Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

kepada IPCN apabila ada kecurigaan adanya infeksi nosokomial pada pasien, 5 berkoordinasi dengan IPCN saat terjadi infeksi potensial KLB, penyuluhan bagi pengunjung di ruang rawat inap masing-masing, konsultasi prosedur yang harus dijalankan bila belum paham, dan6 memonitor kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam menjalankan standar isolasi. Hasil wawancara terkait manajemen risiko disebutkan bahwa manajemen risiko dinilai sangat perlu karena apabila tidak adanya dibentuk tim PPI sebagai tim yang mengawasi dalam menjalani program pencegahan dan pengendalian infeksi maka tidak ada manajemen risiko. Ketua PPIRS RS PKU Muhammadiyah Gamping menyebutkan jika tidak ada manajemen risiko maka angka kejadian HAIs akan meningkat, hal ini akan memperlama perawatan dan menyulitkan pasien, menambah biaya apalagi dengan adanya era BPJS sekarang, akan menambah biaya perawatan pasien yang menjadi tanggungjawab dan dapat merugikan rumah sakit sendiri. Menurut Weston 2013 menyebutkan beberapa dampak HAIs bahwa kehilangan pendapatan, bahaya, cacat atau kematian, peningkatan lama perawatan, serta pengeluaran tambahan. Hal ini hampir sama dengan hasil dari wawancara dengan informan. Selama dibentuk pelaksanaan dari pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit ini masih dikatakan baru sehingga untuk pelaksanaan program dan kegiatan masih ada yang belum berjalan optimal dan dirasa masih perlu belajar dan perbaikan. Peran dari pihak manajemen dan partisipasi dari semua staff merupakan hal yang penting untuk berjalannya program pencegahan dan pengendalian risiko infeksi ini. Peran dan partisipasi petugas kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit ini memiliki peran yang besar untuk terlaksanannya penurunan risiko HAIs. Adanya keterlibatan dan partisipasi tenaga kesehatan dalam memantau pelaksanaan penurunan HAIs di unit rawat inap, rawat jalan, dan kamar operasi turut serta mendukung program PPI yang sedang digalakkan. Kamar operasi merupakan salah satu ruangan yang memiliki potensi tinggi terjadinya infeksi khususnya infeksi luka operasi. Pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian infeksi di RS PKU Muhammadiyah Gamping ini sebagian besar informan menganggap bahwa pimpinan memiliki peranan yang besar dan penting dalam pencapaian standar penurunan HAIs. Pimpinan di RS PKU Muhammadiyah sudah ikut serta dan mendukung dalam pelaksanaan penurunan HAIs, namun masih ada peranan pimpinan yang belum terlihat yaitu peran langsung dari pimpinan, adanya evaluasi atau adanya umpan balik reinforcement positif dan negatif, belum adanya reward-punishment dalam menjalankan program PPI untuk meminimalkan risiko infeksi. Depkes 2007 menjelaskan bahwa tugas direktur yaitu bertanggungjawab dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap penyelenggaraan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi, mengadakan evaluasi kebijakaan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial berdasarkan saran dari tim PPI. Hasil analisis wawancara menyebutkan hal yang berkaitan dengan komunikasi dan informasi dalam pelaksanaan program PPI sendiri yaitu dinilai mudah untuk didapatkan. Penyebaran dan transfer informasi dari tim PPI ke unit tidak memiliki kendala dalam pemberian informasi. Informasi dapat diakses dengan mudah melalui komputer yang setiap unit memiliki berkas dan software untuk menyampaikan informasi seperti halnya pelaporan temuan HAIs dimasukkan kedalam Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit SIMRS. Untuk mendapatkan Informasi terbaru sudah ada wadahnya seperti adanya diskusi, pertemuan rapat, pelatihan, pelaporan periodik, media poster serta leafleat. Berdasarkan wawancara yang sudah dilakukan pada informan berkaitan dengan pertanyaan budaya sadar risiko infeksi mereka menyebutkan bahwa budaya sadar risiko HAIs sendiri sudah tertanam dalam diri setiap staff atau petugas kesehatan. Akan