Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan)

(1)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

SKRIPSI

STUDI KOMPERATIF

PENGUKURAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH

(STUDI KASUS PADA PEMERINTAH KOTA MEDAN)

OLEH:

NAMA : LIZA ANDRIANI SARAGIH N I M : 040503096

DEPARTEMEN : AKUNTANSI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi


(2)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

PERNYATAAN

Dengan ini, Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

STUDI KOMPERATIF PENGUKURAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS PADA PEMERINTAH KOTA MEDAN).

Adalah benar hasil karya sendiri dan judul dimaksud belum pernah dimuat, dipublikasikan, atau diteliti oleh mahasiswa lain dalam konteks penulisan skripsi level Program S-1 Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Semua sumber data dan informasi yang diperoleh, telah dinyatakan dengan jelas, benar apa adanya. Dan apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, Saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Universitas Sumatera Utara.

Medan, 8 April 2009 Yang membuat pernyataan,

Liza Andriani Saragih N I M : 040503096


(3)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puja dan puji penulis panjatkan

kepada Sang Pencipta Alam beserta isinya, Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan petunjuk yang tiada terhingga, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat berangkaikan Salam tak lupa pula penulis hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir zaman yang telah membawa cahaya Islam ke dunia ini dan juga ilmu pengetahuan kepada ummatnya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul skripsi ini yaitu: Studi Komperatif Pengukuran Kinerja

Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan). Dalam menyelesaikan penyusunan

skripsi ini, penulis dibantu oleh berbagai pihak yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga, pikiran serta dukungannya baik secara moril maupun materil. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada yang terhormat:

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Arifin Akhmad, M.Si, Ak dan Bapak Fahmi Natigor Nasution, SE, M.Acc, Ak, selaku Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.


(4)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

3. Bapak Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak selaku Dosen Pembimbing yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu, memberi saran dan arahan kepada penulis dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Drs.Zainul Bahri Torong, M.Si, Ak dan Bapak Syahrurrahman, S.E., Ak selaku Dosen Penguji I dan Dosen Penguji II yang telah membantu penulis melalui saran dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Syafruddin Ginting, MAFIS, Ak selaku dosen wali penulis selama menjalani perkuliahan, terima kasih atas nasihat dan motivasi yang selalu Bapak berikan.

6. Segenap dosen dan staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal dan ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis menimba ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

7. Para pegawai Departemen Akuntansi, Bang Hairil, Bang Oyong, dan Kak Dame yang telah banyak membantu penulis mengenai administrasi di Departemen Akuntansi selama penulis menuntut ilmu. Serta Bang Kartun dan Kak Fida di PPAk yang juga selama ini telah banyak membantu penulis.

8. Ibuku tercinta yang selalu mendoakan dan memberi semangat dalam pengerjaan skripsi ini. Semoga Allah Swt. selalu melimpahkan berkah dan rahmatNya untuk mama.


(5)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

9. Abi Ridha yang selalu sabar menanti umi, semoga Allah Swt. memberikan hadiah untuk kesabaranmu selama ini.

10.My beloved daughter, Alisha, semua tangisanmu terjawab sudah.

11.Keluarga di Banda Aceh dan Sabang yang selalu memberikan semangat dan doa untuk Ica. Thanks a lot ya keluargaku.

12.Teman-teman AK-S1: Wita, Anggita, Diah, Anggi, Isel, Kak Asma, Tiwi dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Thanks a lot ya friends.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun bagi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, Penulis berharap semoga kiranya skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang akuntansi.

Medan, 8 April 2009 Penulis,

Liza Andriani Saragih N I M : 040503096


(6)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 jo. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 jo. UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, sejarah ketatanegaraan Indonesia telah memasuki babak baru dalam pelaksanaan otonomi daerah. Melalui undang-undang ini, pemerintah daerah diberi kewenangan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah. Daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan dan pembangunan tanpa mengurangi harapan adanya bantuan dari pemerintah pusat untuk menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat. Otonomi daerah yang termasuk di dalamnya desentralisasi fiskal mengharuskan daerah mempunyai kemandirian keuangan yang tinggi.

Melalui otonomi diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu aktif mengatur daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu memainkan peranannya dalam membuka peluang memajukan daerah dengan melakukan identifikasi sumber-sumber pendapatannya dan mampu menetapkan belanja daerah secara ekonomi yang wajar, efisien, efektif termasuk kemampuan perangkat daerah dalam meningkatkan kinerja, mempertanggungjawabkan kepada pemerintah atasannya maupun kepada publik.


(7)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Pemerintah daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kreativitas dan inisiatif suatu daerah dalam menggali sumber keuangan akan sangat tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah itu sendiri. Mobilisasi sumber daya keuangan untuk membiayai berbagai aktivitas daerah dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya.

Dengan bergulirnya otonomi daerah yang dimulai dengan hadirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentunya membawa konsekuensi terhadap pembiayaan daerah. Dengan otonomi terdapat dua aspek kinerja keuangan yang dituntut agar lebih baik dibanding sebelum otonomi daerah. Aspek pertama dalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus pembiayaan daerah dangan kekuatan utama pada kemampuan mengurus pembiayaan daerah dengan kekuatan utama pada kemampuan Pendapatan Asli Daerah (Desentralisasi Fiskal). Aspek kedua yaitu di sisi manajemen pengeluaran daerah, bahwa pengelolaan keuangan daerah harus lebih akuntabel dan transparan tentunya menuntut daerah agar lebih efisien dan efektif dalam pengeluaran daerah. Kedua aspek tersebut dapat disebut sebagai reformasi pembiayaan atau Financing Reform (Mardiasmo, 2002:50).

Reformasi pembiayaan merupakan bagian integral dari reformasi pengelolaan keuangan daerah. Reformasi ini dilaksanakan melalui regulasi ketentuan/instrumen keuangan daerah. Instrumen yang mengatur penerimaan


(8)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

daerah adalah UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang diikuti dengan peraturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 dan PP Nomor 66 Tahun 2001. Di bidang pengeluaran daerah, telah dikeluarkan PP No. 105, PP No. 106, PP No. 107, PP No. 108 dan PP No. 109, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, Permendagri No. 13 Tahun 2006 serta Permendagri No. 59 Tahun 2007.

Mardiasmo (2002:54) mengatakan bahwa sebelum era otonomi harapan yang besar dari pemerintah daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Pada saat ini yang terjadi adalah ketergantungan fiskal dan subsidi serta bantuan pemerintah pusat sebagai wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai belanja daerah.

Kota Medan sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera Utara memiliki kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan pelaksanaan pemerintahan daerah.

