Hutang Sebagai Alasan Perceraian (Analisis Yurisprudensi No: 2429/Pdt.G/2012/Di Pa Tigaraksa

(1)

HUTANG SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

(Analisis Yurisprudensi No: 2429/Pdt.G/2012/di PA TIGARAKSA)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

AZHAR NASUTION

1110044200006

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

(AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

KATA PENGANTAR

ميح رلا نمح رلا ه مسب

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah senantiasa memberikan rahmat yang berlimpah kepada penulis, sehingga penulis diberikan kemampuan, kekuatan serta ketabahan hati dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan shalawat beriring salam tidak lupa penulis haturkan kepada junjungan besar kita Baginda Rasulullah SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kejahiliyahan ke zaman ketauhidan dan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi prasyarat kurikulum sarjana strata satu (S-1) program studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah ikut membantu dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain : Kepada Yang Terhormat :

1. Dr. H. JM. Muslimin, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH dan Hj. Rosdiana Nasrun, MA, Ketua dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga.


(6)

v

3. Dr. Hj. Mesraini, MA, Pembimbing yang telah banyak membantu memberikan bimbingan, petunjuk, masukan serta kemudahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Seluruh Dosen dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum.

5. Drs. H. Sanusi Nasution, BA (Papa) dan Hj. Netty Efrida (Mama) atas segala doa, nasehat, dukungan dan kasih sayang yang tak ada hentinya dicurahkan kepada penulis.

6. Abang, Kakak dan Adikku : M. Agussalim Nasution, Masrina Nasution, M. Akhyar Nasution yang selalu memberikan kasih sayang serta motivasi yang tak henti-hentinya kepada penulis dan Semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini namun tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu.

Akhirnya penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran, kritik dan koreksi yang konstruktif untuk perbaikan dimasa yang akan datang.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, Februari 2014 Penulis


(7)

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ...iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 6

C. Perumusan Masalah ... 6

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

E. Metodologi Penelitian ... 8

F. Study Review Terdahulu ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II LANDASAN TEORI A. Perceraian ... 14

1. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ... 14

2. Macam-Macam Perceraian ... 17

3. Alasan-Alasan Perceraian ... 22

4. Proses Penyelesaian Perkara Perceraian di Indonesia ... 24

B. Hutang ... 29


(8)

vii

BAB III PUTUSAN PERMOHONAN CERAI

TALAK DI PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA

A. Profil Pengadilan Agama Tigaraksa ... 36 B. Duduk Perkara ... 47 C. Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Perkara ... 51

BAB IV HUTANG SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

A. Hutang Sebagai Alasan Perceraian Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia ... 53 B. Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim dalam

Mengabulkan Perkara ... 55

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 62 B. Saran ... 63


(9)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Putusan Perkara No: 2429/Pdt. G/2012/di PA TIGARAKSA 2. Surat Permohonan data/wawancara di Pengadilan

3. Keterangan telah melakukan pengambilan data/wawancara di Pengadilan 4. Permohonan Kesedian Menjadi Pembimbing Skripsi


(10)

1

A. Latar Belakang Masalah

Islam diyakini sebagai pedoman hidup manusia menuju kebahagiaan hakiki, baik kebahagiaan duniawi maupun ukhrawi. Islam memberikan berbagai petunjuk dan aturan-aturan dalam mencapai kebahagiaan hidup. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa dalam perkawinan ada kebahagiaan (sakinah). Dari perkawinan itu diharapkan akan dapat membentuk keluarga yang terdiri dari suami istri dalam rangka mendapatkan keturunan, ketenteraman dan kedamaian.1

Memperhatikan pentingnya perkawinan menurut Al-Qur’an sebagaimana dikemukakan di atas, maka sangat wajar jika masyarakat dan juga Pemerintah menempatkan perkawinan ini sebagai urusan publik yang patut memperoleh perhatian utama. Hal ini terbukti dari adanya praktik dan hukum yang mengatur perkawinan, mulai dari hukum adat sampai dengan terbitnya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, yakni UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Dalam UU Perkawinan ini ditegaskan bahwa makna sebuah perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.2

1

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an(Bandung: Mizan, 1996), h.92. 2

R. Badri Bc. Hk. Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan K.U.H.P. (Surabaya: CV. Amin Surabaya, 1985), h. 86.


(11)

2

Kebahagiaan merupakan suatu tujuan perkawinan. Namun tidak setiap manusia yang kawin dapat mewujudkan kebahagiaan. Kebahagiaan ini kadang menjadi sangat mahal karena mengingat bahwa kebahagiaan dalam perkawinan ini membutuhkan komitmen, kesadaran, pengertian, kesepadanan (kafa'ah) dan berbagai kualitas serta faktor-faktor yang sering kali bersifat laten dan sulit diidentifikasi.

Multi faktor yang mempengaruhi kebahagiaan juga menjadi faktor-faktor yang dapat menyumbang bagi terjadinya disharmoni dalam keluarga. Secara garis besar, faktor-faktor itu ada yang bersifat objektif dan ada pula yang bersifat subjektif. Faktor-faktor yang bersifat objektif adalah faktor-faktor di luar kapasitas pribadi, seperti faktor sosiologis, ekonomi, kultural dan semacamnya. Sedangkan faktor subjektif mencakup antara lain kondisi biologis, psikologis dan juga keyakinan-keyakinan primordial. Selain dua kategori faktor di atas, objektif dan subjektif ada pula faktor hubungan atau faktor yang lebih merupakan persoalan bagaimana aspek-aspek pribadi merespon aspek-aspek-aspek-aspek sosial, ekonomi dan kultural.

Sepasang suami istri memasuki bahtera rumah tangga mereka dengan sejuta harapan. Terutama mewujudkan keutuhan keluarga yang diliputi dengan ketenangan dan ketentraman. Keluarga yang terbebas dari segala bentuk keresahan, seperti barangkali, pernah mereka alami sebelumnya. ketidakharmonisan keluarga dapat saja timbul meskipun kedua belah pihak telah dibekali oleh pengalaman masa kecilnya yang penuh dengan kesenangan. Namun perlu diingat, bahwa tingkat kematangan keduanya masih perlu dipertanyakan. Apabila mereka telah mencapai tingkat kematangan, dan telah merasakan pentingnya seorang pendamping, pastilah mereka


(12)

tidak akan terjebak ke dalam lembah pertikaian keluarga. Bahkan mereka, terutama mempelai wanitanya, akan segera merasakan adanya kebebasan, ketenangan, dan jalinan kasih sayang.3

Kendatipun banyak alasan objektif untuk terjadinya sebuah perceraian, namun agama tetap saja memandang bahwa keutuhan keluarga, yakni tetap bersatunya pasangan suami dan istri dalam ikatan perkawinan, lebih utama dan merupakan jalan keluar yang lebih terhormat. Bahwa Islam memandang lebih baik mempertahankan perkawinan daripada bercerai.

Melihat status perceraian, seperti di singgung di atas, sebetulnya kedudukannya lebih pada situasi darurat (emergency). Selebihnya, ia mengandung pengertian bahwa, perceraian dilakukan jika sudah menghadapi jalan buntu dan sama sekali tidak ada jalan keluar yang lain.4

Dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan . Kemudian dalam pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri . Ketentuan ini dipertegas lagi dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) tersebut dan pasal

3

Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili, Perceraian salah siapa?, (Jakarta: PT Lentera Basri Tama, 2001), hal.88.

4

Sarlito Wirawan Sarwono, Apa dan Bagaimana Mengatasi Problema Keluarga, (Jakarta: Pustaka Antara, 1996), hal. 150.


(13)

4

19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang mana disebutkan bahwa alasan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian adalah:5

- Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

- Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.

- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

- Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan penambahan dua ayat yaitu: (a) suami melanggar taklik talak dan (b) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Jadi, seharusnya faktor “hutang” bukan menjadi suatu alasan perceraian, karena dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia tidak terdapat alasan perceraian karena “hutang”.

5


(14)

Dalam kasus cerai talak yang terjadi di Pengadilan Agama Tigaraksa antara Wahyudi (nama samaran) umur 45 tahun dengan Syahrina (nama samaran) umur 43 tahun, sang suami sebagai pemohon merasa sudah tidak mampu lagi menasihati istrinya yang kerap kali berhutang kepada orang lain guna memenuhi gaya hidupnya sehari-hari. Hal ini didasari karena banyaknya orang yang sering datang ke rumah secara silih berganti guna menagih hutang kepada sang istri dan itu semua pada awalnya di luar sepengetahuan sang suami yang memang sengaja ditutup-tutupi oleh sang istri. Namun seiring berjalannya waktu semua itu diketahui oleh sang suami yang merasa curiga dengan tingkah laku sang istri serta besarnya biaya pengeluaran rumah tangga yang kerap kali diberikan namun tetap merasa kurang, sehingga pada akhirnya diketahui bahwa uang yang selalu diberikan ternyata digunakan untuk menutupi hutang-hutang yang jumlahnya mencapai ratusan juta.

Pemohon yang menikah dengan tergugat pada 17 Oktober 2008 dan dikaruniai tiga orang anak, selama menikah kehidupan rumah tangga antara pemohon dan termohon dalam keadaan rukun. Dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi, diakui suami sebagai pemohon bahwa istrinya terlalu berlebihan dan boros dalam melakukan pengeluaran biaya hidup, padahal itu semua dilakukan oleh istri guna mengikuti gaya hidup yang terpengaruh dengan gaya hidup teman-temannya. Perilaku boros dari pasangan dalam rumah tangga ketika menimbulkan rasa tidak nyaman dari pasangan lainnya, tentunya dapat mengganggu keharmonisan bahtera rumah tangga.


(15)

6

Dari permasalahan inilah kemudian penulis ingin mengadakan penelitian tentangHUTANG SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (Analisis Yurisprudensi No: 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS di Pengadilan Agama Tigaraksa).

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Permasalahan yang telah diidentifikasi kadang-kadang sifatnya umum, belum konkret dan spesifik. Apabila demikian yang terjadi, maka permasalahan tersebut harus dipersempit agar konkret dan spesifik melalui pemecahan masalah menjadi sub-sub masalah atau sederet pertanyaan yang relevan dengan permasalahan pokoknya.6

Pembatasan masalah pada penelitian ini adalah tentang masalah perceraian. Perceraian ini dibatasi pada perceraian disebabkan karena hutang yang disidangkan di Pengadilan Agama Tigaraksa. Fokus penelitian ini adalah pada putusan Perkara No. 2429/Pdt.G/2012/PA.TGRS.

2. Perumusan Masalah

Baik dalam fikih maupun dalam hukum positif tidak disebutkan hutang sebagai alasan suatu perceraian. Kenyataan di lapangan ada putusan mengenai perceraian karena hutang.

Penulis merumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut:

a. Mengapa hutang tidak dapat dijadikan sebagai alasan perceraian menurut perundang-undangan di Indonesia?

6


(16)

b. Apa pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkara perceraian dalam perkara No. 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui mengapa hutang tidak dapat dijadikan sebagai alasan perceraian menurut perundang-undangan di Indonesia.

b. Untuk mengetahui apa pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkara perceraian dalam putusan No. 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS.

2. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Skripsi ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran bagi para hakim di lingkungan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara perceraian karena hutang sebagai alasan perceraian.

c. Dari sisi ilmiah, skripsi ini diharapkan mampu menambah wawasan bagi penulis khususnya dan mahasiswa lainnya, serta masyarakat luas pada umumnya terutama terkait perkara perceraian karena hutang sebagai alasan perceraian.


(17)

8

D.Metodologi Penelitian,

Metodologi Penelitian yang digunakan untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini meliputi:

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kasus (case approach). Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya.7 Maka dalam penelitian ini pendekatan kasus digunakan untuk mengetahui alasan-alasan hukum yang digunakan hakim untuk memutus perkara khususnya Perkara No. 2429/Pdt.G/2012/PA.TGRS. Jadi, apa yang terjadi dalam fakta dan kenyataan dalam persidangan bisa diketahui.

2. Jenis Penelitian

Dilihat dari jenis datanya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat pendekatan analisis yuridis, yaitu data yang diperoleh meliputi salinan putusan No: 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS, dokumen pribadi dan lain-lain. Kemudian menganalisa isi (conten analisa) putusan, untuk melihat sejauh mana proses penyelesaian yang dilakukan oleh hakim dalam menyelesaikan kasus perceraian akibat hutang.

Ditinjau dari segi tipe penelitian hukum, penelitian ini juga termasuk jenis penelitian kepustakaan (Library Research), penelitian kepustakaan dilakukan

7


(18)

dengan menggunakan buku-buku, kitab-kitab fiqih, perundang-undanganan, dan Yurisprudensi yang berhubungan dengan skripsi ini.

3. Sumber Data8

Dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data pada dua sumber data, yaitu sumber primer dan sumber sekunder.9 Berikut ini tentang pemaparan sumber data sebagai berikut:

a. Sumber primer yaitu:

1) Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa No. 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS. 2) Peraturan perundang-undangan tentang perceraian di Indonesia,

diantaranya: UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

b. Sumber sekunder yaitu berasal dari buku-buku, kitab-kitab fikih, artikel serta sumber lain yang berkaitan dengan judul ini.

c. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu:

1) Studi dokumentasi untuk mengetahui data tentang alasan-alasan perceraian, duduk perkara dan putusan hakim.

8

Idealnya penulis menggunakan metode wawancara. Karena Hakim di Pengadilan Agama tidak bersedia, jadi penulis tidak memakai metode tersebut.

9

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan kualitatif, Kuantitatif dan R&D


(19)

10

2) Studi pustaka (library research),10 untuk mendapatkan data tentang teori-teori yang mendukung penelitian ini.

4. Teknik Analisa

Teknik analisis data merupakan upaya mencari dan mengumpulkan serta menata secara sistematis berdasarkan pada konsep teori tentang perceraian karena hutang dengan data-data yang diperoleh penulis dari studi dokumentasi dan studi pustaka sebagai upaya meningkatkan pemahaman penulis berkaitan dengan pembahasan.

Dalam penelitian ini, data-data yang terkumpul selanjutnya diidentifikasi, diolah dengan menggunakan pola deskriptif analitis.11Lalu diuraikan secara sistematis. Kemudian data dielaborasi dengan teori-teori yang berkaitan dengan perceraian.

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012".12

10

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.50-51.

11

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), cet. XII, h. 178.

12

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatang dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 32


(20)

E.Review Studi Terdahulu

Dari sekian banyak literatur skripsi yang ada di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif Hidayatullah, penulis menemukan data yang berhubungan dengan pembahasan penelitian ini antara lain:

1. Penulis yang bernama Siska Trihandayani, dengan judul skripsi “Putusnya Perkawinan Akibat Percobaan Pembunuhan"(Analisa Yurisprudensi Perkara No. 2341/Pdt.G/2009/PA JT di Pengadilan Jakarta Timur).” Tahun 2012. Penulis skripsi ini mengurai tentang perceraian yang berawal dari percekcokan antara kedua belah pihak sampai kepada ancaman percobaan pembunuhan. Karena pada pasal 19 poin d disebutkan bahwa kala seorang istri tidak nyaman atau terancam maka ia tidak bisa menjadikan keluarga sakinah, mawadah dan warahmah. Selain pasal 19 poin d bisa juga pasal 116 poin f yaitu tidak akan bisa menciptakan keluarga yang sakinah kalau perkawinan selalu mengalami perselisihan dan pertengkaran. Pertimbangannya karena dalam UU perkawinan yaitu tujuan awalnya untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Jika dalam perkawinan tidak terbentuk seperti itu maka hal tersebut tidak di namakan perkawinan. Maka hakim bisa menjadikan hal tersebut sebagai dasar pertimbangan terjadi perceraian. Perbedaannya dengan skripsi saya adalah bahwa menurut pasal 39 UU Perkawinan Tahun 1974 jo. Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa hutang tidak bisa dijadikan sebagai alasan perceraian, akan tetapi melihat akibat dari


(21)

12

hutang tersebut, sehingga muncul percekcokan antara kedua belah pihak yang berujung kepada perceraian.

2. Kemudian Ratih Purnamasari, dengan judul skripsi"Perceraian Karena Korupsi" (Analisa Putusan Perkara No. 21/Pdt.G/2009/PTA.JK di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta) Tahun 2011. Penulis skripsi ini menguraikan tentang perceraian yang disebabkan karena salah satu pihak melakukan korupsi sehingga mengakibatkan kepada perceraian. Hal tersebut terjadi karena pengakuan dan pembuktian juga keterangan saksi-saksi yang diperoleh dan fakta-fakta menyangkut keadaan rumah tangga penggugat dan tergugat. Selain itu adanya keterlibatan tergugat terhadap kasus korupsi dan ditangkap oleh KPK kemudian diproses menurut hukum sehingga hal tersebut menimbulkan pertengkaran terus-menerus yang berakibat pada perceraian. Perbedaannya dengan skripsi saya adalah, saya lebih menganalisis terhadap akibat hutang yang dilakukan oleh termohon hingga ratusan juta rupiah, sehingga terjadi syiqoq dan berakhir kepada perceraian.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami skripsi ini, penulis membagi pembahasan dalam lima bab, yaitu:

BAB KESATU berisi, Pendahuluan yang terdiri atas uraian latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, studi review terdahulu serta sistematika penulisan.


