60
b. Onamnasi aombianam bian ma eotnin neo bife ma atone mak anin.
Artinya: Orang tua kedua calon pengantin saling memberitahukan bahwa anak
mereka akan segera menikah.
Jika dalam hal nahe na benonat ok on talfe yang mempersiapkan okomama adalah pihak laki-laki, maka disini yang natek okomama adalah
keluarga dari pihak perempuan, itupun hanya satu okamama sebagai noen eto untuk memberitahukan kepada keluarga pihak laki-laki bahwasanya
anak mereka akan menjadi sebuah pasangan keluarga. c.
Bife inimnasi namuib sin anah
Artinya: Keluarga perempuan memberikan harta bawaan kepada anak perempuan
mereka.
Harta bawaan tersebut terdiri dari: 1
Bia Sapi 2
Bikase Kuda 3
Bibi Kambing 4
Pika Piring 5
Sunu Sendok 6
Klas Gelas 7
Nai Periuk atau alat untuk memasak Tujuannya Bife inimnasi namuib sin anah
Tujuannya Bife inimnasi namuib sin anah adalah jika setelah menikah dan pisah rumah dengan orang tua, kedua pengantin tidak saling
61
mengungkit apabila ada masalah rumah tangga. Karena anak laki-laki di suku adat Atoni saat menikah pengeluaran lebih banyak dibandingkan
anak perempuan. Jika telah melakukan kabin alat baru mengundang pihak KUA untuk melaksanakan kabin smanaf akad nikah.
59
C. Prosesi Walimatul Urs
Undangan walimatul urs yang berlaku di suku adat Atoni ini sangat berbeda dengan daerah-daerah lain, karena pada umumnya daerah-daerah lain
menggunakan surat undangan nikah, sedangkan undangan pernikahan di suku
adat Atoni ini berupa okomama puah manus sirih pinang.
Puah manus sirih pinang disini nanti dibagikan kepada semua saudara dan kerabat dari kedua calon pengantin tersebut, kemudian puah manus yang
telah disiapkan itu juga akan dibagikan perkeluarga atau per setiap marga yang sama, kemudian orang yang tertua dalam marga tersebut yang akan membagikan
puah manus kepada fomilinya keluarga-keluarga terdekatnya sebagai okoma2
elmalinat undangan pesta pernikahan.
Dalam pelaksanaan walimah akan dilaksanakan setelah kedua calon melakukan akad nikah, melaksanakan upacara perkawinan biasanya juga
diselenggarakan hiburan. Hiburan ini bermacam-macam, misalnya: dansa, tarian
59
Umar Kekek Isu, Anak dari Keturunan Raja Suku adat Atoni, wawancara pribadi pada tanggal 12 Maret 2014
62
perang atau caci, dan tarian ja’i, yang dewasa ini sepertinya belum sempurna jika dalam pernikahan tanpa adanya hiburan tersebut.
1. Tarian Perang atau Caci
Tarian perang atau caci dilakukan antara sepasang penari laki-laki yang bertarung dengan cambuk dan perisai, pertarungan berlangsung dengan
diiringi bunyi pukulan gendang dan gong, serta nyanyian adat semisal pantun.
60
tarian ini akan dilakukan setelah prosesi akad nikah, kemudian natoni adat jubir adat meminta izin kepada orang tua wanita untuk
melakukan tarian perang tersebut, tarian perang atau tarian caci biasanya dilakukan oleh beberapa kelompok, namun yang membuka tarian tersebut
adalah tuan rumah uem tuaf keluarga pihak perempuan dengan kelompok penantang dari pengantin keluarga laki-laki.
2. Hiburan organ tunggal atau nyanyian
3. Tarian Ja’i
Dewasa ini kebanyakan orang di desa Billa menganggap bahwa pesta perkawinan belum sempurna tanpa adanaya hiburan
tarian Ja’i, terutama bagi para undangan dan tamu-
tamu kehormatan karena, Ja’i merupakan simbol kebersamaan dan kegembiraan.
61
Dari hasil penelitian penulis bahwa hiburan dan tarian ja’i yang dilaksanakan di desa Billa, kebanyakan para pemuda menampilkan tarian
60
Wikipedia Bahasa
Indonesia, ensiklopedia
bebas, Tarian
Perang atau
Cacihttp:id.wikipedia.orgwikiCaci., diakses pada tanggal 25 Maret 2014
61
Maria Lily, Ja’i Ngada, http:sailkomodo2013 diakses pada tanggal tanggal 25 Maret 2014
63
ja’inya dengan berpegangan tangan atau berpegang pada pinggul pemudi yang diikuti oleh goyangan yang mengundang syahwat dari pelaku-pelaku dan
tarian ja’i tersebut. Terkadang sering terjadi keributan antara para pelaku taian laki-laki dikarenakan para lelaki mabuk sehingga berebut wanita-wanita
cantik dan yang cerdas berdansa.
D. Perspektif Hukum Islam Terhadap Prosesi Pernikahan Suku Adat Atoni
Salah satu peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan manusia dalam berbagai suku adalah masalah pernikahan, karena pernikahan merupakan suatu
sistem sosial yang tidak hanya menyangkut dua manusia yang berkepentingan saja tetapi juga menyangkut orang tua, kerabat dan masyarakat.
62
Islam sebagai tuntunan bagi manusia mengatur hal pernikahan, diantaranya mengenai k
afa’ah. Kafa’ah atau kufu yang berarti seimbang atau keserasian atau kesesuaian, serupa sederajat dan sebanding.
Sedangkan yang dimaksud sekufu dalam pernikahan, menurut hukum Islam adalah keserasian dan keseimbangan antara calon istri dan calon suami
sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan, artinya kedua calon sebanding dalam kedudukan, tingkat sosial, dan
akhlak serta kekayaan.
62
Suryowingjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1982, h. 122
64
Ulama berpendapat bahwa masalah kufu’ dalam pernikahan. Sebagian ulama menganggap bahwa kufu merupakan syarat sahnya akad nikah, sedangkan
ulama yang lain berpendapat bahwa persetujuan wali calon pengantin wanita yang menjadi syarat sah akad nikah, jika tidak ada persetujuan dari keduanya maka
pernikahan dianggap batal.
63
Sedangkan menurut kalangan mazhab Maliki tidak ada perselisihan bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum
khamar, atau orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinannya.
64
Karena khamar akan menimbulkan dampak negatif dan merusak akal seseorang, sebagaimana Firman Allah :
Artiny: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan ” QS.
An-Nisa: 43.
65
Oleh karena itu Islam menganjurkan kepada setiap manusia untuk melaksanakan setiap pernikahan bagi mereka yang mampu dengan cara yang baik
dan ma’ruf dan tidak menggunakan syarat pengabsahan pernikahan seperti arak atau khamar. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tarmidzi
bahwasanya “sesungguhnya Rasulullah Saw melaknat dalam khamar sepuluh personel,
yaitu: pemerasnya
pembuatnya, distributor,
peminumnya,
63
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, h. 33
64
Ibnu Rasyid, Bidayatul Mujtahid, Beirut: Dar al-Fikr, 1971, h. 122
65
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003, h. 289