Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan dalam bahasa arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al- wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam;u , atau ibarat an al-wath wa al-aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul, dan akad. Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama fiqh mendefinisikan perkawinan dalam konteks biologis. Menurut Wahbah Zuhaily perkawinan ialah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta persetubuhan dengan seorang wanita, atau melakukan wathi’ dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau persusuan. 1 Pernikahan menurut hukum Islam merupakan suatu ikatan yang paling suci dan kokoh antara suami dan istri. Oleh karena itu Islam menetapkan ikatan tersebut untuk selamanya. Langgengnya pernikahan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh Islam. 2 Begitu juga Islam mengatur dalam masalah perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dunia dan akhirat dibawah cinta 1 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.11974 sampai KHI . Jakarta: Pranada Media, 2004. Cet, 2.h,38 2 Djam’an Nur, fiqh Munakahat. Jakarta: Dira Utama Semarang, 1993. Cet. 1. h. 130 kasih dan ridho Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ar-rum ayat 21. Perkawinan merupakan suatu cara untuk menyalurkan antara laki-laki dan wanita dan menghubungkannya sebagai suami istri. Hal tersebut merupakan suatu ikatan yang paling kuat dalam hubungan pergaulan manusia. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sabagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. 3 Sabagai nagara yang berdasarkan pancasila dimana sila pertama adalah ketuhanan yang maha esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan persoalan agama dan kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mengenai unsur lahiriyah jasmaniyah tetapi juga menyangkut urusan batiniyah rohaniyah yang mempunyai peranan yang sangat penting. Tujuan dari perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ialah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal abadi. Untuk itu suami isteri harus salin pengertian, saling Bantu membantu dan lengkap melengkapi satu sama lain, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahtraan baik spirirual maupun material. Karena tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan 3 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan kekal. Maka Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan menganut prinsip mempersulit terjadinya perceraian. 4 Jika akad nikah telah sah dan berlaku, maka ia akan menimbulkan akibat hukum dan dengan demikian akan menimbulkan pula hak serta kewajiban selaku suami isrti. 5 hak-hak dan kewajiban suami istri itu memegang peranan penting dalam suatu rumah tangga. Apabila masing-masing pihak tidak dapat saling menjaga dan memeliharanya maka dapat ditunggu saat kehancurannya. Hak dan kewajiban itu dapat juga diaplikasikan sebagai berikut: hak dan kewajiban suami istri, hak dah kewajiban suami terhadap istrinya, hak dan kewajiban istri terhadap suaminya. Perkara hak dan kewajiban ini, sungguh banyak menimbulkan masalah di tengah-tengah rumah tangga, antara lain disebabkan : a. Suami tidak sanggup memberi nafkah lahir terhadap istrinya, seperti memberi uang belanja sehari-hari, pakaian dan sebagainya. Pada waktu itu ada istri yang tidak saling pengertian dan tidak tabah menghadapinya serta tidak mau memikirkan kekurangan ekonomi yang telah muncul dihadapan keluarganya, akhirnya menimbulkan pertengkaran. b. Suami mempunyai suatu penyakit yang tidak sanggup bergaul dengan istri secara norma, suami itu impoten. Dalam hal istri tidak senang dengan keadaan suaminya seperti itu, atau istri yang tidak mampu mengendalikan daya seksnya, 4 M Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang hukum acara Perdata Pengadilan Agama , Jakarta : Ind-Hill co, 1991, Cet Ke -2, h,179 5 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1990 cet ke-7, jilid 7, h.51 timbullah krisis, karena menyalurkan seks begitu saja tanpa proses perkawinan terlarang keras dalam ajaran agama Islam. Kedua masalah ini merupakan sebahagiaan dari kewajiban suami berupa dzahir dan bathin yang tidak sanggup diberikan kepada istrinya. Peristiwa-pristiwa ini menimbulkan pengaduan-pengaduan istri kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkaranya. 6 Namun selain masalah yang terjadi seperti yang telah disebutkan diatas, fenomena yang terjadi di masyarakat bahwa tidak sedikit para istri mengeluhkan permasalahannya ke Pengadilan Agama tentang perolehan nafkah bathin. Dengan demikian, maka hal ini menjadi bukti bahwa masih banyaknya para suami tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami yakni kewajiban untuk memberikan nafkah bathin kepada istri. Apabila hal ini terjadi, maka ini merupakan persoalan yang sangat penting karena dapat menimbulkan permasalahan yang mengakibatkan putusnya pernikahan. Dan tidak menutup kemungkinan banyak terjadinya perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu pasangannya, sehingga kehidupan keluarga tidak berjalan harmonis. Masalah tersebut melanggar hak dan kewajiban suami istri dan juga bertentangan dengan syari’at islam, bahwa untuk menyalurkan nafsu seksuil atau kebutuhan biologis, Allah menghalalkan dengan sebuah tali perkawinan, karena nafsu seksuil hanya boleh disalurkan kepada suami dan istri yang sah. Sebagaimana firman 6 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan Karena Ketidakmampuan Suami Menunaikan Kewajibannya . Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1989, cet ke 1, h.1-2 Allah S.W.T dalam Q.S al-bagarah 2: 223 yang di dalamnya mengandung perintah untuk menggauli istri dan perintah itu ditunjukan kepada suami, maka suami wajib menggauli istrinya. Istri diibaratkan sebagai tanah tempat kamu bercocok tanam, jadi suami diperintahkan untuk menjaga tanahnya itu dengan baik. Akan tetapi permasalahan para suami tidak mau memberikan nafkah bathin kepada istrinya juga mempunyai alasan yang berbeda-beda. Salah satu alasannya yaitu dikarenakan adanya faktor kelainan seks pada suami. Kelainan seks tersebut salah satunya yaitu suami lebih menyukai sesama jenis homo dari pada istrinya sendiri. Homoseksual adalah hubungan antara orang-orang yang sama kelaminnya, yaitu seorang pria dengan pria lainnya. Dengan adanya kelainan seks tersebut, suami enggan atau tidak mau memberi nafkah bathin kepada istrinya yang disebabkan suami hanya menyukai pria lain, tidak dengan istrinya. Yang akibatnya istrinya akan menjadi korban karena suaminya tidak bisa atau tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai suami, dan istri hidup tanpa ketenangan dan kasih sayang serta ia tidak mendapatkan keturunan sekalipun ia subur. Apabila dihubungkan dengan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan bahwa perceraian putusnya perkawinan diperbolehkan jika salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suamiistri. Namun dari sumber hukum tersebut tidak ada yang menjelaskan tentang diperbolehkannya perceraian dengan alasan kelainan seksual homoseksual. Walaupun hal ini bisa dimasukan pada pasal 116 poin e KHI, tetapi hal tersebut masih bisa diperdebatkan dan di tafsirkan lain. Karena cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan suami tidak dapat menjalankan kewajibannya bisa bermacam- macam. karena jika suami mempunyai kelainan seksual homoseksual bisa dijadikan alasan perceraian maka akan banyak pasangan yang mengalami perceraian. Karena perceraian dapat menimbulkan akibat hukum yang sangat besar. Berawal dari latar belakang masalah inilah, penulis ingin sekali mengadakan penelitian yang berkenaan dengan ”Homoseksual Sebagai Alasan Perceraian Analisis putusan No. 838Pdt.G2009PA.Dpk Dan No. 211Pdt.G2009PA.JT

B. Pembatasan dan perumusan masalah