BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak  dulu  hingga  sekarang,  perjuangan  menerapkan  Syariat  Islam  di Indonesia  selalu  menimbulkan  pro  dan  kontra,  terutama  ketika  perjuangan  ini
diarahkan  pada  upaya  mendapatkan  legitimasi  dan  operasionalisasi  melalui  negara secara formal.
1
Jika selama Orde Baru perbincangan Syariat Islam seolah telah tutup buku, jatuhnya rezim Soeharto bisa dikatakan membuka lembaran baru perbincangan
Syariat Islam tersebut. Di era Desentralisasi dan Otonomi Daerah sekarang, gagasan penerapan  Syariat  Islam  kembali  mengemuka.  Upaya  untuk  menggali  dan
memunculkan  kembali  Tujuh  Kata  yang  hilang  dalam  Piagam  Jakarta  mulai digulirkan  beberapa  kelompok.
2
Walaupun  sebenarnya  pada  pertengahan  1980-an, Prof.  Dr.  Munawir  Sjadzali,  MA,  pernah  melemparkan  gagasan  reaktualisasi  ajaran
Islam  tentang  perlunya  pemikiran  ulang  mengenai  pembagian  harta  waris  yang berkaitan dengan hukum Syari’at Islam .
3
Inilah tampaknya awal dari gegap gempita wacana Syariat Islam di Indonesia pasca  Orde  Baru.  Peristiwa  1998  telah  menjadi  tonggak  sejarah  perubahan  baru
1
http:zanwar.blogspot.com200710formalisasi-syariat-islam-di-indonesia.html 11
Desember 2007
2
Ibid
3
Azyumardi  Azra,  Syari’at  Islam  dalam  Bingkai  Nation  State,  Jakarta:  Paramadina,  2005, h.29
dalam negara Indonesia, peristiwa inilah yang kemudian kita kenal dengan peristiwa Reformasi.  Semua  elemen  masyarakat  pada  saat  itu  berontak  dari  kepemimpinan
Orde Baru pimpinan Soeharto, yang mengakibatkan ia harus lengser dari jabatannya sebagai orang pertama di Indonesia yang telah ia pegang kurang lebih 32 tahun yang
lalu. Setelah  hampir  10  tahun  reformasi,  perjuangan  memformalisasikan  Syariat
Islam  kian  hari  kian  marak.  Sejak  Otonomi  Daerah  dilaksanakan  hingga  Juli  2006, tercatat  56  kebijakan  peraturan  daerah  dalam  berbagai  bentuk;  Peraturan  Daerah
Perda,  Qanun,  Surat  Edaran,  dan  Keputusan  Kepala  Daerah.  Produk  kebijakan daerah  tersebut  secara  tegas  berorientasi  pada  ajaran  moral  Islam  hingga  pantas
disebut Perda Syariat Islam. Perda berbasis syari’at itu setidaknya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga hal,
yaitu:
4
1. Ketertiban  Masyarakat  seperti  pelarangan  aktivitas  pelacuran  seks  dan
pembatasan distribusi dan konsumsi minuman beralkohol; 2.
Kewajiban  dan  keterampilan  keagamaan  seperti  pembayaran  zakat  dan kemampuan baca al-Qur’an
3. Simbolisme keagamaan berupa pakaian busana muslim
Selain  terbukanya  Perda  berbasis  Syari’at  Islam  melalui  peluang  Otonomi Daerah,  maka  ada  beberapa  hal  lain  yang  juga  mendorong  maraknya  Perda  berbau
4
Prof.  Dr.  Arsykal  Salim,  Peraturan  Daerah  Berbasis  Syari’a    Islam  dan  Masalah Penegakan HAM Draf Mata Kuliah Syari’ah Hukum dan HAM
, h. 3
Syari’at Islam, yakni aspirasi permanen sebagian kelompok Islam untuk memasukkan hukum  Islam  kedalam  hukum  nasional  setelah  gagal  mengamandemen  UUD,
kecenderungan itu bergeser ketingkat daerah melalui Perda.