Untuk mendukung penyelenggaraan kewenangan, peran, fungsi, dan tanggung jawabnya, Pemerintah Kota Medan memiliki beberapa sumber pendapatan pokok, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, pinjaman daerah, lain-lain penerimaan yang sah. Sebagai daerah yang perkembangan ekonominya sangat didominasi sektor sekunder dan tertier, sumber pendapatan asli daerah sebagian besar diperoleh dari hasil pajak dan retribusi


(9)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

daerah. Bagi Pemerintah Kota Medan, pungutan pajak lebih didefinisikan sebagai cara memberikan kesejahteraan umum (redistribusi pendapatan) dari pada sekedar budgeter. Walaupun ada kecenderungan peningkatan volume dalam PAD, namun diakui 70% sumber penerimaan Kota Medan di sektor publik masih berasal dari alokasi pusat (dana perimbangan / dana alokasi umum). Pemanfaatan sebagian besar dana perimbangan tersebut oleh Pemerintah Kota Medan digunakan untuk pengembangan jaringan infrastruktur kota terpadu, termasuk pemeliharaannya. Dengan keterpaduan tersebut infrastruktur yang dibangun benar-benar memperlancar arus barang dan jasa antar daerah sehingga dapat menggerakkan kegiatan sosial ekonomi warga Kota Medan. Kegiatan ekonomi yang berkembang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kemampuan Pemerintah Kota Medan dalam pembiayaan pembangunan kota, sekaligus memperkecil ketergantungan Pemerintah Kota Medan kepada Pemerintah Pusat (www.pemkomedan.go.id).

Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana kinerja keuangan Pemerintah Kota Medan setelah otonomi daerah yang dituangkan dalam sebuah skripsi berjudul : “STUDI KOMPERATIF

PENGUKURAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS PADA PEMERINTAH KOTA MEDAN)”.


(10)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

B. Perumusan Masalah

Sehubungan dengan adanya uraian pada latar belakang masalah sebelumnya, maka penulis mencoba merumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

“Bagaimanakah kinerja keuangan Pemerintah Kota Medan sebelum dan

setelah Otonomi Daerah?” C. Batasan Masalah

Kinerja pemerintah daerah bisa dinilai dari aspek finansial dan nonfinansial. Dalam penelitian ini, penulis hanya menganalisis berdasarkan aspek finansial saja dengan mengacu pada rasio keuangan berdasarkan instrumen yang terdapat pada Laporan Realisasi APBD. Permasalahan dalam penelitian ini akan dibatasi pada pengukuran kinerja keuangan dengan menggunakan berbagai rasio keuangan pemerintah daerah seperti: derajat desentralisasi fiskal, tingkat kemandirian pembiayaan, rasio efisiensi penggunaan anggaran dan rasio kemandirian keuangan daerah. Data keuangan yang dipakai adalah data keuangan tahun anggaran 1995-2006.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kinerja keuangan Pemerintah Kota Medan sebelum dan setelah otonomi daerah apakah lebih baik ataukah lebih buruk.

E. Manfaat Penelitian


(11)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

a. Bagi penulis, untuk menambah wawasan penulis mengenai analisis kinerja keuangan daerah.

b. Bagi instansi pemerintah Kota Medan, memberikan informasi mengenai kinerja keuangan daerah sebelum dan setelah otonomi daerah.

c. Memberikan informasi kepada publik sebagai wujud akuntabilitas pengelolaan dana publik oleh pemerintah Kota Medan sebelum dan setelah otonomi daerah.

d. Bagi pihak lain, sebagai bahan masukan bagi penelitian yang sejenis dan bacaan yang bermanfaat untuk menambah wawasan khususnya mengenai kinerja keuangan pemerintah Kota Medan sebelum dan setelah otonomi daerah.


(12)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis

1. Perkembangan dan Teori Otonomi Daerah

Ketika demokrasi diwujudkan pada masa pascakemerdekaan, daerah dan masyarakat pada umumnya memiliki kekuasaan untuk mengartikulasikan semua kepentingan mereka, termasuk dalam masalah otonomi dan keuangan. Kemudian, pemerintah pusat merespon dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah melalui UU No.22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Tetapi, situasinya kemudian berubah setelah Presiden Soekarno mempraktekkan Demokrasi Terpimpin. Masyarakat tidak mempunyai peluang untuk mewujudkan aspirasi mereka. Demokrasi terpimpin sebenarnya hanyalah nama lain dari otoritarianisme. Dalam kaitannya dengan mekanisme hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah, pemerintah pada waktu itu menguburkan ide otonomi yang luas dan sentralisasi sedikit demi sedikit mulai diwujudkan.

Kehadiran Jenderal Soeharto dengan Orde baru yang sangat sarat dengan dominasi militer dalam kehidupan politik nasional juga membawa dampak yang sangat luas bagi keberadaan otoritarianisme di Indonesia. Sentralisasi mendapat tempat yang sangat kuat dalam pemerintahan Soeharto. Hal ini diwujudkan dengan digulirkannya UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Menurut Ismail Suny, dengan


(13)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

digulirkannya UU No.5 Tahun 1974, Indonesia merupakan contoh negara yang menganut sistem otonomi terbatas. Meski didalamnya ditegaskan asas desentralisasi tetapi substansinya sangat sentralistik karena pemerintah pusat memiliki kewenangan yang sangat besar dalam banyak hal.

Selama berlangsungnya pemerintahan Orde Baru, daerah tidak dapat berkembang secara optimal karena segala kebijakan tentang daerah selalu diputuskan oleh pemerintah pusat. Daerah tidak dapat mengembangakan potensi daerahnya dengan leluasa bahkan akhirnya menjadi sangat tergantung dengan Pusat. Pendapatan Asli Daerah yang kecil membuat daerah tetap mengandalkan sumber-sumber keuangan Pemerintah Pusat, sehingga mereka tetap berada di bawah kontrol birokrasi Pusat. Ketidakadilan distribusi sumber daya ekonomi dan politik juga menjadi masalah pada masa itu.

Berdasarkan catatan kritis perjalanan otonomi daerah, khususnya selama pemberlakuan UU No.5 Tahun 1974 tersebut, maka MPR melalui TAP MPR No.XV/MPR/1998 mengamanatkan kepada Presiden untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.

Otonomi daerah yang luas maksudnya keleluasaan daerah untuk menyelesaikan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lainnya yang akan ditetapkan melaui Peraturan Pemerintah.

Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang nyata adalah kekeluasaan Daerah dalam penyelenggaraan kewenangan pemerintah di


(14)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

bidang tertentu yang secara nyata ada, diperlukan, tumbuh, berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jwab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antara daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sehubungan dengan pelimpahan kewenangan dari TAP MPR di atas, sejarah ketatanegaraan Indonesia telah memasuki babak baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dengan digulirkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti UU No.5 Tahun 1974) dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.

Pada tahun 2004, UU No.22 Tahun 1999 diubah menjadi UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.25 Tahun 1999 diubah menjadi UU No.33 Tahun 2004.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, dalam ketentuan umumnya menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(15)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di dalam UU No.32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa:

1.Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

2.Kewenangan bidang lain meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.

Menurut Suparmoko (2002:18) “Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat”.

Dengan berlakunya otonomi, maka Pemerintah Daerah Tingkat Kabupaten/kota diberi kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan semua urusan pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan karena pada hakikatnya otonomi daerah diterapkan untuk


(16)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah mampu mengelola potensi daerahnya yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan potensi sumber daya keuangan secara optimal. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung dua misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut yaitu menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

Bastian (2006:3) mengatakan bahwa otonomi daerah di Indonesia setidaknya mempunyai empat ciri yaitu:

a.Pemekaran dearah administratif pemerintahan. b.Tuntutan kemandirian fiskal di pemerintah daerah.

c.Peningkatan pelayanan publik dan kesejahreraan masyarakat. d.Pengalihan kewenangan beberapa sektor dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Menurut Halim (2002:25) ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah


(17)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

a.Kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan

b.Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintah. Oleh karena itu, untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan.