tetapi, ada hal-hal yang dianalisis melalui wawancara tersebut pula mereka menjelaskan bahwa perilaku dan sikap dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi sendiri masih belum maksimal dan perlu adanya perbaikan. Kepatuhan menjaga kebersihan tangan dengan cuci tangan dan pelaksanaan 5 moment sendiri kadang mereka lupa sehingga dinilai masih kurang optimal dalam pengaplikasiannya. Penelitian yang telah dilakukan oleh Kumalasari 2015 di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta, bahwa sebelum dilakukan simulasi kepatuhan cuci tangan dibeberapa bangsal adalah 60 , dan setelah diberikan simulasi dengan role model, media poster dan video menjadi meningkat 80-90. Dikarenakan masih belum optimalnya kepatuhan cuci tangan yang dilakukan oleh petugas, simulasi ini dapat dikombinasikan dan diterapkan kembali dalam proses pelatihan dan monitoring program PPI sehingga simulasi dengan menggunakan role model, media poster dan video dan pendekatan langsung diharapkan dapat terus dilanjutkan untuk meningkatkan kepatuhan cuci tangan di RS PKU Muhammadiyah Gamping di semua unit perawatan dan pelayanan. Pelaksanaan program pencegahanan dan pengendalian infeksi pun informan menjelaskan tentunya memiliki hambatan. Informan banyak yang menjawab dari pertanyaan wawancara yang menanyakan terkait hambatan dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi adalah pada sumber daya manusia. Hambatan yang bersumber pada sumber daya manusia yang kurang memadai dan sulit diubah merupakan kendala yang dirasakan dalam pelaksanaan program. Kendala bersumber dari tenaga petugas kesehatan sendiri dimana mereka memiliki sikap yang beda-beda, kadang lupa, kadang acuh, dan kadang sulit untuk diingatkan. Selain kendala tenaga, kelengkapan sarana prasarana di ruang rawat inap pun menjadi hambatan dalam pelaksanaan misal tisu di ranap habis, hand rub atau sabun cuci tangan habis. Apabila menganalsis hasil wawancara dengan informan berkaitan dengan kerjasama antar tim PPI ke setiap unit dalam pelaksanaan penurunan risiko HAIs sudah berjalan cukup baik, komunikasi terjalin baik, namun kadang belum pelaksanaan kerjasama dirasa masih kurang maksimal di rawat inap, rawat jalan dan ruang OK. Mereka mendukung program PPI dan berharap pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi meningkatkan kepatuhan cuci tangan, berperilaku yangbaik untuk menjaga dari risiko HAIs, adanya pengontrolan, evaluasi yang rutin dan berkala. Sebagian dari informan pun menjelaskan bahwa mereka berkeinginan untuk adanya reward-punishment, adanya feedback dari pelaksanaan pencegahan dan pengendalian agar adanya hal yang perlu diperbaiki apabila masih ada yang belum benar. Secara individu mereka berharap bahwa membentuk sikap yang professional dan adanya perbaikan sikap dari setiap individu untuk adanya perubahan yang membangun sesuai dengan standar untuk meminimalisir infeksi. Pelaksanaan program manajemen risiko infeksi merupakan salah satu kegiatan penting untuk mencegah dan mengendalikan infeksi di rumah sakit. Hasil analisis wawancara yang telah dilakukan disebutkan bahwa perlu peranan dari manajemen, pimpinan, dan peranan dari staff atau petugas kesehatan sendiri. Menurut Good of Corparate Governance menjelaskan bahwa manajemen risiko merupakan suatu bagian dari tanggungjawab pihak manajemen dan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses organisasi, proyek atau program dan manajemen perubahan. Manajemen risiko bukan suatu aktivitas yang berdiri sendiri dan terpisah dari kegiatan proses organisasi dalam mencapai sasaran. Manajemen risiko organisasi menurut COSO 2004 dalam Astuti 2010 adalah suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan direksi, manajemen dan personalia lainnya, yang diterapkan dalam menyusun strategi dalam organisasi, dirancang untuk menidentifikasi kejadian- kejadian yang potensial terjadi yang dapat mempengaruhi entitas, dan mengelola risko untuk mencakup dalam jangkauan risiko, menyediakan perlindungan yang layak yang berkaitan dengan pencapaian tujuan entitas. Apabila dianalisis dari hasil penelitian ini bahwa dukungan pihak manajemen dinilai perlu dalam mendukung program PPI untuk menjalankan proses manajemen risiko infeksi. 