Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama merupakan suatu yang sangat penting untuk mendapat perhatian secara mendalam. Karena agama dapat mempengaruhi proses kehidupan manusia, terutama dalam hal kemanusiaan, etika, estetika dan norma. Demikian pula tuntutan Islam dalam bermuamalah. Sejak dulu Rasulullah SAW telah menganjurkan cara bermuamalah yang didalamnya mencakup tentang perdagangan dengan cara yang bersih dari tipu daya dan mengajarkan kita untuk berbuat jujur serta menjunjung tinggi nilai keadilan. Selanjutnya didalam hal perdagangan atau bisnis Rasul memberikan apresiasi yang lebih terhadap ini, dengan bersabda: “sembilan dari sepuluh pintu rizki Allah terdapat dalam perdagangan,” namun Rasul tidak dengan begitu saja meninggalkan tanpa aturan, kaidah, ataupun batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam dunia bisnis. Diantara nilai-nilai yang penting dalam bidang ini adalah; sifat “kasih sayang” yang telah dijadikan Allah sebagai “trade mark” risalah Muhammad SAW. ☺ “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” QS. Al-Anbiayaa 21: 107 1 Dalam suatu perekonomian yang kompleks saat ini, orang harus menghadapi tantangan dan risiko untuk mengkombinasikan tenaga kerja, material, modal dan manajemen secara baik sebelum memasarkan suatu produk. Orang-orang demikian itu dikenal sebagai pengusaha. Motivasi utama kegiatan bisnis adalah laba yang didefinisikan sebagai perbedaan antara penghasilan dan biaya-biaya yang dikeluarkan. Dalam bisnis, para pengusaha harus dapat melayani pelanggan dengan cara yang menguntungkan untuk kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang, selain harus selalu mengetahui kesempatan-kesempatan baru untuk memuaskan keinginan-keinginan pembeli. 1 Islam menghendaki perdagangan yang berlangsung dengan bebas dan bebas dari distorsi pasar. Hal ini bertujuan untuk memelihara unsur keadilan semua pihak dan Islam mengatur agar persaingan dipasar dilakukan secara adil. Persaingan dan globalisasi adalah sesuatu yang mesti dihadapi. Untuk menghadapinya diperlukan kekuatan-kekuatan atau daya saing terutama dalam bidang produksi termasuk perniagaan, antara lain sebagai berikut 2 : a. Daya saing kualitas, produk-produk yang akan dipasarkan tentu kualitasnya harus bisa bersaing dengan baik 1 Husein Umar, Business an Introduction, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, h. 3- 4. 2 Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktek Jakarta: Gema Insani Press, cet.I, 2003, h. 44. 2 b. Daya saing harga, tidak mungkin akan memenangkan persaingan jika produk- produk yang dimiliki sangat mahal harganya. Tidak mungkin akan bisa memasarkan suatu produk jika harganya tinggi sekalipun dengan kualitas yang baik c. Daya saing marketing, dunia marketing berbicara masalah pasar, maka hal yang terpenting adalah bagaimana menarik konsumen untuk membeli barang- barang yang telah diproduksi. Dalam hal ini kemampuan untuk mengemas produk sangat dibutuhkan d. Daya saing jaringan kerja networking, suatu bisnis tidak akan memiliki daya saing dan akan kalah jika “bermain sendiri” dalam hal ini bermakna tidak melakukan kerjasama, kooordinasi dan sinergi dengan lembaga-lembaga bisnis lain diberbagai bidang. Sesungguhnya Islam ingin mendirikan dibawah naungan sejumlah nilai luhur satu pasar yang manusiawi, dimana orang yang besar mengasihi orang yang kecil, orang yang bodoh belajar dari yang pintar, dan orang-orang bebas menegur orang yang nakal dan dzalim. 