2. Keuangan Daerah

2.1. Pengertian Keuangan Daerah

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 58 Tahun 2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dalam ketentuan umumnya menyatakan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut.

Menurut Munir, dkk (2004:96) “Keuangan daerah adalah keseluruhan tatanan, perangkat, kelembagaan dan kebijakan penganggaran yang meliputi Pendapatan dan Belanja Daerah”.

Menurut Mamesah (Halim, 2007:23) menyatakan bahwa “Keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun


(18)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai peraturan perundangan yang berlaku.”

Pemerintah daerah selaku pengelola dana publik harus menyediakan informasi keuangan yang diperlukan secara akurat, relevan, tepat waktu, dan dapat dipercaya. Untuk itu, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki sistem informasi akuntansi yang handal.

Dari defenisi tersebut, selanjutnya Halim (2007:25) menyatakan terdapat 2 hal yang perlu dijelaskan, yaitu:

1) Yang dimaksud dengan hak adalah hak untuk memungut sumber-sumber penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain, dan atau hak untuk menerima sumber-sumber penerimaan lain seperti Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Hak tersebut akan menaikkan kekayaan daerah.

2) Yang dimaksud dengan semua kewajiban adalah kewajiban untuk mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan, infrastruktur, pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut akan menurunkan kekayaan daerah.

Menurut Permendagri 13 tahun 2006, ruang lingkup keuangan daerah meliputi:

a.hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman;

b.kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga;

c.penerimaan daerah; d.pengeluaran daerah;

e.kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah; dan

f.kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.


(19)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

2.2. Gambaran Keuangan Daerah Pra Otonomi dan Pasca Otonomi

Manajemen atau pengelolaan keuangan daerah di era sebelum otonomi dilaksanakan terutama dengan berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah. Pengertian daerah menurut Undang-undang ini adalah ”Tingkat I, yaitu propinsi dan daerah tingkat II, yaitu kabupaten atau kotamadya”.

Disamping itu ada beberapa peraturan yang lain yang menjadi dasar pelaksanaan menajemen keuangan daerah pada era sebelum otonomi. Peraturan-peraturan tersebut sebagaimana dikutip Halim (2007:2) antara lain :

1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Daerah.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Penyusunan APBD Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan

Penyusunan Perhitungan APBD.

3) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 900-009 Tahun 1989 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah.

4) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBD.

5) Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

6) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1999 tentang Bentuk dan Susunan Perhitungan APBD.

Berdasarkan peraturan-peraturan diatas, dapat disimpulkan beberapa ciri pengelolaan keuangan daerah di era sebelum otonomi, antara lain (Halim, 2007:2)

1) Pengertian Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD (Pasal 13 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1975). Artinya, tidak terdapat pemisahan secara konkret antara eksekutif dan legislatif.


(20)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

pertanggungjawaban Kepala Daerah (Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975).

3) Bentuk laporan perhitungan APBD terdiri atas: a) Perhitungan APBD

b) Nota Perhitungan APBD

c) Perhitungan Kas dan Pencocokan antara Sisa Kas dan Sisa Perhitungan dilengkapi dengan lampiran Ringkasan Pendapatan dan Belanja (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 dan Keputusan Mendagri Nomor 3 Tahun 1999).

4) Pinjaman, baik pinjaman PEMDA maupun pinjaman BUMD diperhitungkan sebagai pendapatan pemerintah daerah, yang dalam struktur APBD menurut Kepmendagri No. 903-057 Tahun 1988 tentang Penyempurnaan Bentuk dan Susunan Anggaran Pendapatan Daerah masuk dalam pos penerimaan pembangunan. 5) Unsur-unsur yang terlibat dalam penyusunan APBD adalah Pemerintah Daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD saja, belum melibatkan masyarakat.

6) Indikator kinerja Pemerintah Daerah mencakup: a) Perbandingan antara anggaran dan realisasinya.

b) Perbandingan antara standar biaya dengan realisasinya. c) Target dan persentase fisik proyek yang tercantum dalam

penjabaran Perhitungan APBD (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, Penyusunan Perhitungan APBD).

7) Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Laporan Perhitungan APBD baik yang dibahas DPRD maupun yang tidak dibahas DPRD tidak mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan Kepala Daerah.

Kewenangan daerah dalam menjalankan pemerintahannya pada masa orde baru (sebelum otonomi daerah) didasarkan pada UU. No. 5 Tahun 1974. Disamping mengatur pemerintahan daerah, undang-undang tersebut juga menjelaskan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Untuk bisa menjalankan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang dimilikinya, pemerintah daerah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan pembiayaan, dimana menurut undang-undang ini sumber pembiayaan daerah sangat didominasi oleh bantuan keuangan dari pemerintah pusat.


(21)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Sumber pembiayaan pemerintah daerah menurut UU. No. 5 Tahun 1974 pasal 55 terdiri dari 3 komponen besar yaitu (Munir, dkk, 2004:45)

1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi: a) Hasil pajak daerah

b) Hasil retribusi daerah

c) Hasil perusahaan daerah (BUMD) d) Lain-lain hasil usaha daerah yang sah.

2) Pendapatan yang berasal dari pemerintah pusat, meliputi: a) Sumbangan dari pemerintah

b) Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.

3) Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen kedua yaitu pendapatan yang berasal dari pusat merupakan cerminan atau indikator dari ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Sepanjang potensi sumber keuangan daerah belum mencukupi, pemerintah pusat memberikan sejumlah sumbangan kepada pemerintah daerah. Dengan demikian bagi pemerintah daerah Tingkat II Kabupaten atau Kodya, disamping mendapat bantuan dari pemerintah pusat juga mendapat limpahan dari Pemda Tingkat I Propinsi. Meskipun bisa jadi limpahan dana dari propinsi tersebut juga berasal dari pemerintah pusat lewat APBN. Dengan semakin kuatnya tuntutan desentralisasi, pemerintah mengeluarkan satu paket undang otonomi daerah, yaitu Undang-undang No. 22 Tahun 1999 (saat ini telah diganti dengan Undang-Undang-undang No.32 Tahun 2004) Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undnag N0. 25 Tahun 1999 (saat ini telah diganti dengan Undang-undang No. 33 Tahun 2004) Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah.


(22)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 perlu dibarengi dengan pelimpahan keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 1999.

Setelah keluarnya kedua undang-undang tersebut, pemerintah juga mengeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan. Beberapa peraturan pelaksanaan antara lain (Halim, 2007:3)

1) Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.

4) Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah.

5) Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Tanggal 17 November 2000 Nomor 903/2735/SJ tentang Pedoman Umum Penyusunan dan Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2001. 6) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, serta Penyusunan Perhitungan APBD.

7) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

8) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, manajemen keuangan daerah di era otonomi daerah memiliki karakteristik yang berbeda dari pengelolaan keuangan daerah sebelum otonomi daerah. Karakteristik tersebut antara lain (Halim, 2007:4)

1) Pengertian daerah adalah propinsi dan kota atau

kabupaten. IstilahPemerintah Daerah Tingkat I dan II, juga Kotamadya tidak lagi digunakan.


(23)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

2) Pengertian Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat lainnya. Pemerintah Daerah ini adalah badan eksekutif, sedang badan legislatif di daerah adalah DPRD (pasal 14 UU No.22 Tahun 1999). Oleh karena itu, terdapat pemisahan yang nyata antara legislatif dan eksekutif.

3) Perhitungan APBD menjadi satu laporan dengan

Pertanggungjawaban Kepala Daerah (pasal 5 PP Nomor 108 Tahun 2000).

4) Bentuk Laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran terdiri dari atas:

a) Laporan Perhitungan APBD b) Nota Perhitungan APBD c) Laporan Aliran Kas

d) Neraca Daerah dilengkapi dengan penilaian berdasarkan tolak ukur Renstra (pasal 38 PP Nomor 105 Tahun 2000). 5) Pinjaman APBD tidak lagi masuk dalam pos Pendapatan (yang menunjukakn hak Pemerintah Daerah), tetapi masuk dalam pos Penerimaan (yang belum tentu menjadi hak Pemerintah Daerah).

6) Masyarakat termasuk dalam unsur-unsur penyusuan APBD disamping Pemerintah Daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD.

7) Indikator kinerja Pemerintah Daerah tidak hanya mencakup: a) Perbandingan antara anggaran dan realisasinya

b) Perbandingan antara standar biaya dengan realisasinya c) Target dan persentase fisik proyek tetapi juga meliputi standar pelayanan yang diharapkan.

8) Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah pada akhir tahun anggaran yang bentuknya Laporan Perhitungan APBD dibahas oleh DPRD dan mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan Kepala Daerah apabila dua kali ditolak oleh DPRD.

9) Digunakannya akuntansi dalam pengelolaan keuangan daerah. Setelah keluarnya PP No.105 Tahun 2000 terdapat beberapa perubahan yang terjadi pada keuangan daerah yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1.

Perubahan setelah PP Nomor 105 Tahun 2000 PP 105 Tahun 2000

PERUBAHAN YANG MENDASAR

LAMA BARU

Sistem Anggaran Tradisional dengan ciri:

Sistem Anggaran Kinerja


(24)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Line-Item & Incrementalism

Sistem Anggaran Berimbang Sistem Anggaran Defisit

Struktur Anggaran:

• Pendapatan, dan

• Belanja

Struktur Anggaran:

• Pendapatan,

• Belanja, dan

• Pembiayaan Belanja dibagi:

• Belanja rutin

• Belanja Pembangunan

Belanja Dikategorikan:

• Belanja Administrasi Umum,

• Belanja Operasi dan Pemeliharaan,

• Belanja Modal,

• Belanja tidak Tersangka Belanja dipisahkan per sektor; tidak ada

pemisahan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur

Belanja dipisahkan menjadi:

• Belanja Aparatur, dan

• Belanja Publik Pinjaman sebagai komponen

Pendapatan

Pinjaman sebagai komponen pembiayaan

Laporan Pertanggungjawaban: Nota Perhitungan APBD

Laporan Pertanggungjawaban :

• Neraca

• Laporan Arus Kas

• Laporan Perhitungan APBD

• Nota Perhitungan APBD Sumber: Diolah dari Forum Dosen Akuntansi , 2006:26

PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah memiliki keterkaitan dengan PP Nomor 108 tahun 2000 tentang Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Pengelolaan keuangan daerah secara khusus diatur dalam Pasal 14 PP Nomor 105 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa:

a. Ketentuan tentang pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


(25)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

b. Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah; dan

c. Pedoman tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD ditetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri.

Berdasarkan ketentuan PP Nomor 105 Tahun 2000 Pasal 14 tersebut, kemudian Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002. Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut merupakan petunjuk teknis pelaksanaan PP Nomor 105 Tahun 2000 di bidang pengelolaan keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah.

Perubahan yang signifikan yang diakibatkan oleh Kepmendagri 29/2002, yaitu terkait dengan penatausahaan keuangan daerah. Perubahan itu sudah sampai pada teknik akuntansinya yang meliputi perubahan dalam pendekatan sistem akuntansi dan prosedur pencatatan, dokumen dan formulir yang digunakan.

Tabel 2.2.

Perubahan Setelah Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 KEPMENDAGRI NOMOR 29 TAHUN 2002

PERUBAHAN YANG MENDASAR

LAMA BARU

Struktur APBD:

• Pendapatan

• Belanja

Struktur APBD:

• Pendapatan


(26)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

• Pembiayaan

Arah dan Kebijakan Umum APBD

Pemegang Kas Daerah Bendaharawan Umum Daerah

Bendaharawan Rutin & Pembangunan Satuan Pemegang Kas & Pembantu Pemegang Kas

Pembukuan Tunggal (single entry) Pembukuan Berpasangan (double entry)

Akuntansi Berbasis Kas Akuntansi Berbasis Kas Modifikasian

Tidak ada Kebijakan Akuntansi Kebijakan Akuntansi Tidak Dikenal Depresiasi Aktiva Tetap Pembukuan Asset Daerah:

• Nilai Buku

• Depresiasi & Kapitalisasi

• Penghapusan Asset

• Manajemen Asset Daerah Belum diwajibkan membuat Laporan

Keuangan berupa Neraca dan Laporan Arus Kas

Sistem Akuntansi Keuangan Daerah:

• Sistem Pengendalian Internal

• Prosedur Akuntansi

• Dokumen/Formulir & Catatan Akuntansi

• Manajemen Asset Daerah Pengawasan oleh banyak pihak:

Itwilprop, Itwilkab/ko, Irjen, BPKP, dan BPK

Pengawasan Internal Pengelolaan Keuangan Daerah

Bawasda Sumber: Diolah dari Forum Dosen Akuntansi, 2006:27

Sementara itu, pada tahun 2005, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Pada dasarnya antara PP Nomor 24 Tahun 2005 mengatur tentang standar akuntansi, sedangkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 lebih banyak mengatur tentang sistem akuntansi pemerintah daerah (Mahmudi, 2006:29).

Tabel 2.3.

Perbandingan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 dengan PP No. 24 Tahun 2005

Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 PP No. 24 Tahun 2005


(27)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Basis Kas untuk pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan (Laporan L/R) Basis akrual untuk pencatatan asset, kewajiban dan ekuitas dana (Neraca) Aktiva Tetap diakui pada akhir periode

dengan menyesuaikan Belanja Modal yang telah terjadi

Aktiva/asset tetap diakui pada saat hak kepemilikan berpindah dan atau saat diterima

Aktiva Tetap selain tanah didepresiasi dengan metode garis lurus berdasarkan umur ekonomisnya

Aktiva Tetap selain tanah dapat

didepresiasi dengan metode garis lurus, metode saldo menurun dan metode unit produksi

Terdapat dana depresiasi Tidak terdapat dana depresiasi

Kewajiban diakui menjadi belanja aparatur dan belanja publik

Diakui pada saat dana pinjaman diterima dan atau kewajiban timbul

Jenis Laporan Keuangan:

• Neraca

• Laporan Perhitungan APBD

• Laporan Aliran Kas

• Nota Perhitungan APBD

Jenis Laporan Keuangan:

• Neraca

• Laporan Realisasi Anggaran

• Laporan Arus Kas

• Catatan atas Laporan Keuangan Belanja dikelompokkan menjadi belanja

aparatur dan belanja publik

Tidak terdapat ketentuan mengelompokkan belanja aparatur dan belanja publik

Laporan Aliran Kas dikelompokkan dalam tiga aktivitas yaitu:

• Aktivitas Operasi • Aktivitas Investasi Pembiayaan

Laporan Arus Kas dikelompokkan dalam empat aktivitas, yaitu

• Aktivitas operasi • Aktivitas investasi

• Pembiayaan

Aktivitas non-anggaran

Belanja dikategorikan:

• Belanja administrasi umum • Belanja operasi dan pemeliharaan

• Belanja modal

• Belanja tidak tersangka

Masing-masing belanja dikelompokkan menjadi:

• Belanja Pegawai dan Personalia • Belanja Barang dan Jasa • Belanja Perjalanan Dinas • Belanja Pemeliharaan

Belanja dikelompokkan menurut klasifikasi ekonomisnya yaitu:

Belanja Operasi

• Belanja pegawai

• Belanja barang

• Bunga

• Subsidi

• Hibah

• Bantuan sosial Belanja Modal Belanja Tak Terduga


(28)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Dengan telah digantikannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, maka berbagai peraturan pemerintah dan peraturan lain dibawahnya perlu disesuaikan lagi. Atas dasar itu maka pemerintah mengeluarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai pengganti PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.

PP No. 58 Tahun 2005 merupakan pengganti dari PP No 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang selama ini dijadikan sebagai landasan hukum dalam penyusunan APBD, pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Substansi materi kedua PP dimaksud, memiliki persamaan yang sangat mendasar khususnya landasan filosofis yang mengedepankan prinsip efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas. Sedangkan perbedaan, dalam pengaturan yang baru dilandasi pemikiran yang lebih mempertegas dan menjelaskan pengelolaan keuangan daerah, sistem dan prosedur serta kebijakan lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dibidang penatausahaan, akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan daerah.

Tujuan dikeluarkannya PP No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri No.13 Tahun 2006 adalah agar pemerintah daerah dapat menyusun Laporan Keuangan sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yaitu PP No.24 Tahun yang merupakan panduan atau pedoman bagi pemerintah daerah dalam


(29)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

menyajikan keuangan yang standar, bagaimana perlakuan akuntansi, serta kebijakan akuntansi.

Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan.

1) Pendapatan Daerah bersumber dari: a) Pendapatan Asli Daerah b) Dana Perimbangan; dan c) Lain-lain Pendapatan. 2) Pembiayaan bersumber dari:

a) Sisa lebih perhitungan anggaran Daerah; b) Penerimaan Pinjaman daerah;

c) Dana cadangan daerah; dan

d) Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.

PAD bersumber dari pajak daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang sah. Sedangkan lain-lain PAD yang sah meliput i:

1) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; 2) Jasa giro;

3) Pendapatan bunga;


(30)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

5) Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

3.Kinerja Keuangan Daerah

3.1. Pengertian Kinerja Keuangan Daerah

Menurut Permendagri No.13 Tahun 2006 kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur.

Menurut Mahsun (2006 : 25) “Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang teruang dalam

stategic planning suatu organisasi”.

Menurut Mardiasmo (2002:121) “Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial”.

Disamping itu, menurut Sedarmayanti (2003:64) “Kinerja

(performance) diartikan sebagai hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses

manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur dengan dibandingkan standar yang telah ditentukan”.

Faktor kemampuan sumber daya aparatur pemerintah terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan ability (knowladge + skill),


(31)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

sedangkan faktor motivasi terbentuk dari sikap (attitude) sumber daya aparatur pemerintah dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakan sumber daya aparatur pemerintah dengan terarah untuk mencapai tujuan pemerintah, yaitu good governance.

Pengukuran kinerja yang digunakan secara umum oleh perusahaan yang berorientasi pada pencapaian laba antara lain melalui penetapan rasio keuangan. Rasio yang dimaksud dalam laporan keuangan adalah suatu angka yang menunjukkan hubungan antara suatu unsur dengan unsur lainnya. Suatu rasio tersebut diperbandingkan dengan perusahaan lainnya yang sejenis, sehingga adanya perbandingan ini maka perusahaan tersebut dapat mengevaluasi situasi perusahaan dan kinerjanya.

Dalam penelitian ini yang dimaksud kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat capaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur laporan pertanggungjawaban kepala daerah berupa perhitungan APBD.

3.2. Parameter Rasio Kinerja Keuangan Daerah

Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap

APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang


(32)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta.

Analisis rasio keuangan pada APBD keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah daerah tertentu dengan daerah lain yang terdekat maupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana rasio keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Menurut Munir, et al (2004) beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD adalah sebagai berikut:

1) Desentralisasi fiskal

(TPD) Daerah Penerimaan Total (PAD) Daerah Asli Pendapatan (TPD) Daerah Penerimaan Total (BHPBP) Daerah k Pajak Untu Bukan dan Pajak Hasil Bagi

2)Tingkat Kemandirian Pembiayaan

(BRNP) Pegawai Belanja Non Rutin Belanja Total (PAD) Daerah Asli Pendapatan Total (PAD) Daerah Asli Pendapatan Total (TPjD) Daerah Pajak Total


(33)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

(TBD) Daerah Belanja Total (TSA) Anggaran Sisa Total (TBD) Daerah Belanja Total (TPL) lain -Lain n Pengeluara Total

Halim (2007:232) menyatakan beberapa rasio keuangan yang juga dapat dipakai untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah antara lain:

1) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Pinjaman dan insi Pusat/Prop Pemerintah Bantuan (PAD) Daerah Asli Pendapatan Total

2) Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian)

APBD Total Rutin Belanja Total APBD Total n Pembanguna Belanja Total

3) Rasio Pertumbuhan

Rasio pertumbuhan yang dimaksud disini adalah pertumbuhan pendapatan asli daerah, total pendapatan daerah, total belanja rutin, dan total belanja pembangunan dari satu periode ke periode berikutnya.

Penjelasan dari parameter rasio diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Desentralisasi Fiskal

Ukuran ini menunjukkan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menggali dan


(34)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

mengelola pendapatan. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kontribusi Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber pendapatan yang dikelola sendiri oleh daerah terhadap total penerimaan daerah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan penerimaan yang berasal dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan milik daerah serta lain-lain pendapatan yang sah. Total Pendapatan Daerah merupakan jumlah dari seluruh penerimaan dari seluruh penerimaan dalam satu tahun anggaran.

Bagi Hasil Pajak merupakan pajak yang dialokasikan oleh Pemerintah Pusat untuk kemudian didistribusikan antara pusat dan daerah otonom. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat keadilan pembagian sumber daya daerah dalam bentuk bagi hasil pendapatan sesuai potensi daerah terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi hasilnya maka suatu daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat.

Derajat desentralisasi fiskal, khususnya komponen PAD dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penemuan Tim Fisipol UGM menggunakan skala interval sebagaimana yang terlihat dalam Tabel berikut:

Tabel 2.4.

Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal

PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah

<10.00 Sangat kurang

10.01 – 20.00 Kurang

20.01 – 30.00 Cukup

30.01 – 40.00 Sedang


(35)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

>50.00 Sangat Baik

Sumber: Munir, 2004:106

2) Tingkat Kemandirian Pembiayaan

Ukuran ini menguji tingkat kekuatan kemandirian pemerintah kabupaten dalam membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap periode anggaran. Belanja Rutin Non Belanja Pegawai merupakan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan tugas pokok pelayanan masyarakat yang terdiri dari belanja barang, pemeliharaan, perjalanan dinas, pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan tidak tersangka serta belanja lain-lain. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kemampuan PAD dalam membiayai balanja daerah diluar belanja pegawai. Dalam ketentuan yang digariskan bahwa belanja rutin daerah dibiayai dari kemampuan PAD setiap PEMDA dan karenanya tolok ukur ini sesuai pengukuran dimaksud.

Pajak Daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan orang pribadi, atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan digunakan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan pemerintah. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kontribusi pajak daerah sebagai sumber pendapatan uang dikelola sendiri oleh daerah terhadap total PAD. Semakin besar rasio akan menunjukkan peran pajak sebagai sumber pendapatan daerah akan semakin baik.


(36)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

3) Efisiensi Penggunaan Anggaran

Ukuran ini menunjukkan tingkat efisiensi dari setiap penggunaan uang daerah. Sisa Anggaran (Sisa Perhitungan Anggaran) merupakan selisih lebih antara penerimaan daerah atas belanja yang dikeluarkan dalam satu tahun anggaran ditambah selisih lebih transaksi pembiayaan penerimaan dan pengeluaran. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kemampuan perencanaan sesuai prinsip-prinsip disiplin anggaran sehingga memungkinkan setiap pengeluaran belanja menghasilkan sisa anggaran. Semakin kecil rasio akan menunjukkan peran perencanaan dan pelaksanaan anggaran semakin baik.

Pengeluaran lainnya merupakan pengeluaran yang berasal dari pengeluaran tidak termasuk bagian lain ditambah dengan pengeluaran tidak tersangka yang direalisasikan dalam satu tahun anggaran. Total Belanja Daerah merupakan jumlah keseluruhan pengeluaran daerah dalam satu tahun anggaran yang membebani anggaran daerah. Rasio ini mengukur pengendalian dan perencanaan anggaran belanja. Semakin kecil rasio akan menunjukkan bahwa pemerintah daerah telah berupaya sejauh mungkin mengurangi biaya lain-lain atau biaya taktis yang tidak jelas tujuan pemanfaatannya.

4) Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah

Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah


(37)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daearah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingakan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat/propinsi ataupun dari pinjaman.

Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masayarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi. 5) Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian)

Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berari persentase belanja investasi (belanja pembangunan) yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil.


(38)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Belum ada patokan yang pasti berapa besarnya rasio belanja rutin maupun pembangunan trehadap APBD yang ideal, karena sangat dipengaruhi oleh dinamisasi kegiatan pembangunan dan besarnya kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan. Namun demikian, sebagai daerah dinegara berkembang peranan pemerintah daerah untuk memacu pelaksanaan pembangunan masih relatif besar. Oleh karena itu, rasio belanja pembangunan yang relatif masih kecil perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pembangunan didaerah.

6) Rasio Pertumbuhan

Dalam rasio pertumbuhan ini, akan dilihat empat pertumbuhan komponen dari APBD yaitu: Pendapatan Asli Daerah, Total Pendapatan Daerah, Total Belanja Rutin, dan Total Belanja Pembangunan. Rasio pertumbuhan (Growth Ratio) mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu mendapatkan perhatian.

3.3. Tujuan Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terus-menerus dan pencapaian tujuan di masa mendatang.


(39)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Salah satu alat menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Menurut Widodo (Halim, 2002:126) hasil analisis rasio keuangan ini bertujuan untuk:

1) Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah.

2) Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.

3) Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya.

4) Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.

5) Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluran yang dilakukan selama periode waktu tertentu.

B. Tinjauan Penelitian Terdahulu Tabel 2.5.

Tinjauan Penelitian Tedahulu

Nama Judul

Pengukuran Penelitian

Hasil Penelitian

1.Mouna Fachrizal R (2008) Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Khusus (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur Rasio yang digunakan: 1.Rasio derajat desentralisasi fiskal 2.Rasio tingkat kemandirian pembiayaan 3.Rasio efisiensi penggunaan anggaran 4.Rasio tingkat kemandirian keuangan daerah 5.Rasio aktifitas (rasio keserasian) Analisis data dalam penelitian ini menunjukkan dengan berlakunya otonomi khusus ternyata tidak memperbaiki atau menaikkan secara keseluruhan rata-rata kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Timur.


(40)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

6.Rasio pertumbuhan. 2.Ahzir Erfa (2008) Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Setelah Otonomi Khusus (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Aceh Utara) Rasio yang digunakan: 1.Rasio Kemandirian 2.Rasio Efektifitas Dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah 3.Rasio Keserasian 4.Rasio Upaya Fiskal 5.Rasio Pertumbuhan 6.Rasio Desentralisasi Fiskal Analisis data menggambarkan bahwa dengan diberlakukannya otonomi khusus dapat merubah atau menaikkan rata-rata kinerja keuangan Pemkab Aceh Utara. Dimana PAD mengalami peningkatan dengan sedikit bantuan dari pusat dan propinsi, pemerintah dapat meminimumkan biaya untuk memungut PAD, pemerintah mulai bisa menyeimbangkan antara belanja rutin dan pembangunan. 3.Martha Yurdilla Janur (2009) Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Analisis Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo Sesudah Otonomi Daerah Rasio yang digunakan: 1.Rasio Kemandirian Keuangan Daerah 2.Rasio Efektifitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah 3.Rasio Aktivitas 4.Rasio Pertumbuhan Untuk rasio kemandirian keuangan daerah dan rasio efektifitas dan efisiensi PAD, kinerja keuangan Pemkab Bungo mengalami

persentase naik turun. Untuk rasio aktivitas

menunjukkan hasil yang kurang efektif.

Untuk rasio pertumbuhan dan DSCR

menunjukkan kinerja


(41)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

karena mengarah kepada tren positif.

C. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan sintesis atau ekstrapolasi dari kejadian teori yang mencerminkan keterkaitan antara variabel yang diteliti dan merupakan tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian serta merumuskan hipotesis dan merupakan tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel ataupun masalah yang ada dalam penelitian. Adapun kerangka konseptual dalam penelititan ini dapat digambarkan melalui bagan alur berikut yang disertai penjelasan kualitatif

Pemerintah Kota Medan

Laporan Pertanggungjawaban APBD

Kinerja Keuangan Daerah

Laporan Pertanggungjawaban APBD

Kinerja Keuangan Daerah Laporan Realisasi

Anggaran

Laporan Realisasi Anggaran

DIBANDINGKAN

Sesudah Otonomi Daerah Sebelum Otonomi Daerah


(42)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Gambar 2.1

Kerangka Konseptual Penelitian

Sumber: Diolah Penulis, 2009

Keterangan Bagan :

Pada Pemerintah Kota Medan, data yang dipakai atau digunakan adalah Laporan Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepala daerah. Dalam hal ini data yang dipakai dikhususkan pada laporan realisasi anggaran atau pada saat ini lebih dikenal dengan nama Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepala daerah. Kemudian dari LKPJ ini diambil data-data yang diperlukan atau yang dipakai dalam penelitian ini, yang kemudian akan dianalisis dengan memakai rasio kinerja keuangan daerah yaitu : rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio tingkat kemandirian pembiayaan, rasio efisiensi penggunaan anggaran dan rasio kemandirian keuangan daerah. Setelah itu rasio-rasio tersebut akan dibandingkan sebelum dan setelah otonomi daerah.


(43)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian berbentuk deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat penelitian dilakukan atau selama kurun waktu tertentu dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Umar Husein (1997:56) mengatakan bahwa salah satu tanda suatu penelitian itu berjenis deskriptif adalah adanya studi kasus pada penelitian tersebut, seperti yang dilakukan dalam penelitian ini.

B. Jenis Data

Data yang dikumpulkan dan digunakan adalah data sekunder, yang diperoleh dari sumber-sumber kepustakaan dan analisis dokumen meliputi Undang-undang Rapublik Indonesia, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah mengenai pengelolaan keuangan daerah dan Laporan Realisasi APBD Pemerintah kota Medan dari tahun anggaran 1995-2006.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut: 1. Teknik Dokumentasi, yakni dengan melalui pencatatan dan fotokopi data-data yang diperlukan.


(44)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

2. Teknik Kepustakaan, yakni dengan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan melalui buku-buku, literatur-literatur, dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian.

D. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode : 1. Metode Deskriptif

Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif yaitu dengan terlebih dahulu mengumpulkan data yang ada kemudian diklasifikasikan, dianalisis, selanjutnya diinterpretasikan sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai keadaan yang diteliti. Dalam analisis data pada skripsi ini tidak semua rasio pada tinjauan pustaka digunakan. Dalam hal ini analisis data akan dilakuka n dengan menggunakan rasio-rasio yang terdiri dari:

a. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal b. Rasio Tingkat Kemandirian Pembiayaan c. Rasio Efisiensi Penggunaan Anggaran d. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Rasio-rasio tersebut di atas juga tidak semua digunakan dalam analisis data pada skripsi ini karena pada rasio-rasio tersebut terdapat rumus-rumus yang

item-nya tidak terdapat pada realisasi APBD sebelum dan setelah otonomi daerah.

Contohnya pada rasio tingkat kemandirian pembiayaan dimana salah satu rumusnya memiliki item belanja rutin non pegawai. Belanja rutin hanya terdapat pada realisasi APBD yang disusun sebelum keluarnya PP No.105 Tahun 2000. Analisis data pada skripsi ini hanya menggunakan rumus yang memiliki item yang


(45)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

terdapat pada realisasi APBD sebelum dan setelah otonomi daerah sehingga dapat dibandingkan.

2. Metode Komperatif

Metode analisis dengan menggunakan data yang diperoleh dari objek penelitian lalu membandingkannya dengan keadaan yang diinginkan (pada penelitian ini yaitu sebelum dan setelah otonomi daerah), sehingga diketahui gambaran dan membuat kesimpulan yang sebenarnya dari masalah yang sedang diteliti.

E. Jadwal dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dimulai pada bulan Desember 2009 sampai dengan selesai dan dilakukan di kantor Pemerintah Kota Medan.


(46)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

BAB IV

ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Pemerintah Kota Medan 1. Sejarah Singkat Pemerintah Kota Medan

Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Sungai-sungai yang melintasi Kota Medan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai tersebut antara lain: Sungai Deli, Sungai Babura, Sungai Sikambing, Sungai Denai, Sungai Putih, Sungai Badra, Sungai Belawan dan Sungai Sulang Saling/Sungai Kera.

Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus, lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Ular (Deli Serdang) sampai ke Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua tersebut.

Awalnya, Medan merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari


(47)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan Deli dan Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.

Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli In Woord en Beeld ditulis oleh N.Ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua yakni Deli dan Babura. Rumah Administrateur terletak diseberang dari kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang sekarang ini.

Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh hasil panen tembakau deli, pada tahun 1864, dikirim ke Rotterdam di Belanda,


(48)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.

Kemudian pada tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakuka n ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai "Kota Medan".

Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887, Ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.

Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan "Acte van Schenking" (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M.


(49)

de-Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir. Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang.

Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa diantaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jalan H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).

Fungsi Pemerintah Kota Medan pada dasarnya dapat dibagi ke dalam lima (5) sifat, yaitu :

( 1) Pemberian pelayanan;

(2) Fungsi pengaturan (penetapan perda);


(50)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

(4) Fungsi perwakilan (dengan berinteraksi dengan Pemerintah Propinsi /Pusat);

(5) Fungsi koordinasi dan perencanaan pembangunan kota.

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, Pemerintah Kota Medan menyelenggarakan 2 (dua) bidang urusan yaitu :

(1) Urusan pemerintahan teknis yang pelaksanaannya diselenggarakan oleh Dinas-dinas daerah (Dinas Kesehatan, Pekerjaan Umum) dan

(2) Urusan pemerintahan umum, yang terdiri dari:

• Kewenangan mengatur yang diselengarakan bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan, sebagai Badan Legislatif Kota.

• Kewenagan yang tidak bersifat mengatur (segala sesuatu yang dicakup dalam kekuasaan melaksanakan kesejahteraan umum), yang diselenggarakan oleh Wlikota/Wakil Walikota, sebagai pimpinan tertinggi Badan Eksekutif Kota.

2. Letak Geografis Kota Medan

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29


(1)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Belanja Pegawai 371.512,35

Belanja Barang dan Jasa 111.663,65

Belanja Operasional dan Pemeliharaan 86.753,87 Belanja Perjalanan Dinas 9.880,23

Belanja Lain-lain 82.354,18

Pembayaran Pokok dan Bunga Pinjaman 44.084,84

Pensiun dan Bantuan -

Subsidi/Bantuan Keuangan Kepada Daerah Bawahan

27.049,92 Pengeluaran tidak termasuk bagian lain 57.071,72 Pengeluaran tidak tersangka 2.712,83

Total PengeluaraRutin 793.083,23

PENGELUARAN PEMBANGUNAN 332.239,16

Sumber: www.djpk.depkeu.go.id

Lampiran 10

PEMERINTAH KOTA MEDAN

LAPORAN REALISASI PERHITUNGAN APBD (REALISASI ANGGARAN)

TAHUN ANGGARAN 2004 (AUDITED)

(Dalam jutaan rupiah)

No. Uraian Realisasi

I PENDAPATAN

Pendapatan Asli Daerah 257.989,89

Pajak Daerah 145.585,45

Retribusi Daerah 106.438,55

Bagian Laba BUMD 1.000

Lain-lain PAD Yang Syah 4.965,88

Bagian Dana Perimbangan 777.895,93

Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak 190.793,86

Dana Alokasi Umum 404.989,98

Dana Alokasi Khusus 6.500

Bagi Hasil Pajak dan Bantuan dan Keuangan Dari Propinsi

175.666,09

Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Syah 39.308,57 Total Pendapatan 1.075.194,40

II BELANJA

APARATUR DAERAH 628.679,20

Belanja Adm. Umum 568.262,55

Belanja Pegawai 448.872,73

Belanja Barang dan Jasa 107.296,52

Belanja Perjalanan Dinas 9.904,26

Belanja Pemeliharaan 2.189,03


(2)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Belanja Pegawai 36.074,85

Belanja Barang dan Jasa 5.691,08

Belanja Perjalanan Dinas 726.366,60

Belanja Pemeliharaan 176.119,90

Belanja Modal 17.748,22

PELAYANAN PUBLIK 247.514,53

Belanja Adm. Umum 86.279

Belanja Pegawai -

Belanja Barang dan Jasa 86.279 Belanja Perjalanan Dinas -

Belanja Pemeliharaan -

Belanja Operasi dan Pemeliharaan 124.389,13

Belanja Pegawai 19.073,82

No. Uraian Realisasi

Belanja Barang dan Jasa 87.298,20

Belanja Perjalanan Dinas 916.475,50

Belanja Pemeliharaan 17.100,63

Belanja Modal 123.039,12

Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan 123.332,46

Belanja Tidak Tersangka 5.228,79

Total Belanja 1.004.754,99 Surplus/Defisit 70.439,40

III PEMBIAYAAN

Penerimaan daerah

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu 42.944,47 Penerimaan Pinjaman

Total Penerimaan Daerah 42.944,47 Pengeluaran Daerah

Penyertaan Modal 5.000

Pembayaran Utang Pokok yang Jatuh Tempo 95.766,32 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Berjalan 12.617,55

Total Pengeluaran Daerah 113.383,88 PEMBIAYAAN NETTO 70.439,40


(3)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Lampiran 11

PEMERINTAH KOTA MEDAN

LAPORAN REALISASI PERHITUNGAN APBD (REALISASI ANGGARAN)

TAHUN ANGGARAN 2005 (AUDITED)

(Dalam jutaan rupiah)

No. Uraian Realisasi

I PENDAPATAN

Pendapatan Asli Daerah 303.383,07

Pajak Daerah 178.113,36

Retribusi Daerah 112.271,80

Bagian Laba BUMD 800

Lain-lain PAD Yang Syah 12.197,90

Bagian Dana Perimbangan 884.117,93

Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak 194.341,28

Dana Alokasi Umum 426.572

Dana Alokasi Khusus 4.000

Bagi Hasil Pajak dan Bantuan dan Keuangan Dari Propinsi

259.204,65

Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Syah 41.148,08 Total Pendapatan 1.228.649,09

II BELANJA

APARATUR DAERAH 700.629,10

Belanja Adm. Umum 634.561,21

Belanja Pegawai 483.369,33

Belanja Barang dan Jasa 138.362,18


(4)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Belanja Pemeliharaan 4.209,56

Belanja Operasi dan Pemeliharaan 51.931,84

Belanja Pegawai 38.008,99

Belanja Barang dan Jasa 8.356,84 Belanja Perjalanan Dinas 2.402,05

Belanja Pemeliharaan 3.163,94

Belanja Modal 14.136,04

PELAYANAN PUBLIK

Belanja Adm. Umum 309.542,20

Belanja Pegawai -

Belanja Barang dan Jasa - Belanja Perjalanan Dinas -

Belanja Pemeliharaan -

Belanja Operasi dan Pemeliharaan 129.180,42

Belanja Pegawai 6.416,18

No. Uraian Realisasi

Belanja Barang dan Jasa 102.855,59

Belanja Perjalanan Dinas 1.186,70

Belanja Pemeliharaan 18.721,94

Belanja Modal 180.361,77

Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan 131.759,42

Belanja Tidak Tersangka 4.889,09

Total Belanja 1.146.819,82 Surplus/Defisit 81.829.267

III PEMBIAYAAN

Penerimaan daerah

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu 12.617,55

Penerimaan Pinjaman 34.000,00

Total Penerimaan Daerah 46.617,55 Pengeluaran Daerah

Penyertaan Modal 18.823,40

Pembayaran Utang Pokok yang Jatuh Tempo 36.880,05 Pembayaran Utang Belanja kpd Fihak Ketiga 22.766,82 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Berjalan 49.976,52

Total Pengeluaran Daerah 128.446,81 PEMBIAYAAN NETTO (81.829,26)


(5)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Lampiran 12

PEMERINTAH KOTA MEDAN

LAPORAN REALISASI PERHITUNGAN APBD (REALISASI ANGGARAN)

TAHUN ANGGARAN 2006

(Dalam jutaan rupiah)

No. Uraian Realisasi

I PENDAPATAN

Pendapatan Asli Daerah 312.862,35

Pajak Daerah 181.047,77

Retribusi Daerah 122.519,81

Hasil Perusahaan Dan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan

4.993,95 Lain-lain PAD Yang Syah 4.300,83

Dana Perimbangan 1.086.048,64

Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak 205.002,27

Dana Alokasi Umum 574.568,00

Dana Alokasi Khusus 20.480,00 Bagi Hasil Pajak dan Bantuan dan Keuangan

Dari Propinsi

285.998,37

Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Syah -

Total Pendapatan 1.398.910,99

II BELANJA

APARATUR DAERAH 436.296,01


(6)

Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.

USU Repository © 2009

Belanja Pegawai 192.940,57

Belanja Barang dan Jasa 148.034,74 Belanja Perjalanan Dinas 14.380,30 Belanja Pemeliharaan 4.429,03

Belanja Operasi dan Pemeliharaan 47.419,21

Belanja Pegawai 31.458,32

Belanja Barang dan Jasa 11.002,10 Belanja Perjalanan Dinas 1.844,82 Belanja Pemeliharaan 3.113,97

PELAYANAN PUBLIK 765.489,67

Belanja Adm. Umum 392.429,93

Belanja Pegawai 392.429,93

Belanja Barang dan Jasa - Belanja Perjalanan Dinas - Belanja Pemeliharaan -

186.475,05

Belanja Operasi dan Pemeliharaan 11.522,77

Belanja Pegawai

No. Uraian Realisasi

Belanja Barang dan Jasa 121.429,79 Belanja Perjalanan Dinas 3.623,82 Belanja Pemeliharaan 49.889,67

Belanja Modal 186.584,69

Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan 115.668,00

Belanja Tidak Tersangka 4.971,74

Total Belanja 1.322.425,42

Surplus/Defisit 76.485,57

III PEMBIAYAAN

Penerimaan daerah

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu 49.976,52 Penerimaan Pinjaman -

Total Penerimaan Daerah 49.976,52

Pengeluaran Daerah

Penyertaan Modal 5000

Pembayaran Utang Pokok yang Jatuh Tempo - Pembayaran Utang Belanja kpd Fihak Ketiga - Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Berjalan 57.712,00

Lain-lain 63.750

Total Pengeluaran Daerah 126.462,10