2. Identifikasi risiko dan analisa risiko HAIs National Health and Medical Research Council 2010 menyebutkan bahwa pengaruh dari masalah HAIs tersebut tidak hanya mempengaruhi pasien saja melainkan juga pekerja di rumah sakit seperti pengaturan kesehatan di bagian apa pun, termasuk praktik berbasis kantor. Hal ini juga memungkinkan bahwa pekerja dan pengunjung berisiko menularkan infeksi. Sumber potensial yang menularkan HAIs yaitu tangan petugas, peralatan medis, dan cairan tubuh dari pasien. Penularan HAIs ditransmisi melalui kontak langsung maupun tidak langsung baik dari petugas ke pasien, pengunjung ke pasien, dan lingkungan area perawatan. Risiko dari HAIs yaitu masuknya dan berkembangnya virus, bakteri atau mikroorganisme lain sehingga terjadinya infeksi seperti IDO, ISK, IADP, VAP, plebitis, dekubitus. Kemudian juga terdapat risiko dari HAIs yaitu lama perawatan, tertundanya kepulangan, kecacatan atau bahkan kematian, gangguan pernafasan. Kemungkinan penyebab dari risiko jenis HAIs tersebut yang terjabarkan pada tabel 1.3, adalah hygiene dari perorangan petugas, sterilisasi alat, penggunaan APD yang belum optimal, pelaksanaan SOP yang kurang tepat. Depkes 2007 menyebutkan risiko infeksi memiliki risiko menginfeksi cukup rendah saat organisme kontak dengan kulit yang utuh dan setiap hari manusia menyentuh benda dimana terdapat organisme di permukaan benda tersebut. Risiko infeksi akan meningkat apabila adanya kontak dengan membran mukosa atau kulit yang tidak utuh. Risiko infeksi itu akan semakin meningkat saat mikroorganisme berkontak langsung dengan area tubuh yang biasanya tidak steril, sehingga hal ini akan mempermudah masuknya sejumlah kecil dari organisme saja akan menyebabkan penyakit. Hal tersebut dianalisis perlu adanya pemutusan rantai penularan risiko infeksi di RS PKU Muhammadiyah Gamping. Memutuskan rantai penularan HAIs di rumah sakit dengan pencegahan HAIs dengan menggunakan alat pelindung diri dan kegiatan menjaga kebersihan tangan petugas. Berdasarkan wawancara informan menyebutkan bahwa mereka sangat sadar untuk menjaga kebersihan tangan dengan cuci tangan, namun terkadang mereka suka lupa. Menurut Ernawati, dkk 2014 menjabarkan menjaga kebersihan tangan dengan mencuci tangan merupakan menjadi salah satu hal penting untuk dilakukan agar dapat mengurangi adanya penularan mikroorganisme dan mencegah terjadinya infeksi. Apabila hal tersebut dilakukan dengan baik dan benar, maka dapat mencegah penularan mikroorganisme dan menurunkan dari angka kejadian HAIs. Kebersihan tangan adalah salah satu mengatasi masalah kesehatan dan merupakan hal penting secara keseluruhan dan tindakan yang paling praktis serta dapat menghemat biaya untuk mengurangi kejadian infeksi berhubungan dengan penyebaran resistensi mikroba di semua sistem perawatan dan pelayanan kesehatan. Walaupun menjadi tindakan yang sangat sederhana, kepatuhan dalam kebersihan tangan dalam petugas pelayanan kesehatan masih rendah Kadi et al, 2012. Beberapa dari petugas kesehatan menyebutkan hambatan pelaksanaan dalam pencegahan dan pengendalian infeksi di ruang rawat inap bersumber dari petugas kesehatannya terkadang mereka suka lupa untuk mencuci tangan kemudian pelaksanaan 5 moment. Apabila dianalisis lebih lanjut melalui wawancara yang telah dilakukan untuk tindakan menjaga kebersihan tangan di petugas kesehatan sudah dilakukan dengan 6 langkah cuci tangan dan 5 moment cuci tangan namun masih ada kendala seperti lupa dan kurang sadar dengan tindakan cuci tangan. Kemudian dari analisis evaluasi kepatuhan cuci tangan pun sebagian dari petugas kesehatan tidak mendapatkan evaluasi secara individu terkait pelaksanaan cuci tangan. Berikut adalah gambar 6 langkah cuci tangan dan penatalaksanaa 5 moment menurut WHO 2009 : Gambar 11. 