(22)

BAB KEDUA berisi, Landasan teori yang terdiri atas pengertian dan dasar hukum perceraian, macam-macam perceraian, alasan-alasan perceraian, proses penyelesaian perkara perceraian di Indonesia, pengertian dan dasar hukum hutang dan hikmah disyariatkannya hutang.

BAB KETIGA berisi, Putusan permohonan cerai talak No.

2429/Pdt.G/2012/PA TGRS, yaitu: profil, duduk perkara dan pertimbangan hakim mengabulkan perkara.

BAB KEEMPAT berisi, Hasil penelitian yang di peroleh di lapangan, yaitu tentang hutang sebagai alasan perceraian menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dan analisis terhadap pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkara.


(23)

14

BAB II

TEORI PERCERAIAN DAN HUTANG

A. Perceraian

1. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian

Dalam ajaran Islam, perceraian bagaikan pintu darurat yang merupakan jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak ditemukan jalan lain untuk mengatasinya. Dengan demikian, pada dasarnya, ajaran Islam tidak menyukai terbukanya pintu darurat tersebut. Karena itu Allah Swt memandang perceraian yang terjadi antara suami-istri sebagai perbuatan halal yang sangat dimurkai-Nya.

Mengenai hukum perceraian ini, para ahli hukum Islam berbeda pendapat. Pendapat yang paling bisa diterima akal dan konsisten dengan tujuan syariat yaitu pendapat yang menyatakan bahwa perceraian hukumnya terlarang, kecuali dengan alasan yang benar. Secara esensial bercerai itu berarti kufur terhadap nikmat Allah, sedang kawin adalah suatu nikmat dan kufur terhadap suatu nikmat adalah haram. Jadi tidak halal bercerai kecuali karena keadaan darurat. Tetapi jika tidak ada alasan, perceraian yang demikian berarti kufur terhadap nikmat Allah, berlaku jahat kepada istri. Karena itu, perbuatan tersebut dibenci dan dilarang Islam.1

1


(24)

Dasar Hukum Perceraian

Mengenai dasar hukum perceraian, penulis akan mencantumkan ayat-ayat Al-qur’an serta Hadits yang menjadi landasan hukum perceraian antara lain:

Surat Al-baqarah ayat 229-230:

                                                   .                                 .

Artinya: “Perceraian (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh dirujuk lagi

dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik tidak halal

bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami memperceraikannya (sesudah perceraian yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui”. (Q.S Al-baqarah: 229-230).

Dalam surat At-thalaq ayat 1:

                                              .


(25)

16

Artinya: “Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya yang wajar dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah. Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri, kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”. (Q.S At-thalaq: 1)

Selain ayat-ayat Al-qur’an diatas ada pula hadits yang berkenaan dengan dasar hukum perceraian. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, sebagai berikut:

لإ احلْا عْبأ : مَلس هْيلع ها َلص ها سر اق : اق ر ع ْب ع

ا ر( قاَّلا ها

)د اد بأ

2

Artinya: “Dari Ibnu Umar, berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesuatu

(perbuatan) halal yang paling di benci oleh Allah adalah perceraian

(perceraian)”. (HR. Ibnu Daud).

Karena itu isyarat tersebut menunjukkan bahwa perceraian adalah perbuatan halal yang paling di benci oleh Allah, dan perceraian merupakan alternatif terakhir atau sebagai “pintu darurat” yang boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak lagi dapat dipertahankan keutuhannya.3

2. Macam-Macam Perceraian

Putusnya perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan ada tiga macam, seperti yang tercantum dalam pasal 38 Undang-Undang Perkawinan.

2

Abu Daud sulaiman bin al-‘Asy’ Asy, Sunan Abu Daud”, Mausu’ah al-Hadis al-Syarif,

(Mesir: Global Islamic Sofware Company, 2000), hadis no. 1863. lihat juga, Jalal al-Din al-Syuyuthi,

al-Jami’ al-chaghir (Bandung, al-Ma’arif. Tt) Juz. I. h. 5. 3


(26)

Perkawinan dapat putus karena: 1. Kematian, 2. Perceraian dan 3. Atas keputusan Pengadilan.

Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menggolongkan secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan ini kepada tiga golongan, yaitu: 4

a. Kematian

Putusnya perkawinan karena kematian adalah berakhirnya perkawinan yang disebabkan oleh salah satu pihak dari pasangan suami istri meninggal dunia.5

Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh kematian tidak menimbulkan banyak persoalan, apalagi kematian tersebut terjadi di hadapan dan di tempat kediaman bersama, sehingga tidak ada masalah yang perlu diperbincangkan lagi. Dengan meninggalnya salah seorang dari pasangan suami istri, dengan sendirinya putuslah ikatan perkawinan. Pihak yang masih hidup boleh menikah lagi bilamana persyaratan yang telah ditentukan oleh ketentuan yang berlaku dipenuhi sebagaimana mestinya.6

4

Suyuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. Ke- 5 (Jakarta: UI Press, 1986), h. 119. 5

Salim, HS. Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 76. 6

Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan Malaysia, (Bandung: Rosda Karya, 1991), h. 194.


(27)

18

b. Perceraian

Perceraian adalah penghapusan hubungan perkawinan dengan putusan Hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.7 Menurut pasal 114 Kompilasi Hukum Islam, menyatakan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena perceraian atau berdasarkan gugatan perceraian.

Undang-Undang membedakan antara perceraian atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak istri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian, sehingga proses perceraian atas kehendak suami berbeda dengan perceraian atas kehendak istri. Perceraian atas kehendak suami disebut cerai talak, sedangkan cerai atas tuntutan istri disebut cerai gugat. 8

Cerai talak ini hanya khusus bagi yang beragama Islam, seperti dirumuskan oleh pasal 14 PP No. 9 tahun 1975 bahwa seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggal istrinya, kecuali jika istri meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa persetujuan, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud mencerai

7

Salim, HS. Pengantar Hukum Perdata Tertulis,..., h. 77. 8

H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet. Ke-3, h. 206.


(28)

istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan diadakan sidang untuk keperluan itu.9

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam pasal 117, bahwa perceraian adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.10

Dari ketentuan di atas, dalam hubungan dan pelaksanaannya, jelas bahwa pengajuan permohonan keinginan cerai itu harus dilakukan dengan cara lisan atau tertulis (surat) ke Pengadilan Agama dengan maksud agar Pengadilan Agama dapat mengabulkan izin cerai dan bisa mengucapkan ikrar talak.11

Macam-macam cerai talak ada 5 (lima) macam, yaitu: (1) talak raj’i , yaitu talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah; (2) talak ba’in sugra, yaitu talak yang tidak boleh dirujuk, akan tetapi boleh melakukan akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah; (3) talak ba’in kubra, yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya, talak ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi kembali, kecuali pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain

9

Muhammad Amin Suma, M.A., S.H., Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia,.., h. 357.

10

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,..., h. 141. 11

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1978), cet. Ke-5, h.37.


(29)

20

kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan habis masa iddahnya; (4) talak sunny adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut dan (5) talak bid’i, yaitu talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu dalam keadaan suci tersebut. Para Ulama berbeda pendapat tentang jatuh tidaknya talak bid’i itu, yaitu :

1) Pendapat madzhab Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Maliki, dan Imam Hanbali menyatakan bahwa talak bid’i walaupun talaknya haram, tetapi hukumnya adalah sah dan talaknya jatuh. Namun sunnah untuk merujuknya lagi. Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan

Syafi’i. Adapun menurut Imam Maliki hukum merujuknya justru wajib.

2) Segolongan Ulama yang lain berpendapat bahwa tidak sah, mereka

menolak memasukkan talak bid’i dalam pengertian talak pada umumnya,

karena talak bid’i bukan talak yang diijinkan oleh Allah SWT. Bahkan diperintahkan oleh Allah SWT untuk meninggalkannya.12

Mengenai pembagian perceraian tersebut di atas diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dari pasal 118 sampai dengan 122.

Sedangkan cerai gugat adalah: perceraian yang disebabkan adanya gugatan yang disampaikan oleh pihak istri ke Pengadilan.13 Cerai gugat yang

12

H.M.A. Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), h.240. 13


(30)

disampaikan oleh pihak istri kepada Pengadilan harus disertai dengan alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk mengajukan tuntutan perceraian.14 Alasan-alasan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 116 KHI yang akan diuraikan secara khusus pada sub bab tersendiri.

c. Perceraian Atas Keputusan Pengadilan

Putusnya perkawinan karena putusan Pengadilan adalah berakhirnya perkawinan yang didasarkan atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.15

Alasan-alasan yang dipergunakan dalam putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan tidak terinci dan tertentu seperti alasan-alasan perceraian yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan PP Nomor 9 tahun 1975. Beberapa alasan yang dipergunakan antara lain: (a) alasan karena tidak sanggup memberi nafkah, dan (b) alasan karena istri atau suami hilang tidak tahu kemana perginya. Alasan yang benar-benar murni merupakan perceraian yang berasal dari putusan Pengadilan adalah alasan pada poin kedua (b).

Menurut M. Yahya Harahap, secara teoritis Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menurut prinsip bahwa tidak ada suatu perkawinan yang dianggap sendirinya batal menurut hukum (Van rechtswegwnieti) sampai ikut campur tangan pengadilan. Hal ini dapat diketahui dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dimana

14

Suyuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,..., h. 119. 15


(31)

22

dikatakan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputus oleh pengadilan. Apa yang dikemukakan oleh M. Yahya Harahap ini sangatlah realistis, rasionya karena suatu perkawinan sudah dilaksanakan melalui yuridis formal, maka untuk menghilangkan legalitas yuridis itu haruslah melalui putusan pengadilan. Tentang hal ini tidak peduli apakah pernikahan itu kurang rukun atau syarat-syarat yang ditemukan hukum agama masing-masing pihak ataupun yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembatalan perkawinan atas dasar putusan pengadilan itu diperlukan agar adanya kepastian hukum terutama bagi pihak yang bersangkutan, pihak ketiga dan masyarakat yang sudah terlanjur mengetahui adanya perkawinan tersebut. Jadi, legalitas pembatalan perkawinan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku lebih luas jangkauannya dari nikahul bathil dan nikahul fasid sebagaimana yang tersebut dalam kitab-kitab fikih tradisional.16

3. Alasan-Alasan Perceraian

Salah satu fungsi Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975 adalah untuk mengatur dan membatasi penggunaan dan kebolehan perceraian dengan berbagai syarat yang disesuaikan dengan hukum Islam. Dan tatacara penggunaan perceraian mesti melalui campur tangan Pengadilan Agama yang diberi kewenangan untuk menilai dan

16

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 46.


(32)

mempertimbangkan apakah alasan suami untuk menceraikan istri menurut hukum Islam. Berkenaan dengan hal tersebut, maka perceraian harus dilaksanakan di depan sidang pengadilan agama sebagaimana yang dinyatakan pada pasal 115 KHI.

Karena itulah, menurut al-Sayyid Sabiq, penentuan syarat-syarat layak tidaknya suatu perceraian dikabulkan Pengadilan didasarkan pada prinsip meringankan urusan manusia dan menjauhkan segala kesempitan serta berpijak

pada jiwa syari’at Islam yang penuh dengan kemudahan.17

Dalam kitab-kitab fikih klasik cukup banyak yang bisa dijadikan alasan perceraian, baik dari pihak istri maupun dari pihak suami. Namun, dalam pembahasan kali ini, penulis hanya mendiskripsikan alasan-alasan perceraian yang tercover dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, Jo. PP No. 9 tahun 1995 pasal 19 Jo. KHI pasal 116.

Dalam KHI pasal 116 disebutkan bahwa alasan-alasan perceraian dibagi menjadi delapan, yaitu:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

17


(33)

24

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau peganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri.18

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar ta’lik talak.

h. Peralihan Agama atau Murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

4. Proses Penyelesaian Perkara Perceraian di Indonesia

Pemeriksaan sengketa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Awal surat permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan ke kepaniteraan pengadilan agama (surat permohonan diajukan pada sub kepaniteraan permohonan).

Sebelum perkara terdaftar di kepaniteraan, panitera melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap kelengkapan berkas perkara sudah dilakukan sebelum perkara di daftarkan. Misalnya dalam membuat surat permohonan, kepaniteraan dibolehkan memberikan arahan pada pemohon apabila dalam permohonan yang

18

Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. Ke-1, h. 195.


(34)

dibuat tidak sesuai. Apabila terjadi kesalahan dalam permohonan maka tidak boleh didaftarkan sebelum petitum dan petitanya jelas, seperti ada petitum namun tidak didukung oleh posita berarti permohonan tidak jelas.19

Jika hal tersebut terjadi maka permohonan tersebut terlebih dahulu harus diperbaiki, panitera sebagai pihak yang mempunyai otoritas dalam meneliti berkas permohonan sebaiknya melakukan penelitian tersebut disertai dengan membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara, lalu berkas perkara beserta resume tersebut diserahkan kepada Ketua Pengadilan. Dengan disertai saran tidak misalnya berbunyi “syarat-syarat cukup siap untuk disidangkan”.20

Kemudian pemohon kemeja I untuk menaksir besarnya biaya perkara dan menulisnya pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan Pasal 193 Rbg / Pasal 128 Ayat (1) HIR / Pasal 90 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang meliputi:

1. Biaya kepaniteraan dan biaya materai

2. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah 3. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim lain

4. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.21

19

Mukti Arto, Praktik Perkara perdata Pada Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. Ke-4, h.76.

20

Raihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), ed. Ke-2, cet.ke-8, h.129.

21

Pasal 90 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, h.74.


(35)

26

Ketentuan diatas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan diizinkan untuk mengajukan permohonan cerai secara prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuannya dapat dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat. Setelah itu, pemohon menghadap ke meja II dengan menyerahkan surat permohonan dan surat SKUM yang telah dibayar. Setelah selesai, kemudian surat permohonan tersebut dimasukkan dalam map berkas acara, kemudian menyerahkannya pada Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera.22

Setelah terdaftar, permohonan diberi nomor perkara kemudian diajukan kepada Ketua Pengadilan, setelah Ketua Pengadilan menerima permohonan maka ia menunjuk hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada prinsipnya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh hakim maka ketua menunjuk seorang hakim sebagai ketua majelis dan dibantu dua orang hakim anggota.23

Setelah itu hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapannya dapat menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan. Ketua majelis memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir dalam persidangan. Pasal 121 HIR, untuk membantu Majelis Hakim dalam

22

M. Fauzan, Pokok-Pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2004), cet.ke-2, h.14.

23

R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika,2004), Cet.ke-6, h.39.


(36)

menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih panitera sidang dalam hal ini panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti.24

Tata cara pemanggilan di mana harus secara resmi dan patut, yaitu:

a. Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi yang dipanggil di tempat tinggalnya;

b. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada Kepala Desa dimana ia tinggal;

c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli warisnya;

d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah (tanda bukti bahwa para pihak telah dipanggil) kepada hakim yang akan memeriksa perkara yang bersangkutan;

e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai.25

Sedangkan proses pemeriksaan perkara di depan sidang pengadilan dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata sebagaimana yang telah tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama Pasal 54: “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama dalam

lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.26

24

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet.ke-1, h. 214. 25

R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata,..., h. 40. 26


(37)

28

Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum, dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini hanya bersifat checking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Pada upaya perdamaian, inisiatif perdamaian dapat timbul dari hakim. Pemohon ataupun termohon, hakim harus sengguh-sungguh mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya perdamaian yang dilakukan tidak berhasil, maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum dilanjutkan ketahap pemeriksaan.27

Selanjutnya pada tahap dari termohon, pihak termohon diberikan kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap pemohon melalui hakim. Pada tahap replik pemohon kembali menegaskan isi permohonannya yang dilakukan oleh termohon dan juga mempertahankan diri atas sanggahan-sangghan yang disangkal termohon. Kemudian pada tahap duplik, termohon dapat menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh pemohon.

Tahap replik duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat memandang cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap pembuktian, pemohon dan termohon mengajukan semua alat-alat bukti yang dimiliki untuk mendukung jawabannya (sanggahan), masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak lawannya.

Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan, hakim

27


(38)

menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan menyimpulkan dalam putusan dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa.28

B. Hutang

1. Pengertian dan Dasar Hukum Hutang

Secara etimologis qardh merupakan bentuk mashdar dari qaradha-yaqridhu, yang artinya dia memutuskannya. Qardh adalah bentuk mashdar yang berarti memutuskan. Dikatakan qaradhu asy-syai’a bil miqradh, atau memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qaradh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.

Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari. Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antar lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Defenisi yang dikemukakan dalam kompilasi hukum ekonomi syariah bersifat aplikatif dalam akad pinjam-meminjam antara nasabah dan lembaga keuangan syariah.29

Ada beberapa pendapat tentang defenisi Al-Qardh. Menurut Imam Hanafi, Al-Qardh adalah pemberian harta oleh seseorang kepada orang lain supaya ia membayarnya. Kontrak yang khusus mengenai penyerahan harta kepada

28

R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata,...,h. 43-45. 29


(39)

30

seseorang agar orang itu mengembalikan harta yang sama sepertinya.30 Sementara itu, Imam Malik menyatakan bahwa Al-Qardh merupakan jaminan atas benda yang bermanfaat yang diberikan hanya karena belas kasihan dan bukan merupakan bantuan atau pemberian, tetapi harus dikembalikan seperti bentuk yang dipinjamkan.31

Dasar Hukum Qardh a. Al-Qur’an

Firman Allah Q.S. Al-Baqarah: 282

          

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak

secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”

Fiman Allah Q.S. Al-Maidah: 1

     

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu...” Firman Allah Q.S. Al-Baqarah: 280

       

Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka

berilah tangguh sampai ia berkelapangan...” Firman Allah Q.S. Al-Hadid: 11

            30

M. Abdul Mudjieb, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 8. 31


(40)

Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Alllah pinjaman yang

baik, Allah akan melipat gandakan pinjaman itu untuknya dan ia akan

memperoleh pahala yang baik”.32

b. Hadits

Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah Saw. Bersabda:

)هج ام با ا ر( اترم ةقد ك اك اا يترم ا رق ا لسم رقي ملسم م ام

Artinya: “Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim

(lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) shadaqah.” (H.R. Ibnu Majah).

Dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda:

اب تكم ةنجلا اب لع رسا ةليل تيار

ةي ا ثب رقلا ا لثما رشعب ةقد لا

سي ئاسلا ا اق ةقد لا م

فا رقلا اب ام يربج اي تلقف رشع

) ق يبلا هجام با ا ر( ةجاح م لا رقتس لا دنع

Artinya: “Pada malam peristiwa Isra’ aku melihat di pinti surga tertulis:

shodaqah (akan diganti) dengan 10 kali lipat, sedangkan qardh dengan 18 kali lipat. Maka aku bertanya: wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama daripada shadaqah? Ia menjawab: karena ketika meminta, peminta tersebut memiliki sesuatu, sementara ketika berutang, orang tersebut tidak kurang

kecuali karena kebutuhan”. (H.R. Ibnu Majah dan Baihaqi). c. Ijma’ Ulama

Umat Islam sepakat akan diperbolehkannya qardh.33

2. Rukun dan Syarat Hutang Piutang adalah:

a. Adanya yang berpiutang: Yang disyaratkan harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum.

b. Adanya orang yang berutang: syaratnya sama dengan ketentuan point satu.

32

AH. Azharudin Lathif, fiqh muamalat,(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h.150. 33

Isnawati Rais, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.150.


(41)

32

c. Objek/barang yang diutangkan: barang yang diutangkan disyaratkan berbentuk barang yang dapat diukur/diketahui jumlah maupun nilainya. Disyaratkannya hal ini agar pada waktu pembayarannya tidak menyulitkan, sebab harus sama jumlah/nilainya dengan jumlah/nilai barang yang diterima. d. Lafaz, yaitu adanya pernyataan baik dari pihak yang mengutangkan maupun

dari pihak yang berutang.34

Beberapa hukum yang berkaitan hutang piutang

Pertama, akad utang piutang menetapkan peralihan pemilikan. Misalnya apabila seseorang menghutangkan satu kilo gandum kepada orang lain, maka barang tersebut terlepas dari pemilikan muqridh (orang yang menghutangi), dan muqtaridh (orang yang berhutang) menjadi pemilik atas barang tersebut sehingga ia bebas bertasharruf atasnya. Hal ini sebagaimana berlaku pada akad jual-beli, hibah dan hadiah.

Kedua, penyelesaian utang piutang dilaksanakan di tempat akad berlangsung. Sekalipun demikian, dapat juga dilaksanakan di tempat lain sepanjang penyerahan tersebut tidak membutuhkan ongkos atau sepanjang disepakati demikian.

Ketiga, pihak muqtaridh wajib melunasi hutang dengan barang yang sejenis jika objek hutang adalah barang mitsliyyat, atau dengan barang yang sepadan (senilai) jika objek hutang adalah barang al-qimiyyat. Ia sama sekali tidak wajib melunasi hutangnya dengan „ain (barang) yang dihutangnya. Pada sisi

34

Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika), 2004, h.137.


(42)

lain pihak muqridh tidak berhak menuntut pengembalian „ain (barang) yang dihutangkannya karena barang tersebut telah terlepas dari pemilikannya.

Keempat, jika dalam akad ditetapkan waktu atau tempo pelunasan hutang, maka pihak muqridh tidak berhak menuntut pelunasan sebelum jatuh tempo. Sedang apabila tidak ada kesepakatan waktu atau tempo pengembaliannya, menurut ulama Malikiyyah pelunasan hutang berlaku sesuai adat yang berkembang.

Kelima, ketika waktu pelunasan hutang tiba, sedang pihak muqtaridh tidak mampu melunasi hutang, sangat dianjurkan oleh ajaran Islam agar pihak muqtaridh berkenan memberi kesempatan dengan memperpanjang waktu pelunasan, sekalipun demikian ia berhak menuntut pelunasannya. Pada sisi lain ajaran Islam juga menganjurkan agar pihak muqtaridh menyegerakan pelunasan hutang, karena bagaimanapun juga hutang adalah sebuah kepercayaan dan sekaligus pertolongan, sehingga kebajikan ini sepantasnya dibalas dengan kebajikan pula, yakni menyegerakan pelunasan.35

3. Hikmah dan Manfaat Disyariatkan Qardh (Hutang)

a. Melaksanakan kehendak Allah agar kaum muslimin saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.

b. Menguatkan ikatan ukhuwah (persaudaraan) dengan cara mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan dan mengalami kesulitan dan meringankan beban orang yang tengah dilanda kesulitan.36

35 Ghufron A. Mas’adi,

Fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.174.

36


(43)

34

Hal pertama dalam skema pembagian kekayaan adalah orang tersebut harus terlebih dahulu melunasi hutang-hutangnya baru kemudian membagikan hartanya. Ada 2 jenis hutang, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Hutang kepada Allah misalnya pembayaran zakat, puasa, menjanjikan sesuatu atau nazar, penebusan dosa atau kafarat. Menurut Imam Hanafiyah, hutang kepada Allah seharusnya tidak diambil dari harta yang ditinggalkan. Hal ini dikarenakan tanggung jawab tersebut sudah hilang bersamaan dengan meninggalnya orang yang mempunyai komitmen tersebut. Tetapi jika pewaris mewasiatkan hal tersebut maka hal ini menjadi kewajiban yang harus dilakukan dari hartanya.37

Namun menurut Syafi’i, Maliki dan Hanbali hutang kepada Allah harus tetap dilaksanakan meskipun orang tersebut telah meninggal. 38

Menurut Javed Ellahie, klasifikasi hutang adalah sebagai berikut: a. Yang diperjanjikan ketika sehat;

b. Yang diperjanjikan ketika sakit sebelum meninggal;

c. Yang diperjanjikan sebagian ketika sakit dan sebagian setelah meninggal. Urutan yang lebih baik adalah 1,3 dan 2.39

37

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah,..., h.336. 38

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah,..., h.336.

39Mohd Ma’sum Billah,

Penerapan Manajemen Aset Islami, (Jakarta: Pakusengkunyit), 2010, h. 78.


(44)

35

DI PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA

A. Profil Pengadilan Agama Tigaraksa1

1. Legalitas Institusi

Pengadilan Agama Tigaraksa dibentuk berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 85 tahun 1996 tanggal 01 November 1996 dan Pengadilan Agama Tigaraksa diresmikan pada hari kamis tanggal 21 Agustus 1997 bertepatan pada tanggal 17 Rabiul Awwal 1418 H oleh direktur Peradilan Agama atas nama Menteri Agama bertempat di gedung Negara (Pendopo) PEMDA Kabupaten DT.II Tangerang yang pada saat itu Bapak Let.Kol. Agus Junara menjabat sebagai Bupati.

2. Legalitas Yurisdiksi Relatif

Yurisdiksi relatif (kewenangan mengadili) yaitu meliputi wilayah hukum kabupaten Tangerang yang merupakan pemekaran wilayah baru antara kabupaten Tangerang dan kota Tangerang telah diserahkan pada tanggal 21 Agustus 1996 antara Drs.H. Abdurrahman Abror selaku ketua pengadilan agama Tangerang kepada Drs.A.D. Dimyati,SH selaku ketua pengadilan Agama Tigaraksa yang terdiri dari 19 kecamatan, 3 kemantren dan 306 desa serta berdasarkan PERDA Kabupaten Tangerang telah mengalami pemekaran menjadi 36 kecamatan.