3 Sedangkan pasar yang berada dibawah naungan peradaban materialisme dan filosofi kapitalisme tidak lain adalah miniatur hutan rimba, dimana orang yang kuat memangsa yang lemah, orang yang besar menginjak-injak yang kecil. 3 Yususf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Terj. K.H. Didin Hafidudin, Dkk, Jakarta: Rabbani Press, 2001, h. 320. 3 Orang yang bisa bertahan dan menang hanyalah orang yang paling kuat dan kejam, bukan orang yang paling baik dan ideal. 4 Realitas menunjukan bahwa sistem-sistem ekonomi sekuler liberal dan sosialisme telah membawa manusia berperilaku mengeksploitasi manusia lain. kekayaan alam dieksploitasi untuk kepentingan diri sendiri, dan bahkan Tuhan sendiri dikesampingkan ketika dalam proses pemenuhan kebutuhan materialnya. Muhammad Syafii Antonio seperti yang dikutif Arifin Hamid, mengemukakan bahwa terdapat beberapa nilai dalam sistem ekonomi Islam, yaitu 1 Perekonomian Islam untuk masyarakat luas, bukan hanya masyarakat muslim, 2 Nilai keadilan dan persaudaraan yang menyeluruh yang meliputi keadilan sosial, keadilan ekonomi, 3 Keadilan distributif pendapatan, larangan monopoli, kesempatan yang sama dan terbuka, jaminan pemenuhan kebutuhan dasar basic needs fulfillment, yang mampu menanggung yang tidak mampu attakaful al- ijtimai. 4 Kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial. 5 Relevan dengan pandangan diatas, M.M. Metwally mengemukakan sejumlah prinsip dasar ekonomi Islam, sebagai berikut 6 : 1. Dalam ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Allah kepada manusia yang harus dimanfaatkan sesfisien dan seoptimal mungkin, tidak ada kemubaziran didalamnya. 4 Ibid., h. 321. 5 H. M. Arifin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia, Perspektif Sosioyuridis, Jakarta: Elsas, Cet: II, 2008, h. 134. 6 Ibid., h. 136-137. 4 ☺ ☺ ⌧ ⌧ ⌧ “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros- pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” Q.S. Al-Isra’ 17: 26-27 2. Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu termasuk kepemilikan alat atau faktor produksi. Pemilikan pribadi bersifat tidak mutlak, kepemilikan mutlak hanya oleh penciptanya. Pemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat dan merupakan titipan amanah Allah kepada manusia. Alat dan faktor produksi di tangan manusia hanya bersifat penguasaan dalam bentuk pemanfaatan dan pengaturan sesuai dengan syariat Islam. 3. Islam menolak tidak membenarkan pendapatan yang diperoleh secara tidak halal bathil, seperti pencurian, penipuan, kecurangan, penyuapan, penjualan barang dan jasa yang haram, penggunaan kiat-kiat yang manipulatif, keuntungan yang berlebihan dengan cara-cara yang tidak terpuji, penimbunan barang dan penggunaan iklan yang mengelabui dan tidak wajar. 4. Pemilikan pribadi termasuk alat dan faktor produksi sebagai kapital yang dapat mendorong peningkatan produksi nasional untuk kesejahteraan 5 masyarakat. Akumulasi capital yang terpusat pada segelintir orang tidak dibenarkan karena akan memperburuk distribusi pendapatan. 