6 langkah cuci tangan WHO, 2009 Gambar 12. 5 moment untuk cuci tangan WHO, 2009 3. Penilaian risiko Berdasarkan hasil penilaian risiko yang dijabarkan dalam penelitian ini bahwa jenis HAIs yang memiliki risiko sangat tinggi adalah IDO. Mawalla,dkk 2011 menjabarkan bahwa infeksi luka operasi ini telah dilaporkan menjadi salah satu penyebab paling umum dari HAIs, 20- 25 dari semua HAIs di seluruh dunia. IDO bertanggungjawab terhadap adanya peningkatan biaya, morbidilitas, dan mortalitas yang berkaitan dengan pembedahan dan tetap menjadi salah satu masalah yang besar besar diseluruh dunia. Tingkat IDO dilaporkan berkisar dari 2,5 menjadi 41,9 . Di Amerika Serikat, sekitar 2 sampai 5 dan 16 juta pasien yang menjalani prosedur bedah setiap tahun memiliki infeksi pasca operasi. NHS hospitals 2012 di inggris menyebutkan faktor risiko terjadinya IDO ialah usia, jenis kelamin, durasi operasi dan kelas luka, ASA score status fisik pre operasi dibawah 93 , dan Body Mass Index 42 secara keseluruhan. Risiko IDO bervariasi berdasarkan kemungkinan kontaminasi mikroba pada tindakan pembedahan, tertinggi pada pembedahan usus besar sebesar 10 dan terendah pembedahan prothesis lutut sebesar 1. NHS hospitals 2014 berdasarkan data surveilans yang dilakukan tahun 2013-2014 kejadian IDO tertinggi pada pembedahan ortopedi. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk adanya pengklasifikasian jenis pembedahan di rumah sakit untuk pelaporan data surveilans IDO. 4. Evaluasi dan Tindak lanjut risiko Penatalaksanaan tindak lanjut dari risiko IDO yang dapat dianalisis dari hasil penelitian tersebut dapat dijabarkan dalam uraian berikut : a. Ketidakpatuhan cuci tangan yang masih kurang pada petugas kesehatan Penatalaksanaan risiko yang dapat rumah sakit lakukan adalah dengan melakukan sosialisasi dan edukasi cuci tangan kepada petugas kesehatan sebelum dan setelah melakukan tindakan operasi ataupun perawatan luka operasi. Kemudian melaksanakan evaluasi dengan audit kegiatan kepatuhan cuci tangan pada petugas secara rutin dan berkala. Menurut penelitian yang dilakukan Pratama, dkk 2015 bahwa solusi yang disepakati untuk meningkatkan kepatuhan cuci tangan adalah dengan meningkatkan pengetahuan melalui cara memberi pembuktian efektifitas hand hygiene dalam mengurangi jumlah bakteri di tangan melalui pemeriksaan agar gel. Mathur 2011 menjelaskan dalam kondisi klinis di semua akan diuraikan seperti di bawah ini, ketika tangan petugas yang tidak terlihat kotor, dapat menggunakan berbasis alkohol untuk menggosok tangan dapat digunakan secara rutin untuk mendekotaminasi tangan. a sebelum memiliki kontak langsung dengan pasien. b sebelum menggunakan sarung tangan steril saat intravascular pusat kateter. c sebelum memasang kateter urin, kateter vaskuler perifer, atau lainnya tindakan invasif yang tidak memerlukan prosedur bedah. d setelah kontak kulit dengan pasien misalnya, ketika mengambil nadi atau tekanan darah atau mengangkat pasien.e setelah kontak dengan tubuh cairan atau ekskresi, selaput lendir, kulit yang tidak utuh atau terkelupas, dan dressing luka jika tangan tidak terlihat kotor f setelah kontak dengan benda mati termasuk peralatan medis dan lingkungan sekitar pasien. g setelah melepas sarung tangan. h jika berpindah dari yang terkontaminasi pada tubuh ke tubuh yang bersih selama pelayanan pasien. Perlunya pengawasan dan monitoring terkait dari pelaksanaan kepatuhan menjaga kebersihan tangan dan 5 moment dari pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit. Budaya sadar risiko infeksi harus tertanam di setiap petugas kesehatan dan pemberi pelayanan kesehatan di rumah sakit. Meningkatkan motivasi untuk menjaga kebersihan tangan sebagai suatu budaya yang berakar di rumah sakit. Peralatan yang steril dan petugas yang bekerja secara aseptic seperti sterilitas semua instrumen yang dipakai baik diruang operasi, diruangan rawat