Homoseksual sebagai alasan perceraian (Analisis putusan no. 838/PA. Dpk dan No. 211/Pdk.G/2009/PA.JT)
Skripsi
Diajukan kepada fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syarat mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
IMAM HANAFI NIM : 106044101407
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
(2)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh:
IMAM HANAFI NIM: 106044101407
Dibawah Bimbingan
JM. Muslimin, MA, Ph.D NIP: 150295489
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1431H / 2010 M
(3)
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Agustus 2010
(4)
KATA PENGANTAR
Assallamu’allikum. Wr. wb
Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Penguasa alam semesta yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis terutama dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam kita sanjungkan kepada pemimpin revolusioner umat islam tiada lain yakni junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan keluarga, serta para sahabat yang telah banyak berkorban dan menyebarkan dakwah Islam.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dan memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis hingga terselesaiakannya skripsi ini.
Dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis mengugkapkan rasa hormat serta ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak:
1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
(5)
3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. Selaku Ketua Program Studi Akhwal Al-Syakhsiysah. dan Kamarusdiana, S.Ag, MH. Selaku Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah.
4. JM. Muslimin, MA, Ph.D selaku pembimbing skripsi penulis. Yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam rangka menyelesaiakan skripsi ini, mudah-mudah beliau selalu dalam lindungan dan rahmat Allah S.W.T
5. Para Narasumber dan Staff Lembaga Pengadilan Agama Depok dan Jakarta Timur. Yang telah memberikan penulis izin dan membantu meluangkan waktunya untuk melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian khususnya Drs. H.A.Baidhowi M.H dan Elvin Nailana SH, MH. Yang telah memberikan informasi kepada penulis.
6. Seluruh Staff Pengajar (dosen) Prodi Ahwal Al Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan memberikan motivasi sepanjang penulis berada di sini. Selain itu, para Pimpinan dan Staff Perpustakaan baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
7. Teristimewa buat Ayahanda Syamsuri dan Ibunda Sukaimah tercinta. Yang telah merawat dan mengasuh serta mendidik dengan penuh kasih sayang dan memberikan pengorbanan yang tak terhitung nilainya baik dari segi moril maupun materil. Dan juga adinda fidiyanti dan khoirunnila. Terimakasih atas segala
(6)
doanya, kesabaran, jerih payah, serta nasihat yang senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga ananda dapat menyelesaiakan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan doa, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan.
8. Seluruh guru di Pondok Pesantren Daarussalaam, terutama kepada Abi K.H Ali Nurdin yang telah membimbing dan mendidik penulis, mudah-mudahan ilmu yang telah diberikan menjadi ilmu yang berguna dan bermanfaat bagi penulis. amin
9. Teman-teman senasib dan seperjuangan konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2006. Khususnya kepada saudara Qisty, Aniq, Amri, Zen, Lukman, Alfa, Ibnu, Yani, Vivi, Aida dan yang lainnya. Dan juga kaka dan adik kelas penulis khususnya kepada saudari Nisa dkk. Terimakasih atas bantuan dan semangatnya dalam penulisan skripsi ini, dan kebersamaan yang tercipta selama penulis belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberi warna dan memeriahkan hari-hari waktu kuliah, semoga persahabatan kita tak kan pernah memuadar walau waktu dan jarak memisahkan.
Kepada semua pihak yang telah banyak memotivasi dan memberi inspirasi kepada penulis untuk mencapai suatu cita-cita, dan yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materil. Hanya ucapan terima kasih yang penulis haturkan semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal baik disisi Allah SWT. Dan memperoleh pahala yang berlimpat ganda (amin).
(7)
Penulis meyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun perlu kiranya diberikan demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Maka akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya.
-Amin Ya Rabbal A’lamin-
Jakarta, September 2010
Penulis
(8)
(9)
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Studi Review ... 9
E. Metode Penelitian ... 11
F. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II: KETENTUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya ...17
B. Alasan-alasan Perceraian ...23
C. Perbedaan Cerai Talak dan Cerai Gugat ...25
D. Prosedur Perceraian...28
BAB III: TINJAUAN UMUM TENTANG HOMOSEKSUAL A. Pengertian Homoseksual dan Sejarahnya ... 35
B. Dasar Larangan Homoseksual Dalam al-Quran dan Hadis... 39
C. Homoseksual Menurut Ulama Fiqih ... 43
D. Homoseksual Menurut Hukum Positif... 45
(10)
vi
NOMOR 211/Pdt.G/2009/PA.JT
A. Para Pihak dan Posisi Kasus ...48
B. Pertimbangan Hukum ...53
C. Amar Putusan ...58
D. Analisis Penulis...59
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ...75
B. Saran...77
DAFTAR PUSTAKA ...79
LAMPIRAN-LAMPIRAN
(11)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan dalam bahasa arab disebut dengan al-nikah yang bermakna
al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam;u, atau ibarat an al-wath wa al-aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul, dan akad. Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama fiqh mendefinisikan perkawinan dalam konteks biologis.
Menurut Wahbah Zuhaily perkawinan ialah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wathi’ dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau persusuan.1
Pernikahan menurut hukum Islam merupakan suatu ikatan yang paling suci dan kokoh antara suami dan istri. Oleh karena itu Islam menetapkan ikatan tersebut untuk selamanya. Langgengnya pernikahan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh Islam.2Begitu juga Islam mengatur dalam masalah perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dunia dan akhirat dibawah cinta
1
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Pranada Media, 2004). Cet, 2.h,38
2
(12)
kasih dan ridho Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ar-rum ayat 21.
Perkawinan merupakan suatu cara untuk menyalurkan antara laki-laki dan wanita dan menghubungkannya sebagai suami istri. Hal tersebut merupakan suatu ikatan yang paling kuat dalam hubungan pergaulan manusia. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sabagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.3
Sabagai nagara yang berdasarkan pancasila dimana sila pertama adalah ketuhanan yang maha esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan persoalan agama dan kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mengenai unsur lahiriyah (jasmaniyah) tetapi juga menyangkut urusan batiniyah (rohaniyah) yang mempunyai peranan yang sangat penting.
Tujuan dari perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ialah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal abadi. Untuk itu suami isteri harus salin pengertian, saling Bantu membantu dan lengkap melengkapi satu sama lain, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahtraan baik spirirual maupun material. Karena tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan
3
(13)
kekal. Maka Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan menganut prinsip mempersulit terjadinya perceraian.4
Jika akad nikah telah sah dan berlaku, maka ia akan menimbulkan akibat hukum dan dengan demikian akan menimbulkan pula hak serta kewajiban selaku suami isrti.5hak-hak dan kewajiban suami istri itu memegang peranan penting dalam suatu rumah tangga. Apabila masing-masing pihak tidak dapat saling menjaga dan memeliharanya maka dapat ditunggu saat kehancurannya. Hak dan kewajiban itu dapat juga diaplikasikan sebagai berikut: hak dan kewajiban suami istri, hak dah kewajiban suami terhadap istrinya, hak dan kewajiban istri terhadap suaminya.
Perkara hak dan kewajiban ini, sungguh banyak menimbulkan masalah di tengah-tengah rumah tangga, antara lain disebabkan :
a. Suami tidak sanggup memberi nafkah lahir terhadap istrinya, seperti memberi
uang belanja sehari-hari, pakaian dan sebagainya. Pada waktu itu ada istri yang tidak saling pengertian dan tidak tabah menghadapinya serta tidak mau memikirkan kekurangan ekonomi yang telah muncul dihadapan keluarganya, akhirnya menimbulkan pertengkaran.
b. Suami mempunyai suatu penyakit yang tidak sanggup bergaul dengan istri
secara norma, suami itu impoten. Dalam hal istri tidak senang dengan keadaan suaminya seperti itu, atau istri yang tidak mampu mengendalikan daya seksnya,
4
M Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang hukum acara Perdata Pengadilan Agama, (Jakarta : Ind-Hill co, 1991), Cet Ke -2, h,179
5
(14)
timbullah krisis, karena menyalurkan seks begitu saja tanpa proses perkawinan terlarang keras dalam ajaran agama Islam.
Kedua masalah ini merupakan sebahagiaan dari kewajiban suami berupa dzahir dan bathin yang tidak sanggup diberikan kepada istrinya. Peristiwa-pristiwa ini menimbulkan pengaduan-pengaduan istri kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkaranya.6
Namun selain masalah yang terjadi seperti yang telah disebutkan diatas, fenomena yang terjadi di masyarakat bahwa tidak sedikit para istri mengeluhkan permasalahannya ke Pengadilan Agama tentang perolehan nafkah bathin. Dengan demikian, maka hal ini menjadi bukti bahwa masih banyaknya para suami tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami yakni kewajiban untuk memberikan nafkah bathin kepada istri.
Apabila hal ini terjadi, maka ini merupakan persoalan yang sangat penting karena dapat menimbulkan permasalahan yang mengakibatkan putusnya pernikahan. Dan tidak menutup kemungkinan banyak terjadinya perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu pasangannya, sehingga kehidupan keluarga tidak berjalan harmonis.
Masalah tersebut melanggar hak dan kewajiban suami istri dan juga bertentangan dengan syari’at islam, bahwa untuk menyalurkan nafsu seksuil atau kebutuhan biologis, Allah menghalalkan dengan sebuah tali perkawinan, karena nafsu seksuil hanya boleh disalurkan kepada suami dan istri yang sah. Sebagaimana firman
6
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan Karena Ketidakmampuan Suami Menunaikan Kewajibannya. (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1989), cet ke 1, h.1-2
(15)
Allah S.W.T dalam Q.S al-bagarah /2: 223 yang di dalamnya mengandung perintah untuk menggauli istri dan perintah itu ditunjukan kepada suami, maka suami wajib menggauli istrinya. Istri diibaratkan sebagai tanah tempat kamu bercocok tanam, jadi suami diperintahkan untuk menjaga tanahnya itu dengan baik.
