggajian, dan pemberhentian para hakim . Sementara itu, prinsip kedua yang sangat penting adalah prinsip ketidakberpihakan (the principle of impartiality).
c) Struktur Organisasi Kehakiman Dalam struktur organisasi kekuasaan kehakiman , terdapat beberapa fungsi yang dilembagakan secara internal dan eksternal. Terkait dengan jabatan-jabatan kehakiman itu, terdapat pula pejabat-pejabat hukum yaitu(a) pejabat penyidik, (b) pejabat penuntut umum, dan (c) advokat yang juga diakui sebagai penegak hukum. Di lingkungan pejabat penyidik, terdapat (i) polisi, (ii) jaksa , (iii) penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), daniv) penyidik pegawai negeri sipil, yang dewasa ini di Indonesia berjumlah kurang lebih 52 macam. Mereka yang menjalankan fungsi penuntutan adalah (i) Jaksa Penuntut Umum, dan (ii) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sementara itu, dalam lingkungan internal organisasi pengadilan, dibedakan dengan tegas adanya 3 (tiga ( jabatan yang bersifat fungsional, yaitu (i) hakim, (ii) panitera, dan (iii) pegawai administrasi lainnya. Ketiganya perlu dibedakan dengan tegas, karena memiliki kedudukan yang berbeda dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Hakim adalah pejabat negara yang menjalankan kekuasaan negara di bidang yudisial atau kehakiman. Sementara itu, panitera adalah pegawai negeri sipil yang menyandang jabatan fungsional sebagai administratur perkara yang bekerja berdasarkan sumpah jabatan untuk menjaga kerahasiaan setiap perkara. Sedangkan, pegawai administrasi biasa adalah pegawai negeri sipil yang tunduk pada ketentuan kepegawainegerian pada
umumnya. 53