5. Penggerak utama ekonomi Islam adalah kerjasama dengan landasan ketauhidan, keikhlasan, kejujuran dan keadilan serta hanya mengharapkan keuntungan yang wajar. ⌧ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” Q.S. Ali Imran: 130 6. Prinsip pertanggungjawaban terhadap segala yang berkaitan dengan prilaku ekonomi baik semasa masih dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat nanti. Dengan keyakinan ini akan selalu memberikan inspirasi bagi para pelaku ekonomi untuk tidak berbuat diluar ketentuan syariat karena akan didapatkan ganjaran dan tidak terbebas dari pertanggungjawaban nantinya. “Dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi pada hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang Sempurna terhadap apa yang Telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya dirugikan.” Q.S. Al-Baqarah: 281 6 Sistem ekonomi Islam memiliki tiga asas pokok sekaligus juga merupakan tujuan ekonomi Islam, yaitu 7 : 1 Dunia beserta segala isinya dan kandungannya adalah milik Allah sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran: ☺ ⌧ “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Q.S. Al-Maidah:120 Manusia dalam konteks ini hanya berstatus sebagai khalifah, dengan demikian manusia adalah pemimpin dan pengendali semua makhluk di bumi yang nantinya harus dipertangungjawabkan kepada pencipta dan pemilik sesungguhnya. 2 Allah itu Esa dan pencipta segala makhluk dan tunduk kepada- Nya. Dan 3 Asas pertangungjawaban ganda, yaitu selain pertangungjawaban dunia juga masih harus dipertangungjawabkan di hari kemudian. Muslim sebagai pondasi dasar ekonomi Islam tidak kalah pentingnya baik dalam membedakan perkembangan ekonomi Islam dan konvensional kedepan maupun menentukan perbedaan karakteristik aktivitas ekonomi Islam dan konvensional. 8 Manusia dalam ekonomi Islam dilihat bukan hanya sebagai objek yang diatur dalam perekonomian tetapi juga sebagai faktor penentu yang mengukuhkan berlangsungnya perekonomian diatas prinsip-prinsip Islam. Manusia jugalah yang kemudian menentukan perkembangan perekonomian Islam dengan segala 7 Ibid., h. 133-134 8 Ali Sakti, Analisis Teoritis : Ekonomi Islam Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern, Paradigma dan Aqsa Publishing, Cet: I, h. 91. 7 perangkat dan institusinya. Jadi landasan akidah atau nilai dasar Islam harus betul-betul dipahami oleh para pelaku pasar manusia, sehingga bukan hanya prinsip-prinsip ekonomi Islam yang dapat berjalan tapi juga secara tak langsung keberlangsungan itu terjaga melalui pengawasan internal yang ada dalam diri manusia-manusianya. 9 Untuk itulah Islam mengajarkan setiap pelaku ekonomi atau bisnis untuk selalu memperhatikan lingkungan sosial disekitarnya. Sosiologi ekonomi tersebut dapat diartikan kedalam dua cara. Pertama, Sosiologi ekonomi didefinisikan sebgai sebuah kajian yang mempelajari hubungan antara masyarakat, yang didalamnya terjadi interaksi sosial dengan ekonomi. Dalam hubungan tersebut, dapat dilihat bagaimana masyarakat mempengaruhi ekonomi. Juga sebaliknya, bagaimana ekonomi mempengaruhi masyarakat. Kedua, Sosiologi ekonomi didefinisikan sebagai pendekatan sosiologis yang diterapkan fenomena ekonomi. Dari definisi ini terdapat dua hal yang harus dijelaskan, yaitu pendekatan sosiologis dan fenomena ekonomi. 10 Sementara ekonomi konvensional sekali lagi sejalan dengan landasan filosofi materialismenya, manusia yang terbangun adalah manusia yang memiliki nilai-nilai atau parameter-parameter materialistis economic man. Maka secara 9 Ibid., h. 91. 10 Damsar, Pengantar Sosiologi Ekonomi, Jakarta: Kencana, 2009, h. 11-14. 8 otomatis juga hal ini menjaga mekanisme perekonomian konvensional untuk setia pada landasan filosofinya. 