Akan tetapi permasalahan para suami tidak mau memberikan nafkah bathin kepada istrinya juga mempunyai alasan yang berbeda-beda. Salah satu alasannya yaitu dikarenakan adanya faktor kelainan seks pada suami. Kelainan seks tersebut salah satunya yaitu suami lebih menyukai sesama jenis (homo) dari pada istrinya sendiri. Homoseksual adalah hubungan antara orang-orang yang sama kelaminnya, yaitu seorang pria dengan pria lainnya.
Dengan adanya kelainan seks tersebut, suami enggan atau tidak mau memberi nafkah bathin kepada istrinya yang disebabkan suami hanya menyukai pria lain, tidak dengan istrinya. Yang akibatnya istrinya akan menjadi korban karena suaminya tidak bisa atau tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai suami, dan istri hidup tanpa ketenangan dan kasih sayang serta ia tidak mendapatkan keturunan sekalipun ia subur.
Apabila dihubungkan dengan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan bahwa perceraian (putusnya perkawinan) diperbolehkan jika salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri.
(16)
Namun dari sumber hukum tersebut tidak ada yang menjelaskan tentang diperbolehkannya perceraian dengan alasan kelainan seksual (homoseksual). Walaupun hal ini bisa dimasukan pada pasal 116 poin e KHI, tetapi hal tersebut masih bisa diperdebatkan dan di tafsirkan lain. Karena cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan suami tidak dapat menjalankan kewajibannya bisa bermacam-macam. karena jika suami mempunyai kelainan seksual (homoseksual) bisa dijadikan alasan perceraian maka akan banyak pasangan yang mengalami perceraian. Karena perceraian dapat menimbulkan akibat hukum yang sangat besar.
Berawal dari latar belakang masalah inilah, penulis ingin sekali mengadakan penelitian yang berkenaan dengan ”Homoseksual Sebagai Alasan Perceraian (Analisis putusan No. 838/Pdt.G/2009/PA.Dpk Dan No. 211/Pdt.G/2009/PA.JT)
B. Pembatasan dan perumusan masalah
1. Pembatasan Masalah
Alasan-alasan perceraian yang diadukan ke Pengadilan Agama seperti faktor ekonomi, adanya pihak ke tiga, penganiayaan, pemabuk dan lain sebagainya, sangat mempengaruhi agar pihak yang bersangkutan dapat melakukan perceraian. Dengan banyaknya alasan-alasan perceraian tersebut, maka penulis akan membatasi pada kasus perceraian yang disebabkan suami mempunyai kelainan seksual (homoseksual) dengan lebih menyukai sesama jenis dari pada istrinya sendiri. Dan kasus-kasus
(17)
kelainan seksual yang dibahasnya adalah yang terdata di Pengadilan Agama Depok dan Pengadilan Agama Jakarta Timur.
2. Perumusan Masalah
Masalah dalam skripsi ini dapat penulis rumuskan sebagai berikut “ dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 37 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam pasal 116 tidak diatur secara ekplisit tentang perceraian akibat suami mengalami kelainan seksual (homoseksual). Tapi pada faktanya putusan cerai gugat karena alasan suami mengalami kelainan seksual (homoseksual) terjadi di Pengadilan Agama Depok dan Pengadilan Agama Jakarta Timur. Hal ini yang ingin penulis telusuri lebih dalam tentang bagaimana hakim mengambil pertimbangan keputusan dalam putusan cerai gugat karena suami mengalami kelainan seksual (homoseksual). Rumusan masalah tersebut penulis rinci dengan bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana hukum Islam dan hukum positif mengatur tentang homoseksual
sebagai alasan perceraian ?
2. Bagaimana pertimbangan hukum dan majelis hakim dalam memutuskan perkara
homoseksual sebagai alasan perceraian ?
3. Bagaimana perbandingan pertimbangan hukum antara putusan Nomor
(18)
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan beberapa permasalahan sebagi berikut :
1. Memahami bagaimana hukum Islam dan hukum positif mengatur tentang
homoseksual sebagai alasan perceraian.
2. Memahami alasan hakim dalam memutuskan perkara tersebut.
3. Memahami bagaimana perbandingan pertimbangan hukum antara putusan
Nomor 838/Pdt.G/2009/PA.Dpk Dan No. 211/Pdt.G/2009/PA.JT .
Manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Untuk penulis: memberikan wawasan kepada penulis, dalam rangka
meningkatkan disiplin ilmu, yang akan dikembangkan menjadi profesi penulis sebagai mahasiswa, sesuai dengan bidang studi yang merupakan mata kuliah pokok dan sebagai ilmu yang dimiliki penulis yang akan diperdalam lebih lanjut melalui studi-studi lain yang serupa dengan disiplin ilmu tersebut.
b. Untuk kalangan akademis: seperti mahasiswa dan para pengamat akademis
dengan adanya skripsi ini yang menyajikan wacana pemikiran, dan juga biasa dijadikan informasi untuk dibahas lebih lanjut dan bahan untuk didiskusikan.
c. Untuk ilmu pengetahuan: memberikan sumbangan khususnya bidang Ilmu Fiqh
Munakahat sehingga mngetahui tantang pandangan Hukum Islam mengenai homoseksual sebagai sebab pengajuan perceraian di Pengadilan Agama.
(19)
D. Review Studi Terdahulu
Untuk menemukan pembahasan dalam penulisan skripsi ini penulis menelaah literatur yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis kemukakan dalam penulisan skripsi ini :
1. Agustina, Perceraian akibat suami impoten (studi terhadap persepsi karyawati
fakultas syariah dan hukum).7 Skripsi ini menjelaskan mengenai perceraian akibat impoten yang didalamnya mencakup tentang tinjauan perceraian dalam Islam yang mencakup pengertian perceraian, bentuk dan akibat perceraian, dan dalam skripsi ini menjelaskan tentang tinjauan impotensi terhadap keutuhan rumah tangga dan pandangan Hukum Islam tentang suami impoten terhadap keutuhan rumah tangga. Sedangkan skripsi ini membahas tentang
Perbedaan skripsi diatas dengan skripsi yang penulis bahas adalah dalam skripsi ini penulis membahas dan meneliti khusus perceraian akibat kelainan seksual (homoseksual), yang menjadi pembahasan antara lain : Skripsi ini menjelaskan tentang cerai gugat yang dilayangkan istri akibat suami mengalami kelainan seksual (homoseksual).dan juga skripsi ini menganalisis putusan Pengadilan Agama Depok dengan Pengadilan Agama Jakarta Timur yang berkaitan tentang perceraian akibat kelainan seksual (homoseksual) dan membandingkan antara pertimbangan hukum kedua putusan tersebut.
7
Agustina, Perceraian akibat suami impoten (studi terhadap persepsi karyawati fakultas syariah dan hukum), Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h.8
(20)
2. Ahmad Madroji, Cerai gugat menurut hukum Islam dan hukum positif (studi kasus cerai gugat karena cacat badan di Pengadilan Agama Jakarta timur).8 Skripsi ini menjelaskan mengenai ketetapan hukum tentang cerai gugat karena cacat badan menurut hukum Islam dan hukum positif. Dalam kesimpulan skripsi ini, seorang istri mempunyai hak menggugat suaminya dengan pertimbangan agar istri tercegah dari perbuatan maksiat karena suami tidak bisa menjalankan kewajibannya.
Perbedaan skripsi diatas dengan skripsi yang penulis bahas adalah dalam skripsi ini penulis membahas dan meneliti khusus perceraian akibat kelainan seksual (homoseksual), yang menjadi pembahasan antara lain : Skripsi ini menjelaskan tentang cerai gugat yang dilayangkan istri akibat suami mengalami kelainan seksual (homoseksual).dan juga skripsi ini menganalisis putusan Pengadilan Agama Depok dengan Pengadilan Agama Jakarta Timur yang berkaitan tentang perceraian akibat kelainan seksual (homoseksual) dan membandingkan antara pertimbangan hukum kedua putusan tersebut.
3. Gufron Tamim (Tinjauan hukum Islam dan hukum positif terhadap impotensi
sebagai alasan perceraian).9 skripsi ini menjelaskan mengenai perceraian yang
diakibatkan karena impotensi yang didalamnya mencakup mengenai pengertian perceraian, perceraian menurut hukum Islam dan hukum positif, pengertian umum
8
Ahmad Madroji, Cerai Gugat Menurut Hukum Islam dan hukum Positif (Studi kasus Cerai Gugat Karena Cacat Badan di Pengadilan Agama Jakarta Timur), Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h.6
9
Gufron Tamim (Tinjauan hukum Islam dan hukum positif terhadap impotensi sebagai alasan perceraian). Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h.6
(21)
mengenai impotensi dalam hubungan rumah tangga. Dan yang terakhir tinjauan hukum islam dan hukum positif tentang impotensi sebagai alasan perceraian. Dalam penulisannya skripsi ini menggunakan studi pustaka.
Perbedaan skripsi diatas dengan skripsi yang penulis bahas adalah dalam skripsi ini penulis membahas dan meneliti khusus perceraian akibat kelainan seksual (homoseksual), yang menjadi pembahasan antara lain : Skripsi ini menjelaskan tentang cerai gugat yang dilayangkan istri akibat suami mengalami kelainan seksual (homoseksual).dan juga skripsi ini menganalisis putusan Pengadilan Agama Depok dengan Pengadilan Agama Jakarta Timur yang berkaitan tentang perceraian akibat kelainan seksual (homoseksual) dan membandingkan antara pertimbangan hukum kedua putusan tersebut.
E. Metode Penelitian
Metode yang penulis tempuh dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Metode Penelitian dan Pendekatan
Dari segi metode penelitian hukum, dengan melihat objek pembahasan ini tertuju pada penelitian suatu putusan Pengadilan, maka kajian ini termasuk pada penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.10
(22)
Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriftif analitis yang dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Metode deskriftif analitis yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan dilapangan. Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriftif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang atau prilaku yang di teliti.11
Dalam kaitannya dengan penelitian hukum normatif dapat digunakan beberapa pendekatan yang bisa membantu penulis dalam menganalisis putusan Pengadilan, yakni: pendekatan konseptual (conceptual approach), juga pendekatan perbandingan (Comparative Approach), dan pendekatan ushuliyah.
Maksud masing-masing pendekatan tersebut secara operasional adalah :
a. Pendekatan konseptual (Conceptual Approach), pendekatan ini digunakan manakala
peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada, hal ini dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang peneliti hadapi.12
b. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach), pendekatan ini digunakan untuk
membandingkan suatu putusan Pengadilan yang satu dengan putusan Pengadilan yang lainnya untuk masalah yang sama.13
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta : CV Rajawali, 1985), h.14.
11
Sudarman Damin, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2002) Cet. Pertama, h. 51
12
Ibid, h.137
13
(23)
c. Pendekatan ushuliyah, yang menjadi objek pada penelitian ini adalah asas-asas, doktrin, konsep, sistematika, dan substansi hukum Islam yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah S.A.W. baik menurut aliran klasik maupun kontemporer.14
2. Alat Pengumpul Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat pengumpul data sebagai berikut:
a. Sumber hukum, yang terdiri dari sumber hukum primer dan bahan hukum
skunder. Bahan hukum primer15 yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.
Dalam hal ini berupa berkas putusan perkara perceraian di Pengadilan Agama Depok dan Jakarta Timur yang berkaitan dengan isu yang peneliti hadapi dan telah berkekuatan hukum tetap (BHT), dan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan bahan hukum sekundernya16 adalah bahan-bahan hukum lain yang
mendukung dan memperjelas bahan hukum primer.
b. Wawancara, yaitu tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung
bertatap muka dengan orang yang diwawancara, 17yaitu antara pewawancara
14
Didin Seapuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005) cet.I hal.53
15
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum,(Jakarta: Raja Grafindo, 2003) cet.6 h.113
16
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum .h. 114
17
Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001) cet.3 h.23
(24)
dengan pihak yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini, seperti Hakim Pengadilan Agama Depok dan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur yang bertujuan untuk mendapatkan data dari tangan pertama (primer).
3. Alat Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian di olah, dianalisis, dan diberikan interpretasi untuk dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Dan juga di bandingkan, yang mana dari perbandingan tersebut dapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan dari kedua Pengadilan yang penulis teliti.18 Data yang diperoleh dari hasil kajian hukum, dalam kaitan ini berupa berkas putusan perkara perceraian di Pengadilan Agama Depok dan Pengadilan Agama Jakarta Timur yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT), dan peraturan perundang-undangan, akan ditinjau lebih jauh untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dengan didukung oleh referensi-referensi lain yang memperkuat data yang diperoleh dari bahan hukum diatas.
Kajian terhadap bahan-bahan hukum tersebut bertujuan untuk memperoleh data-data yang diperlukan, sehingga dapat menjawab rumusan masalah penelitian ini, khususnya yang menyangkut rumusan mengenai homoseksual sebagai alasan perceraian.
18
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007) cet.3 h.313
(25)
Sedangkan pengolahan data yang diperoleh dari hasil wawancara dilakukan dengan cara: pertama, mengedit (editing) data yaitu memeriksa data yang
terkumpul19, apakah jawaban-jawaban dari pertanyaan yang diajukan dalam
wawancara sudah sesuai belum dengan yang ditunjukan, jawaban yang dianggap lengkap dan yang belum atau tidak menjawab di pisahkan. Kedua, mengklasifikasikan data yaitu mengelompokan data berdasarkan masing-masing permasalahan yang dirumuskan.
4. Tehnik Penulisan Data
Sesuai dengan buku PPS (pedoman penulisan sekripsi) yang diterbitkan oleh fakultas syariah dan hukum tahun 2007. Dengan pengucualian : penulisan terjemah Al-Qur’an dan Hadist ditulis satu spasi, dalam daftar pustaka Al-Qur’an di tulis di awal.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan sekripsi ini terdiri dari lima bab yang meliputi sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN; Membahas tentang masalah yang melatar belakangi
skripsi ini yang meliputi ; Latar belakang masalah, Pembatasan dan Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat penelitian, Metode penelitian serta Sistematika penulisan.
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986) cet.3 h.264
(26)
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PERCERAIAN; Membahas tantang pengertian dan Dasar hukum perceraian, Sebab-sebab terjadinya perceraian, Perbedaan cerai talak dan cerai gugat, Prosedur perceraian.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HOMOSEKSUAL ; Membahas
tentang pengertian Homoseksual dan Sejarahnya, Dasar Larangan Homoseksual Dalam al-Quran dan Hadis, Homoseksual Menurut Ulama Fiqh dan Hukum Positif
BAB IV ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK NO.
838/Pdt.G/2009/PA.Dpk DAN JAKARTA TIMUR NO. 211/Pdt.G/2009/PA.JT :
Para pihak dan Posisi kasus, Pertimbangan hukum, Amar putusan, Analisa penulis
BAB V PENUTUP; yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran, penulis
juga melampirkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang dianggap penting
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
(27)
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya
1. Pengertian Perceraian
Secara harfiyah talak itu berarti lepas dan bebas. Dalam mengemukakan arti talak secara terminologi kelihatannya ulama mengemukakan essensinya sama.20ta’rif talak menurut bahasa Arab mempunyai arti melepaskan ikatan, dan yang dimaksud disini adalah melepaskan ikatan perkawinan.21
KHI mendefinisikan talak sebagai ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 13122
Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diutamakan dalam Islam. Akad nikah diadakan untuk rumah tangga sebagai tempat berlindung, menikmati curahan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya sehingga mereka tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ikatan antara suami istri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh, sehingga tidak ada suatu dalil yang lebih jelas menunjukan tentang kesuciannya yang begitu
20
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet.1, h.125
21
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyya, 1976), cet.6, hal.376
22
(28)
agung selain Allah sendiri yang menamakan ikatan perjanjian antara suami istri dengan kalimat mitsaqan ghaliza “perjanjian yang kokoh”.23
Sebagaimana disebutkan oleh Allah SWT, dalam fimannya:
... ⌧
) ءﺎ اةرﻮ :
( Artinya:
“...Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat” . (an-Nisa :21).
Dari ayat diatas bisa kita menilai bahwa begitu kuat dan kokohnya hubungan antara suami istri, maka tidak sepatutnya apabila hubungan tersebut dirusak dan disepelekan. Karena setiap usaha untuk menyepelekan hubungan pernikahan sangat di benci oleh Islam. Hal tersebut sama saja merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara hubungan suami istri.
Oleh karena itu, apabila terjadi perselisihan antara suami istri, sebaiknya diselesaikan sedini mungkin agar tidak terjadi suatu masalah yang sangat besar, yang memungkinkanya terjadi perceraian. Karena bagaimanapun baik suami maupun istri sama sekali tidak menginginkan hal itu terjadi.
Adanya khitbah pada umumnya hanya merupakan penilaian jasmani semata, sehingga tidak aneh jika cacat yang dimiliki oleh suami atau istri baru di ketahui setelah pernikahan. Hal ini karena hampir tidak ada orang yang secara jujur
23
A. Rahman, I, Doi. Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada) Cet. I, hal. 303
(29)
menyebutkan tentang kekurangan dirinya terhadap calon pasangannya, bahkan yang lebih banyak terjadi bahkan sebaliknya, apabila kalau sudah timbul rasa cinta yang dilihat hanyalah yang baiknya saja.
Kenyataan-kenyataan seperti itu sangat mengancam keselamatan pernikahan. Bila talak dibolehkan, hal itu akan membahayakan kedua belah pihak, namun lebih berbahaya lagi apabila talak di bebaskan begitu saja.24
Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan. Konsekuensinya ia dapat lepas dengan lafaz tertentu yang kemudian disebut dengan talak. Karma makna dasar dari talak adalah melepaskan ikatan atau melepaskan perjanjian. Misalnya saja seorang suami berkata kepada istrinya “engkau telah ku talak”, dengan ucapan ini ikatan pernikahan menjadi lepas.25
Ulama fiqh berpendapat bahwa talak adalah melepaskan ikatan (hall al-aqid) atau biasa juga disebut pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.26
Sayyid sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dengan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Rumah Tangga Dalam Islam. (Jakarta: Prenada Media, 2003), h
Abdurrahman Al-jaziri, kitab al-fiqh ‘ala mazahib al-Arba’ah, juz IV, (Kairo: Dar al-fikr, t.t), h.27
24 al. 45
25
Muhammad Rifa’I, Fiqh Islam, (Semarang: PT. Thoha Karya Putra, 1978), h.48
26 8
(30)
sendiri.27 Definisi yang agak panjang dapat dilihat dalam kitab kifayat al-akhyar yang menjelaskan talak adalah lafaz jahiliyah yang setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak itu berdasarkan al-kitab, hadis, ijma ahli agama dan ahli sunnah.28
Dari berbagai penjelasan diatas, Islam datang dengan konsep pokok sebagai berikut:29
a. Talak tetap ada di tangan suami sebab suami mempunyai sikap rasional, sedang
istri bersifat emosional.
b. Talak dijatuhkan oleh suami atau pihak lain atas nama suami, seperti Pengadilan Agama.
c. Istri berhak mengajukan talak kepada suami dengan alasan-alasan tertentu lewat qadi (Pengadilan Agama).
d. Talak bisa kembali lagi antara kedua suami istri sesuai dengan ketentuan agama. e. Bagi mantan istri ada masa iddah dan memiliki hak menerima mut’at dan nafkah
dari mantan suami.
Kemungkinan putusnya perkawinan karena tiga hal yaitu30: kematian,
perceraian, dan keputusan Pengadilan. Putusnya perkawinan selai cerai mati terjadi karena cerai talak dan gugat cerai (pasal 114 KHI: putusnya perkawinan yang
27
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz II, (Beirut: Dar el-fikr, 1983), h. 206 28
Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, juz II, (Bandung: Al-Ma’arif, t. th), h.84
29
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 1999), h.16
30
Pasal 113 : Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan. (KHI) dan pasal 38 UU No. 1/ 1974.
(31)
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian). Ada tiga hal yang perlu diketahui dalam hal yang berhubungan dengan
anya mungkin kalau suami dan istri tidak rukun lagi
dan terhitung
c. Pu
onan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak”.
dan tentunya lasan yang dibenarkan oleh undang-undang.
putusnya perkawinan itu, yakni:
a. Terjadinya perceraian h
dalam berumah tangga.
b. Perceraian hanya dapat di lakukan di depan sidang Pengadilan
sejak perceraian dinyatakan di depan sidang Pengadilan Agama.31 tusnya perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai.
Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai
(talak) harus disampaikan di hadapan sidang Pengadilan Agama.32 Tampaknya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti yang terdapat pada pasal 66 ayat (1) yang berbunyi :”seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permoh
Dari penjelasan diatas jelas sekali bahwa didalam perundang-undangan yang berlaku, telah diatur bagi siapa saja yang ingin mengajukan talak dapat mengajukan permohonannya ke Pengadilan Agama baik lisan maupun tulisan,
dibarengi dengan alasan-a
31
Pasal 123 KHI dan pembahasan dalam pasal 39 UU No. 1/1974 tentang perkawinan.
32
Pasal 115 KHI: “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”
(32)
2. Dasar Hukum Talak
Dasar hukum talak seperti yang penulis telah cantumkan diatas ialah firman
⌧
amu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterim
dati perceraian itu sangat dibenci Allah SWT.33 Sebagai dasar
ﺮ
ا
و
لﺎ
:
أ
ا
ل
إ
ﻰ
ﷲا
)
ر
وا
أ
ﻮ
د
وا
د
و
ا
آﺎ
و
(
34za Wazalla adalah talak”. (H.R. Abu Daud dan Hakim, dan disahkan olehnya)
Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 21, yaitu:
⌧
Artinya:
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian k u) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.” (an-Nisa :21)
Agama Islam membolehkan suami istri bercerai, namun harus dengan alasan-alasan tertentu, ken
hukum dari hadis :
ا
ﷲا
ﻰ
ﻄ ا
ق
.
Artinya :“Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, perbuatan halal yang dibenci Allah Az
33
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet.ke-2, h.102
34
(33)
Siapapun orangnya yang akan merusak hubungan suami istri, dia tidak mempunyai tempat terhormat dalam Islam. Demikian dijelaskan dalam sebuah hadis Nabi SAW35:
ﺪ
ﺎ
ا
,
زﺎ
ﺪ
ا
بﺎ
,
ﺎ
ﺮ
ر
ز
,
ﷲا
ﺪ
ﻰ
,
ﻜ
ﺮ
ﺔ
,
ﻰ
ﺮ
,
أ
ه
ﺮ
ﺮ
ة
,
لﺎ
ر
ﻮ
ل
ﷲا
ﻰ
و
:
ﺎ
ا
ﺮ
أة
ﻰ
ز
و
ﻬﺎ
,
او
ﺪ
ا
ﻰ
ﺪ
.
36Artinya:
“Kami telah menceritakan kepada Husain bin Ali dari Zaid bin hibab dari Umar bin Raziq dari Abdullah bin Isa dari Mukarramah dari Yahya bin Umar dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,”bukan dari golongan kami, seseorang yang merusak hubungan seorang perempuan dari suaminya”.(H.R. Abu Daud dan Nasa’i)
B. Alasan-Alasan Perceraian
Yang dimaksud dengan alasan perceraian disini adalah suatu kondisi dimana suami atau istri mempergunakannya sebagai alasan untuk mengakhiri atau memutuskan tali perkawinan mereka.
Di Indonesia dalam hal masalah perceraian telah diatur dalam rangkaian undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dan sebagai warga Negara Indonesia sudah septutnya kita harus menaati dan menjalankan peraturan yang ada. Pada pasal 39 ayat 1 menerangkan bahwa “ perceraian hanya dapat dilakukan di
35
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat II, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 1999), h.10-11
36
Imam Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Daar al-Fikr, t.th. Juz ke-II, h. 204).
(34)
depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Dalam hal terjadinya perceraian haruslah memenuhi beberapa alasan-alasan perceraian. Sehingga perceraian tersebut dapat terlaksana, hal ini sesuai dengan pasal 39 ayat 2 undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:” untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri”. Didalam muatan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menerangkan bahwa alasan-alasan perceraian yang dinyatakan pada pasal 19 sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atu menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
(35)
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Sedangkan didalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelasakan hal tambahan dua point dalam penyempurnaan yaitu, perceraian dapat terjadi karena:
a. Salah satu pihak berbuat zina atu menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik-talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.
(36)
Cerai talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan atau perceraian yang dilakukan atas kehendak suami. Sebagaimna terdapat dalam undang-undang Peradilan Agama No.7 tahun 1989 pada pasal 66 ayat (1) seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna melaksanakan ikrar talak.37
Sedang dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 117 yaitu talak ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal (129),(130) dan (131). Cerai talak ini hanya dapat dilakukan oleh suami, karena suamilah yang berhak untuk mentalak isrinya. Sedangkan istri tidak berhak mentalak suaminya. Bagi suami yang mengajukan talak maka suami harus melangkapi persyaratan administrasi sebagai berikut:
1. kartu tanda penduduk
2. Surat keterangan untuk talak dari Kepala Desa/Lurah
3. Kutipan akta nikah (model NA)
4. Membayar uang muka biaya perkara
5. Surat izin talak dari atasan atau kesatuan bagi pegawai negeri sipil atau anggota TNI/Polri.38
37
Artiket diakses pada 27 april 2010 http://www.legalitas.org
38
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administarsi Pernikahan dan Menajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), hal.66
(37)
Sedangkan cerai gugat adalah perceraiana yang dilakukan atas kehendak istri, hal ini diatur dalam undang No.3 tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 73 ayat (1) gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. Dalam Kompilasi Hukum Islam cerai gugat juga diatur pada pasal 132 ayat (1) yaitu: gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan kediaman bersama tanpa izin suami.
Perkara cerai gugat, seorang istri diberikan suatu hak gugat untuk bercerai dari suaminya, karena dalam cerai talak haknya hanya dimiliki oleh suami. Akan tetapi, bukan berarti cerai talak hanya mutlak milik suami karena apabila suami melanggar alasan-alasan perceraian yang tercantum dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Maka istri berhak mengajukan cerai gugat. Dengan demikian masing-masing pihak telah mempunyai jalur tertentu dalam upaya menentukan perceraian.39
39
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI,(Jakarta:Kencana,2004),cet. 1, hal. 232
(38)
Hukum Islam juga tidak mengenal istilah cerai gugat karena cerai gugat hanyalah istilah hukum yang digunakan dalam hukum acara di Indonesia. Akan tetapi dalam hukum Islam mengenal khulu, yang mempunyai kesamaan dengan cerai gugat dan tetap ada perbedaannya yaitu juga dalam khulu itu ada iwadl yang harus dibayar oleh istri, dan yang mengucapkan kalimat perceraian (talak) adalah suami setelah adanya pembayaran iwadl tersebut. Sedangkan cerai gugat tidak ada pembayaran iwadl serta yang memutuskan perceraian adalah hakim.40
Selain itu dalam cerai talak apabila suami ingin mengajukan ikrar talak, suami tidak mengajukan gugatan melainkan mengajukan permohonan kepada istri, karena dalam Islam istri meminta izin untuk mengucapkan ikrar talak di Pengadilan Agama. Karena talak itu ada di tangan suami. Berbeda dengan cerai gugat yaitu istri harus meminta cerai dulu kepada suami, karena dalam Islam istri tidak punya hak untuk menceraikan suami serta mengembalikan iwadl kepada suami, hal inilah yang menjadi perbedaan antara cerai tlk dan cerai gugat. Perkara cerai gugat, juga ada persyaratan administrasi yang harus dilengkapi dalam mengajukan gugatan cerai sebagai berikut:
1. kartu tanda penduduk
2. Surat keterangan untuk talak dari Kepala Desa/Lurah
3. Kutipan akta nikah (model NA)
4. Membayar uang muka biaya perkara
40
M. Yasir Arafat, Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hal. 16
(39)
5. Surat izin talak dari atasan atau kesatuan bagi pegawai negeri sipil atau anggota TNI/Polri.41
D. Prosedur Perceraian
Pemeriksaan sengketa perkawinan dan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian terbagi dua, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Yang dimaksud cerai talak adalah perceraian yang terjadi kerena talak suami kepada istrinya. Sedangkan yang dimaksud gugat cerai adalah permohonan perceraian yang diajukan oleh pihak istri melalui gugatan.
Awal surat gugatan atau permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan ke panitraan Pengadilan Agama ( surat gugatan diajukan pada sub kepanitraan gugatan sedangkan permohonan pada sub kepanitraan permohonan). Undang-undang membedakan antara perceraian atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak istri. Hal ini kerena karakteristik Hukum Islam dalam perceraian
memang menghendaki demikian.42
Sebelum perkara terdaftar dikepanitraan, panitra melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap kelengkapan berkas perkara ( penelitian terhadap bentuk dari isi gugatan permohonan) sudah dilakukan sebelum perkara di daftarkan. Misalnya dalam membuat surat gugatan, kepanitraan dibolehkan memberikan arahan pada
41
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administarsi Pernikahan dan Menajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), hal.66
42
(40)
penggugat apabila dalam gugatan yang dibuat tidak sesuai. Apabila terjadi kesalahan dalam gugatan atau permohonan maka tidak boleh didaftarkan sebelum petita dan positanya jelas, seperti ada petita namun tidak didukung oleh posita berarti gugatan atau permohonan tidak jelas.
Jika hal tersebut terjadi maka gugatan atau permohonan tersebut terlebih dahulu harus diperbaiki, panitra sebagai pihak yang mempunyai otoritas dalam meneliti berkas gugatan atau permohonan sebaliknya melakukan penelitian tersebut disertai dengan membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara, lalu berkas perkara beserta resume tersebut diserahkan kepada Ketua Pengadilan ( dengan buku ekspedisi lokal sebenarnya). Dengan disertai saran tidak misalnya berbunyi “ syarat-syarat cukup siap untuk disidangkan”. 43
Kemudian penggugat atau pemohon kemeja I untuk menaksir besarnya biaya perkara dan menulisnya pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan pasal 193 Rbg / pasal 128 ayat (1) HIR / pasal 90 ayat (1) Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yang meliputi:
a. Biaya kepanitraan dan biaya materai
b. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah c. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain
43
Raihan A Rasyid,Hukum Acara Peradialan Agama, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001),ed.ke-2,cet.ke-8,h.129
(41)
d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.44
Ketentuan diatas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan diizinkan untuk mengajukan gugatan perkara secara prodeo ( Cuma-cuma). Ketidak mampuannya dapat dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat. Setelah itu, penggugat atau pemohon menghadap ke meja II dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan dan Suarat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang telah dibayar. Setelah selesai, kemudian surat gugatan/permohonan tersebut dimasukan dalam map berkas acara, kemudian menyerahkannya pada Wakil Panitra untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitra.45
Setelah terdaftar, gugatan diberi nomer perkara kemudian diajukan kepada Ketua Pengadilan, setelah Ketua Pengadilan menerima gugatan maka ia menunjuk hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada perinsipnya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh hakim maka ketua menunjuk seorang hakim sebagai ketua majlis dan dibantu dua orang hakim anggota.46
44
Pasal 90 ayat (1), Undang-undang No.3 tahun 2006 perubahan Undang-uandang No.7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama,h.74
45
M. Fauzan, Pokok-pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2004), Cet.ke-2, h.14
46
R. Soeroso, Peraktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika,2004), Cet.ke-6, h.39
(42)
Setelah itu hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapannya dapat menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan, ketua majlis memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir dalam persidangan. Pasal
121 HIR,47 untuk Membantu Majlis Hakim dalam menyelesaikan perkara, maka
ditunjuk seorang atau lebih panitra sidang dalam hal ini panitra, wakil panitra, panitra muda dan panitra pengganti.48
Tatacara pemanggilan dimana harus secara resmi dan patut, yaitu:
a. Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi yang dipanggil ditempat tinggalnya;
b. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada Kepala Desa dimana ia tinggal;
c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli
warisnya;
d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah ( tanda
bukti bahwa para pihak telah dipanggil ) kepada hakim yang akan memeriksa perkara yang bersangkutan;
e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai.49
Sedangkan proses pemeriksaan perkara didepan sidang dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata sebagaimana yang telah tertera dalam
47
M. FAuzan, Pokok-pokok Acara Peradilan Agama, h.13 48
A. Basiq Djalil, Peradialan Agama Di Indonesia,( Jakarta: Kencana, 2006), cet.ke-1,h.214
49
(43)
Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 perubahan dari Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama pasal 5450:
“Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.
Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum, dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini hanya bersifat cecking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Pada upaya perdamaian, inisiatif perdamaian dapat timbul dari hakim. Penggugat ataupun tergugat. Hakim harus sungguh-sungguh mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya perdamaian yang dilakukan tidak berhasil, maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum dilanjutkan ketahap pemeriksaan.diawali membaca surat gugatan.51
Selanjutnya pada tahap dari tergugat, pihak tergugat diberikan kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat melalui Hakim. Pada tahap replik penggugat kembali menegaskan isi gugatannya yang dilakukan oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas
50
A. Basiq Djalil,Peradilan Agama Di Indonesia,h.202-203
51
(44)
sanggahan yang disangkal tergugat. Kemudian pada tahap duplik, tergugat dapat menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat.52
Tahap Replik Duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat memandang cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap pembuktian, penggugat dan tergugat mengajukan semua alat-alat bukti yang dimiliki untuk mendukung jawabannya ( sanggahan ), masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak lawannya.
Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan, hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan menyimpulakan dalam putusan dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa.53
52
R. Soeroso, Peraktik Hukum Acara Perdata.,h.43
53
(45)
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG HOMOSEKSUAL
A. Pengertian Homoseksual dan Sejarahnya
Secara terminologi, homoseks mempunyai arti memiliki kelainan yang sama. Sedangkan secara etimologi, berarti ketertarikan seksual untuk mengadakan hubungan seks dengan yang berjenis kelamin sama, baik laki-laki dengan laki-laki
ataupun perempuan dengan perempuan.54
Homoseks bukanlah hal yang baru, karena sejak zaman Nabi Luth sekitar tahun 2245 SM kasus seperti ini sudah ada. Oleh sebab itu, homoseks dalam istilah
Arab dikenal dengan istilah Liwath yang dinisbatkan kepada perbuatan kaum Nabi
Luth. Luth adalah Nabi dan Rasul Allah, menurut riwayat Luth adalah putra Harun (bukan Nabi Harun) yang bersaudara dengan Ibrahim, Nabi Luth setelah pernah
54
Ali bin Abdul aziz Musa, Kekejian Perilaku Kaum Nabi Luth, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h.5
(46)
berada di Mesir bersama Ibrahim, menetap di Negeri Sodum (Sodom), dengan berada di sekitar Ordon atau Yordan sekarang. 55
Menurut bahasa Liwath itu berarti homoseksual atau sodomi.56 Dan menurut istilah fiqih pun dikatakan bahwa Liwat itu ialah sejenis persetubuhan oleh laki-laki terhadap laki-laki (lain) melalui dubur (anus/ jalan belakang)57
Dalam bukunya Anang Zamroni dan ma’ruf Ansori yang berjudul Bimbingan
Seks Islami dijelaskan bahwa pada awalnya kaum Nabi Luth menyetubuhi wanita melalui duburnya, dan lama-kelamaan hal itu juga dilakukan terhadap kaum lelaki dan dikenal dengan istilah sodomi.58
Dalam Ensiklopedi Indonesia, istilah homoseks menunjukan adanya gejala dorongan seksual dan tingkah laku homoseks terhadap orang lain dari kelamin
sejenis. Menurut Marzuki Umar Sa’abah dalam Seks dan Kita menuturkan bahwa
homoseks adalah rasa tertarik dan mencintai sesama jenis. Untuk kaum pria dikenal
sebagai kaum gay, sedangkan untuk perempuan dikenal sebagai kaum lesbi.59
Dengan demikian mereka yang mempunyai kelainan seperti itu, secara tidak sadar
55
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992) h.581
56
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996) Cet.1 hal. 1566
57
M. Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), Cet.2 Hal. 176 58
Anang Zamroni dan Ma’ruf Ansori, Bimbingan Seks Islami, (Jakarta: Pustaka Anda, 1997), h.183
59
(47)
identita
ubungan kelamin dengan sesama lelaki, tidak d
uth mempunyai kekuatan atau dapat berlindung kepada keluarga kuat, te
terjadi di permukaan bumi
s diri mereka telah bertentangan dengan identitas social di suatu komunitas masyarakat.
Mereka didorong oleh hawa nafsu yang jahat untuk melakukan perbuatan-perbuatan keji dan sangat dicela oleh tabi’at manusia dan tentu saja oleh agama. Perilaku keji tersebut adalah mengadakan h
engan wanita dan mereka secara terang-terangan mengadakan berbagai kemungkaran di setiap balai pertemuannya.
Kaum Luth yang sudah biasa mengerjakan hubungan kelamin sesama jenis, bergegas datang menghampiri tamu-tamu itu (para malaikat yang menyerupai pemuda tampan) untuk melaksanakan perbuatan yang keji, namun Nabi Luth berusaha untuk memalingkan kejahatan mereka dengan menawarkan puteri-puterinya dan gadis-gadis kaumnya untuk dinikahi, akan tetapi mereka tetap menolak. Seandainya Nabi L
ntu beliau tidak ragu-ragu untuk bertindak menghalangi perbuatan kaumnya yang terkutuk itu.
Negeri Sodom yang dihuni oleh kaum Nabi Luth itu dihancurkan oleh hujan batu-batu yang berasal dari tanah yang terbakar hangus lalu jatuh kepada mereka secara bertubi-tubi. Oleh karena itu, setiap malapetaka yang
janganlah dipandang hanya bencana alam saja, akan tetapi benar-benar merupakan peringatan dari Allah kepada setiap penghuni bumi.
Dalam tafsir Al-Maraghi dijelaskan bahwa sesungguhnya Luth telah
(48)
mereka kawini, sehingga Luth berusaha menawarkan puteri-puterinya untuk mereka nikahi, namun tetap saja mereka menolak karena tidak ada hasrat sedikitpun terhadap wanita.
ng perempuan kafir dan pengkh
pada mereka dengan menghancurkan negerinya hingga
Yang menimbulkan hasrat dan birahi mereka justru adalah sesama jenis bukan lawan jenis seperti manusia pada umumnya.60
Dalam kitab Lubab tafsir Min Ibnu Katsir dijelaskan bahwa para malaikat berkata kepada Luth setelah mereka melihat kesusahan yang dilalui oleh Luth karena perbuatan kaumnya. Malaikat berkata kepada Luth,” Sesungguhnya kami adalah utusan-utusan tuhanmu, kami diutus untuk membinasakna mereka dan menyelamatkan kamu dari keburukan mereka. Oleh karena itu Luth diperintahkan untuk segera meninggalkan kampungnya bersama keluarganya untuk mencapai perbatasan kampong pada malam hari. Dari salah satu keluarganya, yaitu istri Luth sendiri cendrung kepada kaumnya, karena ia merupakan seora
ianat, sesungguhnya perempuan itu akan ditimpa azab yang setimpal dengan kaumnya itu, oleh sebab itu kebinasaan akan terjadi padanya.
Dengan demikian, Allah memerintahkan Luth untuk meninggalkan kampungnya itu dengan secepatnya, karena saat untuk dijanjikan penyiksaan mereka adalah pada waktu subuh. Karena diwaktu itulah mereka telah berkumpul seluruhnya dirumah masing-masing, sehingga tidak aka nada seorang pun yang lolos. Saat itulah Allah menurunkan azab ke
60
(49)
jungkir
ereka yang sakit, mereka juga selalu dihemb
al dengan kedurhakaan mereka. elampiasan syahwat dilakukan dengan lawan jeni
B.
arang dan mengharamkan perbuatan dan prilaku homoseks yang menyebutkan keharaman homoseks antara lain: 63
balik, lalu Allah menghujani mereka dengan hujan batu yang bercampur tanah secara bertubi-tubi.61
Pada dasarnya mereka itu tidak menikmati dan tidak pernah merasakan kenikmatan atas apa yang mereka lakukan, apalagi untuk kepuasan syahwat. Selain karena akal mereka telah rusak, dan hati m
usi oleh setan dan hal-hal yang seolah-olah menyenangkan, padahal sesungguhnya hanyalah tipu daya belaka.62
Itulah gambaran kehancuran akan azab Allah yang diberikan kepada kaum Nabi Luth, dan merupakan sanksi yang setimp
Bukankah mereka juga memutarbalikan fitrah, seharusnya p s bukan sesama jenis.
Dasar Larangan Homoseksual Dalam al-Quran dan Hadis
Dalam banyak ayat yang terdapat dalam al-Quran dan juga Hadis dengan jelas dan gamblang Allah mel
dengan bentuk dan kondisi apapun. Ayat-ayat
1. Surat al-A’raf ayat 80-81 yang berbunyi:
61
Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) vol.5 h.308
62
Utsman At-Thawil, Ajaran Islam tentang Fenomena Seksual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h.75
63
Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta 1992), Cet.1 h.40-41
(50)
rbuatan faahisyah itu, yang belummu?"
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka),
☺
⌧
manusia,
Artinya:
"Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala Dia berkata ke ada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan pep
belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) se
bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas". (al-A’raf ayat 80-81)
2. Surat as-Syua’ra ayat 165-166 yang berbunyi:
Artinya:
"Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara
Dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas". (as-Syua’ra ayat 165-166)
3. Surat Hud ayat 79-82 yang berbunyi:
⌧
(51)
⌧
⌧
☺
tu subuh; Bukankah subuh itu sudah
perbuatan atau prilaku homoseksual dalam bentuk atau kondisi apapun, Hadis yang menye
Artinya:
Mereka menjawab: "Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa Kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan Sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya Kami kehendaki."
Luth berkata: "Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)."
Para utusan (malaikat) berkata: "Hai Luth, Sesungguhnya Kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu Pergilah dengan membawa keluarga dan Pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya Dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena Sesungguhnya
aat jatuhnya azab kepada mereka ialah di wak s
dekat?".
Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi. (Hud ayat 79-82)
Dan juga terdapat di dalam Hadis yang menjelaskan tentang haramnya
butkan keharaman homoseks antara lain:64
64
Abdur Rahman I.Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakarta, Rineka cipta, 1992) cet. Pertama h.40-41
(52)
ﺎ ﺪ
ﻮ أ
ﺮﻜ
دﺎ
هﺎ ا
ﺎ ﺪ
ﺪ ﺎ
ثرﺎ ا
ﺎ ﺪ
ﺔ
ةدﺎ
ﺔ ﺮﻜ
ا
سﺎ
لﺎ
ر
ﻮ
ل
ﷲا
ﷲا
ﻰ
و
:
ا
ر
ﺔ
ﻮ
ن
ﷲا
و
ﻮ
ن
ﻂ
ﷲا
,
و
ه
ﺎ
ر
ﻮ
ل
ﷲا
؟
لﺎ
ا
ﻬ
ﺮ ا
لﺎ
ﺎ
ءﺎ
,
و
ا
ﻬ
تﺎ
ا
ءﺎ
ﺮ ﺎ
لﺎ
,
و
ا
ﺬ
ي
ﺄ
ا
ﻬ
ﺔ
,
وا
ﺬ
ي
ﺄ
ا
ﺮ
لﺎ
.
65ari dalam kemurkaan Allah dan melalui malamnya
kelamin dengan hewan serta lelaki yang berhubungan ki. s.a.w.
كﺎ
ا
نﺎ
،
ﺔ ﺮ
نﺎ
،
ﺮآ
،
لﺎ
ا
ر
سﺎ
ﷲا
ا
ن
ر
ﻮ
ل
ﷲا
Artinya:Dari Abu bakar bin khoad Al-bahily dari Kholid bin Haris dari Su’bah dari Qotadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Telah bersabda Rasulullah S.A.W.:”Ada empat macam
rang yang bangun di pagi h o
dengan kebencian Allah. ”Beliau ditanya :” Siapakah mereka yaa Rasulullah?” Nabi s.a.w. menjawab:”(yaitu) orang laki-laki yang (berupaya) menyerupai lelaki; orang yang melakukan hubungan
kelamin dengan sesama lela
Oleh karena itu, homoseks merupakan suatu dosa besar dalam Islam. Nabi telah bersabda pula:
أ
ﺮ
ﺎ
ا
نﺎ
،
ﺪ
ﺎ
أ
ﻮ
ﻜ
ﺮ
أ
ﺔ
،
ﺎ ﺪ
ﻮ أ
ﺪ ﺎ
ﺮ ﻷا
،
65(53)
ﷲا
و
لﺎ
:
ﻈ
ﺮ
ﷲا
ﺰ
و
ا
ر
أ
ر
أ
و
ا
ﺮ
أة
د
ﺮ
ه
ﺎ
66 Artinya:Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda:” Allah yang Maha Perkasa dan Maha Agung tak akan melihat lelaki yang melakukan hubun wanita
ﺪ
ﺮ ا
ﺪ ﺎ
ءاﺬ ا
ا
ﺮ
ﻰ أ
ﻰ ﻮ
لﺎ
لﺎ
لﻮ ر
ﷲا
ﻰ
ﷲا
و
لﺎ
ا
ة
وا
م
:
ذا
اأ
ا
ﻰ
ﺮ
ا
ﺮ
ﻬ
ز
ﺎ
ا
نﺎ
و
اذ
أ
ا
ا
ﻰ
ﺮ
أة
ا
Nabi s.a.w. telah bersabda:” Apabila seorang lelaki berhubungan kelamin dengan berdua berzina, dan bila seorang perempuan melakukan tindakan serupa dengan perempuan lain, berarti mereka berdua juga berzina
C. Homoseks Menurut Ulama Fiqh
Semua ulama Muslim sepakat bahwa hubungan kelamin sejenis merupakan suatu pelanggaran seks, dan merupakan perbuatan yang keji. Menurut Sayyid Qutub, sebuah keanehan yang terdapat dalam pernyataan kaum Luth, yang pertama adalah suatu perbuatan keji yang mereka lakukan, padahal mereka menyaksikan sendiri
gan kelamin dengan sesama lelaki, atau berhubungan dengan dubur seseorang .
Lebih lanjut Nabi s.a.w. bersabda tentang hubungan yang tak wajar ini:
)
ىورو
(
ﺪ
ﺮ
أة
ﻬ
ز
ﺎ
ا
نﺎ
67 Artinya:seorang lelaki pula, berarti mereka .
66
Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, (Maktabah Syamilah, tt) juz.18 h.337
67
(54)
kehidupan dalam segala macam dan jenisnya yang berjalan diatas fitrah, dan mereka sendirilah yang menimbulkan sebuah penyimpangan dan perbuatan aneh. Kemudian pernya
hukuman Hadd yang dapat dijatuhkan kepada pelanggarnya kecua
dikenakan, apabila si pelanggar telah m Hadist berikut ini:
أ
ه
ﺮ
ﺮ
ة
لﺎ
:
لﺎ
ر
ﻮ
ل
ﷲا
ﷲا
ﻰ
و
:
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:” Barang siapa (dianta
dikerjakan kaum Luth (yaitu homoseks), maka bunuhlah dia yang diatas maupun melayaninya”.
taan kedua, dia membuka sejelas-jelasnya perbuatan keji yang mereka lakukan. Dengan menyikapi seperti itu saja, sudah cukup menunjukan bahwa perbuatan tersebut sangat aneh dalam kesadaran manusia dan kesadaran fitrah semua mahluk.68
Para ulama mazhab berbeda pendapat dalam penentuan hukumannya. Menurut Imam Abu Hanifah, tindakan homoseks tidak termasuk perzinahan dan karenanya tak ada
li hukuman ta’zir. Sedangkan menurut Imam Malik, hukuman Hadd dapat enikah ataupun belum. Beliau bertumpu pada
طﻮ
مﻮ
ﻮ ﺪ و
أ
ﻮ
ﻷا
ا
و
ﻰ
ﻷا
,
و
ﻮ
ل
ﻷا
ﺮ
أ
ى
اﻮ
لﻮ او
ﺎ ا
69
Artinya:
ra kamu sekalian) menemukan seseorang yang melakukan perbuatan yang yang di bawah”, dan dalam riwayat lain dikatakan:” Bunuhlah si pelaku dan yang
Imam Syafi’i, Abu Yusuf dan Muhammad telah berkata:
68
Sayyid Qutub, Tafsir Fi Dzilal al-Quran, Terj. As’ad Yasin dkk, (Beirut: Darul al-Syuruq, 1992) Jilid 2, h.321-322
Imam at-Tirmizi, Sunan Tirmizii, (Maktabah Syamilah, tt) juz.5 hal. 376 69
(55)
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. telah bersabda bahwa jika si pelanggar telah menikah maka hukuman Hadd dirajam sampai mati ditimpakan atasnya: tetapi kalau dia belum kawin, maka cukupkan hukuman ta’zir baginya.70
Ibnu Qayyim al-Jauzi mengemukakan bahwa sebagian Fuqoha berpendapat, tidak ada hukuman yang bisa dijatuhkan kepada pelaku, sebab perbuatan itu hanya sekedar lari dari tabi’at dan perbuatan yang dianggap buruk, sehingga hal ini tidak bisa dijadikan alasan bagi pembuat syari’at untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku. Menurut mereka, jika seorang melakukan homoseks secara terus-menerus, maka dia bisa di bunuh sekedar sebagai pelajaran bagi yang lain. Ibnu Qayyim juga menyat
ajar, yaitu pada duburnya. Sebagian besar ulama percaya bahwa a karena kasus ini dilingkupi keraguan akan bahwa para sahabat telah sepakat bahwa orang yang melakukan homoseks harus di hukum mati, meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara pelaksanaanya.71
Merupakan suatu kejahatan pula, seseorang yang menggauli istrinya denga cara yang tidak w
hukuman ta’zir dapat dikenakan atasny
(syubhat) dan dimana pun ada unsur yang meragukan, maka tak dapat di putuskan
hukuman Hadd.72
70
Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta 1992), Cet.1 h.42-43
71
Ibnu Qayyim al-Jauzi, Raudhah al-Muhibbah wa’al-Nuuzhah al-Mustaqin, terj.oleh Kathur Suhardi, (Jakarta: Daar al-Fatah, 1417) h.419
72
Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta 1992), Cet.1 h..43
(56)
D.
n istri seperti yang tertulis dalam pasal 148 ayat 4 menyatakan:” Setelah
a tanpa izin suami”.
oseksual dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tentang Pelaksanaan Perkawinan
Homoseks Menurut Hukum Positif
Dalam masalah homoseksual, Tidak terdapat Undang-undang perdata yang secara jelas mengatur tentang homoseksual, namun dalam masalah homoseks ini, hal tersebut bisa dimasukan pada peraturan yang mengatur tentang perceraian dengan karena penyakit dengan akibat tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 116 point e. Perceraian seperti ini pun selaras dengan KHI yang menyatakan adanya kesepakatan suami da
kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadh atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan ijin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan Pengadilan Agama. Terhadap penerapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi”.
Di hubungkan pula pasal 132 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan ” Gugatan percerainan diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama dan daerah hukumnya mewilayahi daerah hukum penggugat kecuali istri meninggalkan kediaman bersam
Oleh karena itu peraturan tentang cerai gugat sangat mendukung bahwa sinergi disini adalah bahwa cerai gugat dan khulu sama-sama datangnya atas kehendak istri, yang membedakan adalah akibat hukum dan tebusan oleh istri kepada suami.
(57)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak secara tegas disebutkan bahwa homoseks dapat dijadikan alasan perceraian untuk melakukan perceraian.
Tetapi bila kita melihat pada pasal 39 point 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dikatakan” Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri. Hal ini didasari pada pasal 34 point 3 yaitu ” Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan”. Bila kita garis bawahi pada kata-kata melalaikan kewajiban, banyak arti yang dapat
tidak terpenuhi, maka akan sangat
diatur dalam pasal diambil dari kata-kata tersebut. Dalam hal ini kewajiban rumah tangga bisa berarti kewajiban terhadap jasmani dan rohani, kewajiban terhadap rohani disini seperti terpenuhinya kebutuhan biologis.
Bila kewajiban kebutuhan biologis
dikhawatirkan berpengaruh terhadap keharmonisan rumah tangga. Sehingga bila hal ini terjadi, dan salah satu pihak ingin berceraian maka alasan ketidak harmonisan tersebut dapat dijadikan alasan untuk bercerai.
Dan dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana homoseks
292, yang berbunyi:”orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Dan dalam pasal 293 yang berbunyi,”barang siapa yang memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan
(58)
keadaan atau dengan penyesatan sengaja menggerakan seorang yang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan abul dengan seseorang, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau elayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
hun”.
BAB IV
NGADILAN AGAMA DEPOK NOMOR pk DAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR
NOMOR 211/Pdt.G/2009/PA.JT
A. Para
c s ta
ANALISIS PUTUSAN PE 838/Pdt.G/2009/PA.D
Pihak dan Posisi Kasus
1. Tentang para pihak
Kasus I
Tentang para pihak dalam putusan ini adalah perkara nomor : 838/Pdt.G/2009/PA.Dpk. Penggugat adalah istri, berumur 29 tahun, agama Islam, Pendidikan S.1, pekerjaan guru swasta, tempat tinggal di jalan Kp. Sindang karsa,
(59)
Rt01/05 No.25 Kelurahan Sukamaju Baru, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Selanjutnya disebut “Penggugat”. Tergugat adalah suami, berumur 39 tahun, agama
ndidikan S.1, pekerjaan guru swasta, tempat tinggal di jalan Kemiri Jaya Rt.03/0
slam, pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), an, tempat tinggal di jalan Perumahan Bambu Kuning Gg. Rizki T. 003 RW. 006 Kelurahan Bojong Baru Kecamatan Bojong Gede Bogor,
Islam, pe
1 No.19, Kelurahan Beji, Kecamatan Beji, Kota Depok, selanjutnya disebut “Tergugat”.73
Kasus II
Tentang para pihak dalam putusan ini adalah perkara nomor : 211/Pdt.G/2009/PA.JT. penggugat adalah istri, berumur 24 tahun, agama Islam, Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), pekerjaan karyawati, tempat tinggal di jalan Batu Ampar III RT. 004 RW. 04 No.32 Kelurahan Batu Ampar Kecamatan Kramatjati Kota Jakarta Timur, selanjutnya disebut “Penggugat”. Tergugat adalah suami, berumur 35 tahun, agama I
pekerjaan karyaw No. 86 R
selanjutnya disebut “Tergugat”.74 2. Posisi Kasus
Kasus I
Dalam surat gugatan yang diajukan oleh penggugat pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
73
Putusan Nomor: 838/Pdt.G/2009/PA.Dpk 74
(60)
Pada tanggal 7 juli 2007 mereka telah melangsungkan pernikahan di KUA Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah, dengan Akta Nikah Nomor : 329/10/VII/2007, tanggal 7 juli 2007. Dan selama pernikahan antara penggugat dan tergugat belum melangsungkan hubungan suami istri (qobla dukhul). Setelah
an baik. Akan
ya lisihan dan pertengkaran tersebut
armonis lagi.
afkah batin
umah tangga yang baik yang sakinah, mawaddah, warrohmah. menikah mereka hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri deng
tetapi pada januari 2008 antara mereka telah terjadi perselisihan dan pertengkaran ng terus menerus. Sebab-sebab terjadinya perse
karena:
a. Antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak h
b. Tergugat tidak dapat memberi nafkah batin terhadap Penggugat, karena
Tergugat mempunyai kelainan seksual;
c. Tergugat kurang terbuka dengan kondisi Tergugat yang kurang dapat
memberikan kebutuhan terhadap Penggugat
Dan pada mei 2009 merupakan sebuah puncak perselisihan antara mereka berdua, hal tersebut disebabkan karena Tergugat tidak dapat memenuhi n
kepada Penggugat, dan Penggugat sangat kecewa terhadap tingkah laku Tergugat yang tidak mencerminkan sebagai suaminya.dan akhirnya akibat dari perselisihan tersebut rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak bisa mencerminkan sebagai r
Kemudian antara Penggugat dan Tergugat telah berupaya agar berusaha untuk mengatasi masalah tersebut dengan jalan atau cara bermusyawarah secara baik-baik,
(61)
namun tidak berhasil. Oleh karena itu menurut mereka perceraian adalah jalan yang
but di atas, Penggugat mohon kepada ketua i untuk dapat kan putusan sebagai berikut:
M
ergugat Achmad Jabidin bin Sardo terhadap
UA Kecamatan Koja, l 13 maret 2005.
terbaik.
Berdasarkan alasan-alasan terse
Pengadilan Agama Depok cq. Mejelis Hakim yang mengadili perkara in menjatuh
1. engabulkan gugatan Penggugat.
2. Menjatuhkan talak satu bain sughra T Penggugat Kusniyah binti Ngirfan
3. Menetapkan biaya perkara sesuai denagn hukum.75
Kasus II
Dalam surat gugatan yang diajukan oleh Penggugat pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Pada hari minggu, tanggal 13 Maret 2005, telah berlangsung pernikahan antara Penggugat dan Tergugat di hadapan Pejaban PPN K
Jakarta Utara dengan akta nikah nomor: 508/50/III/2055 tangga
Setelah menikah mereka hidup rukun layaknya suami istri dengan baik, telah berhubungan badan dan kedunya bertempat tingal di jalan Batu Ampar III No. 2 RT. 004 RW. 004 Kelurahan Batu Ampar Kecamatan Kramatjati Kota Jakarta Timur selama 2 tahun 6 bulan, dan dikaruniai 1 orang anak bernama:
1. Bagas Raihan wirayudha, lahir tanggal 17 januaru 2006
75
(62)
Lalu kehidupan mereka mulai goyah dan terjadi perselisihan dan pertengkaran ecara terus menerus yang sulit diatasi sejak bulan juli tahun 2008. Perselisihan dan
ertengkaran tersebut semakin tajam s
p dan memuncak terjadi pada bulan november
gkaran tersebut karena:
memberikan nafkah lahir
a mulai goyah dan terjadi perselisihan
terlaksana sebagaimana mestinya karena sejak itu Tergugat tidak lagi melaksanakan tahun 2008. Sebab-sebab terjadinya perselisihan dan perten
a. Tergugat dan Penggugat sudah tidak ada kecocokan dan selalu beda
pendapat dalam membina rumah tangga.
b. Termohon sejak bulan juli 2008 sudah tidak
kepada Penggugat sehingga kebutuhan rumah tangga sepenuhnya menjadi tanggunga jawab Penggugat.
c. Tergugat mempunyai kelainan sex (homosexual)
d. Tergugat telah melakukan hutang piutang dengan pihak lain (lintah darat)
tanpa sepengetahuan Penggugat dan sebagian hutang piutang tersebut menjadi beban dan tanggung jawab Penggugat.
Lalu kehidupan rumah tangga merek
dan pertengkaran secara terus menerus yang sulit diatasi sejak bulan Desember tahun 2008 hingga sekarang kurang lebih 2 bulan, akibat dari kejadian tersebut antara Penggugat dan Tergugat telah berpisah tempat tinggal karena Tergugat telah pergi meninggalkan kediaman bersama tanpa memberikan nafkah lahir dan batin, yang mana dalam pisah rumah tersebut saat ini Penggugat bertempat tinggal di Condet dan Tergugat bertempat tinggal di Bojong Gede.
(1)
Pengadilan Agama Jakarta Timur selain menggunakan Undang-undang sebagai pertimbangan hukum, Mejelis Hakim pun menggunakan pendekatan
(MTs) ataupun tingkat atas (Aliyah).
. Membangun sebuah pernikahan ibarat membuat sebuah rumah, maka itu, alam memilih jodoh hendaknya setiap orang mengikut sertakan orang anya. Bagi calon pasangan suami istri, hendaklah pula setiap pasangan betul-betul saling mengenal satu sama lain, secara fisik maupun non fisik
ebelum menikah ataupun sesudah menikah.
3. agi pasangan suami istri hendaknya memahami secara benar makna, tujuan an hikmah pernikahan yang mereka jalani. Daam sebuah pernikahan harus empunyai tujuan hidup yang sama dalam membina rumah tangga yaitu
ankan fungsi,hak dan kewajibannya masing-masing secara enar dan penuh rasa tangung jawab.
konsep dan ushul fiqh sebagai pertimbangan hukumnya. B. Saran
Dari penelitian ini , penulis memberikan beberapa saran yaitu:
1. Pembahasan tentang homoseksual hendaknya diajarkan di sekolah-sekolah Madrasah, baik pada tingkat pertama
Selain itu, para ulama, da’i, dan khotib pun hendaknya menyempaikan hukum homoseksual kepada masyarakat dalam kuliah keagamaan dan ceramah sehingga perbuatan yang di kecam oleh Allah SWT ini hilang dari kehidupan manusia.
2 d tu
s B d m
dengan menjal b
(2)
4. agi Majelis Hakim agara dapat memutuskan perkara yang terbaik dengan erai gugat ini lebih teliti dan bijaksana. Sehinga tidak menimbulkan
udhorot bagi kedua pihak yang berperkara, dan untuk pejabat engadilan gama agar dapat menekan tingginya angka perceraian.
B c m A
(3)
DAFTAR PUSTAKA
iur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; ). Cet.2
Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang hukum acara Perdata Pengadilan
ilid 7
ajibannya. (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1989), cet.1
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta : CV Rajawali, 1985)
udarman Damin, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2002)
idin Seapuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, (Bogor: Granada Sarana
sep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001)
umedia Publishing, 2007) cet.3
mir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet.1 Al-Qur’anul Karim
Am
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Pranada Media, 2004
Djam’an Nur, fiqh Munakahat. (Jakarta: Dira Utama Semarang, 1993). Cet. 1 M
Agama, (Jakarta : Ind-Hill co, 1991), Cet Ke -2
Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1990) cet ke-7, j
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan Karena Ketidakmampuan Suami Menunaikan Kew
S
Cet.1 D
Pustaka, 2005) cet.I
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum,(Jakarta: Raja Grafindo, 2003) cet.6
A
cet.3
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bay
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986) cet.3
(4)
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyya, 1976), cet.6
. Rahman, I, Doi. Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan. (Jakarta: PT Raja
. Ali Hasan, Pedoman Hidup Rumah Tangga Dalam Islam. (Jakarta: Prenada
uhammad Rifa’I, Fiqh Islam, (Semarang: PT. Thoha Karya Putra, 1978)
Abdur ahib al-Arba’ah, juz IV, (Kairo: Dar
al-fikr, t.t)
Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, juz II, (Bandung: Al-Ma’arif, t. th)
ad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet.ke-2
bu Dawud, Sunan Abi Dawud, Bab Thalak( Dar Ibn Hazm, t.th)
Imam Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Daar al-Fikr, t.th. Juz ke-II).
. Sutarmadi dan Mesraini, Administarsi Pernikahan dan Menajemen Keluarga, llah Jakarta, 2006)
M. Ya ekerasan Dalam Rumah Tangga, (Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003)
ukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama,(Jakarta: Pustaka
afindo Persada,2001),ed.ke-2,cet.ke-8
R. So Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika,2004), Cet.ke-6
A. Ba arta: Kencana, 2006),
cet.ke-1 A
Grafindo Persada) Cet. I M
Media, 2003) M
rahman Al-jaziri, kitab al-fiqh ‘ala maz
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 1999) Muhamm
A
Abu Dawud
A
(Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatu
sir Arafat, Perceraian Akibat K
M
Pelajar,2003),cet.ke-4
Raihan A Rasyid,Hukum Acara Peradialan Agama, ( Jakarta: Raja Gr
eroso, Peraktik Hukum
(5)
Ali bin Abdul aziz Musa, Kekejian Perilaku Kaum Nabi Luth, (Jakarta: Pustaka
arun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992)
nang Zamroni dan Ma’ruf Ansori, Bimbingan Seks Islami, (Jakarta: Pustaka
Qurais
Utsm At-Thawil, Ajaran Islam tentang Fenomena Seksual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h.75
Ibnu majah, Sunan Ibnu Majah, (Maktabah Syamilah,tt), juz.6
Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, (Maktabah Syamilah, tt) juz.18
Imam Baihaqi, As-sunanul Qubro Lil Baiqahi, (Maktabah Syamilah, tt) juz.8
Sayyid Qutub, Tafsir Fi Dzilal Quran, Terj. As’ad Yasin dkk, (Beirut: Darul
al-Ibnu Qayyim al-Jauzi, Raudhah al-Muhibbah wa’al-Nuuzhah al-Mustaqin, terj.oleh Kathur Suhardi, (Jakarta: Daar al-Fatah, 1417)
Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta:Kencana, 2006) Cet.2
Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Prenada Media, 2005),cet. II
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2007) Sudirman Tebba, ayat-ayat seks, (Ciputat: Puataka irVan, 2006) Cet.1
Wawancara penulis dengan Ahmad Baidhowi, salah satu Hakim Pengadilan Agama Depok pada tanggal 30 mei 20101 Wawancara penulis dengan Elvin Nailana, salah satu Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tanggal 30 mei 2010
Azzam, 2006) H
A
Anda, 1997)
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1993) y Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) vol.5
an
(6)