1

Profil Pengadilan Agama Tigaraksa ini sepenuhnya di download dari


(45)

36

3. Infrastruktur Kantor

Pada saat diresmikan Pengadilan Agama Tigaraksa berkantor di Jalan. Raya Serang Km. 12, Kp. Pulo, Desa Bitung Jaya, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang dengan luas bangunan 7x12 meter diatas tanah 864 meter. Pada tahun 2002 Pengadilan Agama Tigaraksa menempati gedung baru yang terletak di Jalan. Mesjid Agung Al-Amjad No. 1 Komplek Perkantoran Pemda Kabupaten Tangerang dengan luas tanah 2000 M dengan gedung berlantai 2 yan terdiri dari ruang ketua, ruang wakil ketua, ruang panitera, ruang panitera sekretaris, ruang hakim, ruang kesekretariatan, ruang kepaniteraan, 2 buah ruang sidang, ruang arsip, ruang tunggu para pihak, ruang register, ruang komputer, ruang perpustakaan dan ruang kasir.

4. Infrastruktur Penunjang2

Untuk menunjang kinerja sebagai sarana penunjang perkantoran Pengadilan Agama Tigaraksa telah memiliki meubelair yang memadai, 5 ruang ber AC, 3 buah kendaraan dinas roda empat (satu buah bantuan dari Pemda Kabupaten Tangerang) 3 buah kendaraan roda 2, 11 unit komputer dan 2 buah laptop.

5. Sumber Daya Manusia

Pengadilan Agama Tigaraksa didukung oleh 12 orang hakim (berikut ketua dan wakil) 2 orang cakim, 7 panitera pengganti (berikut panmud dan

2

Profil Pengadilan Agama Tigaraksa ini sepenuhnya di download dari


(46)

wapan), 7 orang juru sita pengganti, 4 orang staf dan 6 orang tenaga honorer (pramu kantor, sekuriti dan sopir). Secara kualitas terdiri dari 8 orang Magister, 17 orang Strata 1 (S-1), 1 orang diploma 3 dan 7 orang SMU.

6. Visi dan Misi Pengadilan Agama Tigaraksa

Visi adalah suatu gambaran yang menantang tentang suatu keadaan masa depan, berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan oleh suatu institusi. Sedangkan misi adalah sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan oleh suatu institusi sesuai visi yang ditetapkan agar tujuan lembaga dapat terlaksana dan berhasil dengan baik.

Visi dan Misi Mahkamah Agung dan kebijakan pimpinan selalu menjadi landasan berpijak dan arah kebijakan Pengadilan Agama Tigaraksa. Visi dan Misi Mahkamah Agung dijabarkan dalam visi dan misi Pengadilan Agama Tigaraksa, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diembannya.

Visi Mahkamah Agung RI adalah “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia Yang Agung”.

Misi Mahkamah Agung dijabarkan sebagai berikut: 1. Menjaga Kemandirian Badan Peradilan.

2. Memberikan Pelayanan Hukum Yang Berkeadilan Kepada Para Pencari Keadilan.

3. Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan Badan Peradilan. 4. Meningkatkan Kredibelitas dan Transparansi Badan Peradilan.


(47)

38

Pengadilan Agama Tigraksa sebagai underbow Mahkamah Agung RI memiliki komitmen dan kewajiban yang sama untuk mengusung terwujudnya peradilan yang baik dan benar serta dicintai masyarakat. Atas dasar itu maka Pengadilan Agma Tigaraksa telah menjabarkan visi dan misi tersebut dalam visi dan misi Pengadilan Agama Tigaraksa, Yaitu:

Visi:3

Mewujudkan Pengadilan Agama Tigaraksa yang modern dan dipercaya. Misi:

a. Mewujudkan pelayanan prima, cepat dan profesional dengan biaya ringan. b. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas input, proses dan output eksternal

pada peradilan.

c. Memperbaiki akses pada layanan hukum dan peradilan. d. Mengupayakan sistem informasi sesuai program IT. 7. Tugas Pokok Peradilan Agama

Sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan ialah menerima, memeriksa dan memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya, termasuk didalamnya menyelesaikan perkara voluntair.

Peradilan Agama juga adalah salah satu diantara 3 Peradilan Khusus di Indonesia. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara perdata tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam

3

Profil Pengadilan Agama Tigaraksa ini sepenuhnya di download dari


(48)

struktur organisasi Peradilan Agama ada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang secara langsung bersentuhan dengan penyelesaian perkara di tingkat pertama dan banding sebagai manifestasi dari fungsi kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.

Tugas-tugas lain Pengadilan Agama adalah:

a. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam kepada instansi didaerah hukumnya apabila diminta.

b. Melaksanakan hisab dan rukyatul hilal.

c. Melaksanakan tugas-tugas lain pelayanan seperti pelayanan riset/penelitian, pengawasan terhadap penasehat hukum dan sebagainya.

d. Menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam.

Dengan demikian, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk menyelesaikan semua masalah dan sengketa yang termasuk di bidang perkawinan, kewarisan, perwakafan, hibah, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Fungsi:4

a. Melakukan pembinaan terhadap pejabat struktural dan fungsional dan pegawai lainnya baik menyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun administrasi umum.

4

Profil Pengadilan Agama Tigaraksa ini sepenuhnya di download dari


(49)

40

b. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan pegawai lainnya (pasal 53 ayat 1 dan 2, UU No. 3 Tahun 2006).

c. Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara dibidang kehakiman. 8. Wilayah Yuridiksi

Lokasi dan luas wilayah Pengadilan Agama Tigaraksa. Secara astronomis, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan terletak diantara: 6° 00’- 6°

20’ LS dan 106° 20’- 106° 43’ BT. Secara geografis Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan berbatasan sebagai berikut:

 Sebelah Barat : Wilayah Kabupaten Lebak dan Serang.

 Sebelah Utara : Wilayah Laut Jawa.

 Sebelah Timur : Wilayah Kota Tangerang dan DKI Jakarta.

 Sebelah Selatan : Wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Depok.

Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan meliputi area seluas 1.110,38 Ha. Pembagian wilayah hukum Pengadilan Agama Tigaraksa adalah wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan memiliki wilayah kecamatan sebanyak 36 kecamatan yang mewilayahi 328 Kelurahan/Desa.

9. Tanah

Berdasarkan hasil penetapan penggunaan tanah Kecamatan diseluruh Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan dengan luas keseluruhan 1.110,38 Ha, dengan luas masing-masing sebagai berikut:

 Kampung/Perumahan : 3.425.205 Ha.


(50)

 Tegalan/Ladang : 22.715 Ha. 10.Sarana Ibadah5

 Mesjid : 1.720 buah

 Musholla : 8.040 buah

 Gereja : 79 buah (Protesten) dan 21 buah (Katholik)

 Vihara : 41 buah

 Pura : 2 buah

11.Sarana Kesehatan

 Rumah Sakit Umum : 12 buah

 Rumah Sakit DKT : 1 buah

 Rumah Sakit Swasta : 22 buah

 Puskesmas : 40 buah

12.Sarana Umum lainnya

 Pasar Tradisional : 97 buah

 Pasar Swalayan : 110 buah

 Gelanggang Olahraga : 65 buah

 Lapangan Olahraga : 109 buah

 Balai Budaya : 2 buah

 Gedung Bioskop : 6 buah

5

Profil Pengadilan Agama Tigaraksa ini sepenuhnya di download dari


(51)

42

13.Lalu Lintas

Secara geografis Ibukota Kabupaten Tangerang ini berbatasan dengan wilayah yang berada di Provinsi Jawa Barat yaitu Bogor dan DKI Jakarta. Oleh karena itu dalam sektor lalu lintas Kabupaten Tangerang menjadi lintasan berarti karena dilewati oleh fasilitator angkutan baik umum maupun pribadi yang bertujuan ke daerah lain.

14.Pariwisata

Kabupaten Tangerang memiliki potensi pariwisata yang beraneka ragam, baik wisata alam maupun wisata buatan. Hal ini dapat dilihat dari wilayah Kabupaten Tangerang yang memiliki laut di pantai utara dan ragam budaya Pasundan, Betawi, Jawa (Banten) dan Cina.

15.Stuktur Organisasi6

Struktur Organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa mengacu pada Undang-Undang Nomor. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor. KMA/004/II/92 tentang organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama dan KMA Nomor. 5 tahun 1996 tentang Struktur Organisasi Peradilan.

JABATAN NAMA

KETUA Drs. H. Uyun Kamiluddin, SH,MH

WAKIL KETUA Dra. Muhayah, SH, MH

6

Profil Pengadilan Agama Tigaraksa ini sepenuhnya di download dari


(52)

HAKIM Dra. H. Erawati, SH, MH Drs. Saefuddin Z, SH, MH Drs. Supyan Maulani Dra. Nurhayati Drs. H. Saefullah

Drs. H. Nurkholish, MH Drs. Hendi Rustandi, SH Drs. Muhyar, MH

Dra. Al’Jamilah, MH Ahmad Bisri, SH, MH Zainul Arifin, SH H. Rosmani Daud, S.Ag H. Antung Jumberi, SH, MH Fitriyel Hanif, M.Ag

Dra. Hj. Aprin Astuti Musidah, S.Ag, M.Ag Candra Boy Seroza, SH, MH Rahmat Arjiaya, S.Ag PANITERA/SEKRETARIS Drs. H. Baehaki

WAKIL PANITERA Pariyanto, S.H


(53)

44

PANMUD PERMOHONAN Hamid Safi, S.Ag

STAF Zulkhairiyah Abdillah, S.HI

PANMUD GUGATAN Nurmala Sari Josepha, S.H

STAF Budi A. Rahayu, A.Md

Safruddin, BA

PANMUD HUKUM Naili Ivada, S.Ag

STAF Ahmad Muhtadin, S.HI

Adhiaksari Hendriawati, S.HI KASUBAG KEPEGAWAIAN Puspa Rini, S.H

STAF Dwi Budiyanto, A.Md

KASUBAG KEUANGAN Siti Rodiah, S.H, M.H

STAF H. Hendri

Asep Soni Dwi Sutendi, A.Md

KASUBAG UMUM Henni Fitria, S.E

STAF Ahmad Supyana, S.Kom

PANITERA PENGGANTI Fathiyah Sadim, S.Ag Hikmah Nurmal, S.H Siti Jubaedah, S.H Mardiati, S.H, M.H Sitti Hajar, S.HI Drs. Mahyuta


(54)

JURUSITA Agus Priyono, S.H Zaenal Arifin

JURUSITA PENGGANTI Jupri Suwarno, S.Ag H. Hendri

Chahya Saputro

Ahmad Sopyana, S.Kom Dwi Budiyanto, A.Md Henni Fitria, S.E Pusparini, S.H

Asep Soni Dwi Stendi, A.Md

B. Duduk Perkara

Di dalam duduk perkara disebutkan bahwa berdasarkan surat permohonannya yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Tigaraksa pada tanggal 3 Desember 2012 dengan register Nomor 2429/Pdt.G/2012/PA. Tgrs telah mengajukan hal-hal sebagai berikut:7

1. Bahwa pemohon adalah suami sah dari termohon yang telah melangsungkan perkawinan pada tanggal 13 April 1997, dihadapan Pejabat Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan sebagaimana terbukti dalam Buku Kutipan Akta Nikah Nomor: 27/27/IV/97;

7


(55)

46

2. Bahwa selama berumah tangga antara Pemohon dan Termohon telah berhubungan sebagaimana layaknya suami istri dan telah memperoleh keturunan 3 (tiga) orang anak masing-masing:

a. Laki-laki bernama Muhammad Reyga Wahyudi, lahir di Tangerang pada tanggal 16 Januari 1999;

b. Perempuan bernama Alvida Salsa Wahyudi lahir di Tangerang pada tanggal 8 Mei 2001;

c. Perempuan bernama Virly Tamelia Wahyudi lahir di Tangerang pada tanggal 15 Januari 2006;8

3. Bahwa bermula dari sikap Termohon terhadap Pemohon dari awal perkawinan yang tidak pernah menghormati dan menghargai Pemohon sebagai seorang suami dan kepala rumah tangga demikian juga Termohon yang suka membantah semua saran Pemohon;

4. Bahwa yang sangat menyakitkan bagi Pemohon adalah Termohon sering kali berhutang yang jumlahnya sampai ratusan juta rupiah dan hal itu dilakukan Termohon sampai berulang-ulang yang mengakibatkan Pemohon terbelit hutang, sedangkan Pemohon selalu memberikan nafkah yang sudah lebih dari mencukupi layaknya kepala keluarga walaupun Pemohon masih baru meniti karir;

5. Bahwa setiap kali Termohon melakukan kesalahan dengan berhutang tanpa sepengetahuan Pemohon setiap kali itu juga Pemohon menasehati Termohon

8


(56)

agar selalu terbuka dan tidak boros akan tetapi sampai saat ini Termohon tidak merubah sikapnya tersebut;

6. Dengan bersusah payah Pemohon mencari nafkah dengan harapan keadaan rumah tangga akan menjadi lebih baik tetapi betapa kecewanya Pemohon setelah mengetahui bahwa sampai perhiasan yang dibelikan Pemohon dijual oleh Termohon tanpa sepengetahuan Pemohon dan kegunaan uang hasil penjualan perhiasan tersebut tidak jelas;

7. Bahwa perbedaan tersebut mengakibatkan sering terjadinya pertengkaran yang tidak pernah ada penyelesaiannya. Padahal Pemohon sering meminta agar Termohon menghargai dan menghormati Pemohon sebagai Kepala Rumah Tangga dengan berterus terang dalam mengambil langkah apalagi sampai berhutang dengan nilai ratusan juta rupiah, akan tetapi permintaan dan harapan Pemohon tersebut tidak pernah dihiraukan oleh Termohon;

8. Bahwa akibat dari pertengkaran terus-menerus antara Pemohon dengan Termohon tersebut, menimbulkan tidak adanya komunikasi antara Pemohon dengan Termohon, sikap lain yang dilakukan oleh Termohon yaitu tidak pernah memberikan support atau dorongan moril / sikap acuh kepada Pemohon dalam mencari nafkah sebagai kepala rumah tangga;

9. Sebagai puncak dari pertengkaran dan tidak pernah adanya komunikasi antara Pemohon dengan Termohon, maka sejak bulan Agustus 2012, Pemohon dan Termohon sudah pisah ranjang dan tempat tinggal, sejak terjadinya pisah ranjang dan tempat tinggal, Termohon tidak pernah menanyakan mengapa


(57)

48

Pemohon meninggalkan tempat tinggal bersama apalagi meminta agar Pemohon kembali tinggal bersama-sama dirumah kediaman bersama justru menyarankan agar persoalan diselesaikan di Pengadilan;

10.Saat ini Pemohon dengan Termohon sudah tidak ada lagi ikatan lahir dan bathin sebagaimana layaknya pasangan suami istri, oleh karena itu tujuan dari perkawinan sebagaimana diisyaratkan undang-undang. Perkawinan tidak akan tercapai yang berarti ikatan perkawinan antara Pemohon dan Termohon sudah tidak ada artinya lagi dan jalan yang terbaik adalah perkawinan ini putus karena perceraian.9

Berdasarkan seluruh uraian dan alasan tersebut, Pemohon bermaksud akan menjatuhkan talak terhadap Termohon, oleh karena itu mohon kiranya majelis hakim yang mengadili perkara ini menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

2. Memberi ijin kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak satu terhadap Termohon dihadapan sidang Pengadilan Agama Tigaraksa;

3. Menghukum kepada Pemohon untuk memberikan hak-hak Termohon:

 Nafkah iddah selama masa iddah sebesar Rp. 9.000.000,- (sembilan juta rupiah);

 Mut’ah berupa 2 (dua) unit sepeda motor Yamaha Mio;

4. Menetapkan 3 (tiga) orang anak hasil perkawinan antara Pemohon dan Termohon yang bernama:

9


(58)

 Muhammad Reyga Wahyudi, laki-laki umur 14 tahun;

 Alvida Salsa Wahyudi, perempuan umur 12 tahun;

 Virly Tamelia Wahyudi, perempuan umur 7 tahun;

Diasuh dan dipelihara oleh Termohon, dengan memberikan hak kepada Pemohon sebagai ayah kandungnya untuk mengunjungi, mengajak jalan-jalan, membicarakan masa depan anak dan lain sebagainya sebagaimana layaknya hubungan antara anak dengan ayahnya;

5. Menghukum kepada Pemohon untuk memberikan nafkah ke 3 (tiga) orang anak sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) setiap bulannya sampai anak tersebut dewasa atau berumur 21 tahun yang diserahkan melalui Termohon sebagai pemegang hak hadhanah;

6. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Tigaraksa untuk menyampaikan salinan penetapan ini kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan untuk dicatat pada buku register yang telah dipersiapkan untuk kepentingan tersebut;

7. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 691.000,- (enam ratus sembilan puluh satu ribu rupiah);10

Demikian diputuskan dalam permusyawaratan majelis hakim Pengadilan Agama Tigaraksa pada hari Kamis, 21 Maret 2013 M bertepatan dengan tanggal 1434 H. Oleh kami Drs. H. Saifullah sebagai ketua majelis, H Antung Jumberi,

10


(59)

50

S.H, M.H dan Musidah S.Ag, M.HI masing-masing sebagai hakim anggota, dibantu oleh Fathiyah Sadim, S.Ag sebagai panitera pengganti. Dan putusan tersebut diucapakan dalam persidangan terbuka untuk umum oleh ketua majelis dengan dihadiri oleh Pemohon dan Termohon.

C. Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Perkara

Adapun pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkara tersebut adalah karena mediasi yang dilakukan oleh hakim mediator H. Rosmani Daud, S.Ag terhadap Pemohon dan Termohon ternyata gagal. Kemudian antara Pemohon dan Termohon sering terjadi pertengkaran dan perselisihan yang disebabkan Termohon sering kali berhutang kepada teman-temannya yang jumlahnya sampai ratusan juta rupiah, dan hal ini juga diakui oleh Termohon, sehingga pada bulan Agustus 2012 terjadilah puncak pertengkaran, akibatnya Pemohon dan Termohon telah pisah ranjang dan tempat tinggal. Pemohon juga menghadirkan dua orang saksi untuk meneguhkan dalil-dalil permohonannya dibawah sumpahnya secara Islam, yang pada pokoknya masing-masing telah menerangkan bahwa Pemohon dan Termohon sering terjadi pertengkaran yang disebabkan Termohon banyak hutang kepada temannya hingga ratusan juta rupiah.

Dalam hal terjadinya perselisihan terus menerus antara Pemohon dan Termohon dalam Rumah Tangganya, majelis hakim telah memperoleh fakta hukumnya bahwa rumah tangga antara suami istri yang bersangkutan telah sedemikian parahnya yang sulit untuk dirukunkan. Akhirnya majelis hakim berkesimpulan bahwa rumah tangga antara Pemohon dan Termohon telah pecah


(60)

(broken mirrage). Dengan demikian alasan Pemohon mengajukan permohonan ijin cerai telah sesuai dengan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, sehingga majelis hakim memberi ijin kepada Pemohon


(61)

52

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN TENTANG HUTANG SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

A. Hutang Sebagai Alasan Perceraian

Di dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 dan di dalam KHI No. 1 Tahun 1974 di sebutkan bahwa terdapat delapan alasan yang memperbolehkan mengajukan perceraian, enam alasan kita dapat temukan di dalam PP No. 9 Tahun 1975 yaitu: pertama, salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Kedua, salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. Ketiga, salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Keempat, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat terhadap pihak lain. Kelima, salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. Keenam, antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidaka ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sedangkan di dalam KHI ada penambahan dua alasan, yaitu suami melanggar ta’lik talak, dan terjadinya peralihan agama atau murtad yang mengakibatkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Dari 8 alasan tersebut boleh mengajukan perceraian menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia tampak bahwa hutang tidak termasuk sebagai


(1)

60

Pemahaman ini perlu untuk menyempurnakan pengetahuan mereka tentang syiqoq. Selama ini para hakim memang mengenal syiqoq ini sebagai alasan terjadinya kekerasan, tetapi dalam konsep yang dipahaminya itu terkandung makna bahwa percekcokan itu sebagai kesalahan kedua belah pihak. Dengan analisis tersebut, mereka dapat menelusuri pangkal atau asal muasal percekcokan itu.


(2)

61 A. Kesimpulan

Dari penjelasan tersebut, maka perkara hutang sebagai alasan perceraian dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Dalam Perundang-undangan di Indonesia hutang tidak bisa dijadikan sebagai alasan perceraian, karena memang alasan tersebut tidak ditemukan dalam perundang-undangan di Indonesia. Diduga kuat karena adanya materi Undang-Undang yang mengatur tentang harta bersama. Akan tetapi, karena adanya hutang yang disebabkan oleh istri hingga ratusan juta rupiah memicu pertengkaran antara suami istri secara terus menerus. Alasan telah terjadi pertengkaran terus menerus inilah yang dijadikan hakim untuk mengabulkan permohonan cerai talak suami, bukan karena alasan hutang.

2. Adapun pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan cerai talak yang diajukan oleh suami terhadap kasus istri karena dililit hutang adalah karena memang tidak ditemukan lagi keharmonisan dalam rumah tangga mereka sejak istri diketahui oleh suami berhutang sampai ratusan juta rupiah dan hal tersebut juga diakui oleh istri. Sehingga hal tersebut memancing terjadinya syiqoq diantara keduanya. Suami juga merasa tidak pernah dihargai dan dihormati bahkan tidak pernah diberikan dukungan moril untuk mencari nafkah guna untuk menghidupi keluarga mereka. Kalo sudah begini


(3)

62

keadaannya, di dalam rumah tangga tersebut tidak akan didapati yang namanya cinta dan kasih sayang. Jika tidak didapati kedua hal tersebut, maka berpisah (bercerai) adalah jalan yang terbaik, sebab tujuan dari sebuah pernikahan adalah membentuk keluarga sakinah mawaddah warahmah.

B. Saran-Saran

Dengan selesainya pembahasan dalam skripsi ini, penulis merasa perlu untuk memperbaikinya. Adapun beberapa saran sebagai berikut :

1. Perlu diadakannya sosialisasi tentang akhlak tasawuf baik itu melalui majelis ta’lim, hari-hari besar Islam dan acara seminar. Karena jika masyarakatnya memiliki akhlak yang baik dan tau akan hak dan kewajiban suami istri. Maka hal ini akan dapat mengurangi jumlah perceraian di masyarakat.

2. Diharapkan kepada para suami yang istrinya mempunyai masalah dengan hutang agar tidak langsung mengajukan cerai talak. Demikian pula kepada istri diharapkan untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan suami. Bagi para suami, terimalah istri sesuai dengan kemampuannya, hak dan kewajibannya sebagai seorang istri.

3. Sebagai langkah akademis perlu diadakan latihan bagi para mahasiswa syariah dan hukum akan kemampuan menjadi mediator dalam mendamaikan para pihak yang sedang cekcok mengingat kurikulum yang ada di Fakultas lebih dominan masih bersifat teoritis, sehingga perlu diimbangi dengan kurikulum


(4)

65 Surabaya: CV. Amin Surabaya, 1985.

Bailey ,Carrol A., A. guide to Qualitative Field Research, Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press, 2006.

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Pusat Peningkatang dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.

Moleong,Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja RosdaKarya, 2000.

Krisyanto, Rahmat, Tehnik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana Pranada Group, 2007

Sarwono, Sarlito Wirawan, Apa dan Bagaimana Mengatasi Problema Keluarga, Jakarta, Pustaka Antara, 1996.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1996.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan kualitatif, Kuantitatif dan R&D Bandung Alfabeta, 2006.

Undang-undang perkawinan di Indonesia: PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Peraturan UU. No.1 Tahun 1974, Jakarta: Pradnya Paramita, 1991.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo, 2003. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta: Balai Pustaka, 1989

Nurudin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2004


(5)

66

AF Hasanuddin, Perkawinan dalam Perspektif Al-Quran, Jakarta: Nusantara Damai Press, 2011

Sulaiman Abu Daud bin al-‘Asy’ Asy, Sunan Abu Daud”, Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Mesir: Global Islamic Sofware Company, 2000, hadis no. 1863. lihat juga, Jalal al-Din al-Syuyuthi, al-Jami’ al-¢haghir Bandung, al-Ma’arif. Tt. Juz. I.

Thalib Suyuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. Ke- 5, Jakarta: UI Press, 1986

HS Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: Sinar Grafika, 2002 Rasyidi Lili, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan Malaysia,

Bandung: Rosda Karya, 1991

Arto H. A. Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000, cet. Ke-3.

Suma Muhammad Amin Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia,

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,.

Saleh K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978, cet. ke-5

Tihami H.M.A., Fikih Munakahat, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009, hal.240.

Manan Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006)

Nuruddin Amiur, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI), Jakarta: Kencana, 2006

Sabiq Sayyid, Fiqh Sunnah, Bairut: Dar al-Tsaqofiyah al-Islamyah, Juz 2

Muhtar Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, Cet. Ke-1

Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006 Hamid Andi Tahir, Peradilan Agama dan Bidangnya, Jakarta : Sinar Grafika,


(6)

Lubis Sulaikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006

Bintania Aris, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012

Fauzed M., Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan

Mahkamah Syar’iyah di Indonesia¸Jakarta : Prenada Media, 2005

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2012

Mudjieb M. Abdul, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994

Muslichuddin, M. Sistem Perbankan Dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1990 Lathif AH. Azharudin, fiqh muamalat,Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005

Rais Isnawati, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011

Pasaribu Chairuman, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004

Mas’adi Ghufron A., Fiqh muamalah kontekstual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002

Billah Mohd Ma’sum, Penerapan Manajemen Aset Islami, Jakarta: Pakusengkunyit, 2010

Salinan Putusan Perkara No : 2429/Pdt.G/2012/PA TGRS

Harahap M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini)

Muhtar Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, Cet. Ke-1