inap, tindakan cuci tangan, penggunaan sarung tangan, dan pemakaian masker memilikiperan yang penting dalam mencegah dan pengendalian terjadinya infeksi nosokomial seperti Infeksi Luka Operasi. Nurkusuma, 2009. Dalam penelitian yang dilakukan Nurkusama 2009 juga menyebutkan bahawa prosedur ganti balut dengan tidak mencuci tangan sebelum mengganti balut memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian MRSA. . Menurut Chassin, Mayer, dkk 2013 menyebutkan solusi terkait tidak ada tekanan dalam budaya keselamatan dalam menjaga kebersihan tangan di semua tingkatan adalah dengan membuat menjaga kebersihan tangan merupakan kebiasaan, menjamin komitmen pimpinan untuk kepatuhan menjaga kebersihan tangan mencapai ± 90 , melayani sebagai role model dengan mempraktekkan hand hygiene yang tepat, menciptakan tanggungjawab pada semua pemberi pelayanan kesehatan seperti dokter, perawat, staf jasa makanan, petugas kebersihan, rohaniwan, teknisi dan terapis. Menjaga kebersihan tangan merupakan hal penting untuk memutuskan rantai infeksi b. Belum optimalnya pelaksanaan kontrol luka operasi Pelaporan surveilans IDO yang telah dilakukan dalam wawancara menyebutkan bahwa data dan hasilnya masih bias. Hal ini dikarenakan kurangnya pengidentifikasian kontrol luka operasi yang belum dilaksanakan secara optimal. Pengumpulan data dalam pengkategorian, pengklasifikasian dan jenis operasi tidak dilakukan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Fatimah 2011, bahwa ada hubungan yang signifikan antara klasifikasi operasi dengan kejadian infeksi luka operasi. Damani 2003 juga menyatakan bahwa dalam pengklasifikasian pasien operasi merupakan faktor risiko yang mutlak mempengaruhi kejadian infeksi luka operasi. Pelaksanaan kegiatan surveilans IDO masih perlu pengawasan dan monitoring serta sosialisasi kepada IPCLN dalam hal faktor pengetahuan petugas kesehatan dalam tanda-tanda infeksi, pengumpulan data, kelengkapan dan ketepatan. RS PKU Muhammadiyah Gamping sudah menggunakan SIMRS dalam pelaporan surveilans HAIs, namun masih perlu adanya monitoring dan pengawasan terkait pengisian dan kelengkapan dari pelaporan data HAIs yang dikumpulkan. Menurut penelitian yang dilakukan Lowman 2016, menunjukkan bahwa kegiatan surveilans yang proaktif memberikan kontribusi yang signifikan daripada pendekatan reaktif pencegahan infeksi dan berhasil menurunkan infeksi. Pada penelitian Aisyah, dkk 2015 menyebutkan bahwa terdapat kekurangan dalam pengumpulan data, ketepatan dan kelengkapan pengisian formulir. Pelaksanaan kompilasi data di Rumah Sakit X Surabaya berupa koreksi data yang dilaporkan oleh IPCLN. Variabel yang sering kosong atau tidak diisi pada bagian: a Register kohort, yaitu variabel prosedur operasi, multiprosedur insisi yang sama, ASA score, dan klasifikasi luka. b Pre-operasi, yaitu variabel suhu pasien, status merokok, screening MRSA, pencukuran, penggunaan steroid, radioterapi sebelumnya, mandi sebelum operasi, dan profilaksis. c Durante operasi, yaitu variabel sirkulasi udara, tekanan udara, suhu, air count, jamur AC, kelembaban ruang operasi, antibiotik tambahan, dan jumlah staf. c. Dukungan manajemen yang dirasa belum optimal Kerjasama dari pihak manajemen dan keterlibatan pimpinan dalam pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dirasakan perlu. Peran direktur dalam pencegahan dan kontrol infeksi seharusnya menjadi media penghubung antara manajer dan petugas kesehatan dengan jalan adanya monitoring kinerja dan adanya dukunganBrannigan, Murray, dkk.,2009. Penelitian yang dilakukan oleh Mustariningrum, dkk 2015 menyebutkan bahwa pengaruh supervisi dari atasan dapat meningkatkan efisiensi dan dapat mengurangi tingkat kesalahan dalam bertugas. Apabila dianalisis berdasarkan hasil penelitian bahwa peranan pimpinan dan kerjasama dalam pembahasan IDO masih dinilai kurang. Kerjasama antar tim PPI ke kamar operasi pun masih dirasakan masih belum optimal seperti yang diharapkan. Hal ini yang memungkinkan untuk dapat adanya perbaikan. Tingkat dari strategi manajemen untuk memastikan adanya kegiatan yang mengatur keefektifan kontrol infeksi yang sudah dilaksanakan dalam pengontrolaninfeksi serta yang terpenting adanya dukunganpihak manajemen dan direktur rumah sakit.Pencegahan infeksi nosokomial menjadi tanggung jawab semua individu dan pemberi layanan kesehatan Brannigan, Murray, dkk.,2009. 