11 Ada sebuah etika Islam yang menjadi rujukan manusia dalam beraktifitas, khususnya aktifitas ekonomi, agar segala yang dilakukan tidak keluar dari norma- norma Islam. Etika itu menyebutkan bahwa segala perbuatan hendaknya diniatkan motif karena Allah SWT, diniatkan dengan cara-cara Allah SWT yang halal lagi baik, dan ditujukan hanya untuk Allah SWT tidak lepas dari konsep ibadah, yaitu mencari ridha Allah SWT. 12 Ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran dan hadis sebagai pedoman telah menggariskan norma-norma etika dalam berusaha, ajaran itu adalah 13 : o Niat yang baik o Tidak melalaikan kewajiban kepada Allah o Suka sama suka antara pihak yang bersangkutan o Dilandasi akhlak dan mental yang baik o Tidak mau melakukan kecurangan o Menerapkan administrasi yang baik dan manajemen yang tepat o Objek usaha haruslah yang halal Di Indonesia, keinginan dan kesungguhan negara untuk menciptakan iklim usaha yang sehat telah diupayakan diantaranya dengan membuat suatu produk 11 Ali Sakti, Analisis Teoritis : Ekonomi Islam, h. 92. 12 Ibid., h. 68. 13 Rusydi, Etos Kerja dan Etika Usaha: Perspektif Al-Quran dalam Nilai dan Makna Kerja dalam Islam, Jakarta: Persada Madani, h. 101. 9 perundang-undangan tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yakni UU No. 5 Tahun 1999 yang mulai di berlakukan sejak tanggal 5 September 2000. UU ini merupakan hasil dari proses reformasi ekonomi dan politik yang diharapkan mampu menciptakan persaingan usaha yang sehat. 14 Muhammad Amin Suma mengemukakan bahwa diantara tiang pancang etika bisnis atau tepatnya karakter bisnis yang sangat menetukan sukses atau tidaknya suatu bisnis ialah: iktikad baik, kejujuran, kesetiaan kepatuhan dan tanggungjawab. Dari beberapa prinsip tersebut dapatlah disimpulakan bahwa dengan modal etika bisnis islami sebagaimana diitentukan diatas, sekurang- kurangnya dalam keadaan tertentu, seseorang atau sekelompok orang bisa atau tepatnya boleh melakukan bisnis tanpa didahului dengan akad. 15 Persaingan kapitalistik selalu terjadi dengan tidak sempurna dan tidak murni. Friksi, rigiditas dan ketidaklancaran bergeraknya faktor produksi selalu menimbulkan persaingan tidak sempurna. Asumsi pengetahuaan tentang persaingan sempurna tidak dibenarkan dan konsumen selalu ditunjukan dengan distorsi-distorsi yang diakibatkan pengaruh iklan. 16 Islam lebih realistis. Ia menghargai kesulitan-kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi karena adanya kelangkaan dan menekankan perlunya suatu strategi yang terdiri dari sebuah paket peralatan. Semuanya selaras 14 Gelhorn dan Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis: Merger dalam Perspektif Monopoli, jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, h. 7. 15 Amin Suma, Menggali Akar, Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, Jakarta: Kholam Publishing, Cet: I, 2008, h. 309. 16 Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perpektif Islam, Yogyakarta: BPTE, Cet: I, 2004, h. 383. 10 dengan pandangan dunianya dan maqashid. Tanpa adanya pendekatan komrehensif semacam ini maka yang ada hanyalah kebijakan gado-gado yang diramu lewat kompromi dengan berbagai tuntutan yang saling bertentangan dari kelompok pluralis dan kelas-kelas sosial. 17 Permasalahannya, apakah agama sebagai tuntunan tersebut telah dipraktekan oleh para penganutnya dalam kehidupan yang profan ini terlebih melihat semakin ketatnya persaingan bisnis di era globalisasi sekarang ini. Maka dengan melihat realitas diatas penulis merasa tertarik dan tergugah untuk mengangkat permasalahan tersebut kedalam penelitian skripsi dengan judul: “Implementasi Etika Bisnis Islam Dalam Menghadapi Persaingan Usaha Studi Kasus Terhadap Pedagang Muslim di Pasar Ciputat Tangerang”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah