Validasi metoda pengukuran kadar air perisa bubuk menggunakan moisture analyzer halogen Hb43-S, sebagai alternatif metoda oven dan karl fischer.

(1)

PERISA MENGGUNAKAN

MOISTURE ANALYZER

HALOGEN HB43-S, SEBAGAI ALTERNATIF METODA

OVEN DAN KARL FISCHER

HILDA KUMALASARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S, Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer adalah karya saya sendiri dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada peguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tesks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Bogor, Oktober 2012.

Hilda Kumalasari


(3)

HILDA KUMALASARI. Validation of Moisture Content Method in Seasoning powder using Moisture Analyzer Halogen HB-43S, as alternative of Oven and Karl Fischer Method. Under direction of RIZAL SYARIEF and FAHIM M. TAQI.

In seasoning industries, moisture content of the product is one of important parameters to be measured and reported to assure the food product quality. The common analysis method to measure it in the food industry is Loss on drying (LOD) method by oven and Karl Fischer method. The result of LOD method is recognized as moisture content, while the result of Karl Fischer method commonly known as water content. The method that preferably used by PT. Givaudan Indonesia is Loss on drying method. This research aimed to obtain the heating conditions (temperature) in Moisture Analyzer Halogen HB43-S which can make the analysis result of this equipment will close to the result of LOD method using oven UM-400. The data obtained will be tested statistically using Dunnett Test method that compare these with the control.

The result revealed that the use of Moisture Analyzer HB43-S at 105oC provided similar result to oven UM-400 method, however the use of oven methods is still more efficient rather than using Moisture Analyzer for the higher number of samples that more than 30. Moisture analyzer efficiently used for the limited samples only. Base on this research result we will use Moisture Analyzer

method for handling the urgent request only. Karl Fischer method suitable for derivate sucrose products, it is able to replace oven analysis to measure vanilla flavour. This validation is needed to give information and data that can be used to expedite the approval of products.


(4)

HILDA KUMALASARI. Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S, Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF dan FAHIM M. TAQI.

Pada industri perisa bubuk, kadar air merupakan parameter penting yang diukur dan dilaporkan dalam rangka pengendalian mutu produk perisa bubuk. Metode pengukuran kadar air yang banyak digunakan industri adalah dan metode

Loss on Drying (LOD) dengan menggunakan oven dan metode Karl Fischer. Diantara kedua metode tersebut, metode LOD lebih banyak digunakan di PT. Givaudan Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suhu pengukuran yang tepat pada alat Moisture Analyzer HB43-S yang memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan hasil kadar air dengan metode oven yang selama ini digunakan. Hasil penelitian ini akan memberikan cara untuk mempersingkat proses pengukuran kadar air bubuk perisa sehingga dapat mempercepat proses pengambilan keputusan lolos atau tidaknya produk ini untuk dikirimkan ke konsumen, menghemat biaya penyimpanan di gudang, disamping dapat dijadikan contoh atau model untuk proses validasi alat atau metode baru yang akan diterapkan di PT Givaudan Indonesia.

Validasi data diperlukan untuk mendapatkan informasi apakah alat tersebut dapat menggantikan metode oven sehingga dapat digunakan untuk mempercepat kelolosan produk. Dalam proses validasi tersebut digunakan perhitungan statistik tes Dunnett yang membandingkan hasil rata-rata seluruh perlakuan dengan data kontrol. asil penelitian ini akan memberikan cara untuk mempersingkat proses pengukuran kadar air bubuk perisa sehingga dapat mempercepat proses pengambilan keputusan lolos atau tidaknya produk ini untuk dikirimkan ke konsumen, menghemat biaya penyimpanan di gudang, disamping dapat dijadikan contoh atau model untuk proses validasi alat atau metode baru yang akan diterapkan di PT Givaudan Indonesia.

Penelitian ini mencakup tiga tahapan penelitian, semua dilakukan dalam rangka untuk mengembangkan dan memvalidasi metoda pengukuran kadar air menggunakan alat Moisture Analyzer HB43-S, metoda yang nantinya diharapkan dapat menjadi alternatif pengganti bagi metoda LOD menggunakan oven dan metoda Karl Fischer yang selama ini sudah digunakan oleh PT Givaudan Indonesia sebagai metoda standar pengukuran kadar air produk bubuk perisa.

Penelitian pendahuluan dilakukan terhadap sampel tepung tapioka untuk melihat kesetaraan hasil pengukuran metoda oven dengan metoda analisis cepat menggunakan Moisture Analyzer Mettler Toledo Halogen HB43-S. Untuk memastikan bahwa sampel tapioka yang diukur menggunakan kedua alat tersebut memiliki kandungan air awal yang identik dan diketahui secara pasti, maka dilakukan proses penyeragaman kadar air awal sampel.

Sampel tapioka dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yang berbeda, kelompok A adalah sampel tapioka yang diseragamkan kadar air awalnya menggunakan


(5)

iv

KCl (RH25°C =84,32%).

Penelitian tahap pertama dilakukan terhadap tiga jenis bahan dasar yang biasa digunakan sebagai bahan pembawa atau bahan pengisi pada produk perisa yaitu tepung tapioka, maltodekstrin dan laktosa. Tahapan ini bertujuan untuk menentukan setting suhu pemanasan yang tepat untuk masing–masing bahan pada alat ’Moisture Analyzer’, sehingga bila nantinya diterapkan untuk pengukuran kadar air, hasil pengukuran yang didapatkan oleh ’Moisture Analyzer’ akan setara dengan hasil pengukuran kadar air menggunakan oven konveksi (SNI 01-2891-1992 butir 5.1). Suhu tersebut akan dijadikan acuan untuk pengukuran kadar air produk bubuk perisa yang sebagian besar komponennya adalah ketiga bahan dasar yang telah disebutkan di atas.

Penelitian kedua dilakukan pada bubuk perisa HVP, Garlic, dan Vanilla.yang sebagian besar komponennya adalah tapioka, maltodekstrin dan laktosa. Tahapan ini dilakukan untuk memverifikasi apakah setting suhu pemanasan yang telah didapatkan pada tahap sebelumnya dapat diterapkan untuk analisis kadar air produk perisa HVP (berbahan dasar maltodekstrin), perisa garlic (berbahan dasar campuran tapioka - maltodekstrin), dan perisa vanilla (berbahan dasar laktosa). Apabila dapat ditunjukkan bahwa hasil pengukuran kadar air ketiga produk ini menunjukkan perilaku yang sama dengan hasil pengukuran pada bahan dasarnya, maka selanjutnya metoda pengukuran kadar air menggunakan Moisture Analyzer HB43-S untuk produk - produk perisa jenis lain akan mengikuti metoda pengukuran bahan dasarnya.

Hasil penelitian menunjukkan moisture analyzer HB43-S dengan setting suhu 105oC dapat digunakan untuk mengukur kadar air perisa HVP dimana hasilnya tidak berbeda nyata dengan hasil pengukuran kadar air dengan menggunakan metode oven UM-400 (dioperasikan pada suhu 105oC). Suhu pengukuran pada 105oC ini sesuai dengan suhu yang digunakan untuk penelitian terhadap bahan baku tapioka dan maltodekstrin. Namun untuk perisa Garlic, agar diperoleh hasil pengukuran kadar air yang mendekati hasil pengukuran kadar air dengan menggunakan metode oven, setting suhu alat moisture analyzer perlu diturunkan menjadi 100oC dikarenakan dalam perisa garlic terkandung asam lemak yang sensitif terhadap panas. Dari hasil penelitian ini didaptkan bahwa alat

moisture analyzer HB43-S dapat menjadi alternatif pengganti metode oven pada bahan jadi dengan bagan dasar maltodekstrin.

Didapat pula bahwa metode yang paling sesuai untuk pengukuran kadar air bahan turunan gula adalah metode Karl Fischer. Kadar air laktosa dan perisa vanilla (mengandung 80% laktosa) sebaiknya tidak diukur menggunakan metoda LOD yang menggunakan panas intens pada proses analisisnya Hal ini disebabkan sifat-sifat laktosa yang peka terhadap panas (dapat terdekomposisi dan terpolimerisasi) sehingga data hasil pengukuran kadar air menjadi tidak akurat. Namun demikian hasil penelitian pada perisa vanilla menunjukkan bahwa produk ini masih mungkin diukur kadar airnya menggunakan oven suhu 105 °C. Hasil pengukuran kadar air perisa vanilla menggunakan perangkat KF tidak berbeda nyata dengan hasil kadar air menggunakan oven.


(6)

v

untuk kondisi mendesak dan dibutuhkan hasil yang cepat maka alat Moisture Analyzer dapat dijadikan pilihan bilamana sampel yang akan dianalisis kadar airnya jumlahnya hanya sedikit.

Template Laporan Validasi dirancang untuk mempermudah pelaporan dimana analis hanya perlu memasukkan nama metode yang akan dibandingkan dan kontrol, nama penguji, tanggal, kondisi atau perlakuan kontrol, serta hasil pengukuran 10 ulangan untuk baik untuk metode yang akan divalidasi maupun kontrol. Data masukan diketikkan pada bagian yang berwarna kuning. Uji statistik yang digunakan untuk proses validasi adalah uji Dunnett. Suatu alat/metoda dikatakan dapat menggantikan alat/metoda yang dianggap sebagai kontrol apabila hasil uji Dunnett menyatakan hasil pengukuran keduanya tidak berbeda nyata. Hasil perhitungan pada template dalam bentuk excel tersebut telah dibandingkan dengan hasil perhitungan statistik menggunakan program SPSS dan hasil perhitungannya memberikan hasil yang sama.


(7)

vi

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(8)

Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer

.

HILDA KUMALASARI

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada

Program Studi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

(10)

Nama : Hilda Kumalasari

NIM : F252090165

Disetujui, Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Fahim M. Taqi, STP, DEA Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Pasca Sarjana IPB Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.AGR

Tanggal Ujian : 19 April 2012 Tanggal Lulus :


(11)

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, Pengasih dan Penyayang atas bimbingan dan hikmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S, Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief DESS dan Fahim M. Taqi, STP, DEA sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan saran dalam penyusunan Tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dukungan moral, bantuan dan kerja sama dari rekan-rekan di PT. Givaudan Indonesia, terutama kepada Ibu Ade dan Dwi Wulansari yang telah banyak membantu sehingga penelitian dapat dijalankan dengan lancar. Juga kepada teman-teman seangkatan dan seluruh keluarga besar yang sangat mendukung dan memberi semangat serta doa.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih belumlah sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Oktober 2012


(12)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Februari 1971 dari Bapak A.A. Pranatadjaja dan Ibu Jeanne Harjanti. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan tingkat atas di Sekolah Santa Maria Surabaya sejak tahun 1978-1984, 1984-1987, dan 1987-1990. Penulis diterima di Universitas Surabaya jurusan Teknik Kimia pada tahun 1990 dan pada tahun 1993 karena tugas orang tua, maka penulis harus mengajukan cuti selama 1 tahun dan berhijrah ke kota Bogor pada tahun 1994 dan melanjutkan pendidikan Program Studi S1 di Institut Teknologi Indonesia jurusan Teknologi Industri Pertanian dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2009 penulis menjadi mahasiswa program Magister Profesi Teknologi Pangan (MPTP). Setelah bekerja selama 12 tahun, penulis melanjutkan program master pada Program Magister Profesi Teknologi Pangan - Institut Pertanian Bogor.

Penulis bekerja di PT. Quest International Indonesia sejak tahun 1999. Pada tahun 2007 perusahaan tersebut dibeli oleh perusahaan lain dan berganti nama menjadi PT. Givaudan Indonesia sampai sekarang. Departemen yang menjadi tanggung jawab penulis sejak tahun 1999 sampai saat ini adalah Quality Control dengan peningkatan jabatan dari QC Technician menjadi QC Supervisor pada tahun 2004 dan kemudian diangkat menjadi QC Manager sejak tahun 2007 sampai sekarang. Pada bulan Mei 2012 penulis dipindahkan oleh perusahaan untuk menjadi QC Manager di Givaudan Singapore PTE. LTD.

Bogor, Oktober 2012


(13)

Halaman

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. A. Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined. B. Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. C. Manfaat Penelitian ... Error! Bookmark not defined. D. Ruang Lingkup Penelitian ... Error! Bookmark not defined. TINJAUAN PUSTAKA ...5

A. Air dalam Bahan Pangan ...5

B. Teknik Pengukuran Kadar Air Bahan PanganError! Bookmark not defined.5 D. Pengolahan Data Statistik ... Error! Bookmark not defined.9 METODOLOGI PENELITIAN...41

A. Tempat dan Waktu Penelitian ...41

B. Bahan ...41

C. Peralatan ...41

D. Metode Percobaan ...41

E. Metoda Pengamatan ...47

HASIL DAN PEMBAHASAN...51

A. Penelitian Pendahuluan ...51

B. Penelitian Tahap Pertama: Pengukuran Kadar Air Bahan Dasar Bubuk Perisa ...54

C. Penelitian Tahap Kedua: Pengukuran Kadar Air Produk Bubuk Perisa ...58

D. Uji Efisiensi ...62

E. Pembuatan Template Laporan Validasi ... 64

SIMPULAN DAN SARAN ...65

A. Simpulan ...65

B. Saran ...66

DAFTAR PUSTAKA ...67


(14)

Halaman

Tabel 1 Nilai RH yang dibentuk oleh larutan garam jenuh pada berbagai suhuError! Bookmark not Tabel 2 Kondisi pengukuran kadar air yang direkomendasikanError! Bookmark not defined.9

Tabel 3 Spesifikasi alat HB43-S ...21

Tabel 4 Reagen yang diperlukan untuk analisis Karl Fischer...23

Tabel 5 Analisis Varian/Keragaman untuk Rancangan Acak Lengkap ...33

Tabel 6 Nilai RH yang dibentuk oleh 3 larutan garam jenuh yang digunakan pada suhu 25oC ...46

Tabel 7 Peningkatan kadar air tepung tapioka pada suhu 100oC dengan MA pada berbagai aw ...51

Tabel 8 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis basah di berbagai ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda ...52

Tabel 9 ANOVA tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl2 (RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda ...52

Tabel 10 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl2 (RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda ...52

Tabel 11 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis kering (g/100 g padatan) diberbagai ERH pada7 suhu pengukuran yang berbeda ...52

Tabel 12 ANOVA tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl2 (RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda ...53

Tabel 13 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl2 (RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda ...53

Tabel 14 Kadar Air rata-rata Tepung Tapioka ...55

Tabel 15 Perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Tepung Tapioka ...55

Tabel 16 Kadar air rata-rata Maltodekstrin ...56

Tabel 17 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Maltodekstrin ...56

Tabel 18 Kadar air Laktosa diukur menggunakan beberapa jenis metode. ...57

Tabel 19 Data hasil perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Laktosa ...58

Tabel 20 Kadar air rata-rata perisa HVP ...58

Tabel 21 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa HVP ...59

Tabel 22 Kadar air rata-rata perisa Garlic ...60

Tabel 23 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Garlic ...60

Tabel 24 Data kadar air Perisa Vanilla pada beberapa jenis metode. ...61

Tabel 25 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Vanilla ...61


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Hubungan laju reaksi/pertumbuhan dengan aktivitas air (Koesnandar.

2010, sumber Labuza.1971) ...10

Gambar 2 Kurva Isoterm Sorpsi Air (sumber: http://www.lsbu.ac.uk/water/activity.html) ...12

Gambar 3 Eksperimen Sorpsi Isotermis (sumber: Kusnandar 2010)...13

Gambar 4 Bagian – bagian dari alat Moisture Analyzer HB43-S. ...21

Gambar 5 Diagram alir proses pembuatan perisa bubuk di PT Givaudan Indonesia ...27

Gambar 6 Ilustrasi Akurasi dan Presisi Data (Sumber: Kenkel. 2003) ...31

Gambar 7 Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap hasil analisis “One Way ANOVA” ...32

Gambar 8 Skema pengujian pada uji Dunnett dari Sumber : Rafter et al (2002) ..38

Gambar 9 Skenario penelitian pendahuluan ...42

Gambar 10 Skenario penelitian tahap pertama ...43

Gambar 11 Skenario penelitian tahap kedua ...44

Gambar 12 Persiapan wadah proses penyeragaman kadar air ...45

Gambar 13 Proses penyeragaman kadar air sampel tapioka ...47

Gambar 14 Alat oven Memmert yang digunakan untuk pengujian kadar air.Error! Bookmark not de Gambar 14 Perangkat autotitrator KF Mettler Toledo DL31 ...49

Gambar 15 Grafik sorpsi isotermis tepung tapioka basis kering pada kondisi setimbang pada tapioka pada suhu penyimpanan 25oC ...54


(16)

Halaman

Lampiran 1 SNI 01-2891-1992 Cara uji makanan dan minuman ...72

Lampiran 2 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 95%. ...73

Lampiran 3 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 99%. ...74

Lampiran 4 Hasil Analisis Penelitian Pendahuluan ...75

Lampiran 5 Hasil Analisis Penelitian Pertama terhadap Bahan Baku ...79

Lampiran 6 Hasil Analisis Penelitian Kedua terhadap Bahan Jadi...82

Lampiran 7 Data waktu analisis berbagai metode terhadap jumlah sampel. ...85

Lampiran 8 Jumlah sampel dengan waktu analisis kurang dari pengujian dengan metode oven ...93

Lampiran 9 Sertifikat Kalibrasi Oven Memmert ...94

Lampiran 10 Sertifikat Kalibrasi Moisture Analysis ...95

Lampiran 11 Template Laporan Validasi dengan Excel ...98

Lampiran 12 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian Pertama ...99

Lampiran 13 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian Kedua ...102


(17)

A. Latar Belakang

Kadar air pada bahan pangan merupakan faktor yang sangat penting dalam industri pangan untuk menentukan kualitas dan ketahanan pangan terhadap kerusakan yang mungkin terjadi. Penentuan kadar air biasanya diperlukan untuk menghitung kadar komponen pangan lainnya (Nielsen, 2010).

Air memiliki peran yang sangat penting dalam bahan pangan, pada produk pangan segar kadar air merupakan indikator tingkat kesegaran dan kualitas tekstural, sedangkan pada produk pangan olahan terutama produk pangan kering kadar air sangat menentukan stabilitas produk selama masa penyimpanan (umur simpan produk). Bagi sebagian pelaku industri pangan, kadar air adalah salah satu parameter penentu penerimaan atau penolakan suatu produk, oleh sebab itu metoda atau prosedur yang akan digunakan untuk mengukur kadar air harus disepakati terlebih dahulu oleh pihak – pihak yang bertransaksi sebelum kontrak penjualan ditandatangani.

Untuk produk berbentuk bubuk atau serbuk, ada dua metoda pengukuran kadar air yang lazim digunakan oleh industri pangan yaitu: metode Loss on drying

(LOD) dan metode titrimetri Karl Fischer. Hampir seluruh perisa bubuk produksi PT Givaudan Indonesia diukur kadar airnya dengan metoda Loss on drying (LOD) standar menggunakan oven (SNI 01-2891-1992 butir 5.1), terkecuali untuk perisa yang mengandung bahan yang mudah teroksidasi atau menguap akibat pemanasan seperti ethanol, minyak esensial, asam lemak jenuh dan tanin. Bubuk perisa jenis tersebut diukur kadar airnya menggunakan metoda Karl Fischer. Menurut Andarwulan (2011) penggunaan metoda LOD untuk mengukur kadar air bahan yang mengandung senyawa yang mudah menguap atau teroksidasi dapat menyebabkan nilai kadar air hasil pengukuran akan lebih besar dari nilai sebenarnya, karena kehilangan berat yang terjadi akan dianggap sebagai air yang


(18)

hilang. Di PT Givaudan Indonesia metoda Karl Fischer juga digunakan untuk mengukur sampel yang memiliki kadar air yang sangat rendah.

Pada metode loss on drying (LOD), bahan yang telah diketahui beratnya dipanaskan dalam oven bersuhu 105oC selama minimum 3 jam hingga hingga beratnya konstan, selisih berat sebelum dengan sesudah pengeringan adalah kandungan air dalam bahan. Pengukuran kandungan air dengan metoda ini terbilang murah namun menyita banyak waktu. Sedangkan metoda titrimetri Karl Fischer, meski sangat akurat dan hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat, metoda ini membutuhkan reagen dan alat spesifik yang cukup mahal harganya.

Dengan semakin meningkatnya volume pesanan dari pelanggan, metode LOD standar tidak lagi mampu mengimbangi kebutuhan akan kecepatan dalam melepas atau mengirim produk, karena analisis kadar air dengan metoda ini membutuhkan waktu yang lama (3 jam). Hambatan waktu ini dapat diatasi dengan penggunaan alat Moisture Analyzer. Waktu yang dibutuhkan untuk mengukur kadar air bahan pangan menggunakan Moisture Analyzer HB43-S rata – rata hanya membutuhkan waktu antara 3 – 15 menit/sampel tergantung jenis sampelnya, hasil analisis langsung dapat dilihat di layar monitor atau langsung dicetak ke alat pencetak (printer). Pada Moisture Analyzer HB43-S tahapan penimbangan dan pengeringan sampel serta perhitungan hasil analisis, seluruhnya dilakukan dalam satu alat. Dengan demikian kemungkinan terjadinya ”human error” akan dapat diminimalkan dan didapatkan hasil analisis yang lebih akurat. Terlepas dari semua kelebihan yang dimiliki, penggunaan Moisture Analyzer HB43-S sebagai alternatif pengganti metoda LOD standar yang selama ini digunakan, tetap membutuhkan satu proses validasi terlebih dahulu baik terhadap metoda maupun hasil analisis yang diperoleh.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1. Mendapatkan suhu pemanasan yang tepat pada alat Moisture Analyzer Halogen HB43-S sehingga hasil pengukuran kadar air (LOD) pada alat ini sebanding dengan hasil pengukuran kadar air metode LOD menggunakan oven UM-400 sebagai metode rujukan untuk produk bubuk perisa.


(19)

2. Memperoleh gambaran tentang konsistensi antara data pengukuran kadar air metode LOD menggunakan moisture analyzer terhadap data pengukuran kadar air menggunakan oven dan metode Karl Fischer.

3. Mendapatkan informasi metode mana yang lebih efisien secara teknis.

4. Menghasilkan template yang dapat digunakan untuk mempermudah proses pelaporan hasil validasi alat atau metode analisis atribut mutu bubuk perisa

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini akan memberikan cara untuk mempersingkat proses pengukuran kadar air bubuk perisa sehingga dapat mempercepat proses pengambilan keputusan lolos atau tidaknya produk ini untuk dikirimkan ke konsumen, menghemat biaya penyimpanan di gudang, disamping dapat dijadikan contoh atau model untuk proses validasi alat atau metode baru yang akan diterapkan di PT Givaudan Indonesia.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup tiga tahapan penelitian, semua dilakukan dalam rangka untuk mengembangkan dan memvalidasi metoda pengukuran kadar air menggunakan alat Moisture Analyzer HB43-S, metoda yang nantinya diharapkan dapat menjadi alternatif pengganti bagi metoda LOD menggunakan oven dan metoda Karl Fischer yang selama ini sudah digunakan oleh PT Givaudan Indonesia sebagai metoda standar pengukuran kadar air produk bubuk perisa.


(20)

(21)

Durasi umur simpan suatu bahan pangan dibatasi oleh perubahan biologis, kimia, dan fisika yang berlangsung dan terus berlanjut dalam bahan tersebut. Kelanjutan dan laju proses perubahan itu, kesemuanya sangat dipengaruhi oleh kadar air dan aktifitas air (water activity). Semakin tinggi kadar air suatu bahan pangan, akan semakin besar kemungkinan kerusakannya baik sebagai akibat aktivitas biologis internal (metabolisme) maupun masuknya mikroba perusak. Pengurangan kadar air bahan pangan akan berakibat berkurangnya ketersediaan air untuk menunjang kehidupan mikroorganisme dan juga untuk berlangsungnya reaksi – reaksi fisikokimiawi. Dengan demikian baik pertumbuhan mikroorganisme maupun reaksi fisikokimiawi keduanya akan terhambat, bahan pangan akan dapat bertahan lebih lama dari kerusakan. Pengaturan kadar air merupakan salah satu basis dan kunci terpenting dalam teknologi pangan (Kupriannoff. 1958).

Sekitar 60-95% total berat bahan pangan adalah air, komponen ini merupakan komponen paling dominan dibanding komponen pangan yang lain seperti lemak, minyak, protein, karbohidrat, mineral, garam, dan asam. Di dalam bahan pangan, air dapat berperan sebagi fasa kontinyu dimana substansi lainnya terdispersi dalam bentuk molekular, koloida atau sebagai emulsi. Garam - garam seperti NaCl, citrat atau fosfat dapat meningkatkan daya ikat air adonan yang didominasi oleh protein, hal seperti ini dapat diamati pada proses pengolahan daging giling atau sosis. Keberadaan air dan pendistribusiannya di dalam sistem biologis adalah faktor yang sangat penting untuk diperhitungkan, perubahan kandungan air (water content) dan cara pendistribusiannya akan menyebabkan perubahan nyata pada produk pangan (Kupriannoff. 1958).

Pada industri bubuk perisa, kadar air merupakan parameter penting yang diukur dan dilaporkan dalam rangka pengendalian mutu produk. Kadar air merupakan penentu kestabilan produk bubuk perisa selama penyimpanan, dimana tinggi rendah parameter ini akan sangat berpengaruh terhadap perubahan mutu organoleptik terutama penampakan, warna dan rasa, serta terjadinya penggumpalan selama produk ini disimpan. Dalam perdagangan bubuk perisa kadar air adalah


(22)

salah satu kriteria utama penerimaan dan penolakan produk, oleh karenanya metoda pengukuran parameter ini menjadi sangat penting dan harus disepakati terlebih dahulu oleh pemasok dan konsumen sebelum suatu transaksi dijalankan.

A. Air dalam Bahan Pangan

A.1. Keberadaan Air dalam Bahan Pangan Ditinjau dari Derajat Keterikatan

Semua produk pangan mengandung air, di dalam bahan pangan air dapat dijumpai dalam bentuk air bebas dan air terikat ”bound water” dengan derajat keterikatan yang beragam. Menurut Kupriannoff (1958) terdapat empat kemungkinan bentuk keterikatan air dalam bahan pangan yang dipengaruhi komposisi kimia dan struktur fisika bahan:

1. Air bebas yang terdapat dalam bentuk murni sebagai air permukaan, air ini tidak termasuk sebagai komponen produk tetapi berasal dari luar seperti kondensasi atau proses pencucian dan lain-lain. Air tersebut dapat di kelompokkan sebagai air bebas selama tidak bercampur atau bereaksi pada komponen permukaan bahan.

2. Air yang terikat secara kimiawi pada beberapa jenis garam, air jenis ini bisa dalam bentuk ikatan valensi (contoh NaOH) atau sebagai hidrat (contoh CoCl2.6H2O). Air yang terikat secara kimia ini tidak dapat dilepaskan dengan proses pangan dengan menggunakan metoda biasa.

3. Air yang teradsorbsi membentuk lapisan tipis mono atau polimolekular pada permukaan internal atau ekternal produk akibat adanya gaya tarik antar molekul, atau terakumulasi di dalam pori - pori halus karena kondensasi kapiler.

4. Air hidratasi yaitu air yang teradsorbsi oleh substansi koloid yang menyebabkan pembengkakan massa gel, kondisi ini dapat terjadi karena karakter dipolar dari air.

Dari keempat bentuk di atas, maka bentuk yang dinyatakan pada butir 3 dan 4 adalah bentuk air terikat yang terpenting dalam bahan pangan.

Sedangkan menurut Wirakartakusumah et al. (1989), Winarno (1992), dan Kusnandar (2010) berdasarkan derajat keterikatannya air dalam bahan pangan dapat dibedakan menjadi empat tipe:


(23)

• Tipe I adalah air yang secara molekular terikat pada komponen lain (seperti

protein atau karbohidrat) membentuk hidrat melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar. Pembentukan hidrat menyebabkan air tipe ini tidak lagi memiliki sifat yang sama dengan sifat air murni, yakni tidak dapat membeku dan hanya sebagian saja yang dapat dihilangkan dengan proses pengeringan biasa. Air tipe ini sering kali disebut air terikat dalam arti sebenarnya.

• Tipe II, adalah molekul-molekul air yang terdapat pada permukaan bahan

pangan yang bersifat hidrofilik. Molekul – molekul air ini berikatan satu sama lain dengan ikatan hidrogen membentuk lapisan monolayer atau multilayer. Sebutan lain air tipe II adalah air teradsorbsi ”adsorbed water”. Dibanding air normal air tipe ini lebih susah dihilangkan/diuapkan selama proses pengeringan, jika air tipe II dihilangkan seluruhnya maka kadar air bahan akan berkisar antara 3-7%.

• Tipe III adalah molekul air yang ditemukan permukaan jaringan matriks bahan

seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe ini hanya terikat secara fisik sehingga mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Karena sifat – sifatnya, air tipe III sering kali disebut sebagai air bebas ”free water”. Apabila air tipe ini diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12-25%

• Tipe IV. Air tipe ini tidak memiliki ikatan apapun dengan matriks jaringan

bahan pangan, dan sifat-sifatnya sama dengan air murni dengan keaktifan penuh.

Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan pangan misalnya proses mikrobiologi, kimiawi, enzimatik, bahkan aktivitas serangga perusak (Sudarmadji et al 2003).

Menurut Kuprianoff (1958) telah diterima secara umum bahwa air terikat didefinisikan sebagai bagian dari kadar air produk yang akan tetap berada dalam bahan ini dalam kondisi tak berubah (terikat) setelah dilakukan prosedur pengeringan biasa seperti pembekuan, dehidrasi kimia, dan lain-lain (cara ini hanya dapat menghilangkan air bebas saja). Air jenis ini hanya dapat dihilangkan dengan jalan memanaskan produk pada suhu 100–110 °C untuk waktu yang cukup lama. Jika air yang teruapkan pada suhu 100-110 °C disebut sebagai kadar air total


(24)

produk, maka kadar air terikat sama dengan kadar air total dikurangi kadar air bebas.

A.2. Kadar Air dan Kestabilan Produk Pangan Selama Masa Simpan

Air yang tekandung dalam bahan pangan dapat menjadi penentu apakah produk tersebut dapat dijual dan telah memenuhi standar produksi. Kandungan air tersebut dapat mempengaruhi daya simpan, kecepatan penggumpalan produk bubuk, kestabilan terhadap kontaminan mikrobiologi, kemampuan daya alir atau curah produk, total padatan kering, konsentrasi atau kemurnian, kesesuaian dengan perjanjian, nilai nutrisi, dan kesesuaian dengan peraturan pemerintah.

Kadar air adalah banyaknya air yang terkandung dalam bahan pangan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu parameter penting dalam menentukan kualitas bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Kadar air yang tinggi menyebabkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Dwijoseputro,1994).

Pada sebagian besar produk pangan, air merupakan komponen penyusun yang memiliki proporsi paling besar. Dari sisi fungsional pentingnya keberadaan air dalam produk pangan tidak hanya sebatas kuantitasnya saja. Air adalah komponen penentu karakter tekstural dan estetis buah-buahan dan sayuran, dimana hilangnya air dari produk ini akan berakibat pada penurunan kualitas. Ketersediaan air juga merupakan prakondisi yang menjadi syarat utama terjadinya reaksi kimia dan pertumbuhan mikroba, atau dengan kata lain air adalah salah satu unsur yang paling bertanggung jawab atas terjadinya kerusakan mikrobiologis, enzimatis, dan kimia produk pangan. Pengaruh air terhadap stabilitas bahan pangan tidak hanya terletak pada sisi kuantitasnya semata, namun harus dilihat juga dari sisi efektivitasnya, parameter yang mampu menjelaskan masalah ini adalah Aw atau aktivitas air (Berk. 2009).

Keberadaan air adalah penentu karakteristik struktural atau turgiditas sel, dan lebih jauh nilai gizi serta citarasa bahan pangan. Menurut Kuprianoff (1958), proses pengeringan akan punya pengaruh besar terhadap karakter tersebut dan dapat


(25)

menjadi penentu besarnya perubahan yang tak dapat kembali ”irreversible changes” selama masa simpan produk yang telah dikeringkan. Hal terpenting yang wajib diperhatikan dalam pengeringan pangan yaitu kandungan air harus diturunkan hingga satu nilai dimana proses mikrobiologis, enzimatis, dan kimia penyebab kerusakan pangan dapat dihambat lajunya selama masa simpan produk. Tingkat ”irreversible changes” yang akan terjadi pada produk pangan kering dalam masa simpan sangat bergantung kepada kandungan air produk ini, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut penurunan kandungan air berakibat pada pengurangan permukaan kontak (permukaan dimana terjadi reaksi) fasa cair dan juga effect penghambatan ”inhibitive effect” pada sistem enzim akibat peningkatan konsentrasi enzim pada fasa cair. Faktor suhu penyimpanan penting pula untuk diperhatikan karena ”irreversible changes” akan dipercepat pada penyimpanan di suhu yang lebih tinggi.

Nilai kadar air saja tidak dapat menjelaskan seberapa kuat molekul air terikat dalam bahan pangan sehingga tidak lagi tersedia untuk reaksi kimia, aktivitas enzim, dan pertumbuhan mikroba, sulit mencari hubungan antara parameter ini dengan kestabilan atau keawetan pangan. Sebaliknya aktivitas air (aw) adalah kuantifikasi tingkat air yang ada atau tersedia untuk interaksi hidrasi, pertumbuhan mikroba dan kimia dan reaksi enzimatik (Bhandari dan Adhikari. 2008), parameter ini adalah penduga yang baik potensi kerusakan bahan pangan selama penyimpanan.

Aktivitas air merupakan salah satu parameter hidratasi yang menunjukkan jumlah air bebas dalam bahan pangan yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Winarno. 1992; Syarief & Halid. 1993). Nilai aw suatu bahan atau produk pangan dinyatakan dalam skala 0 sampai 1. Nilai 0 berarti dalam makanan tersebut tidak terdapat air bebas, sedangkan nilai 1 menunjukkan bahwa bahan pangan tersebut hanya terdiri dari air murni. Nilai aw suatu bahan pangan dapat diturunkan antara lain dengan cara menambahkan suatu senyawa yang dapat mengikat air (Estiasih & Ahmadi. 2009).

Sama halnya dengan kebutuhan terhadap tingkat keasaman (pH), mikroorganisme juga mempunyai nilai aw minimum, maksimum dan optimum untuk tumbuh dan berkembang biak (Estiasih & Ahmadi. 2009). Hubungan antara nilai aw dengan laju reaksi/pertumbuhan relatif dapat dilihat pada gambar 1.


(26)

Gambar 1. Hubungan laju reaksi/pertumbuhan mikroba dengan aktivitas air (Koesnandar. 2010)

Kapang, khamir, dan bakteri ternyata memerlukan nilai aw yang paling tinggi untuk pertumbuhannya. Nilai aw terendah dimana bakteri dapat hidup adalah 0,86. Bakteri-bakteri yang bersifat halofilik atau dapat tumbuh pada kadar garam tinggi dapat hidup pada nilai aw yang lebih rendah yaitu 0,75. Sebagian besar makanan segar mempunyai nilai aw = 0,99. Pada produk pangan tertentu supaya lebih awet biasa atau dilakukan penurunan nilai aw.

A.3. Fenomena Adsorpsi dan Desorpsi Air Pada Bahan Pangan

Nilai aw bahan pangan bersifat dinamis, nilai ini akan naik atau turun mengikuti perubahan kondisi kelembaban dan suhu udara yang berada disekitarnya. Ketika air berinteraksi dengan zat terlarut ”solutes” sebenarnya air tidak sepenuhnya tersedia untuk interaksi ini. Aktivitas air adalah kesetimbangan yang tercapai di dalam sebuah sistem pada semua fasanya yang mengandung air, dan definisikan sebagai perbandingan tekanan uap terhadap tekanan uap air murni pada suhu yang sama (Bhandari and Adhikari. 2008; Berk. 2009). aw dapat


(27)

diekspresikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut,

dimana:

P _ tekanan parsial uap air bahan pangan pada suhu T

P0_ kesetimbangan tekanan uap air murni pada suhu T

Perbandingan sejenis juga dapat di definisikan sebagai kelembaban relatif dari udara, RH ( biasanya di nyatakan dalam persense) :

dimana :

P’= tekanan parsial dari uap air di udara.

Jika bahan pangan telah mencapai kesetimbangan dengan udara, maka P = P’.

Maka selanjutnya aktifitas air dari bahan pangan adalah sama dengan kelembaban relatif atmosfir pada saat kesetimbangan. Oleh karenanya terkadang aktifitas air diekspresikan sebagai kesetimbangan kelembaban relatif (ERH, equilibrium relative humidity).

Bila bahan pangan dengan kadar air tinggi disimpan di lingkungan dengan kelembaban relatif yang rendah (kering), maka sebagian air dari bahan tersebut akan berangsur bermigrasi ke lingkungannya (desorpsi) hingga kondisi kesetimbangan tercapai. Sebaliknya, bila pangan berkadar air rendah disimpan pada lingkungan dengan kelembaban relatif yang tinggi, maka pangan tersebut akan menyerap air (adsorbsi) hingga terbentuk kondisi kesetimbangan. Kadar air yang terukur pada kondisi kesetimbangan dengan lingkungan dikenal sebagai kadar air kesetimbangan (Equilibrium Moisture Content /EMC).


(28)

Kurva hubungan antara kadar air kesetimbangan dengan kelembaban relatif pada hakikatnya dapat menggambarkan hubungan antara kadar air dan aktivitas air. Kurva tersebut sering disebut sebagai kurva Isoterm Sorpsi Air (ISA).

Menurut Berk (2009) hubungan antara kadar air (gram air per gram bahan kering) dan aktivitas air pada suhu konstan disebut ”sorpsi isotermis uap air” (the water vapor sorption isotherm) atau ”sorpsi isotermis kelembaban” (moisture sorpstion isoterm) dari suatu bahan pangan. Bentuk umum hipotetik dari sebuah sorpsi isotermis ditunjukkan pada gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2 Kurva Isoterm Sorpsi Air (sumber: http://www.lsbu.ac.uk/water/activity.html)

Andarwulan et al (2011) menyatakan bahwa Isotermis Sorpsi Air (ISA) bahan pangan dapat memberikan pola tertentu dalam proses penambahan air pada bahan kering (adsorpsi) dan pengurangan air dari bahan basah (desorpsi). Setiap material mempunyai kurva isoterm sorpsi air yang khas, yang berbeda dengan material lainnya. Pada kurva tersebut dapat diketahui bahwa kadar air yang sama belum tentu memberikan aw yang sama tergantung jenis bahannya. Pada kadar air yang tinggi belum tentu memberikan aw yang tinggi bila bahannya berbeda. Bahan yang tersusun dari komponen yang dapat mengikat air hanya menyisakan air bebas yang


(29)

relatif sedikit, akibatnya bahan jenis ini akan mempunyai aw yang rendah (Wulanriky. 2011).

Suatu material dapat mencapai kadar air keseimbangannya melalui dua alternatif pendekatan : dengan penyerapan uap air (adsorpsi) atau dengan pengeringan (desorpsi). Pada tingkat kadar air yang sama, nilai tekanan uap kesetimbangan suatu material yang bersifat porous (memiliki banyak pori dan kapiler) dapat saja berbeda, hal ini mungkin terjadi karena penentuan nilai tersebut tergantung pada pendekatan mana yang diambil. Fenomena ini dikenal sebagai ”hysteresis” (gambar 1).

Kadar air keseimbangan akan tercapai bilamana material berinteraksi dengan lingkungannya dalam waktu yang cukup lama. Dalam proses penyetimbangan, terjadi difusi air secara merata diseluruh bagian material, kadar air material akan terus berubah sampai kesetimbangan tercapai. Proses perubahan ini mengikuti perubahan kondisi yang terpantau pada permukaan material (pv, T). Pada kondisi kesetimbangan, terjadi proses distribusi air internal yang berlangsung secara tetap di dalam material. Secara teoritis dibutuhkan waktu yang tidak terbatas untuk mencapai kondisi kesetimbangan, namun untuk kebutuhan praktis terdapat sejumlah prosedur dan metode perhitungan waktu kesetimbangan dengan tingkat akurasi yang dapat diterima (Molnar. 2006).

Kurva sorpsi isothermis ditentukan secara eksperimental, sampel bahan pangan ditempatkan dalam wadah tertutup yang telah diketahui RHnya (gambar 3) hingga sampel ini mencapai kadar air kesetimbangan. Setelah setimbang, maka sampel akan dianalisis kadar airnya (Berk. 2009)


(30)

Air murni yang dimasukkan ke dalam desikator/wadah tertutup akan membentuk kesetimbangan tekanan uap antara air murni dengan lingkungannya. Air akan menguap dan membentuk kondisi jenuh uap air di lingkungan di dalam desikator. Kandungan uap air di udara biasa dinyatakan dengan kelembaban relatif. Kelembaban relatif uap air di lingkungan akan mencapai 100% jika terjadi kondisi kesetimbangan antara air dengan lingkungannya, artinya udara dipenuhi dengan uap air. Tekanan uap air murni (Po) adalah tekanan yang terukur dalam lingkungan desikator tersebut. Tekanan uap air akan dipengaruhi oleh suhu, dimana semakin tinggi suhu maka tekanan uap air murni akan semakin besar berdasarkan hukum gas ideal.

Apabila isi desikator tertutup tersebut diganti dengan larutan garam jenuh, misalnya larutan garam LiCl jenuh, maka air akan lebih sulit menguap akibat adanya interaksi ionik antara air dengan ion Li+ dan Cl-. Tekanan uap (P) yang terbentuk di dalam desikator ini akan lebih rendah dibandingkan tekanan uap dalam desikator berisi air murni (udara tidak jenuh oleh uap air). Jenis larutan garam jenuh yang diisikan dalam desikator akan menentukan tekanan uap dan kelembaban relatif yang dihasilkan (tabel 1), perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan kekuatan interaksi ionik dari masing – masing jenis garam dengan air.

Tabel 1 Nilai RH yang dibentuk oleh larutan garam jenuh pada berbagai suhu

Larutan garam jenuh Kelembaban relatif yang terbentuk (RH, %)

20oC 25oC 30oC

NaOH 6,98 6,95 6,87

LiCl 11,14 11,15 11,16

KC2H3O2 23,10 22,60 22,00

MgCl2 30,30 32,73 32,38

NaI 39,18 37,75 36,25

Mg(NO3)2 54,47 52,86 51,33

KI 69,86 68,76 67,85

NaCl 75,42 75,32 75,21

KBr 81,77 80,71 -

KCl 85,31 84,32 83,53

Na2SO4 86,90 85,95 86,40

BaCl2 90,69 90,26 -

NH4H2PO4 92,20 92,70 91,10

K2SO4 97,20 96,90 96,60


(31)

Bila contoh makanan dimasukkan dalam desikator berisi larutan-larutan garam tersebut maka kandungan air dalam pangan tersebut akan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan hingga tercapai kondisi kesetimbangan. Perpindahan (migrasi) uap air terjadi dari lingkungan ke pangan atau sebaliknya dan bila kondisi ini dibiarkan beberapa lama, maka akan tercapai kondisi kesetimbangan sampai tidak terjadi lagi migrasi air dari atau ke pangan.

B. Teknik Pengukuran Kadar Air Bahan Pangan

Molnar (2006) mengungkapkan bahwa penentuan kadar air bahan basah tampak sederhana, namun hasil yang diperoleh seringkali tidak cukup akurat, yang disebabkan karena turut menguapnya komponen selain air atau terjadinya perubahan kimia (oksidasi, dekomposisi, distilasi merusak, dan lainnya) pada saat proses pemanasan. Pada saat yang sama air teradsorpsi harus dibedakan dari air kristalisasi, yang mana merupakan suatu masalah yang sangat kompleks.

Pada saat pemilihan teknik penentuan kadar air maka harus diperhitungkan akurasi yang diinginkan, prosedur, lama investigasi, dan kompleksitas instrumen yang diperlukan dan peralatan yang ada. Kemungkinan metode yang dapat digunakan untuk mengukur distribusi kadar air selama pengeringan adalah:

1. Metode Langsung, pada dasarnya adalah penentuan kadar air dengan cara mengeringkan sampel dalam oven pengering dengan atau tanpa tiupan udara, atau dengan pengeringan dalam oven vakum atau dalam desikator vakum. 2. Metode Tidak Langsung, kondisi persaingan industri saat ini menuntut

pengukuran kadar air bahan dilakukan dengan metode yang lebih cepat, salah satunya adalah metode elektris yang mempunyai tiga varian utama: pengukuran kadar air berdasarkan perubahan resistansi ohmik arus DC, pengukuran kapasitansi elektrostatis (konstanta dielektrik material), dan pengukuran kehilangan pada medan listrik AC. Metode cepat lain adalah metode kimia seperti metode Karl-Fischer, metode distilasi toluena, dan metode ekstraksi menggunakan metanol absolut.


(32)

B.1. Cara Fisik Gravimetri LOD

B.1.1. Prinsip, Kelebihan dan Kekurangan Cara Gravimetri

Kadar air dari bahan pangan dapat ditentukan dengan berbagai metode, tapi untuk memperoleh data yang akurat dan tepat umumnya adalah tantangan tersendiri (Nielsen. 2010). Metode yang berbeda menghasilkan nilai kadar air yang berbeda pula sebagaimana di jelaskan sebagai berikut :

• Pengeringan dengan oven konveksi: di samping air akan ikut teruapkan pula sedikit komponen volatil. Seringkali sampel tidak benar-benar kering karena pemanasan dengan cara konveksi tidaklah cukup kuat. Nilai pengukuran akan berada di atas kadar air (water content) tetapi di bawah kadar air total (total moisture content)

Moisture Analyzer otomatis, yang memanfaatkan lampu inframerah atau halogen sebagai sumber panas. Pengeringan dengan inframerah atau halogen selain menguapkan air juga akan menguapkan komponen yang sangat sulit menguap. Kadar air total bahan ditentukan dengan pemanasan intensif menggunakan metode pengeringan adsorpsi. Dalam kebanyakan kasus, nilai pengukuran berada di atas hasil pengukuran referensi menggunakan metode pengeringan oven. Analisis kadar air menggunakan alat ini tergolong cepat, tetapi sangat bersifat “matrix dependent“ (masalah yang sering terjadi penyumbatan pori atau terjadinya pembakaran/pengerasan pada permukaan) dan membutuhkan pengujian trial-and-error untuk menentukan pengaturan yang benar untuk level energi dan waktu.

• Pengering air gelombang mikro dapat menguapkan air dan hanya sedikit komponen sangat volatil. Berkat prinsip pengeringan adsorpsi, terorientasi atau dipoles, maka nilai pengukuran sangat dekat pada kadar air dan biasanya lebih rendah dari hasil pengeringan dengan oven.

• Metode titrasi Karl Fischer menentukan jumlah molekul air dengan reaksi kimia. Nilai ukur sesuai dengan kadar air dengan akurasi tertinggi.

Menurut Kern & Sohn GmbH (2012), terdapat dua metode referensi yang diakui secara internasional metode oven dan Karl Fischer. Semua metode lain harus disesuaikan dengan salah satu dari dua metode tersebut jika diperlukan.


(33)

B.1.2. Pengukuran Kadar Air Cara Gravimetri (Lost On Drying)

Kadar air dalam sampel dapat diukur secara gravimetri atau loss on drying

(LOD) dengan menentukan penurunan berat dalam sampel setelah ditempatkan pada oven yang sesuai (oven konveksi, vakum, atau microwave) untuk waktu tertentu. Pada metode gravimetri, diasumsikan bahwa hanya air yang akan dihilangkan dalam proses pengeringan, dimana pada kenyataanya ada komponen volatil yang turut hilang. Metode ini hanya membutuhkan sejumlah kecil sampel homogen dan dapat mengukur secara efektif kandungan air pada kisaran 0,01% sampai 99,99% (Rennie. 2001).

Prinsip dari metode pengering dengan menggunakan oven adalah bahwa air yang terkandung dalam suatu bahan akan menguap bila bahan tersebut dipanaskan pada suhu 105o C selama waktu tertentu hingga tercapai berat konstan. Perbedaan antara berat sebelum dan sesudah dipanaskan adalah kadar air (Astuti. 2007). Berat dinyatakan sudah konstan bilamana hasil dua kali penimbangan berturut – turut pada tingkat presisi tertentu, hasilnya tidak berbeda lebih dari 0,25% (Kenkel. 2003).

Suhu pengeringan untuk penentuan kadar air yang ditetapkan dalam SNI 01-2891-1992 butir 5.1 adalah 105°C dengan waktu pengeringan selama 3 jam. Asumsi dasarnya adalah bahwa air bertitik didih 100°C, sehingga dengan pemanasan 5°C di atas suhu didih air, diharapkan semua air dalam bahan dapat diuapkan. Cara tersebut relatif mudah dan murah untuk dilakukan.

Metode pengeringan dengan pemanasan (LOD) tidak cocok digunakan untuk sampel uji yang banyak mengandung zat yang mudah menguap karena hasil uji akan lebih besar dari yang sebenarnya (Andarwulan. 2011). Kelemahan cara gravimetri menggunakan pemanasan ini adalah bahan lain selain air ikut menguap bersama dengan uap air misal alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-lain. Reaksi yang bisa terjadi selama pemanasan dapat menghasilkan air atau zat mudah menguap, contoh : gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi dan lain-lain. Air menjadi terikat kuat di dalam bahan dan sulit dilepaskan meskipun sudah dipanaskan.


(34)

digunakan untuk menghitung kadar air, namun harus ditunjukkan bahwa nilai yang diperoleh tersebut bukanlah hasil kadar air yang sebenarnya. Pada beberapa contoh, hanya sebagian saja dari air yang terkandung akan hilang pada suhu pengeringan, sedangkan air terikat sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Ada kecenderungan jumlah air yang hilang akan meningkat jika suhu dinaikkan. Beberapa sampel yang mengandung kadar lemak tinggi bisa menunjukkan hilangnya minyak yang mudah menguap pada suhu pengeringan 100oC.

Kehilangan berat bahan dapat dipengaruhi faktor-faktor seperti ukuran partikel, berat sampel yang digunakan, jenis wadah yang digunakan, dan variasi suhu dalam oven dari rak ke rak. Dengan demikian, sangatlah penting untuk membandingkan hasil yang diperoleh dengan menggunakan kondisi pengeringan yang sama.

Pada umumnya, metode gravimetri hanya memerlukan sejumlah kecil sampel (antara 1 dan 10 g tergantung yang pada kadar airnya). Oleh karena itu, homogenitas sampel sangat kritis dan perlu diperhatikan secara khusus. Harus dipastikan bahwa sampel yang akan diukur telah rata tercampur merata sebelum diambil untuk analisis. Metode yang digunakan untuk homogenisasi akan tergantung pada jenis sampel yang dianalisis. Blender, pengaduk mekanik, mesin pencacah, pengolah makanan, dan parut umumnya digunakan untuk sampel kering, lembab, dan sangat basah. Karena perangkat ini menghasilkan panas, sangat penting untuk mencegah terjadinuya overhomogenize, yang menyebabkan kadar air akan hilang. Setelah sampel telah benar-benar homogen, maka penting kiranya untuk dengan segera mengukur kadar air sampel atau bila membutuhkan waktu tunda memindahkannya terlebih dahulu ke suatu wadah kaca atau plastik yang kering dan tertutup rapat. Dalam metode gravimetri, kadar air yang rendah hanya akan menghasilkan kehilangan berat yang sangat kecil setelah pengeringan. Penting diperhatikan untuk mencegah sampel terkontaminasi saat sampel dikeringkan atau pada saat dipindahkan ke oven atau desikator. Jangan memegang wadah dengan tangan telanjang, gunakan penjepit atau sarung tangan. Gunakan penutup wadah bila sampel mudah berbuih atau memercik saat dipanaskan. Hal ini dapat mencegah kontaminasi silang dengan sampel disebelahnya di dalam oven (Ruiz. 2001).


(35)

Tabel 2 Kondisi pengukuran kadar air yang direkomendasikan

Sumber : Ruiz (2001)

B.1.3. Analysis yang Dipercepat (pemanasan IR-Halogen) dan Pengenalan Alat Moisture Analyzer HB43-S

LOD adalah metode analisis kadar air rutin pada industri farmasi. Pada industri ini biasanya menggunakan alat pengukur kadar air meliputi alat timbang yang dilengkapi wadah metal bulat yang dapat diisi dengan granula contoh, dimana terdapat koil pemanas listrik besar di atasnya. Pada saat kumparan listrik memanas, berat sampel secara otomatis dimonitor dan persentase kadar air dihitung dan dan dapat terlihat pada alat. Ketika persentase yeang termonitor mencapai kestabilan maka alat akan berbunyi dan persentase kadar air sampel ditampilkan (Kenkel. 2003).

Sebagian kecil radiasi akan dipantulkan atau terserap oleh sampel. Kuantitas energi radiasi yang dipantulkan tersebut tergantung pula pada warna sampel, apakah sampel tersebut berwarna terang atau gelap. Untuk bahan berwarna gelap dapat digunakan suhu yang lebih rendah. Kedalaman penetrasi radiasi infra red (IR) tergantung pada permeabilitas sampel, dimana pada permeabilitas rendah, radiasi IR hanya menembus lapisan atas. Konduktivitas panas dari substansi menentukaan


(36)

transportasi panas lebih lanjut ke dalam lapisan yang lebih dalam. Konduktivitas panas yang lebih tinggi, maka pemanasanpada bahan akan semakin cepat dan lebih homogen, oleh karenanya perlu diingat bahwa substansi harus didistribusikan secara merata berupa lapisan tipis pada wadah sampel. Hasil pengukuran yang berkualitas sangat tergantung pada persiapan sampel yang optimal dan pemilihan parameter utama yang tepat seperti ukuran sampel, suhu pengeringan, kriteria penghentian analisis, lama pengeringan, dan lain - lain. Suhu optimum dan lama pengeringan yang dibutuhkan akan tergantung pada jenis dan ukuran bahan serta hasil akurasi pengukuran yang diinginkan. Kesemuanya hanya bisa ditentukan dengan percobaan (Kern & Sohn GmbH. 2012).

Moisture Analyzer HB43-S dengan teknologi halogen yang digunakan dalam penelitian ini memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan metode oven antara lain:

1. Hasil yang lebih tepat 2. Waktu yang lebih cepat 3. Mudah pengoperasiannya

4. Mengurangi human error pada saat penimbangan

Penggunaan HB43-S sangat praktis, hanya perlu tiga langkah untuk mengoperasikannya yaitu: mentera alas sampel, meletakkan sampel di atas alas, dan menekan tombol mulai. Hasil analisis akan di cetak secara otomatis dalam beberapa menit. Gambar 4 dan Tabel 3 berikut ini adalah gambar bagian - bagian alat Moisture Analyzer HB43-S dan spesifikasinya.


(37)

Gambar 4 Bagian – bagian dari alat Moisture Analyzer HB43-S.


(38)

B.2. Cara Kimia Titrimetri Karl Fischer

Pengukuran kadar air dengan metode Karl Fischer ini dalam bahasa Inggris lebih dikenal sebagai water content. Cara ini mentitrasi sampel dengan larutan iodin dalam metanol. Reagen lain yang digunakan dalam titrasi ini adalah sulfur dioksida dan piridin. Metanol dan piridin digunakan untuk melarutkan yudium dan sulfur dioksida agar reaksi dengan air menjadi lebih baik. Selain itu piridin dan metanol akan mengikat asam sulfat yang terbentuk sehingga akhir titrasi dapat lebih jelas dan tepat. Selama masih ada air dalam bahan, iodin akan bereaksi tetapi begitu air habis, maka iodin akan bebas. Titrasi dihentikan pada saat timbul warna iodin bebas. Untuk memperjelas pewarnaan maka dapat ditambahkan metilen biru dan akhir titrasi akan memberikan warna hijau. I2 dengan metilen biru akan berubah warnanya menjadi hijau. Cara titrasi ini telah berhasil dipakai untuk penentuan kadar air dalam alkohol, ester-ester, senyawa lipida, lilin, pati, tepung gula, madu, dan bahan makanan yang dikeringkan. Cara ini banyak dipakai karena memberikan nilai yang tepat dan dikerjakan cepat. Tingkat ketelitiannya lebih kurang 0,5 mg dan dapat ditingkatkan lagi dengan sistem elektroda yaitu dapat mencapai 0,2 mg (Sudarmadji. 2003).

Pada saat titrasi dilakukan pada sampel dengan pereaksi Karl Fischer, yang mengandung yodium dan sulfur dioksida, maka jumlah yodium akan berkurang jumlahnya karena belerang dioksida bereaksi dengan air yang berasal dari sampel. Air bereaksi dengan reagen KF secara stoikiometri dimana volume pereaksi KF yang diperlukan untuk mencapai titik akhir dari titrasi (yang ditentukan secara visual, conductometric, atau coulometric) berhubungan secara langsung dengan jumlah air dalam sampel.

Titrasi Karl Fischer biasanya digunakan untuk penentuan air dalam senyawa organik dan beberapa sample yang sebagian terurai jika digunakan pada metoda gravimetri (Nielsen. 2010).

Tidak seperti pengukuran gravimetrik yang merupakan metode tidak langsung dimana semua volatile turut pula dihilangkan, titrasi Karl Fischer adalah metode langsung yang hanya spesifik untuk air. Metode ini biasanya digunakan untuk mengukur kadar air yang rendah (<1%) dan dapat mengukur sampai pada kadar air


(39)

<0,01%. Metode titrasi Karl Fischer biasanya digunakan untuk mengukur kadar air sampel yang mengandung gula dalam jumlah cukup tinggi atau konsentrasi yang tinggi pada gula dan protein, yang mungkin terurai jika menggunakan metode gravimetri.

Tabel 4 Reagen yang diperlukan untuk analisis Karl Fischer

Sumber : Nielsen (2010)

Metode KF ini adalah air dititrasi dengan larutan metanol anhydrous yang mengandung yodium, sulfur dioksida serta piridin yang berlebihan. Titrasi ini didasarkan pada reaksi yodium dan belerang dioksida yang hanya dapat terjadi jika terdapat air, di mana Py mewakili piridin. Hasil Py-SO3 bereaksi lebih lanjut dengan metanol untuk membentuk methylsulfate anion:

Yodium akan bereaksi dengan dengan rasio stoikiometri 1:1 di dalam larutan alcohol. Dalam larutan yang tidak mmengandung alcohol, reaksi antara yodium dan air akan terjadi dalam rasio stoikiometrik 1:2 seperti berikut:

Dari persamaan itu dapat dilihat bahwa setiap satu molekul air membutuhkan satu mol yodium. Titik akhir titrasi ditentukan oleh adanya perbahan warna dimana sampel dititrasi dengan pereaksi Karl Fischer sampai warna yodium permanen tampak (menunjukkan air telah semua bereaksi). Reaksi lain yang terjadi pada


(40)

sample maka perubahan warna biasanya dari kuning sampai kecoklatan, yang sulit untuk dideteksi secara visual. Jumlah sampel berwarna yang cukup tinggi dapat mempengaruhi titik akhir titrasi secara visual (Ruiz. 2001).

Titik akhir yang lebih tajam dapat diperoleh jika titrasi dilakukan secara

electrometric. Pada titrasi tersebut dua elektroda platinum kecil dicelupkan ke dalam sel titrasi, tegangan konstan kecil dapat dideteksi oleh elektroda dan setiap aliran arus akan diukur oleh galvanometer. Pada titik akhir titrasi baik minimum atau meningkat dari nilai nol. Secara komersial telah tersedia instrumen Karl Fischer yang bekerja berdasarkan prinsip ini dengan mikroprosesor semi-otomatis (Ruiz. 2001).

Ada beberapa faktor penting yang yang harus diperhatikan pada saat melakukan pengukuran kadar air menggunakan metode Karl Fischer :

Pengaruh pH pada reaksi Karl Fischer

Kecepatan maksimum titrasi Karl Fischer dapat dicapai pada kisaran pH 5,5-8,0, maka harus dihindari nilai pH yang lebih dari 8 dan kurang dari 4.

Pengaruh pelarut pada reaksi Karl Fischer

Stoikiometri (rasio molar H2O:I2) tergantung pada jenis pelarut. Hasil penelitian Eberius menunjukkan bahwa yodium dan air bereaksi dengan rasio 1:1 jika persentase metanol dalam pelarut adalah 20% atau lebih. Kehadiran Metanol diperlukan walaupun dalam jumlah minimum untuk terjadinya reaksi. Jika diperlukan menggunakan titrasi bebas metanol (untuk aldehida dan keton), maka dapat digunakan alkohol primer lainnya.

Pengaruh jumlah air pada reaksi Karl Fischer

Perbandingan molar H2O:I2 juga dipengaruhi oleh jumlah air dalam sampel. J.C. Verhoff dan E. Barenrecht, mengamati kenaikan titer dengan kadar air lebih besar dari 1 mol/L. Namun tidak ada konsekuensi untuk aplikasi praktisnya, karena konsentrasi air dalam pelarut secara signifikan lebih rendah. (Anonim. 1999).

Instrumen komersial dapat diklasifikasikan menjadi baik Karl Fischer kolumetrik atau volumetrik. Pada pengukuran Karl Fischer kolumetrik jumlah air


(41)

yang akan bereaksi dengan mengukur jumlah listrik (dalam kolom) yang diperlukan untuk reaksi secara lengkap antara air dan reagen Karl Fischer pada elektroda dengan efisiensi 100%. Keuntungannya adalah bahwa larutan standar tidak diperlukan di sini. Sensitivitas sangat tinggi (<10 g air) dan sangat berguna untuk

penelusuran.

Dalam titrasi Karl Fischer volumetrik, analisis didasarkan pada pengukuran volume larutan standar (reagen Karl Fischer) yang harus ditambahkan untuk bereaksi dengan air. Konsentrasi air dapat ditentukan dari volume reagen dengan konsentrasi yang telah diketahui yang ditambahkan sampai mencapai titik akhir. Penitrasi Karl Fischer volumetrik mengharuskan reagen Karl Fischer untuk distandarisasi, namun tingkat kadari air dari 10 ppm hingga 100% dapat diukur.

Jenis titrator yang dipilih tergantung pada kebutuhan individu (penelusuran atau pengukuran dengan ketelitian tinggi) dan anggaran titrator Karl Fischer koulometrik umumnya biaya lebih mahal dari pada titrator Karl Fischer volumetrik. Meskipun tidak sensitif pada jumlah kadar air yang sangat rendah dibandingkan titrator kulometri Karl Fischer, titrasi volumetrik Karl Fischer membolehkan suatu range yang lebih besar dalam pengukurannya.

Karl Fischer merupakan metode yang lebih sensitif yang berhubungan dengan kelembaban apapun, bahkan dari lingkungan sekitarnya yang pengaruhnya harus dihilangkan sebanyak mungkin. Instrumen komersial tersedia dengan wadah kaca dan penutup, yang menjaga kontaminasi kelembaban untuk minimum. Sebagai tambahan, instrumen ini dapat dipasang dengan lubang ke bejana reaksi di mana sampel dapat ditambahkan secara langsung. Kerugian penambahan "langsung" dari sampel adalah adanya partikulat dan bahan yang terdekomposisi dalam bejana reaksi, yang pada akhirnya harus dibuang dengan lebih sering.

Analisis kadar air yang banyak digunakan adalah metode gravimetri terutama karena biaya yang lebih tinggi dari peralatan dan penggunaan bahan kimia dalam


(42)

C.1. Produk Perisa Bubuk

Müller (2007) menyatakan bahwa perisa adalah kategori pangan penting yang secara sengaja ditambahkan pada bahan pangan. Perisa adalah bahan konsentrat yang disiapkan dengan tujuan utama untuk memberikan rasa terkecuali bahan yang secara eksklusif telah memiliki rasa manis, asam, dan asin. Perisa ditambahkan dalam jumlah kecil pada bahan pangan dan tidak ditujukan untuk dikonsumsi secara langsung. Semua substansi yang ditambahkan pada bahan pangan disebut sebagai ingredient, misalnya flavour atau perisa, warna, emulsifier, garam dan sebagainya yang dibedakan antara bahan alami dan sintetik menurut asalnya. Pada beberapa Negara, perisa diklasifikasikan sebagai bahan tambahan makanan (food additive) seperti di Amerika dan Jepang. Di bagian negara lainnya, flavour dipertimbangkan sebagai suatu bentuk bahan pangan yang spesial seperti di Eropa.

Menurut SNI (2006) tentang bahan tambahan pangan, perisa adalah bahan tambahan makanan (BTM) yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk memberikan aroma atau rasa atau keduanya (citarasa), akan tetapi bahan ini tidak ditujukan untuk dikonsumsi secara langsung.

Berdasarkan asal bahan baku aromatik yang digunakan, perisa di kelompokkan dalan perisa alami, perisa identik alami, dan perisa buatan. Jika dilihat dari bentuk perisanya, perisa dibagi dalam bentuk cair yaitu campuran perisa cair dan perisa emulsi, perisa semi padat yaitu minyak kental (viscous oil) dan perisa pasta, perisa bubuk, platting atau dispersi perisa, dan perisa terenkapsulasi. Perisa dapat menjadi cukup kompleks dan jumlahnya cukup banyak.

Perisa adalah substansi yang dapat memberikan sensasi rasa. Empat rasa dasar dapat dirasakan pada bagian belakang lidah adalah rasa manis, asin, asam dan pahit. Perisa menggunakan bahan alami, artifisial, atau kombinasi dan dapat berupa cairan atau bentuk kering. Secara umumnya jenis perisa yang ada adalah buah-buahan, dairy, meat, sayuran, minuman, dan liquor.

Perisa juga diklasifikasikan ke dalam kelompok rempah penting, perisa alami dan artifisial. Material yang digunakan untuk untuk perisa dapat dikelompokkan sebagai rempah dan bahan herbal, minyak esensial dan ekstraknya, buah dan jus buah, dan senyawa alifatik, aromatik dan terpen (Igoe & Hui. 2001).


(43)

Menurut Müller (2007), perisa dapat terdiri dari perisa substansi, preparat perisa, perisa proses, perisa asap, dan perisa pendukung. Terdapat tiga kategori pada sustansi perisa yang didefinisikan oleh IOFI Code of Practice dan EU Flavour Directive 88/388/EEC [1, 2]:

1. Natural flavouring substances, berasal dari bahan alami

2. Nature-identical flavouring substance, berasal dari bahan identik alami 3. Artificial flavouring substances, berasal dari bahan sintetik

Gambar 5 Diagram alir proses pembuatan perisa bubuk di PT Givaudan Indonesia Proses produksi perisa bubuk adalah proses pencampuran kering dengan menggunakan alat pencampur berupa blender dengan proses yang dapat dilihat pada diagram alir berikut.

Proses pembuatan perisa bubuk adalah mencampurkan beberapa bahan baku (dapat berupa bahan alami, identik alami atau bahan artifisial) dan bahan pengisi (filler) yang dicampur dengan menggunakan alat pencampur (blender) dengan waktu tertentu. Setelah bahan homogen maka dilakukan pengayakan yang merupakan titik kritis kontrol pertama (CCP) untuk mencegah benda asing dan ukuran partikel yang tidak diinginkan. Setelah itu bahan ditimbang sesuai dengan berat bersih yang diinginkan dan pada saat itu dilakukan pengambilan sampel untuk

Bahan Baku

Proses Pencampuran

Pengayakan (CCP)

Penimbangan & Pengemasan Pengambilan Sampel

untuk QC

Metal Detector (CCP)


(44)

selanjutnya diserahkan ke bagian QC untuk dilakukan pemeriksaan. Setelah bahan dikemas pada dus yang telah diberi label dan ditutup dengan lakban pada bagian atas, maka dus-dus tersebut dilewatkan metal detektor yang merupakan titik kritis kontrol kedua (CCP) untuk mendeteksi cemaran bahan metal dalam produk. Selanjutnya dus tersebut diletakkan pada palet dan selanjutnya disimpan di gudang sebelum dikirimkan ke konsumen. Bagian QC akan memeriksa sampel sesuai dengan spesifikasi setiap bahan. Jika hasil analisis sesuai dengan standar dan spesifikasi maka bahan akan diloloskan pada sistem sehingga dapat dikirim ke konsumen. Jika bahan dalam kondisi pemeriksaan atau keluar dari spesifikasi, maka produk akan terkunci secara sistem dan tidak dapat terkirim ke konsumen.

Untuk mempertahankan konsistensi mutu perisa bubuk, maka bagian QC akan melakukan pengujian sebagai berikut:

- Penampakan dan warna produk dibandingkan dengan standar ataupun batch

sebelumnya dengan menggunakan metode pair comparison.

- Aroma dan rasa dibandingkan dengan standar ataupun batch sebelumnya dengan menggunakan metode pair comparison.

- Kadar Air / susut pengeringan dengan metode LOD (loss on drying) yaitu menggunakan oven dengan suhu 105oC selama 3 jam.

- Pengukuran kadar garam dengan metode potentiometric dengan menggunakan alat autotitrator.

- Pengujian mikrobiologi sesuai dengan spesifikasi setiap perisa.

PT. Givaudan Indonesia memproduksi berbagai jenis perisa bubuk beberapa diantaranya adalah perisa garlic, perisa HVP, dan perisa vanilla. Perisa Garlic adalah produk bubuk perisa yang berbasiskan kombinasi ’flavor base’ berupa beberapa jenis yeast, bubuk garlic dan 0.4% minyak (asam lemak tidak jenuh) dengan ’filler’ campuran 40% tapioka dan 40% maltodekstrin. Sedangkan Perisa HVP mengandung sekitar 40 % maltodektrin, MSG, beberapa jenis yeast dan 1% minyak. Untuk perisa Vanilla digunakan vanilin sebagai ’flavor base’ dengan filler laktosa sekitar 80% dan ditambah bahan lain hingga 100%.

Dengan proporsi yang sedemikian besar, ’filler’ dapat menjadi salah satu penentu karakteristik akhir produk perisa bubuk. Tepung tapioka, maltodekstrin,


(45)

dan laktosa adalah bahan yang banyak dimanfaatkan sebagai ’filler’ dalam perisa bubuk, karakteristik ketiga bahan ini patut ditelisik lebih dalam.

Tepung Tapioka

Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Tapioka yang diolah menjadi sirup glukosa dan destrin sangat diperlukan oleh berbagai industri, antara lain industri kembang gula, penggalengan buah-buahan, pengolahan es krim, minuman dan industri peragian. Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat dalam industri makanan, seperti dalam pembuatan puding, sop, makanan bayi, es krim, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain-lain. (kadar air: 6-12%)

Maltodekstrin

diperoleh dari hasil hidrolisis sebagian pati, berbentuk granula atau serbuk kering (kadar air: 5%) berwarna putih yang bersifat agak higrokopis. Maltodekstrin mudah larut atau terdispersi dalam air membentuk larutan yang jernih sampai agak berkabut.

Laktosa

Berupa serbuk kristal (kadar air: 6% ) berwarna putih sampai putih krem, tidak berbau sampai sedikit berbau khas dengan rasa manis. Bisa berupa anhidrat atau mengandung satu molekul air hidrat, atau mengandung campuran kedua bentuk tersebut jika disiapkan dengan proses pengeringan semprot. Larut dalam air, sangat sukar larut dalam alkohol, tidak larut dalam kloroform dan eter.

D. Pengolahan Data Statistik

D.1. Presisi, Akurasi, Kalibrasi, dan Validasi Data

Presisi

Mengacu pada pengulangan pengukuran. Pengukuran yang berulang-ulang dapat memberikan hasil yang menyimpang sedikit satu sama lain dalam batas-batas jumlah angka signifikan yang didapat, maka dapat dikatakan bahwa data yang didapat adalah tepat, atau bahwa hasil menunjukkan tingkat presisi yang tinggi.


(46)

Rata-rata data tersebut mungkin atau mungkin tidak mewakili nilai riil dari parameter itu, yang artinya bisa menjadi tidak akurat (Kenkel. 2003).

Ketika sampel di ukur beberapa kali jarang dihasil masing-masing pengukuran bisa sama. Presisi adalah pengukuran dari variasi yang ada. Semakin dekat nilai pengukuran antara masing-masing hasil, maka hasilnya lebih presisi. Jadi presisi adalah indikator dari hasil pengukuran yang dihasilkan secara berulang-ulang (Harvey. 2000)

Akurasi

Berkaitan ketepatan dari pengukuran atau seberapa dekat hasil terhadap nilai sebenarnya. Sebagai contoh jika diketahui berat sebenarnya dari suatu objek adalah 1.0000 g, maka akurasi penimbangan dapat ditentukan. Objek bisa ditimbang untuk melihat apakah timbangan akan menunjukkan 1.0000 g. Jika beberapa pengulangan menunjukkan hasil antara 0.9998 and 1.0002 g, maka dapat dikatakan bahwa hasil penimbangan tersebut presisi dan akurat. Jika hasil pengulangan penimbangan antara 0.9983 and 0.9987 g, maka dapat dikatakan hasil penimbangangan tersebut presisi namun tidak akurat. Jika pengulangan penimbangan memberikan hasil antara 0.9956 and 0.9991 g, maka dapat dikatakan data tersebut tidak presisi dan akurat. Akhirnya, jika keseluruhan hasil penimbangan memberikan hasil antara 0.9956 and 1.0042 g, dimana reratanya adalah 1.0000 g, maka penimbangan tersebut dapat dikatakan akurat namun tidak presisi. Hal ini dapat diilustrasikan pada gambar 6 berikut ini (Kenkel. 2003)

Menurut Harvey (2000), akurasi adalah seberapa dekat hasil percobaan dengan hasil yang diinginkan. Jika hasil pengukuran dari alat penimbang hasilnya lebih dari batas limit presisi maka dapat dikatakan bahwa alat tersebut perlu dikalibrasi.


(47)

Gambar 6 Ilustrasi Akurasi dan Presisi Data (Sumber: Kenkel. 2003) Kalibrasi

Mengacu pada prosedur untuk memastikan bahwa alat tersebut memberikan hasil yang sesuai pada nilai tertentu. Sebagai contoh alat penimbang seperti telah didiskusikan di sebelumnya, terkadang alat tersebut dapat secara elektronik disesuaikan atau di adjust untuk memberikan hasil seperti yang telah diketahui. Namun kalibrasi juga bisa mengacu pada prosedur dimana hasil pengukuran yang sebelumnya tidak diketahui menjadi diketahui. Sebagai contoh pada alat spectrofotometer dimana nilai adsorbance pada larutan dengan konsentrasi dapat dikenali oleh alat tersebut.

Sebelum prosedur dapat memberikan informasi analisis yang berguna, sangatlah penting untuk menunjukkan kemampuan yang memberikan hasil yang dapat diterima. Validasi adalah evaluasi apakah presisi dan akurasi dapat diperoleh dengan mengikuti prosedur yang sesuai untuk permasalahan yang ada. Sebagai tambahan, validasi menentukan apakah prosedur tertulis telah cukup detail sehingga analis atau laboratorium yang berbeda yang mengikuti prosedur yang sama dapat memberikan hasil yang sebanding. Idealnya validasi dilakukan dengan menggunakan sampel standard dimana komposisi sangat dekat dengan sampel yang prosedurnya sedang dirancang (Harvey. 2000)


(48)

D.1. Perancangan Percobaan, Analisys of Variance (ANOVA)

Masalah umum dalam ilmu pengetahuan dan industri adalah membandingkan beberapa perlakuan untuk menentukan manakah yang dapat memberikan hasil yang paling baik. Metode umum untuk mengetahui perbedaan tersebut dikenal dengan nama analysis of variance yang disingkat sebagai ANOVA. Analysis of variance

adalah bagaimana mempelajari sejumlah variasi pada y (respon) dan mencoba untuk mengerti dari mana variasi ini berasal.

Prosedur ANOVA dibangun berdasarkan hipotesis yang dikenal sebagai F-tes dimana membandingkan seberapa banyak perbedaan antara kelompok dibandingakan dengan seberapa besar variasi antara tiap kelompok.

Gambar 7 Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap hasil analisis “One Way ANOVA”

Variasi antara kelompok disebut sebagai ‘intra-group variation’. Perbedaan antara kelompok secara keseluruhan sebagaimana tercermin dari rata-rata populasi untuk tiap faktor disebut ‘inter-group variation’ (Rowe. 2007)

Variasi one-way analysis digunakan bila:

• Titik akhir diukur nilainya (secara umum pada skala interval); • Terdapat satu faktor eksperimen


(49)

Untuk melalukan analysis of variance, setiap kelompok data harus diambil dari populasi distribusi normal dan kesemuanya harus mempunyai standard deviasi yang sama. Sejumlah kecil sampel tidak sesuai untuk menggunakan metode ini.

Analysis of variance dimulai dengan perumusan stastistik pengujian hipotesa untuk melihat perbedaan antara rata-rata populasi. Hipotesis nol adalah :

Dimana merupakan suatu keharusan untuk semua rata-rata perlakuan adalah sama. Sebagai contoh, Ho sebagai nul hipotesis adalah desain wadah mempengaruhi pada penjualan, dimana pada peneliti sangat tertarik apakah ada perbedaan antara rata-rata populasi yang ada dan hipotesis alternatifnya adalah sebagai H .

Ini dapat dikatakan sebagai satu perlakuan yang menghasilkan rata-rata hasil yang berbeda. Teknik statistik yang digunakan dalam contoh ini dikenal sebagai single-factor ANOVA yang dikenal juga sebagai F-tes karena perhitungan hasil dalam bentuk angka sebagai F. Berdasarkan nilai F maka keputusan dapat diambil apakah diterima atau tidak diterima terhadap hipotesa nol (null hypothesis). Ketika keputusannya adalah ditolak terhadap hipotesa nol, maka kesimpulan yang diambil adalah terdapat perbedaan antara rata-rata populasi yang ada (Rafter et al, 2002).

Dalam perhitungan, Kuadrat Tengah Galat (KTG) diperoleh dari analisis ragam, dimana jumlah banyaknya ulangan dinyatakan sebagai ragam (r), sebagai taraf nyata, p adalah banyaknya perlakuan tidak termasuk kontrol (p = t-1), sedangkan dfe adalah derajat bebas galat.

Tabel 5 Analisis Varian/Keragaman untuk Rancangan Acak Lengkap Sumber

Keragaman Db JK KT Fhitung

F 5%

F 1% Perlakuan t – 1 JKP JKP/(t-1) KTP/KTG

S Galat (rt-1)-(t-1) JKG

JKG/(rt-t)

Total Rt-1

JKP+JK

G


(50)

t = perlakuan termasuk kontrol

p = perlakuan tidak termasuk kontrol = (t-1) r = ragam = jumlah ulangan

rt = banyaknya pengamatan = r x t

db total = banyaknya pengamatan-1 = rt - 1 db perlakuan = total banyaknya perlakuan-1 = t - 1 db galat = db total - db perlakuan

FK = faktor koreksi=( (Yij))2/rt) = (total jendral)2/total pengamatan JKT = (Yij)2-FK = kuadrat tengah=total jendral kuadrat-FK JKP = ( (Yij)2)/r)-FK =(( total perlakuan)2/r) - FK

JKG = JKT-JKP

KTP = JKP/dbp = Kuadrat Tengah Perlakuan = JK Perlakuan/(t-1) KTG = JKG/t*(r-1) = Kuadrat Tengah Galat= JK Galat /t (r-1) Fhitung = KTP/KTG = KT Perlakuan/KT Galat

Kk = koefisien keragaman= (KTG0.5x100%)/nilai tengah umum

jika kk < 20% maka derajat ketepatan atau keterandalan percobaan semakin baik.

Menurut Rumsey (2009), kesimpulan dapat diambil dalam one of two ways

dimana nilai p tercapai atau nilai kritis termendekati (F-statistik). Kaitan nilai p untuk F-tes terletak pada faktor baris dibawah kolom dengan judul P, nilai statistik F-tes terletak pada baris baris dibawah kolom F.

Pendekatan nilai p adalah :

• Ho ditolak, jika nilai p adalah kurang dari yang telah ditentukan (umumnya 0.05),

• Ho diterima, jika nilai p lebih besar dari , terjadi bila tidak cukup bukti dari data tersebut yang menyatakan rata-rata populasi k terdapat perbedaaan.

Pendekatan nilai kritis adalah :

Merata-ratakan nilai p, maka akan didapatkan nilai perpotongan pada F-distribution dengan derajat bebas (k – 1, n k). Perpotongan ini disebut sebagai nilai kritis, yang


(51)

telah ditentukan sebelumnya (umumnya 0.05). = 0.05 adalah yang paling umum dipakai pada distribusi F.

Berdasarkan table-F, titik kritis dicari dan dibandingkan dengan perhitungan statistik F pada F-distribution yang sesuai dengan derajat bebas (k – 1, n k) untuk menarik kesimpuan:

• Ho ditolak, jika perhitungan statistik F keluar (lebih atau kurang) dari nilai yang ditemukan dalam table F, tidak Dapat dikatakan paling sedikit dua perlakuan atau populasi yang memiliki rata-rata yang berbeda.

• Ho diterima, jiak perhitungan statistik F lebih kecil dati nilai table F.

Dibutuhkan penilaian yang objektif yang lebih dalam, pada saat inilah ‘follow up’

atau ‘post hoc’ dibutuhkan. Disebut demikian karena secara tradisional hanya digunakan setelah ANOVA terbukti berbeda secara signifikan, meskipun sebenarnya tidak ada aturan untuk mengikuti urutan tersebut.

Menurut Rowe (2007), uji ANOVA hanyalah uji statistik yang menguji signifikasi. Analysis of variance hanya memberitahukan apakah terdapat perbedaan antara perlakuan yang ada, namun tidak memberitahukan perlakuan mana yang berbeda dengan lainnya atau seberapa besar perbedaan antara pasangan perlakuan yang ada. Follow-up tes memperbaiki kedua kekurangan tersebut :

• Dunnett’s – membandingkan satu populasi kontrol terhadap lainnya (satu

perlakuan dipilih sebagai kontrol atau populasi acuan. Semua perlakuan kemudian dibandingakan dengan kontrol)

• Tukey’s – membandingkan semua populasi terhadap lainnya (semua populasi

dibandingkan dengan populasi lainnya pada setiap pasangan yang memungkinkan)

Berikut ini adalah langkah-langkah umum dalam menggunakan one-way

ANOVA:

1. Periksa kondisi ANOVA, gunakan data yang yang sudah terkumpul dari tiap populasi k.

2. Menentukan hipotesis Ho: 1 = 2 = . . . = k lawan Ha: paling tidak dua rata-rata dari populasi berbeda. Cara lainnya untuk menentukan hipotesa alternative dengan mengatakan Ha: paling tidak dua dari 1, 2, . . . k adalah berbeda.


(52)

3. Mengumpulkan data dari random dari sample k, satu dari tiap populasi.

4. Gunakan uji F pada data dari langkah ketiga, gunakan hipotesis dari langkah kedua dan temukan nilai p.

5. Buat kesimpulan : jika Ho ditolak (ketika nilai p lebih kecil dari 0.05 atau dari nilai yang telah ditentukan), simpulkan bahwa dua dari rata-rata populasi adalah berbeda atau simpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk menolak Ho, dapat dikatakan rata-ratanya adalah berbeda (Rumsey. 2009).

D.2. Prosedur Multiple Comparison dan Tes Dunnett

Metoda multiple comparison didesain untuk menyelidiki perbedaan antara pasangan dari rata-rata spesifik atau kombinasi linier dari rata-rata yang lebih umum adalah subset dari rata-rata populasi menggunakan data sampel.

Prosedur multiple comparison dipakai untuk membandingkan beberapa perlakuan secara bersamaan dengan kontrol atau perlakuan standar yang didesain digunakan untuk menguji signifikan dari perbedaan antara tiap perlakuan dan kontrol terhadap nilai tertentu 1 – P untuk tingkat signifikan yang sama atau untuk menentukan batas kepercayaan pada nilai sebenarnya dari perlakuan yang berbeda dari kontrol terhadap nilai P tertentu untuk koefisien yang sama. Jadi prosedur memiliki sifat mengendalikan secara percobaan dibandingkan perbandingan awal yang tingkat kesalahannya terkait dengan perbandingan itu sendiri yang biasa dikenal sebagai prosedur multiple comparison dari Tukey.

Perbandingan antara perlakuan dan sebuah kontrol atau standar lebih diminati pada percobaan biologi. Pada situasi tertentu tipe prosedur multiple comparison

yang penting bagi peneliti. Prosedur multiple comparison dapat digunakan untuk membuat pernyataan yang meyakinkan. Perbandingan utama dari ketertarikan peneliti adalah antara masing-masing dari tiga perlakuan terhadap kontrol (Dunnett. 1964).

Tujuan dari prosedur multiple comparison adalah untuk mengendalikan “tingkat signifikan secara keseluruhan” dari beberapa kesimpulan yang dilakukan sebagai “follow up” pada ANOVA. “Tingkat signifikan secara keseluruhan” atau derajat kesalahan adalah probabilitas tergantung pada hipotesa nol yang diuji


(53)

dengan benar, dengan menolak paling tidak salah satu atau sebanding, memiliki paling tidak satu interval kepercayaan tidak termasuk nilai yang benar.

Banyak metode prosedur multiple comparison. Sebagian besar membandingkan rata-rata dari pasangan kelompok atau menentukan mana yang berbeda secara signifikan. Variasi metode berbeda pada seberapa baik dapat mengendalikan tingkat perbedaan nyata secara keseluruhan. Salah satunya adalah tes Dunnett yang digunakan untuk membandingkan sample (kontrol) terhadap setiap perlakuan, namun tidak membandingkan antara tiap perlakuan.

D.2.1. Many-to-One Comparisons

Many-to-one comparisons secara umum digunakan untuk membandingkan perlakuan percobaan yang berbeda dibandingakn terhadap rata-rata perlakuan kontrol yang ditujukan sebelum pengumpulan data. Data yang mengandung k-1 perbandingan berpasangan dengan rata-rata kontrol dalam setiap perbandingan. Seringkali, tujuannya adalah untuk mengidentifikasi perlakuan percobaan dengan hasil yang signifikansi "lebih baik" dari kontrol ini karena memerlukan uji hipotesis satu sisi. Jika tujuannya adalah untuk mengidentifikasi perlakuan yang secara signifikan "lebih baik" atau secara signifikan "buruk" hasilnya, maka uji hipotesis dua sisi diperlukan. Sebuah aplikasi kedua dari many-to-one comparisons ini digunakan ketika rata-rata percobaan eksperimental yang berbeda dibandingkan dengan rata-rata percobaan "terbaik". Tes Dunnett adalah pengujian nyata bagi keluarga many-to one comparisons ketika kontrol telah ditentukan sebelum pengumpulan data (Rafter et al. 2002).

Tes Dunnett digunakan hanya jika semua rata-rata dibandingkan dengan satu rata-rata yang disebut kelompok kontrol. Beberapa variasi beras dapat dibandingkan dengan beras yang umum (dan hanya dibandingakan dengan beras yang umum, tidak dibandingakan antara perlakuan), tes Dunnett menjadi prosedur multiple-comparison yang sesuai.

Dunnett's t-tes adalah prosedur yang di rancang untuk membandingkan kondisi perlakuan yang berbeda terhadap kondisi umum kontrol. Prosedur untuk membandingkan tiap rata-rata percobaan terhadap kontrol disebut sebagai “Tes Dunnett”.


(1)

Lampiran 12 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian Pertama


(2)

(3)

(4)

Lampiran 13 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian Kedua


(5)

(6)