5. Strategi pencegahan dan pengendalian HAIs Gambar. 13. Strategi Penurunan HAIs Menurut Darmadi 2008, cara yang pertama dengan cara meningkatkan daya tahan dari penjamu melalui pemberian imunisasi aktif maupun imunisasi pasif dengan cara promosi kesehatan. Cara kedua dengan mematikan atau menginaktivasikan agen penyebab infeksi melalui metode fisik seperti pemanasan pasteurisasi atau sterilisasi dan memasak makanan seperlunya serta melalui metode kimiawi seperti klorinasi air, desinfeksi. Cara yang ketiga dengan memutus mata rantai penularan. Tindakan ini adalah hal yang paling mudah tetapi hasilnya tergantung dari ketaatan petugas dalam pelaksanaan prosedur yang telah ditetapkan. Dalam tindakan pencegahan ini sudah disusun dalam “isolation precaution” kewaspadaan Isolasi yang terdiri dari standar precaution “kewaspadaan standar dan“transmission- based precaution” kewaspadaan berdasarkan cara penularan. Kemudian yang keempat adalah antisipasi tindakan pencegahan paska pajanan seperti penularan melalui darah dan cairan tubuh lainnya akibat tertusuk jarum bekas pakai atau terpapar hal lainnya. Menurut peraturan Kemenkes 2011 bahwa pusat dari eliminasi infeksi maupun infeksi-infeksi lain adalah dengan cuci tangan hand hygiene yang tepat. Hal terpenting yang harus diperhatikan rumah sakit dalam sasaran V keselamatan pasien: pelaksanaan pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan yakni : a. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum al.dari WHO Patient Safety. b. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif. c. Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. Penggunaan antibiotik profilaksis dalam pembedahan dinilai sangat penting karena bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi. Nelwan 2010 menyebutkan dalam terapi profilaksis, antibiotik dapat pula digunakan untuk mencegah adanya infeksi baru pada seseorang atau mencegah kekambuhan serta merupakan hal yang paling utama untuk mencegah komplikasi yang serius pada waktu tindakan pembedahan. Pengembangan resistensi bakteri dan seputar biaya kesehatan sering kali berkaitan dengan penggunakan antibiotik profilaksis yang irasional dalam pembedahan. Keseimbangan harus dibuat antara risiko infeksi luka operasi dan munculnya resistensi mikrooraganisme terkait penggunaan rutin antibiotik profilaksis dalam pembedahan Shreedevi, 2015. Menurut WHO Global Strategy2014, penggunaan antibiotik yang tepat adalah penggunaan antibiotik yang efektif dari segi biaya dengan peningkatan efek terapeutik klinis, meminimalkan toksisitas obat dan meminimalkan terjadinya resistensi. Amin 2014 menyebutkan bahwa keberhasilan pengobatan antibiotik dipengaruhi beberapa aspek yaitu jenis antibiotik, spektrum antimikroba, aspek farmakologis, aspek mikrologi kuman, aspek penderita, dan pola pemberian antimikroba. Perlu adanya pemantauan kembali terkait penggunaan antibiotik profilaksis dalam pembedahan seperti pola penggunaan antibiotik, kesesuaian terapi antibiotik dengan standar dankerasionalan penggunaan antibiotik yang meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat penderita, waspada efek samping obat, waspada interaksi obat di RS PKU Muhammadiyah Gamping. Bratzler, dkk. 2013 menjabarkan penggunaan antibiotik profilaksis pada saat pre operasi bertujuan untuk mengendalikan risiko infeksi agar mencegah terjadinya risiko pasca bedah dengan serendah mungkin. Penatalaksanaan waktu pemberian antibiotik pre operasi adalah diberikan dalam kurun waktu 60 menit sebelum bedah sayatan ini merupakan waktu yang lebih spesifik yang direkomendasikan dalam induksi anestesi. Namun terdapat beberapa agen seperti vancomycin dan fluoroquinolones, ini memerlukan waktu 1-2 jam untuk itu antibiotik diberikan 120 menit sebelum dimulai bedah sayatan. Durasi profilaksis terdapat rekomendasi baru untuk program pasca bedah dipersingkat antimikrobial melibatkan dosis tunggal atau kelanjutan diberikan kurang dari 24 jam. Rumah sakit dapat melakukan pengidentifikasian bakteri dari infeksi luka operasi dan jenis HAIs lainnya dengan pemeriksaan mikrobiologi sehingga dapat menggunakan hasil identifikasi bakteri tersebut sebagai dasar untuk melakukan tindakan atau terapi terhadap bakteri penyebab HAIs. Penelitian yang dilakukan Warganegara, dkk 2012 menyebutkan bakteri penyebab infeksi luka operasi yang terbanyak adalah bakteri Gram negatip batang yang merupakan flora normal dari usus Pseudomonas sp,. Escherichia coli dan Klebsiella sp. selain flora normal dari kulit yaitu bakteri Gram positif kokus Staphylococcus epidermidis di RSAM yang dilakukan dengan melakukan kultur, pewarnaan Gram dan uji biokimiawi. Para staff rumah sakit memerlukan pelatihan untuk dapat meningkatkan pengetahuan mereka. Tujuan pendidikan dan pelatihan bagi karyawan menurut Moekijat 2003 adalah: 1 untuk mengembangkan keterampilan hal ini menjadikan pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif, 2 sebagai peningkatan pengetahuan agar pekerjaan dapat terselesaikan secara rasional, 3 untuk mengembangkan sikap, sehingga akan memunculkan kemauan kerjasama dengan sesama pegawai dan pimpinan. Pelaksanaan pelatihan dari program PPI diharapkan dapat menjadi penyegaran ilmu, menambah pengetahuan, meningkatkan motivasi, dan meningkatkan kinerja petugasstaff. Mentoring dan sosialisasi, serta evaluasi yang rutin dan berkala terhadap para staff yang dilakukan efektif dan efisien diharapkan dapat menjadikan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dan upaya perbaikan. Usman 2006 menguraikan terkait keuntungan pelaksanaan kontrol yang baik, apabila sistem pengawasan berjalan baik maka akan diperoleh bebagai keuntungan sebagai berikut: a. Tujuan akan diwujudkan lebih cepat, murah dan mudah dicapai, menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran b. Menimbulkansaling percaya dan menghilangkan rasa curiga dalam organisasi. c. Menumbuhkanperasaan aman dihati setiap orang dalam organisasi sehingga mendorong kondisi jiwa yang sehat, d. Menumpukperasaan memiliki atas perusahaanorganisasi, e. Meningkatkan rasa tanggung jawab personil, f. Meningkatkan iklim persaingan yang sehat sehingga mereka yang beprestasi akan lebih dihargai. g. Meningkatkan rasa percaya diri dan meningkatkan produktivitas yang akhirnya meningkatkan laba perusahaan. h. Top pimpinan dapat lebih mudah memfokuskan perhatian kepada masalah lain yang lebih besar untuk kepentingan jangka panjang perusahaan karena operasi kegiatan perusahaan diasumsikan sudah dalam pngawasan yang baik. i. Akan memperlancar operasi, komunikasi dan kegiatan perusahaan karena semua serba terbuka, jelas, lurus dan tidak ada yang disembunyikan transparan. j. Merupakan persyaratan dalam “good corporate governance”. Strategi penurunan HAIs sesuai kesepakatan adalah dengan diklat pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi PPI, pengadaan fasilitas hand hygiene seperti wastafel dan hand rub, materi untuk edukasi dan media leafleat terkait hand hygiene dalam pelayanan pencegahan dan pengendalian infeksi, mengoptimalkan kegiatan surveilans HAIs, pelaksanaan pertemuan rutin dan berkala untuk membahas terkait HAIs, pelaporan, kerjasama, evaluasi, sosialisasi dan monitoring terkait HAIs serta pencegahannya, penyegaran kembali SPO untuk jenis HAIs seperti : a. IDO dengan penyegaran SOP penatalaksanaan pre operasi, durante operasi, post operasi. SOP surveilans IDO b. ISK dengan penyegaran SOP pemasangan, perawatan dan pelepasan kateter urin. SOP surveilans ISK c. VAP dengan penyegaran SOP pemasangan dan perawatn ventilator. Kemudian SOP surveilans VAP d. IADP dengan penyegaran SOP persiapan dan pemasangan intravena sentral. Kemudian SOP surveilans IADP e. Plebitis dengan penyegaran SOP pemasangan dan perawatan infus f. Dekubitus dengan penyegaran SOP asuhan keperawatan dekubitus. Berikut merupakan rekomendasi untuk strategi penurunan HAIs yang dapat dilakukan rumah sakit berdasarkan periode penerapan strategi yaitu : a. Jangka panjang Terkait pengunaan antibotik yang rasional, karena hal tersebut memerlukan pendekatan, perubahan perilaku dan pelatihan staff yang terus menerus terkait penggunaan antibotik. Mengidentifikasi bakteri penyebab HAIs karena memungkinkan rumah sakit mempersiapkan peralatan dan kelengkapan laboratorium untuk melakukan kultur bakteri tersebut. b. Jangka menengah Pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi dengan memonitoring, mensosiaisasikan dan mengevaluasi secara berkala kepada para staff. Kemudian meningkatkan hubungan kerjasama dan dukungan dari pihak manajemen sehingga dapat berjalan dengan maksimal c. Jangka pendek Memutuskan rantai penyebaran infeksi dengan kepatuhan mencuci tangan, menggunakan APD, peralatan medis yang terjaga sterilitasnya dengan cara meningkatkan kesadaran pada masing-masing staff, merubah perilaku dan sikap. Strategi ini dapat dilakukan dalam jangka pendek karena untuk pelaksanaan cuci tangan merupakan tindakan yang sederhana dan meningkatkannya berasal dari kesadaran masing- masing individu. Pelatihan para staf secara berkelanjutan untuk meningkatan pengetahuan terkait pencegahan dan pengendalian infeksi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Analisis dan penilaian risiko HAIs yaitu risiko tertinggi dari jenis HAIs yaitu IDO 2. Tindak lanjut risiko IDO adalah membutuhkan tindakan segera, perhatian sampai ke direktur RS, memerlukan pengkajian yang sangat mendalam, audit SPO dan kepatuhan hand hygiene penyegaran pasien dengan pembedahan dan melakukan sosialisasi surveilans IDO,identifikasi dan pengontrolan daerah luka operasi dengan mendetail. 3. Strategi penurunan infeksi IDO di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta yaitu dapat dengan pemutusan rantai infeksi melalui menjaga kebersihan tangan, penggunaan APD, menjaga sterilitas alat medis, mengidentifikasi bakteri penyebab IDO penggunaan antibiotik yang rasional, mengoptimalkan kegiatan surveilans HAIs, pelaksanaan pertemuan rutin dan berkala untuk membahas terkait IDO pelaporan, kerjasama, evaluasi, sosialisasi dan monitoring IDO serta pencegahannya, penyegaran kembali SPO penatalaksanaan IDO

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa hal yang dapat direkomendasikan terkait topik penelitian ini yaitu : 109

1. Pihak manajemen RS PKU Muhammadiyah Gamping perlu lebih

memperhatikan proses pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi.

2. Rumah Sakit perlu meningkatkan kerjasama dan melibatkan semua

staff di semua unit kerja dalam mendukung rumah sakit untuk menyukseskan program pencegahan dan pengendalian HAIs serta persiapan akreditasi rumah sakit.

3. Rekomendasi untuk peneliti selanjutnya dapat menganaisis lebih lanjut

terkait ICRA renovasi dan kontruksi bangunan di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta.

A. Keterbatasan penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak menyeluruh dilakukan wawancara kepada IPCLN dan petugas kesehatan disetiap unit. Peneliti tidak mengumpulkan informan dalam forum diskuai, melainkan hanya wawancara kepada tiap-tiap informan yang berpartisipasi karena keterbatasan waktu, setiap IPCLN memiliki tugas ganda dan terkendala waktu shift sehingga hanya dilakukan wawancara mendalam. Penelitian ini kemungkinan ada bias karena kekurangan informasi dalam wawancara. Penelitian ini tidak mengobservasi langsung pelaksanaan pencegahan dan pengendalian HAIs di ruang rawat inap dan OK seperti cuci tangan, pelaksanaan 5 moment, perawatan luka operasi, pelaksanaan tindakan operasi.