5
Setelah  jatuhnya  Orde  Baru  yang  mewajibkan  berlakunya  asas  tunggal Pancasila,  Presiden  BJ  Habibie  mengubah  strategi  dengan  mengembalikan
keistimewaan  Aceh  melalui  legalisasi  Syariat  Islam,  meski  sebatas  aspek  ibadah, adat, pendidikan dan peran ulama, selain yang sudah diberlakukan, semacam hukum
pernikahan,  warisan,  perbankan  dan  lain-lain.  Implementasi  Syariat  Islam  adalah pintu  masuk  Perdamaian  Aceh.  Menurut  Mayjen  purn  Sulaiman  AB  2005:108-
109, pemerintahan Habibie menilai penerapan Syariat Islam adalah alternatif solusi. Perundingan Helsinki memang menentukan terjadinya Perdamaian antara pemerintah
dan  kelompok  yang  menginginkan  Aceh  merdeka,  tapi  tanpa  adanya  penerapan Syariat  Islam,  juga  bencana  gempa-tsunami,  mustahil  terjadi  pengalihan  wacana
berpikir rakyat Aceh, yang sebelumnya terobsesi referendum dan kemerdekaan. Tidak  dipungkiri,  Partai  Persatuan  Pembangunan  PPP  yang  berasas  Islam
adalah yang pertama kali mendorong pemerintah segera menerapkan Syariat Islam di Aceh.  Namun,  lahirnya  UU  Nomor  441999  dan  UU  Nomor  182001,  dan  akhirnya
UU  Nomor  112006  tentang  Pemerintahan  Aceh,  adalah  karena  disetujui  oleh partaifraksi,  baik  yang  berasas  Pancasila  maupun  Islam,  Partai-partai  berasas
Pancasila  Golkar  dan  PDIP  malah  dua  partai  terbesar  yang  kumulasi  suaranya
5
http:lulukwidyawanpr.blogspot.com200607Perda-berbasis-syariat-tanya-ke-napa.html 11 Desember 2007
melebihi  50.  Munculnya  Perda  yang  dianggap  bernuansa  Syariat  Islam  itu  justru memukul  balik  ide  tersebut.  Daerah-daerah  yang  getol  menerapkan  Perda  demikian
adalah daerah-daerah yang didominasi Partai Golkar, yang berasaskan Pancasila. Kita bisa  telisik  misalnya  pada  tiga  daerah  di  Sulawesi  Selatan  yang  dianggap  termaju
dalam  penerapan  Perda  yang  disebut  bernuansa  Syariat  Islam,  yakni  Kabupaten Bulukumba, Takalar dan Maros. Data Pemilu 2004 menunjukkan, Golkar meraih 11
kursi  dari  35  kursi  DPRD  Kabupaten  Bulukumba,  sedangkan  PPP  dan  PKS  meraih empat dan dua kursi. Di Kabupaten Takalar, Golkar menyapu 16 dari 30 kursi DPRD,
sedangkan  PPP  dan  PKS  hanya  mendapat  satu  dan  dua  kursi.  Begitu  pula,  di Kabupaten Maros, Golkar meraup 13 dari 30 kursi, sedangkan PPP dan PKS masing-
masing dua dan tiga kursi. Ada pengecualian, di Provinsi Bali yang didominasi PDIP 28  dari  52  kursi  DPRD  Bali,  dan  Golkar  13  kursi  tidak  ada  penerapan  Perda
bernuansa Syariat Islam, tapi justru hukum adat dan ibadat Hindu Bali yang mengikat semua penganut agama, termasuk Muslim. Sementara itu, di daerah Manokwari yang
didominasi  Golkar  dan  PDIP  diupayakan  Perda  Kota  Injil.  Jadi,  Perda  yang  disebut bernuansa  Syariat  Islam  dibuat  di  daerah-daerah  yang  didominasi  partai  berasas
Pancasila,  dan  kepala  daerah  yang  dicalonkannya.
6
Akan  tetapi  justru  partai-partai Islam  tidak  melakukannya,  baik  partai  Islam  yang  menyatakan  dasar  mereka  adalah
berdasarkan  azas  Islam  seperti  Partai  Keadilan  Sejahtera  PKS,  Partai  Bintang Reformasi  PBR,  Partai  Persatuan  Nahdlatul  Ummat  Indonesia  PPNUI,  maupun
partai  nasionalis  yang  mayoritas  di  dalamnya  adalah  umat  Islam,  contohnya  Partai
6
http:www.ppp.or.iddetail_berita.php?id=23 11 Desember 2007
Kebangkitan Bangsa PKB Dari  sekian  banyak  propinsi  di  Indonesia  terdapat  beberapa  daerah  yang
membentuk  dan  mengesahkan  Perda  berbasis  Syari’at  Islam,  salah  satunya  adalah Kota Bandar Lampung yang menjadi Ibu Kota dari Propinsi Lampung, yakni adanya
Perda Kota Bandar Lampung  Nomor 15 Tentang  Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna  Susila.  Yangmana  pada  saat  Perda  ini  terbentuk  kursi  di  DPR  Kota  Bandar
Lampung didominasi oleh PDI -P dan Golkar, PDI-P 16 orang dan Golkar menduduki posisi selanjutnya atau 7 orang, PKB 2 orang, PBB 1 orang, dan PKS 2 orang.
Kota  Bandar  Lampung  merupakan  Ibu  Kota  Propinsi  Lampung,  oleh  karena itu  Kota  Bandar  Lampung  merupakan  pusat  kegiatan  pemerintahan,  sosial,  politik,
pendidikan,  dan  kebudayaan,  serta  merupakan  pusat  kegiatan  perekonomian  dari propinsi  Lampung  dengan  jumlah  penduduk  683.490  jiwa  dengan  hampir  lebih  dari
90 mereka memeluk agama Islam atau sekitar 623.977 jiwa.
7
Menurut pemantauan Dinas  Sosial,  khususnya  daerah-daerah  tempat  prostitusi  di  Kota  Bandar  Lampung
meliputi  tempat-tempat  hiburan  dan  yang  tersebar  dibeberapa  tempat  mangkalnya WTS atau PSK, misalnya kawasan daerah Tanjungkarang Pusat, jalan protokol pada
hotel-hotel  melati,  eks  Pasar  Seni  Enggal,  eks  lokalisasi  PemandanganPantai Harapan Panjang, Jalan Pramuka,  Jalan Urip Sumoharjo, dan sepanjang Jalan Yos
Sudarso serta daerah kawasan daerah Telukbetung.
7
Kota Bandar  Lampung  dalam  Angka  20072,  Badan  Pusat Statistik  Kota  Bandar  Lampung BPS,  2007
Sorotan  mengenai  kegiatan prostitusi atau pelacuran  yan  bersifat  liar ilegal dan  bersifat  sporadis  pada  daerah  kota  menjadi  persoalan  yang  penting  dan
dibutuhkan  penanganan  secara  humanis.  Mengingat  bagaimana  lokalisasi  Panjang Pantai  Harapan  dan  Pemandangan  dibubarkan  Pemerintah  Daerah,  akan  tetapi
persoalan  ini  tidak  bisa  memberikan  jawaban  yang  tepat,  terbukti  setelah  lokalisasi ditutup justru para pekerja seks sulit diawasi dan makin liar.
Menurut data  yang diperoleh Dinas Sosial dan  Kesehatan Provinsi  Lampung sepanjang 2003 diperkirakan 64 orang positif HIV Human Immunodeficiency Virus
dengan  perbandingan  peningkatan  dua  kali  lipat  100  dibandingkan  tahun sebelumya  sebanyak  33  kasus  yang  positif.  Terjadinya  peningkatan  penderita  HIV
yang luar biasa berdampak kepada kekhawatiran kita mengenai persoalan ini. Tudingan  prostitusi  dianggap  sebagai  80  faktor  utama  dari  meningkatnya
jumlah penderita HIV tentu beralasan karena pelaku seks bebas kini mengidap virus HIVAIDS yang sangat mematikan dan belum ditemukan obatnya. HIVAIDS timbul
dan berkembang sangat cepat karena dunia pelacuran tetap saja berkembang. Di mana negara-negara  yang  sedang  berkembang  paling  banyak  menghadapi  persoalan  kasus
pelacuran termasuk pelacuran anak dengan berbagai alasan penyebab. Dari  pemaparan  singkat  itulah  yang  melatar  belakangi  penulis  untuk
mengkajinya dengan  judul  “Respon  Partai Golongan Karya Golkar dan  Partai Keadilan  Sejahtera  PKS  terhadap  Perda  Kota  Bandar  Lampung  Nomor  15
Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah