Analisis Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah Kabupaten Bungo Sesudah Otonomi Daerah

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

SKRIPSI

ANALISIS TERHADAP KINERJA KEUANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN BUNGO SESUDAH OTONOMI DAERAH

OLEH :

NAMA : MARTHA YURDILA JANUR

NIM : 050503123 DEPARTEMEN : AKUNTANSI S1

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Medan 2009


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini, Saya menyataka bahwa skripsi yang berjudul :

ANALISIS TERHADAP KINERJA KEUANGAN PEMERINTAHAN DAERAH PADA KABUPATEN BUNGO SESUDAH OTONOMI DAERAH Adalah benar hasil karya sendiri dan judul dimaksud belum pernah dimuat, dipublikasikan, atau diteliti oleh mahasiswa lain dalam konteks penulisan skripsi level Program S-1 Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Semua sumber data dan informasi yang diperoleh, telah dinyatakan dengan jelas, benar apa adanya. Dan apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, Saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Universitas Sumatera Utara.

Medan, 14 Januari 2008 Yang membuat pernyataan,

Martha Yurdila Janur NIM : 050503123


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah serta bimbingan-Nya selama mengikuti perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini dengan baik. Shalawat Beriringan Salam tak lupa penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir zaman yang telah membawa cahaya Islam ke dunia ini dan juga ilmu pengetahuan kepada umatnya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul skripsi ii yaitu : Analisis Tehadap Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah Kabupaten Bungo Sesudah Otonomi Daerah”. Dalam proses penyelesaian penyusunan skripsi ini, penulis dibantu oleh berbagai pihak yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga, ide-ide serta dukungannya baik secara moril maupun materil. Dalam kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada yang terhormat :

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Arifin Akhmad, M.Si, Ak dan Bapak Fahmi Natigor Nasution, SE, M.Acc, Ak selaku Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak selaku Dosen Pembimbing yang dengan tulus dan ikhlas didalam meluangkan waktu, memberikan saran dan arahan kepada penulis dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Drs. Rasdianto, M.Si, Ak dan Bapak Sambas Ade Kesuma , SE, M.Si, Ak selaku Dosen Penguji I dan Dosen Penguji II yang telah membantu penulis melalui saran dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Segenap dosen dan staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal dan ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis menimba ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

6. Para Pegawai Departemen Akuntansi S1 dan PPAK, Bang Chairil, Bang Oyong, Kak Dame, Bang Kartun dan Kak Fida yang telah banyak membantu penulis mengenai administrasi di Departemen Akuntansi selama penulis menuntut ilmu.

7. Sembah Sujud Penulis kepada Mama (Nurmiati) dan Papa (Djamizar Yozzi) tercinta, yang tidak pernah lelah didalam memberikan dukungan, semangat dan doa-doa kepada penulis setiap waktu, terima kasih atas pengorbanan Mama dan Papa selama ini. Doa dan kasih sayang penulis selalu untuk Mama dan Papa.

8. Uni dan Abang-abang ku tercinta beserta suami/istri : Uni Novi dan bang Hafik, Bang Deri dan Ayuk Yuni, Bang Ipom dan Ayuk Rahmi, terima


(5)

kasih atas semangat dan doa serta bantuannya kepada penulis. Keponakan-keponakan ku yang lucu : Fajri, Fazli dan Aline semoga menjadi anak yang saleh dan pintar serta berbakti kepada orang tua.

9. Terima kasih kepada Om Ridwan (Kepala Dinas DPKD) dan Om Mantok atas data-data dan informasi yang dibutuhkan didalam proses penyusunan skripsi yang diberikan kepada penulis.

10. Terima kasih kepada Tek Putri dan Uda serta Allisya atas bantuan-bantuannya selama penulis menuntut ilmu di Medan.

11. Sahabat-sahabat Bugfinders ku tercinta : Rara, Naeb, Yaya, Dita, Mela dan Putri. Makasih sudah menjadi sahabat-sahabatku selama ini, makasih atas dukungan, semangat dan pertolongan yang kalian berikan. Semoga ini bukan akhir dari segalanya, semoga kita tetap menjadi sahabat sampai kita sudah menjadi nenek-nenek, Terimakasih atas moment-moment indah yang pernah kita lalui bersama. I Love You Girls ...

12. Teman-teman Betrayer Dancer ku tercinta : Ken, Dera, Kara, Cleo, Gie, Nance, dan Wentis. Makasih atas semangat-semangat dan lelucon-leluconnya kalau penulis sudah down. We are the best dancer at Medan guys !!!!!

13. Teman-teman Akuntansi 05 : Boz Heri, Samy, Daniel, Fredy, Sony, Zulfan, Alfan, Deny, Oyep, Razi, Imam, Tiwi, Dina dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

14. Anak-anak Bungo : Special thanks For Pendry makasih atas dukungan, perhatian dan semangat yang diberikan selama ini (U’re my spirit and the


(6)

best mate in my life forever), Kak Anum, Ari Co’ot (Teman seperjuangan ku selama di Medan, SEMANGAT RI !!!!), Dewi, Ayu, Alex, Een, Keponakanku (Cia and Rizki), Alan, Dane (My Cute Cop’s), Resti, Cica, Wahyu, Lisa, Dina, Ratih, Indra, Dede, Eko dan Semuanya …..

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun bagi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga kiranya skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dala bidang akuntansi.

Medan, 14 Januari 2009 Penulis

Martha Yurdila Janur NIM : 050503123


(7)

ABSTRAK

Implementasi otonomi daerah adalah sebagai format kebijakan yang diharapkan mampu memecahkan problema keuangan pemerintahan pusat, karena sebelum era otonomi daerah diberlakukan, sumber daya keuangan pemerintahan lokal ataupun daerah tergantung kepada kemampuan keuangan pusat yang dialokasikan dalam wujud tunjangan dan bantuan-bantuan keuangan untuk daerah guan membiayai pengembangan dan jabatan dalam pemerintahan daerah. Pemberlakuan kebijakan otonomi daerah bertanggung jawab dan luas diarahkan untuk memberi penyisihan dana untuk pemerintahan daerah guna mengembangkan dan mengatur daerah mereka sendiri. Untuk kabupaten Bungo, dengan otonomi daerah diharapkan agar pemerintahan daerah lebih bebas dalam mengelola keuangan mereka sendiri dan lebih efisien lagi dalam mengatur sumber daya keuangan mereka sendiri.

Penelitian ini adalah penelitian berbentuk deskriptif yaitu merupakan suatu bentuk penggambaran fenomena yang terjadi dari subyek penelitian, dan data yang digunakan adalah laporan keterangan pertanggung jawaban (LKPJ) pemerintahan daerah Kabupaten Bungo sesudah otonomi daerah dari tahun 2003/2004-2007.

Hasil penelitian secara umum menunjukkan perbedaan-perbedaan penting dalam pencapaian kinerja keuangan pemerintahan daerah Kabupaten Bungo sesudah otonomi daerah. Kinerja keuangan diukur dengan rasio-rasio keuangan. Untuk rasio kemandirian keuangan daerah dan untuk rasio efektifitas dan efisiensi, kinerja keuangan pemerintahan daerah Kabupaten Bungo menunjukkan hasil yang belum stabil karena masih mengalami persentase yang naik turun terhadap hasil perhitungannya. Untuk rasio aktivitas menunjukkan hasil yang kurang efektif karena dana yang dimiliki pemerintah masih diprioritaskan untuk belanja rutin daripada belanja pembangunan. Untuk DSCR dan rasio pertumbuhan menunjukkan kinerja yang semakin baik karena mengarah kepada tren yang positif.

Kata Kunci : Otonomi Daerah, Kinerja Keuangan, Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Efektifitas dan Efisiensi, Rasio Aktivitas, DSCR, dan Rasio Pertumbuhan.


(8)

ABSTRACT

Implementation of the regional autonomy is as a form of decision which is expected to be able to solve the central government financial problem. Because before the regional autonomy era has been implementated, the local or regional government financial resources are depended on central government ability which was allocated in the form of subsidy and financial aid for regional for financing the development and public service. The extensive and responsible regional autonomy is aimed to give the allowance to regional government to develop and manage their own region. For the regency of Bungo, by regional autonomy the regional government should be more independent on their own finance and more efficient in managing their own financial resources.

This research is a descriptive method which is describing the phenomenon happen from the subject of the research and the data which is used is a regional government of Bungo regency responsibility report after the regional autonomy from 2003/2004 until 2007.

The result of the research generally show the important diversity in reaching financial performance of regional government of Bungo regency. Financial performance which is measured with the financial ratio. The regional financial independent ratio and regional genvine income effectivity and efficiency ratio, financial performance of Bungo residency show the result that is not stable yet, because it still has up and down percentages to ward the result of the calculation. The activity ratio show an ineffective result, because government funds is in priority for regular purchasing than development purchasing. DSCR and growth ratio show a better performance because they refer to the positive trend.

Keyword : Regional Autonomy, Financial Performance, Regional Financial Independent Ratio, Regional Genvine Income Effectivity and Efficiency Ratio, Activity Ratio, Debt Service Coverage Ratio (DSCR), Growth Ratio.


(9)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

KATA PENGANTAR ………... ii

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ………... vii

DAFTAR ISI ………... viii

DAFTAR TABEL ………... xi

DAFTAR GAMBAR ………... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Perumusan Masalah……….. 5

C. Batasan Permasalahan………... 6

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 6

1. Tujuan Penelitian………. 6

2. Manfaat Penelitian………... 6

E. Kerangka Konseptual………. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis……… 9

1. Definisi Otonomi Daerah………. 9

2. Definisi Keuangan Daerah………... 13


(10)

a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah…………. 22

b. Rasio Efektifitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah……….. 23

c. Rasio Aktivitas………. 24

d. Debt Service Coverage Ratio (DSCR)……… 25

e. Rasio Pertumbuhan………... 26

B. Tinjauan Penelitian Terdahulu………... 27

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian……….. 32

B. Jenis Data……….. 32

C. Teknik Pengumpulan Data……… 32

D. Metode Analisis Data……….... 33

E. Lokasi Penelitian………... 33

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Kabupaten Bungo………. 34

B. Gambaran Keuangan Daerah Kabupaten Bungo………... 42

C. Perhitungan dan Analisis Perkembangan Rasio dan Kinerja Keuangan Pemerintahan Kabupaten Bungo……….. 48

1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah……….. 48

2. Rasio Efektifitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah………... 51


(11)

4. Debt Service Coverage Ratio (DSCR)………... 58 5. Rasio Pertumbuhan……….. 60 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………. 64

B. Saran……… 66

DAFTAR PUSTAKA……….. 68 LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul

1.1 Perubahan Setelah PP No. 105 Tahun 2000 17 Hal

1.2 Perbandingan Permendagri No. 13 Tahun 2006 dengan

PP No. 24 Tahun 2005 19

1.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu 27

Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bungo Tahun 2003-2007 42

Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Bungo Tahun

2003-2007 48

Rasio Efektifitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten

Bungo Tahun 2003-2007 52

Rasio Aktivitas Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2003-2007 55

DSCR Kabupaten Bungo Tahun 2003-2007 58

Rasio Pertumbuhan APBD Kabupaten Bungo Tahun 2003-2007 61


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul

1.1 Kerangka Konseptual Penelitian 7


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul

1. Perkembangan APBD Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2003/2004-2007 (Perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah)

2. Biaya, Target dan Realisasi Penerimaan Pajak, dan Retribusi Daerah Yang Dilakukan DPKD Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2003/2004-2007 (Perhitungan Rasio Efektifitas dan Efisiensi PAD)

3. Perkembangan APBD Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2003/2004-2007 (Perhitungan Rasio Aktivitas)

4. Perhitungan Debt Service Coverage Ratio (DSCR) Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2003/2004-2007

5. Perhitungan Rasio Pertumbuhan APBD Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2003/2004-2007

6. Laporan APBD Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2003 7. Laporan APBD Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2004 8. Laporan APBD Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2005


(15)

9. Laporan APBD Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2006 10. Laporan APBD Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2007 11. Surat Permohonan Izin Riset

12. Surat Rekomendasi Mengadakan Riset/Penelitian BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertimbangan mendasar dari terselenggaranya Otonomi Daerah (otoda) adalah ditinjau dari perkembangan kondisi didalam negeri yang mengindikasikan bahwa rakyat menghendaki keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi). Menurut Halim (2001 : 2) “selain itu keadaan diluar negeri yang juga menunjukkan semakin maraknya globalisasi yang menuntut daya saing tiap Negara, termasuk daya saing Pemerintahan Daerahnya.” Selanjutnya peningkatan kemandirian Pemerintahan Daerah tersebut diharapkan dapat diraih melalui otonomi daerah.

Tujuan program otonomi daerah menurut Bastian (2006 : 338) adalah

Untuk menciptakan kehidupan politik yang lebih demokratis, menciptakan sistem yang lebih menjamin pemerataan dan keadilan, memungkinkan setiap daerah menggali potensi natural dan cultural yang dimiliki, dan kesiapan menghadapi tantangan globalisasi, serta yang sangat penting adalah terpeliharanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain, pemerintah ingin melaksanakan pasal 18 UUD 1945, yaitu dengan melaksanakan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.


(16)

Otonomi Daerah di Indonesia didasarkan pada undang-undang nomor 22 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan undang-undang nomor 25 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah dengan sistem pemerintahan desentralisasi dan sudah mulai efektif dilaksanakan sejak 1 januari 2001.

Pada umumnya faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah adalah kemampuan sumber daya manusia (aparat maupun masyarakat), sumber daya alam, kemampuan keuangan (finanacial), kemampuan manajemen, kondisi sosal budaya masyarakat, dan karakteristik ekologis.

Adapun misi utama undang-undang nomor 33 tahun 2004 adalah bukan hanya untuk melimpahkan kewenangan pembangunan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah efisiensi dan efektifitas sumber daya keuangan. Selanjutnya Bastian (2001 : 6) menyatakan bahwa “untuk itu diperlukan suatu laporan keuangan yang handal dan dapat dipercaya agar dapat menggambarkan sumber daya keuangan daerah berikut dengan analisis prestasi pengelolaan sumber daya keuangan daerah itu sendiri.”

Analisis prestasi dalam hal ini adalah kinerja keuangan dari Pemerintahan Daerah itu sendiri yang dapat didasarkan pada kemandirian dan kemampuannya untuk memperoleh, memiliki, memelihara dan memanfaatkan keterbatasan sumber-sumber ekonomis daerah untuk pemenuhan seluas-luasnya kebutuhan masyarakat didaerah.


(17)

Pelaksanaan otonomi daerah identik dengan adanya tuntutan Good Governance dalam rangka efektifitas dan efisiensi pembangunan daerah dalam kerangka otonomi memerlukan prasyarat berupa tata cara pemerintahan yang baik dan bersih. Terselenggaranya Good Governance merupakan prasayarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita Bangsa dan Negara. Menurut Sedarmayanti (2003 : 2) “perlu diperhatikan pula adanya mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas pada setiap instansi pemerintah dan memperkuat peran kapasitas parlemen, serta tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas”. Pada dasarnya terdapat tiga pilar utama didalam mewujudkan good governance, yaitu : Akuntabilitas, Transparasi, dan Partisipasi.

Salah satu upaya nyata didalam penerapan prinsip-prinsip dasar Good Governance ini adalah didalam penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban keuangan pemerintahan daerah dengan standar akuntansi pemerintahan yang telah diterima secara umum. Karena sebagian besar otonomi daerah (tugas dan kewenangan mengatur daerah sendiri) diberikan kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota atas dasar pertimbanagan budaya, politik (demokrasi), dan ekonomi lokal.

Proses penyusunan anggaran sektor publik umumnya disesuaikan dengan peraturan lembaga yang lebih tinggi yang didasarkan pada undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah, sehingga lahirlah tiga paket perundang-undangan, yaitu undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, undang-undang nomor 1 tahun


(18)

2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan undang-undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yang telah membuat perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengaturan keuangan, khususnya Perencanaan dan Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Pusat. Kemudian, saat ini keluar peraturan baru yaitu peraturan pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang akan menggantikan Kepmendagri nomor 29 tahun 2002.

Undang-undang nomor 17 tahun 2003 menetapkan bahwa APBD disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai. Untuk mendukung kebijakan ini perlu dibangun pendekatan kinerja. Anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja.

Pada umumnya APBD suatu daerah didominasi oleh sumbangan Pemerintahan Pusat dan sumbangan lain-lain, yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, yaitu sekitar 75% dari total penerimaan daerah. Hal ini menyebabkan daerah masih tergantung kepada Pemerintahan Pusat sehingga kemampuan daerah untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki menjadi terbatas. Rendahnya PAD suatu daerah bukanlah disebabkan oleh karena secara struktural daerah memang miskin atau tidak memilki sumber-sumber keuangan yang potensial, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintahan pusat. Selain ini sumber-sumber keuangan dikuasai oleh pusat sehingga hal ini


(19)

menyebabkan daerah kurang mandiri dalam pengelolaan hasil materil sumber daya-sumber daya dan potensi daerah tersebut.

Fenomenanya adalah dimana Kabupaten Bungo memiliki begitu besar potensi sumber daya-sumber daya yang tersedia dari kabupaten lain di Propinsi Jambi, khususnya untuk perkebunan dimana Kabupaten Bungo merupakan penghasil sawit dan karet yang terbesar dari kabupaten lain di Propinsi Jambi. Semenjak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah oleh Pemerintahan Pusat pada tahun 2002, Kabupaten Bungo memikul suatu tugas untuk memberikan suatu inovasi didalam sistem pemerintahan kearah yang lebih baik untuk menjadi lebih mandiri didalam mengelola dan meningkatkan kinerja keuangan pemerintahannya yang nantinya akan dipertanggung jawabkan kepada pemerintahan pusat bahkan masyarakat kabupaten itu sendiri. Ini dapat dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi Kabupten Bungo pada Tahun 2007 mencapai 7,47 %, angka ini telah berada diatas target pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2008.

Perubahan tersebut juga menuntut Pemerintahan Kabupaten Bungo untuk dapat menerapkan Pemerintah yang berorientasi kepada adanya budaya dan etos kerja yang tinggi dan pencapaian hasil serta pertanggungjawaban menuju Good Governance, maka dengan demikian akan terwujud Pemerintahan yang baik, bersih berwibawa, dan bertanggungjawab serta bebas dari pengaruh Korupsi, Kolusi dan Nepotismo (KKN).

Maka berdasarkan atas pertimbangan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian di Kabupaten Bungo yang berkenaan dengan penganalisaan dari kinerja keuangan pemerintahan daerah setempat setelah


(20)

diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, yang tertuang didalam skripsi yang berjudul “Analisis Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah Kabupaten Bungo Sesudah Otonomi Daerah”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas, maka dalam hal ini penulis merumuskan yang menjadi permasalahan didalam penelitian ini adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah Kabupaten Bungo Sesudah Diberlakukannya Kebijakan Otonomi Daerah ?”.

C. Batasan Permasalahan

Permasalahan didalam penelitian ini akan dibatasi pada pengukuran kinerja keuangan pemerintahan daerah Kabupaten Bungo dengan menggunakan analisis rasio keuangan pada APBD, yaitu sebagai berkut :

1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

2. Rasio Efektifitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah 3. Rasio Aktivitas

4. Debt Service Coverage Ratio (DSCR) 5. Rasio Pertumbuhan

Data keuangan yang dipakai adalah Laporan Keterangan Pertanggung jawaban Kabupaten Bungo sesudah diberlakuknnya kebijakan otonomi daerah yaitu dari tahun 2003-2007.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Peneltian


(21)

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimanakah kinerja keuangan pemerintahan daerah Kabupaten Bungo sesudah diberlakukannya kebijakan otonomi daerah.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Bagi Pemerintahan Daerah

Sebagai bahan masukan dan gambaran bagi pemerintahan daerah didalam membuat kebijakan dan serta menentukan arah dan strategi didalam perbaikan kinerja keuangan Pemerintahan Daerah dimasa yang akan datang.

2. Bagi Peneliti

Salah satu upaya untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang berharga dalam menulis karya ilmiah dan memperdalam bidang yang diteliti. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dibidang Ilmu Akuntansi pada umumnya dan Ilmu Pemerintahan Akuntansi pada khususnya.

E. Kerangka Konseptual

Kerangka Konseptual yang akan digunakan didalam skripsi ini adalah :

Pemerintahan Daerah Kabupaten Bungo


(22)

Keterangan Kerangka Konseptual :

Pada Pemerintahan Kabupaten Bungo, data yang digunakan adalah Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam hal ini Bupati yang lebih di kenal dengan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah. Kemudian data dapat dianalisis dengan menggunakan rasio-rasio keuangan, antara lain :

1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

2. Rasio Efektifitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah 3. Rasio Aktivitas

4. Debt Service Coverage (DSCR) 5. Rasio Pertumbuhan

Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kabupaten Bungo

Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah


(23)

Sehingga dari perhitungan rasio-rasio tersebut diatas maka akan dapat diproleh hasil analisis kinerja keuangan Pemerintahan Daerah Kabupaten Bungo setelah pemberlakuan kebijakan Otonomi Daerah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis

1. Definisi Otonomi Daerah

Menurut undang-undang nomor 32 tahun 2004 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, kewenangan, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(24)

Dalam rangka Negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap daerah otonom. Untuk itu menurut Bastian (2006 : 338)

Ada beberapa asas penting dalam Undang-Undang Otonomi Daerah yang perlu dipahami :

1. Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat didaerah.

3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana, dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.

4. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah adalah suatu system pembiayaan pemerintah dalam kerangka Negara kesatuan, yang mencakup pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pemerataan antardaerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, serta kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan terssebut, termasuk pengelolaan dan pengawasannya.

Hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah kebijakan publik yang kuat untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan prakarsa, dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat dan peningkatan manajemen pengelolaan dana daerah. Arahan yang diberikan oleh undang-undang ini sudah sangat baik. Tetapi apakah ia dapat mewujudkan pemerintahan daerah otonom yang efisien, efektif, transparan dan akuntabel. Hasil yang diinginkan terkait dengan ketaatan penerapan dan kesesuaian isi pokok-pokok aturan dengan kondisi daerah otonom lain yaitu :


(25)

1. Dibidang Pendapatan, UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah sebagai pengganti UU No. 18 Tahun 1997 (sebelum otonomi) sekaligus dengan PP No. 65 dan 66 Tahun 2000 sebagai peraturan pelaksanaan apakah mampu mendorong daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.

2. Dibidang Belanja, PP No. 104 s/d 110 merupakan regulasi pengelolaan belanja daerah. Apakah regulasi ini sebagai peraturan pelaksana mampu meningkatkan kinerja keuangan daerah dalam bentuk pencapaian efisiensi dan efektifitas belanja daerah.

Menurut Anderson dalam Tangkilisan (2003 : 25) mengemukakan bahwa : Kebijakan publik sebagai kebijakan yang dibangun oleh badan dan pejabat pemerintahan dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah : 1. Kebijakan publik selalu memilki tujuan tertentu atau mempunyai

tindakan yang berorientasi kepada tujuan;

2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah;

3. Kebijakak publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah;

4. Kebijakan publik yang diambil dapat bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;

5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Reformasi pembiayaan melalui perubahan regulasi merupakan salah satu bentuk kebijakan publik dalam upaya mengganti pendekatan manajemen pendapatan dan belanja melalui pengaturan kembali ketentuan yang ada dalam pengelolaan biaya. Berdasarkan definisi Anderson dalam Tangkilisan (2003 : 26) “penerapan reformasi pembiayaan berarti bahwa pemerintah telah melakukan pengaturan pengelolaan sumber daya melalui penetapan peraturan (regulasi


(26)

dengan tujuan agar pengelolaan pendapatan dan belanja daerah oleh pemerintahan daerah lebih baik dari sebelumnya”.

Perubahan paradigma pembiayaan APBD oleh Pemerintahan melalui regulasi sesungguhnya memilki keterkaitan dengan beberapa teori dan penelitian tentang pengelolaan biaya yang hampir relevan dengan apa yang dimaksud reformasi pembiayaan yaitu pengelolaan biaya yang merupakan suatu pengembangan organisasi karena secara terus-menerus memberikan dan menawarkan ide bagi organisasi untuk menemukan cara pengambilan keputusan yang benar untuk meningkatkan pelanggan dan menguarangi biaya.

Aspek kedua yaitu bahwa secara sikap atau kebijakan, pengelolaan biaya harus seluruhnya dihasilkan dari suatu keputusan manajemen. Bila dikaitkan dengan tata pemerintahan khusunya didaerah, maka pengelolaan biaya yang paling relevan adalah menghasilkan aturan/kebijakan tertulis melalui suatu regulasi dibidang penerimaan atau regualsi dibidang pengeluaran. Melalui otonomi daerah diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatan.

Pemerintah daerah diaharapakan mampu memainkan peranan dalam membuka peluang memajukan daerah dengan menumbuh kembangkan seluruh potensi sumber pendapatan daerah dan mampu menetapkan belanja daerah secara wajar, efisien dan efektif termasuk kemampuan perangkat daerah meningkatkan kinerjanya.

Variasi pemahaman otonomi daerah terkait dengan pemaknaan terhadap asal-usul otonomi daerah. Karena sebenarnya otonomi daerah adalah hak yang


(27)

dimilki dan melekat sejak berdirinya daerah tersebut. Pemaknaan ini berlawanan dengan paham yang menyatakan bahwa daerah tidak memilki hak otonom karena hak tersebut sesungguhnya baru muncul setelah pusat mendesentralisasikan sebagian kewenangannya kepada daerah. Dengan kata lain menurut Bastian (2004 : 331) ”otonomi daerah adalah pemberian pemerintah pusat melalui asas desentralisasi. Paham terakhir inilah yang sering dikaitkan dengan konsep keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Menurut Halim (2001 : 19), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah ;

(1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memilki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah, (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan keuangan pusat dan daerah.

Secara umum ada lima aspek yang dipersiapkan dalam pengaturan perubahan otonomi daerah, yaitu :

1. Pengaturan kewenangan. 2. Pengaturan Kelembagaan. 3. Pengaturan Personil.

4. Pengaturan Asset dan Dokumen. 5. Pengaturan Keuangan.

Dalam penulisan ini, aspek pengaturan kewenangan terutama terhadap pengelolaan belanja daerah dan pendapatan daerah serta pengaturan keuangan terutama pengaturan pajak dan retribusi daerah serta pengaturan dana


(28)

perimbangan sebagai kekuatan utama otonomi daerah adalah lingkup kajian nantinya didalam pembahasan.

2. Definisi Keuangan Daerah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 tahun 2000 (sekarang diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005), tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dalam ketentuan umumnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan terhadap keuangan daerah setelah dikeluarkannya undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah. Beberapa peraturan pelaksanaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Halim (2007 : 2) antara lain :

1) Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan. 2) Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan

Pertanggungjawaban Keungan Daerah.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah. 4) Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara

Pertanggungjawaban Kepala Daerah.

5) Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Tanggal 17 November 2000 Nomor 903/2735/SJ tentang Pedoman Umum Penyusunan dan Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2001.

6) Keputuasan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Penguruasan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah, Serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Cara Keuangan Daerah, serta Penyusunan Perhitungan APBD.

7) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 8) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.


(29)

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, manajemen keuangan daerah di era otonomi daerah memiliki karakteristik yang berbeda dari pengelolaan keuangan daerah sebelum otonomi daerah. Menurut Halim (2007 : 2) karakteristik tersebut antara lain :

1) Pengertian Daerah adalah propinsi dan kota atau kabupaten. Istilah Pemerintah Daerah Tingkat I dan II, juga kota madya tidak lagi digunakan. 2) Pengertian Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat

lainnya. Pemerintah ini adalah badan eksekutif, sedang badan legislatif didaerah adalah DPRD (pasal 14 UU No.22 Tahun 1999). Oleh karena itu, terdapat pemisahan yang nyata antara legislatif adan eksekutif.

3) Perhitungan APBD menjadi satu laporan dengan pertanggung jawaban Kepala Daerah (pasal 5 PP Nomor 108 Tahun 2000).

4) Bentuk Laporan Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran terdiri atas : a) Laporan Perhitungan APBD

b) Nota Perhitungan APBD c) Laporan Aliran Kas

d) Neraca Daerah dilengkapi dengan peniliaian berdasarkan tolak ukur Renstra (pasal 38 PP Nomor 105 Tahun 2000)

5) Pinjaman APBD tidak lagi masuk dalam pos Pendapatan (yang menunjukkan hak Pemerintah Daerah) tetapi masuk dalam pos Penerimaan (yang belum tentu menjadi hak Pemerintah Daerah)

6) Masyarakat termasuk didalam unsur-unsur penyusunan APBD disamping Pemerintah Daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD.

7) Indikator kinerja Pemerintah Daerah tidak hanya mencakup : a) Perbandingan antara anggaran dan realisasinya.

b) Perbandingan antara standar biaya dan realisasinya.

c) Target dan persentase fisik proyek tetapi juga meliputi standar pelayanan yang diharapkan.

8) Laporan pertanggungjawaban Kepla Daerah pada akhir tahun anggaran yang bentuknya Laporan Perhitungan APBD dibahas oleh DPRD dan mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan Kepala Daerah apabila dua kali ditolak oleh DPRD.

9) Digunakan akuntansi didalam pengelolaan keuangan daerah.

Sumber-sumber Pendapatan/Penerimaan Daerah menurut undang-undang nomor 32 Tahun 2004 :

1) Pembiayaan Penyelanggaraan Pemerintah :

a) Penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.


(30)

b) Penyelengaraan tugas pemerintah di daerah dibiayai dari dan atas beban Anggaran dan Pendapatan Belanja.

2) Sumber Pendapatan Daerah :

a) Pendapatan asli daerah, yaitu : hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

b) Dana perimbangan. c) Pinjaman daerah.

d) Lain-lain pendapatan daerah yang sah. 3) Persentase Dana Perimbangan.:

a) Dana Perimbangan :

1) Bagian daerah dari penerimaan Pajak dan Bumi Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam.

2) Dana alokasi khusus. 3) Dana alokasi umum.

b) Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pedesaan, perkotaan, dan perkebunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, diterima langsung oleh daerah penghasil.

c) Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan serta kehutanan dan penerimaan dari sumber daya alam, diterima oleh daerah penghasil dan daerah lainnya untuk pemerataan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

d) Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dengan pembagian imbalan 10% untuk Pemerintahan Pusat dan 90% untuk Daerah.

e) Penerimaan Negara dari Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Pemerintah Daerah.

f) 10% penerimaan Pajak bumi dan Bangunan dan 20% penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menjadi bagian dari Pemerintahan Pusat dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota. g) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor

pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintahan Pusat dan 80% untuk Pemerintahan Daerah. h) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan

minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut :

1) Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85% untuk Pemerintahan Pusat dan 15% untuk Pemerintahan Daerah. 2) Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari

wilayah daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70% untuk Pemerintahan Pusat dan 30% untuk Pemerintahan Daerah.


(31)

PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah memiliki keterkaitan dengan PP Nomor 108 Tahun 2000 tentang Pertangungjawaban Kepala Daerah. Pengelolaan Keuangan Daerah secara khusus diatur dalam Pasal 14 PP Nomor 105 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa:

a) Ketentuan tentang pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah ditetapkan Peraturan Daerah.

b) Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah

c) Pedoman tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD ditetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri.

Berdasarkan ketentuan PP Nomor 105 Tahun 2000 Pasal 14 tersebut, kemudian Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002. Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut merupakan petunjuk teknis pelaksanaan PP Nomor 105 Tahun 2000 dibidang pengelolaan Keuangan Daerah dalam rangka pelaksanaan transparasi dan akuntabilitas keuangan daerah.

PP Nomor 105 Tahun 2000 (saat ini diganti dengan PP Nomor 58 Tahun 2005) dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 (saat ini telah diganti dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006) memberikan pendekatan baru dalam pengelolaan keuangan daerah. Perubahan yang terjadi cukup besar, namun tetap dilakukan secara bertahap sesuai dengan semangat reformasi, tidak radikal dan


(32)

evolusioner. Perubahan itu sudah sampai pada tekhnik akuntansinya yang meliputi perubahan dalam pendekatan sistem akuntansi dan prosedur pencatatan, dokumen dan formulir yang digunakan, fungsi-fungsi otorisasi untuk tujuan sistem pengendalian internal, laporan dan pengawasan. Berbagai perubahan dari pola lama ke pola baru yang diakibatkan kedua peraturan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1.1

Perubahan Setelah PP Nomor 105 Tahun 2000 PP No.105 Tahun 2000

PERUBAHAN YANG MENDASAR

LAMA BARU

Sistem Anggaran Tardisional dengan ciri :

Line-item & Incrementalism

Sistem Angaran Kinerja (Performance Budget)

Sistem Anggaran Berimbang Sistem Anggaran Defisit Struktur Anggaran :

1. Pendapatan 2. Belanja

Struktur Anggaran : 1. Pendapatan 2. Belanja 3. Pembiayaan Belanja Dibagi :

4. Belanja Rutin

5. Belanja Pembangunan

Belanja Dikategorikan :

1. Belanja Administrasi Umum 2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan 3. Belaja Modal

4. Belanja Tidak Tersangka Belanja dipisahkan per sektor, tidak ada

pemisahan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur

Belanja Dipisahkan Menjadi : 1. Belanja Aparatur

2. Belanja Publik Pinjaman sebagai komponen

pendapatan

Pinjaman Sebagai Komponen Pembiayaan

Laporan Pertanggungjawaban : Nota Perhitungan APBD

Laporan Pertanggungjawaban : 1. Neraca

2. Laporan Arus Kas

3. Laporan Perhitungan APBD 4. Nota Perhitungan APBD Sumber : Diolah dari Forum Dosen Akuntansi, 2006


(33)

Perubahan undang nomor 22 dan 25 tahun 1999 menjadi undang-undang nomor 32 dan 33 tahun 2004 menimbulkan implikasi perlunya dilakukan revisi peraturan perundang-undangan dibawahanya terkait dengan pengelolaan keuangan daerah, seperti PP Nomor 105, PP Nomor 108, dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002. Sementara itu, pada tahun 2005, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Menurut Mahmudi (2006 : 29) “pada dasarnya antara PP Nomor 24 Tahun 2005 mengatur tentang standar akuntansi, sedangkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 lebih banyak mengatur tentang sistem akuntansi pemerintahan daerah.”

Menurut Halim (2007 : 42) pada organisasi pemda

Laporan keuangan yang dikehendaki diatur oleh PP Nomor 105 Tahun 2000 serta Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 Pasal 81 ayat (1) dan lampiran XXIX butir (11) peraturan tersebut diperbaharui dengan PP Nomor 24 Tahun 2005 mengenai Standar Akuntansi Pemerintah, PP Nomor 58 Tahun 2005 mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006.

Tabel 1.2

Perbandingan Permendagri No.13 Tahun 2006 dengan PP No.24 Tahun 2005

Permendagri No.13 Tahun 2006 PP No.24 Tahun 2005 Basis Kas Modifikasian untuk

pencatatan yang dilakukan dengan dasar kas, Basis Akrual untuk

penyesuaian pada akhir tahun anggaran.

Menuju Basis Akrual, Basis Kas untuk pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan (Laporan L/R), Basis Akrual untuk pencatatan aset,

Kewajiban dan Ekutas Dana (Neraca). Aktiva tetap diakui didalam

penganggaran belanja modal hanya sebesar harga beli/bangunan asset.

Aktiva/Aset tetap diakui pada hak kepemilikan berpindah dan atau saat diterima.

Aktiva tetap selain tanah didepresiasi dengan metode garis lurus, metode saldo menurun ganda dan metode unit produksi.

Aktiva tetap selain tanah dapat

didepresiasi dengan metode garis lurus, metode saldo menurun ganda dan metode unit produksi.


(34)

Kewajiban diakui menjadi belanja daerah sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.

Diakui pada saat dana pinjaman diterima dan atau kewajiban timbul. Jenis Laporan Keuangan :

1. Laporan Realisasi Anggaran. 2. Naraca.

3. Laporan Arus Kas.

4. Catatan Atas Laporan Keuangan.

Jenis Laporan Keuangan : 1. Neraca.

2. Laporan Realisasi Anggaran. 3. Laporan Arus Kas.

4. Catatan Atas Laporan Keuangan. Belanja dikelompokkan kedalam

belanja daerah.

Tidak terdapat ketentuan

pengelompokkan belanja daerah. Belanja Dikategorikan :

Belanja Tidak Langsung, terdiri atas: 1. Belanja Pegawai.

2. Bunga. 3. Subsidi. 4. Hibah.

5. Bantuan Sosial. 6. Belanja Bagi Hasil. 7. Bantuan Keuangan. 8. Belanja Tak Terduga Belanja Langsung : 1. Belanja Pegawai

2. Belanja Barang dan Jasa 3. Belanja Modal

Belanja dikelompokkan menurut klasifikasi ekonomisnya yaitu : Belanja Operasi :

1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Bunga

4. Subsidi 5. Hibah

6. Bantuan Sosial Belanja Modal Belanja Tak Terduga

Laporan Aliran Kas dikelompokkan kedalam tiga aktivitas :

1. Aktivitas Operasi 2. Aktivitas Investasi 3. Pembiayaan

Laporan Arus Kas dikelompokkan dalam empat aktivitas :

1. Aktivitas Operasi 2. Aktivitas Investasi 3. Pembiayaan

4. Aktivitas Non Anggaran

3. Definisi Kinerja Keuangan Daerah

Kinerja (Performance) dapat diartikan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan.

Menurut Halim (2004 : 24) “kinerja keuangan daerah atau kemampuan daerah merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah.” Hadirnya otonomi daerah yang dimulai dengan hadirnya undang-undang nomor 22 tahun 1999


(35)

tentunya membawa konsekuensi terhadap pembiayaan daerah. Sebelum era otonomi daerah, hampir sebagian pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota se-Indonesia memperoleh sumber-sumber pendapatan yang berasal dari bagi hasil Pemerintahan Pusat.

Menurut Mardiasmo (2002 : 30) dengan otonomi terdapat dua aspek kinerja keuangan yang dituntut agar lebih baik dibanding dengan sebelum otonomi daerah.

Aspek pertama adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus pembiayaan daerah dengan kekuatan utama pada kemampuan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kehadiran undang-undang nomor 34 tahun 2000 tentang Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah serta peraturan pelaksanaannya adalah momentum dimulainya pengelolaan sumber-sumber pendapatan daerah secara penuh (desentralisasi fiskal). Aspek kedua yaitu disisi manajemen pengeluaran daerah, sesuai azas otonomi daerah bahwa pengelolaan keuangan daerah harus lebih akuntabel dan transparan tentunya menuntut daerah agar lebih efisien dan efektif dalam pengeluaran daerah. Kedua aspek tersebut dapat disebut sebagai Reformasi Pembiayaan.

Reformasi manajemen sektor publik terkait dengan perlunya digunakan model manajemen pemerintahan yang baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, karena perubahan ini tidak hanya perubahan paradigma, namun juga perubahan manajemen. Model manajemen yang cukup populer misalnya adalah New Public Management yang mulai dikenal tahun 1980-an dan populer tahun 1990-an yang mengalami bebarapa bnetuk konsep “manageralism”, “market based public administrator”, dan lain sebagainya. Manajemen sektor publik berorientasi kinerja, bukan berorientasi pada kebijakan yang membawa konsekuensi pada perubahan pendekatan anggaran yang selama ini dikenal dengan pendekatan anggaran tradisional (tradisional budget) menjadi penganggaran berbasis kinerja (performance budget), tuntutan melakukan


(36)

efisiensi, optimalisasi pendapatan, pemangakasan biaya (cost cutting) dan kompetisi tender (compulsory competitive tendering contract).

Dalam penelitian ini, istilah yang penulis maksudkan tentang Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja dibidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan APBD.

Dale A Henderson menuliskan didalam Journal of Accounting yang berjudul Performance Measure for Non Profit Organization bahwa terdapat indikator pengukuran kinerja organisasi non profit antara lain :

a. Customer focused b. Balance

c. Timely

d. Cost Effective

e. Compatible and Comparable

Didalam penilaian indikator kinerja sekurang-kurangnya ada empat tolok ukur penilaian kinerja keuangan pemerintahan daerah yaitu:

a. Penyimpangan antara realisasi anggaran dengan target yang ditetapkan dalam APBD.

b. Efisiensi Biaya c. Efektifitas Program.


(37)

d. Pemerataan dan keadilan.

Menurut Widodo dalam Halim (2002 : 126) terdapat beberapa analisa rasio didalam pengukuran kinerja keuangan daerah yang dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD adalah sebagai berikut :

a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Kemandrian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan Pemerintah Derah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagi sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandrian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan pusat ataupun dari pinjaman.

Pendapatan Asli Daerah Rasio kemandirian =

Bantuan Pemerintah Pusat/Propinsi dan Pinjaman

Rasio Kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat


(38)

membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi.

b. Rasio Efektifitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah

Rasio efektifitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasrkan potensi riil daerah.

Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Rasio efektifitas =

Target Penerimaan PAD yg Ditetapkan Berdasarkan Potensi Riil Daerah

Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai mencapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100 persen. Namun demikian semakin tinggi rasio efektifitas, menggambarkan kemepuan daerah yang semakin baik. Guna memperoleh ukuran yang lebih baik, rasio efektifitas tersebut perlu dipersandingkan dengan rasio efisiensi yang dicapai pemerintah daerah.

Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisais pendapatan yang diterima. Kinerja keuangan pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan dikategorikan efisien apabila yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau dibawah 100 persen. Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemerintahan daerah semakin baik.

Biaya yang dikeluarkan untuk Memungut PAD Rasio efisiensi =

Realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah c. Rasio Aktifitas


(39)

Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi presentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti persentase belanja investasi (belanja pembangunan) yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Secara sederhana rasio keserasian itu dapat diformulasikan sebagai berikut :

Total Belanja Rutin Rasio Belanja Rutin terhadap APBD =

Total APBD

Total Belanja Pembangunan Rasio Belanja Pembangunan terhadap APBD =

Total APBD

Belum ada patokan yang pasti berapa besarnya rasio belanja rutin maupun pembangunan terhadap APBD yang ideal, karena sangat dipengaruhi oleh dinamisasi kegiatan pembanguan dan besarnya kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan. Namun demikian, sebagai daerah di Negara berkembang peranan pemerintah daerah untuk memacu pelaksanaan pembangunan masih relatif kecil. Oleh karena itu, rasio belanja pembangunan yang relatif masih kecil perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pembangunan didaerah.

d. Debt Service Coverage Ratio (DSCR)

Dalam rangka melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana didaerah, selain mengguanakan pendapatan asli daerah, pemerintah daerah dapat menggunakan alternatif sumber dana lain, yaitu dengan melakukan pinjaman,


(40)

sepanjang prosedur dan pelaksanaannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ketentuan itu adalah :

1. Ketentuan yang menyangkut persyaratan

a. Jumlah kumulatif pinjaman daerah yang wajib dibayar maksimal 75 % dari penerimaan APBD tahun sebelumnya.

b. DSCR minimal 2,5

DSCR merupakan perbandingan antara penjumlahan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagian Daerah (BD) dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), penerimaan Sumber Daya Alam dan bagian daerah lainnya serta Dana Alokasi Umum setelah dikurangi Belanja Wajib (BW), dengan penjumlahan angsuran pokok, bunga dan biaya pinjaman lainnya yang jatuh tempo.

(PAD + BD + DAU) – BW DSCR =

Total (Pokok Angsuran + Bunga + Biaya Pinjaman)

2. Ketentuan yang menyangkut penggunaan pinjaman

a. Pinjaman jangka panjang digunakan membiayai pembangunan yang dapat menghasilkan penerimaan kembali untuk pembayaran pinjaman dan pelayanan masyarakat.

b. Pinjaman jangka pendek untuk pengaturan kas. 3. Ketentuan yang menyangkut prosedur

a. Mendapat persetujuan DPRD. b. Dituangkan dalam kontrak.


(41)

e. Rasio Pertumbuhan

Rasio pertumbuhan (Growth Ratio) mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam memepertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu mendapat perhatian.

Realisasi Penerimaan PAD Xn-Xn-1 Realisasi Pertumbuhan PAD =

Realisasi Penerimaan PAD Xn-1

Realisasi Penerimaan ∑Pendapatan Xn-Xn-1 Rasio Pertumbuhan ∑Pendapatan =

Realisasi Penerimaan ∑Pendapatan Xn-1

Rasio Pertumbuhan Belanja Rutin = Realisasi Belanja Rutin Xn-Xn-1

Realisasi Belanja Rutin Xn-1

Rasio Pertumbuhan Belanja Pembangunan = Realisasi Belanja Pembangunan Xn-Xn-1 Realisasi Belanja Pembangunan Xn-1

Keterangan :

Xn = Tahun Yang dihitung Xn-1 = Tahun Sebelumnya

B. Tinjauan Penelitian Terdahulu Tabel 1.3


(42)

Tinjauan Penelitian Terdahulu

Nama Judul Pengukuran

Penelitian

Hasil Penelitian 1. Ahzir Erfa

(2008) Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Setelah Otonomi Khusus (Studi Kasus Pada

Pemerintah Kabupaten Aceh Utara) Peneliti menggunakan indikator rasio didalam pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah setempat :

1. Rasio Kemandirian 2. Rasio

Efektifitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah 3. Rasio

Keserasian 4. Rasio Upaya

Fiskal 5. Rasio

Pertumbuhan 6. Rasio

Desentralisasi Fiskal.

Dari hasil analisis data dapat digambarkan bahwa dengan diberlakukannya otonomi khusus dapat merubah dan menaikkan rata-rata kinerja pemerintah daerah Kabupaten Aceh Utara. Dimana PAD mengalami penigkatan dengan sedikit bantuan yang diperoleh pusat dan provinsi, pemerintah dapat meminimumkan biaya yang digunakan untuk memungut PAD, pemerintah mulai bisa menyeimbangkan antara belanja pembangunan dan belanja rutin, upaya fiskal dan pertumbuhan daerah serta kinerja pemerintah daerah kabupaten Aceh utara dalam hal pajak daerah sangat maksimal.


(43)

2. MHD Karya Satya Azhar (2008) Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah Pengujian akan dilakukan dengan cara melakukan uji banding atas laporan keuangan kabupaten/kota yang didapat dari laporan realisasi anggaran, kemudian diambil beberapa ratio yang dianggap cukup didalam menilai kinerja keuangan, ratio tersebut diantaranya : 1. Rasio

Desentralisasi Fiskal.

2. Rasio Upaya Fiskal. 3. Rasio Tingkat

Kemandirian Pembiayaan. 4. Rasio Efisiensi

Penggunaan Anggaran. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kinerja sebelum dan setelah otonomi. Ini dapat dilihat dari tingginya tingkat pembiayaan daerah dari pemerintahan pusat cukup tinggi dan tekanan keuangan yang mengakibatkan kinerja pemerintah bergeser naik maupun turun.

3. Sri Haryati (2006) Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Perbandingan Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Kebijakan Otonomi Daerah Kabupaten Sleman Tahun 1998-2000 Peneliti menggunakan rasio-rasio dalam kinerja keuangan setempat, yaitu :

1. Derajat Desentralisasi Fiskal

(Tingkat Kemandirian Fiskal) 2. Kebutuhan

Fiskal (fiscal need)

3. Kapsitas Fiskal (fiscal capacity) Kinerja keuangan daerah pada kabupaten Sleman mengalami penurunan persentase pada pengukuran derajat desentralisasi fiskal, kebutuhan fiskal, dan upaya fiskal setelah pemberlakuan otonomi daerah. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja


(44)

4. Upaya Fiskal (fiscal effort)

keuangan

kabupaten Sleman sebelum otonomi daerah lebih baik dari pada setelah pemberlakuan kebijakan otonomi daerah.

Penelitian seperti ini pernah dilakukan oleh Ahzir Erfa (2008) mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dengan judul “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Setelah Otonomi Khusus (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Aceh Utara)”. Didalam melakukan analisis data peneliti menggunakan indikator rasio didalam pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah setempat, antara lain ; Rasio Kemandirian, Rasio Efektifitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah, Rasio Keserasian, Rasio Upaya Fiskal, Rasio Pertumbuhan, Rasio Desentralisasi Fiskal. Dari hasil analisis data dapat digambarkan bahwa dengan diberlakukannya otonomi khusus dapat merubah dan menaikkan rata-rata kinerja pemerintah daerah Kabupaten Aceh Utara. Dimana PAD mengalami penigkatan dengan sedikit bantuan yang diperoleh pusat dan provinsi, pemerintah dapat meminimumkan biaya yang digunakan untuk memungut PAD, pemerintah mulai bisa menyeimbangkan antara belanja pembangunan dan belanja rutin, upaya fiskal dan pertumbuhan daerah serta kinerja pemerintah daerah kabupaten Aceh utara dalam hal pajak daerah sangat maksimal.


(45)

Penelitian juga pernah dilakukan oleh MHD Karya Satya Azhar (2008) mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul ”Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah”. Pengujian akan dilakukan dengan cara melakukan uji banding atas laporan keuangan kabupaten/kota yang didapat dari laporan realisasi anggaran, kemudian diambil beberapa ratio yang dianggap cukup didalam menilai kinerja keuangan, ratio tersebut diantaranya ; Rasio Desentralisasi Fiskal, Rasio Upaya Fiskal, Rasio Tingkat Kemandirian Pembiayaan, Rasio Efisiensi Penggunaan Anggaran. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kinerja sebelum dan setelah otonomi. Ini dapat dilihat dari tingginya tingkat pembiayaan daerah dari pemerintahan pusat cukup tinggi dan tekanan keuangan yang mengakibatkan kinerja pemerintah bergeser naik maupun turun.

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Sri Haryati (2006) mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dengan judul ”Perbandingan Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Kebijakan Otonomi Daerah Kabupaten Sleman Tahun 1998-2000. Peneliti menggunakan rasio-rasio dalam kinerja keuangan setempat, yaitu ; Derajat Desentralisasi Fiskal (Tingkat Kemandirian Fiskal) , Kebutuhan Fiskal (fiscal need), Kapsitas Fiskal (fiscal capacity), Upaya Fiskal (fiscal effort). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja keuangan daerah pada kabupaten Sleman mengalami penurunan persentase pada pengukuran derajat desentralisasi fiskal, kebutuhan fiskal, dan upaya fiskal setelah pemberlakuan otonomi daerah. Hal ini menunjukkan bahwa


(46)

kinerja keuangan kabupaten Sleman sebelum otonomi daerah lebih baik dari pada setelah pemberlakuan kebijakan otonomi daerah.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian berbentuk deskriptif, dimana penelitian ini akan menggambarkan fenomena atau karakteristik data yang


(47)

tengah berlangsung pada saat penelitian ini dilakukan atau selama kurun waktu tertentu untuk menguji dan menjawab pertanyaan mengenai status terakhir dari subyek penelitian.

B. Jenis Data

Data yang digunakan didalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang telah ada dan tersedia baik dibuku-buku literatur ataupun sumber-sumber lain. Data sekunder ini terdiri atas : Laporan Keternagan Pertanggungjawaban Kabupaten Bungo setelah diberlakukannya kebijakan otonomi daerah yaitu untuk tahun 2003-2007 serta data-data pendukung lainnya yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bungo.

C. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan, maka pengumpulan data dan informasi tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Teknik Dokumentasi, yaitu melalui pencatatan ataupun fotokopi atas data-data yang diperlukan

2. Teknik Kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan yang dapat mendukung penelitian melalui buku-buku, literatur-literatur dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

D. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang dilakukan mencakup analisis kualitatif yaitu analisis deskriptif yang didasarkan pada penggambaran yang mendukung analisa tersebut, analisis ini menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdsarkan kondisi realitas atau natural setting yang


(48)

holistis, kompleks, dan rinci yang sifatnya menjelaskan secara uraian atau dalam bentuk kalimat.

Menurut Widodo dalam Halim (2002 : 126) analisa yang digunakan pada analisis kinerja keuangan daerah dalam bentuk rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD adalah sebagai berikut : 1. Rasio Kemandirian Daerah

2. Rasio Efektifitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah 3. Rasio Aktivitas

4. Debt Service Coverage Ratio (DSCR) 5. Rasio Pertumbuhan

E. Lokasi dan Jadwal Penelitian.

Penelitian ini dilaksanakan pada Pemerintahan Daerah Kabupaten Bungo tepatnya di Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) Kabupaten Bungo yang beralamat di Jalan Saleh Somad No. 251 Muara Bungo 37200.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kabupaten Bungo

Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 tahun 1948 ketiga sub propinsi (Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan) ditetapkan menjadi


(49)

Propinsi, dimana Keresidenan Jambi yang terdiri dari Kabupaten Merangin dan Kabupaten Batanghari tergabung dalam Propinsi Sumatera Tengah.

Selanjutnya berdasrkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1965, Kabuapetn Merangin yang semula ibukotanya berkedudukan di Bangko dipindahkan ke Muara Bungo.Selanjutnya Daerah Tingkat I Jambi yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 81 Tahun 1957 dirubah menjadi Undang-undang Nomor 81 Tahun 1958 yang wilayahnya terdiri dari Kabupaten Batanghari, Kabupaten Merangin, dan Kabupaten Kerinci.

Pada Tahun 1958 rakyat Kabupaten Merangin melalui DPRD Peralihan dan DPRG bertempat di Muara Bungo dan Bangko mengambil keputusan antara lain ; 1. Mendesak Pemerintah Pusat (Menteri Dalam Negeri) untuk memekarkan

Kabupaten Merangin menjadi dua Kabupaten, antara lain :

a. Kewedanan Muara Bungo dan Kewedanan Muara Tebo Menjadi Kabupaten Muara Bungo Tebo dengan Ibukotanya Muara Bungo.

b. Kewedanan Sarolangun dan Kewedanan Bangko menjadi Kabupaten Bangko dengan Ibukotanya Bangko.

2. Mengirim delegasi ke Jakarta untuk menghadap Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Propinsi Jambi guna memperjuangkan keputusan tersebut. Sebagai perwujudan dari tuntutan rakyat tersebut, maka keluarlah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1965 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II yang mengubah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1956 sebagai pemekaraan daerah:


(50)

1. Pemerintah Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko berkedudukan di Bangko

2. Pemerintah Daerah Tingkat II Muara Bungo Tebo berkedudukan di Muara Bungo

b. KABUPATEN BATANGHARI MENJADI :

1. Pemerintahan Daerah Tingkat II Tanjung Jabung berkedudukan di Kuala Tungkal

2. Pemerintahan Daerah Tingkat II Batanghari berkeduduka n di Kenali Asam

Pada tanggal 12 September 1965 dilakukan pelantikan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Muara Bungo Tebo dan diadakan penurunan papan nama kantor Bupati Merangin yang diganti dengan papan nama kantor Bupati Muara Bungo Tebo.

Sehubung dengan hal tersebut, maka tanggal 19 Oktober 1965 dinyatakan sebagai Hari Jadi Kabupaten Muara Bungo Tebo. Untuk memudahkan sebutannya dan dengan tidak mengurangi makna keputusan dan jiwa Undang-undang Nomor 7 Tahun 1965 dengan keputusan DPRGR Kabupaten Daerah Tingkat II Muara Bungo Tebo, ditetapkan sebagai sebutan KABUPATEN BUNGO TEBO.

Pemekaran yang terjadi dibeberapa propinsi dan kabupaten di Indonesia pada tahun 1999 juga melibatkan Kabupaten Dati II Bungo Tebo dan Kabupeten Dati II Sarolangun Bangko, yang pada gilirannya lahirlah KABUPATEN BUNGO dengan dasar Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999.


(51)

Dasar hukum pembentukan Kabupaten Bungo menjadi daerah otonom adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Tengah. 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Tingkat

II Sarolangun Bangko dan Daerah Tingkat II Tanjung Jabung.

3. Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muara Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

7. Peraturan-Peraturan Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintahan dan Kewenagan Propinsi sebagai Daerah Otonomi.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.

9. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

10. Peratuaran Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan.

11. Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional.


(52)

12. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Masyarakat.

Kabupaten Bungo secara spesifik memiliki letak geografis yang sangat strategis, yaitu berada pada jalur lintas barat Pulau Sumatera yang terletak antara 1º 08’ - 1º 55’ Lintang Selatan dan antara 10º 27’ – 102º 33’ Bujur Timur, maka Kabupten Bungo dijuluki sebagai “Kota Lintas” dengan semboyan “Bumi Langkah Serentak Limbai Seayun”.

Pemerintahan Daerah Kabupaten Bungo secara administratif berbatasan dengan beberapa Kabupaten/Propinsi. Kabupaten/Propinsi yang sangat mendukung upaya perkembangan dan kemajuannya baik dibidang perdagangan, industri, transportasi, pertanian, pertambangan maupun pariwisata.

Adapun batas administratif itu adalah :

1. Sebelah Utara Berbatasan dengan Kabupaten Tebo dan Kabupaten Dharmasraya (Propinsi Sumatera Barat).

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Merangin. 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tebo.

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupeten Dharmasraya (Propinsi Sumatera Barat) dan Kabupaten Kerinci.

Visi Kabupaten Bungo adalah “Maju dan Sejahtera Bersama” yang bermakna bahwa masyarakat Kabupaten Bungo memiliki semangat untuk


(53)

mengerakkan pembangunan dan komitmen yang kuat secara bersama saling bahu membahu untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah.

Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera , maka ditetapkan sasaran yang akan dicapai melalui program dan kegiatan yang mendukung misi sebagai berikut :

1. Pengembangan potensi lokal guna mengembangkan masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan secara luas.

2. Peningkatan kualitas sumber daya manusia.

3. Meningkatkan dan mengembangkan produk dan potensi unggulan daerah. 4. Menigkatkan upaya pengelolaan sumber daya alam, sumber daya hutan dan

mineral yang berwawasan lingkungan. 5. Menurunkan angka pengangguran

6. Meningkatkan prasarana dan sarana pelayanan publik untuk mendukung kesejahteraan dan kemajuan daerah.

7. Menigkatkan pendapatan daerah.

8. Menigkatkan kualitas manajemen pemerintahan.

9. Menigkatkan pengamanan nilai-nilai keagamaan, keamanan dan ketertiban masyarakat terhadap masalah sosial dan perempuan.

Kabupaten bungo merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Jambi yang memilki potensi cukup besar untuk dikembangkan, karena beberapa potensi penting dan strategis mempunyai pasar lokal dan eksport.

Dalam mencapai visi dan misi Kabupaten Bungo, maka perlu disusun strategi dan arah kebijakan pembangunan, guna mengoptimalkan pemanfaatan


(54)

potensi lokal secara efektif dalam menciptakan kondisi perekonomian yang kompetitif dan kondisi sosial yang kondusif serta sarana dan prasarana yang memadai dalam mencapai sasaran pembangunan secara berkelanjutan.

1. Strategi Pertumbuhan

Pemerintah Kabupaten Bungo optimis untuk terus menaikkan pertumbuhan ekonomi, terutama diharapkan dari sumbangan beberapa sektor dominan seperti perdagangan, hotel dan restoran, industri pengolahan serta pengangkutan dan Komunikasi yang menunjukkan pertumbuhan lebih tinggi dari sebelumnya. Hal ini karena komitmen Pemerintahan Kabupaten Bungo sangat kuat untuk menciptakan iklim investasi yang semakin kondusif, sehingga menjadi daya tarik para investor untuk menanamkan modalnya di Kabupaten Bungo.

2. Strategi Koordinasi

Dalam rangka menggerakkan seluruh potensi yang dimilki daerah untuk percepatan pembangunan serta wilayah didalam memicu pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, maka dibutuhkan koordinasi , baik yang sifatnya internal maupun eksternal

3. Strategi Pelayanan

Strategi pelayanan merupakan faktor penting lainnya dalam rangka memberikan kemudahan bagi masyarakat dan swasta untuk berusaha.

Kebijakan pembangunan daerah merupakan rujukan bagi satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dalam melaksanakan pembangunan sesuai dengan bidang tugas masing-masing adalah sebagia berikut :


(55)

1. Mewujudkan ekonomi Kabupaten Bungo yang maju dan berdaya saing 2. Mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas

3. Mewujudkan tatanan masyarakat yang tertib, demokratis, menjunjung tinggi supremasi hukum dan HAM

4. Mewujudkan masyarakat yang beriman, bertakwa dan berbudaya

Potensi unggulan daerah Kabupaten Bungo secara umum cukup banyak dan menjanjikan, namun demikian yang dapat diprioritaskan sebagai potensi unggulan adalah sebagai berikut :

1. Sektor Pertanian tanaman pangan dan hortikultura terdiri dari padi, duku dan durian.

2. Sektor Perkebunan terdiri dari karet, kelapa dan kelapa sawit. 3. Sektor Perternakan terdiri dari sapi, kerbau dan ayam pedaging.

4. Sektor Industri terdiri dari crumb rubber, industri kecil (pisang sale) dan industri kerajinan (anyaman dan batik jambi).

5. Sektor Pertambangan terdiri dari bahan galian golongan A (batu bara), B (emas) dan C (pasir kuarsa, sirtu, granit, andesit, kaolin, logam dan batu suiseki).

6. Sektor Pariwisata terdiri dari wisata alam dan wisata rekreasi.

Pembangunan Kabupaten Bungo diarahkan pada peningkatan, perluasan dan penyempurnaan dari tahun sebelumnya yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan mendorong pemerataan serta memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, sehingga diharapkan dapat mempertinggi kesejahteraan sosial masyarakat.


(56)

Apabila dilihat dari sisi lapangan usaha, maka laju pertumbuhan PDRB kabupaten Bungo tahun 2007 jika dibandingkan pertumbuhan yang terjadi dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir (tahun 2003) telah terjadi peningkatan dibeberapa lapangan usaha seperti pertambangan dan pengendalian, industri pengolahan, lapangan usaha listrik, gas dan air bersih, lapangan usaha bangunan, lapangan usaha perdagangan, hotel dan komunikasi dan jasa.

Hal tersebut diatas menunjukkan kemantapan Kabupaten Bungo untuk mengembangkan Kabupatennya sendiri melalui pemanfaatan secara efektif dan efisien atas sumber daya-sumber daya yang telah ada dan tersedia, dengan melakukan pengelolaan dan pengolahan sumber daya-sumber daya tersebut melalui penyediaan lapangan usaha sehingga ini juga merupakan salah satu strategi untuk mencapai tujuan pemerintahan didalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bungo dengan membuka dan memberikan peluang serta kesempatan atas penyediaan lapangan pekerjaan dari lapangan usaha yang diciptakan.

Untuk lebih jelasnya laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Bungo selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.1

Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bungo Tahun 2003-2007

No LAPANGAN USAHA TAHUN

2003 2004 2005 2006 2007

1 2 3 4 5 6 7

1 Pertanian 3,33 1,61 2,23 3,41 1,89

2 Pertambangan & Pengendalian

21,21 22,94 22,91 167,94 53,47 3 Industri Pengolahan 1,31 5,22 2,48 2,41 4,91 4 Listrik, Gas & Air

bersih


(57)

5 Bangunan 4,91 25,73 16,52 17,29 11,18 6 Perdagangan, Hotel &

Restoran

5,71 6,13 6,89 9,48 14,00 7 Pengangkutan &

Komunikasi

8,02 7,94 10,37 3,04 4,05 8 Keuangan, Persewaan

dan Jasa Perusahaan

6,93 4,32 7,38 2,30 4,24

9 Jasa-jasa 4,47 4,49 5,39 8,45 4,73

PDRB 4,82 4,75 5,39 8,45 7,47

Sumber data : BPS Kabupaten Bungo 2007

B. Gambaran Keuangan Daerah Kabupaten Bungo.

Sebagaimana yang dirasakan saat ini Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 secara prinsip tidak sesuai serta sinkron lagi dengan semangat dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berlaku, sebagaimana yang diubah dengan Perpu Nomor 3 Tahun 2005. Untuk mengantisispasi berbagai aspek yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, pemerintah mengesahkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 yang juga merupakan tindak lanjut dari Pasal 155 PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dimana perlu ditetapkan Permendagri tentang Pedoman Pengelolaan Keungan Daerah.

Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam upaya pemberdayaan pemerintahan daerah, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dimasa otonomi daerah dan anggaran daerah adalah: 1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik, hal ini tidak saja terlihat dari besarnya porsi penganggaran untuk kepentingan publik, tetapi pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah.


(58)

3. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah pada khususnya.

4. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran serta partisipasi yang terkait dengan pengelolaan anggaran seperti DPRD, Kepala Daerah, Sekretariat Daerah dan Perangkat Daerah Lainnya.

5. Kerangka umum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar.

6. Kejelasan aturan tentang pengeluaran operasional dan lain-lain yang tidak jelas akuntabilitas.

7. Prinsip anggaran dan kejelasan larangan pengaturan alokasi anggaran diluar yang ditetapkan dalam strategi dan prioritas APBD.

Pendapatan dan Belanja Daerah di Indonesia disusun menurut tahun anggaran yang dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir 31 Desember. Bentuk dan susunan APBD yang ada berbeda dengan susunan APBD dalam era sebelum otonomi daerah. Akan tetapi perubahan komposisi dan struktur APBD tidak merubah maksud dari unsur APBD itu sama sekali. Berdasarkan atas ini, Kabupaten Bungo juga menerapkan suatu struktur keuangan daerah yang disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi terhadap undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku.

Dibidang Penerimaan Daerah, menurut undang-undang nomor 34 tahun 2000 sumber penerimaan daerah yaitu :


(59)

1. Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari beberapa pos pendapatan yaitu pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan lalin-lain pendapatan daerah yang sah.

2. Dana perimbangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah yang mencakup Pendapatan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi khusus.

3. Pinjaman Daerah dan Bagian Sisa Perhitungan APBD Tahun Lalu yang dahulu merupakan bagian komponen Penerimaan Daerah maka dalam regulasi diera otonom hal tersebut bukan merupakan bagian Penerimaan Daerah melainkan bagian dari pembiayaan daerah.

4. Lain-lain penerimaan yang sah.

5. Besarnaya Dana Perimbangan sangat ditentukan dari potensi sumber daya alam hasil pertambangan dan hasil hutan lainnya.

6. Pendapatan Asli Daerah berupa pajak pemanfaatan air permukaan dan air bawah tanah yang semula merupakan penerimaan daerah tingkat II maka setelah otonomi daerah, pajak ini diserahkan kembali kepada tingkat I.

Disisi Pengeluaran daerah, pengaturan belanja diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 105 s.d Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 yang mengatur tentang tata cara penyusunan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah termasuk kedudukan keuangan Kepala Daerah dan DPRD. Beberapa karakteristik pengelolaan belanja daerah diera setelah otonomi daerah dengan alat pengatur berupa regulasi tersebut diatas, dapat dikemukakan sebagi berikut :


(60)

1. Pengeluaran rutin terdiri dari belanja administrasi umum, dan belanja operasi pemeliharaan.

2. Belanja pembangunan merupaak belanja yang dialokasikan untuk membiayai pekerjaan fisik dan disebut sebagai bahan modal.

3. Selain belanja dimaksud terdapat belanja bagi hasil dan bantuan keuangan yang terbentuk dari pengeluaran tidak termasuk begian lain dan bantuan keuangan (sebelum otonomi daerah) serta pengeluaran tidak tersangka dengan istilah dan maksud yang sama seperti sebelum otonomi daerah.

4. Pembiayaan belanja rutin didanai dari kemampuan PAD, dan belanja pembangunan didanai dari Dana Perimbanagan/Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak.

Sejalan dengan kebijakan pembangunan daerah, maka diperlukan sumber-sumber pendapatan untuk melaksanakan kegiatan melalui sumber-sumber-sumber-sumber sebagai berikut :

1. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah berupa Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan, dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah.

2. Sumber-sumber pendapatan yang berasal dari pemerintah baik berupa perimbangan Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Hibah, Bagi Hasil Pajak Provinsi dan Dana Penyesuaian serta Lain-lain pendapatan yang sah.


(1)

Sedarmayanti, 2003. Good Governanace (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam

Rangka Otonomi Daerah : Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisisen Melalui Restrukturisasi dan Pemberdayaan. Mandar Maju,

Bandung.

Setyawan Setu, “Pengukuran Kinerja Anggaran Keuangan Daerah Pemerintahan Kota Malang Dilihat Dari Perspektif Akutabilitas”, Jurnal, Departemen

Akuntansi Fakultas Ekonomi UMM.

Tangkilisan, Hesel Nogi S, 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi (Konsep dan

Strategi), Cetakan Pertama, Penerbit Yayasan Pembaharuan Administrasi

Publik Indonesia dan Lukman Offset.

_____________________________. Manajemen Modern untuk Sektor Publik :

Strategic Mangement, Total Quality Management, Balance Score Card and Scenario Planning, Edisis Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama,

Penerbit Balairung & Co, Yogyakarta.

Ulum, Ihyaul Md, 2005. Akuntansi Sektor Publik : Sebuah Pengantar, UUM Press, Malang.

Widjaja, Haw, 2004. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. PT. Grafindo Persada, Jakarta.

Yani, Ahmad, 2002. Hubungan Antara Pemerintahan Pusat dan Pemrintahan

Daerah di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

____________,Badan Pusat Statistik, 2007. Bungo Dalam Angka 2007 (Bungo in

Figures 2007), BPS, Kabupaten Bungo.

____________,Pemerintahan Kabupten Bungo Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, 2007. Bungo Sekilas Lintas, Kabupaten Bungo.

____________, 2006. Forum Diskusi Dosen Akuntansi Sektor Publik. Standar

Akuntansi Pemerintahan: Telaah Kritis PP Nomor 24 Tahun 2005, BPFE,

Yogyakarta.

____________,Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.


(2)

____________,Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Prestasi Kinerja Pemerintah.

____________,Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Standar Akuntansi Pemerintah.

____________,Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

____________,Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

____________,Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.

____________,2004. Buku Petunjuk Teknis Penulisan Proposal Penelitian dan

Penulisan Skripsi. Jurusan Akuntansi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

____________,2007, Analisis Pengaruh Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Kinerja Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah (Studi Kasus di Pemerintahan Daerah Kabupaten Kediri),

Perkembangan APBD Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2003/2004-2007

(Dalam Rp.000)

Jurnal Skripsi Akuntansi.

No. Pendapatan 2003 2004 2005 2006 2007

1 Sisa Perhit. Thn Lalu 40.669.847,55 38.657.477 36.334.438,23 56.707.183,56 132.465.965,64 2 PAD 24.244.639,45 23.265.679 18.829.845,77 28.926.980,17 38.587.341,09 3 Bagi Hsl Pjk/Bkn Pjk 16.703.545 18.188.245 13.624.554 25.031.745,75 24.328.804 4

Sumbangan Dae.


(3)

5 Bantuan (DAK/DAU) 146.400.000 155.524.000 177.900.000 296.671.000 336.609.000

6 Pinjaman -

3.023.986,78 2.551.476,52 - 2.146.580

Rasio Kemandirian 16,56 % 14,67 % 10,44 % 9,76 % 11,39 %

Sumber Data : APBD Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2003/2004-2007 (data diolah)

Perkembangan APBD Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2003/2004-2007

(dalam Rp.000)

No. PENDAPATAN 2003 2004 2005 2006 2007

1 Sisa Perhitungan Tahun Lalu 40.669.847,55 38.657.477,70 36.334.438,23 56.707.183,56 132.456.965,64

2 PAD 24.244.639,45 23.265.679 18.829.845,77 28.962.980,84 38.587.341,09

3 Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak 16.704.544 18.188.244 13.624.554 25.031.745,75 24.328.804

4 Sumbangan Daerah Otonom 17.449.008 17.915.585 22.669.286 24.849.000 42.000.000

5 Bantuan (DAU/DAK) 146.420.000 155.524.000 177.900.000 296.771.000 336.609.000

Jumlah 245.488.039 253.550.985,70 269.358.124 432.321.910 573.991.110,70

No. BELANJA

1 Belanja Rutin 158.687.784 187.512.049 200.709.442 323.420.719 349.161.370,70


(4)

Bunga

3 Belanja Pembangunan 84.221.743 54.876.253 64.966.737 106.442.203 214.270.657,90

Jumlah 245.488.093 253.550.985,70 269.358.124 432.421.910 573.991.110,70

Rasio Belanja Rutin Trhdp

APBD 64,64 % 73,95 % 74,52 % 74,82 % 60,83 %

Rasio Belanja Pembangunan

Trhdp APBD 34,31 % 21,64 % 24,12 % 24,62 % 37,33 %

Sumber data : APBD Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2003/2004-2007 (data diolah)

Perhitungan Debt Service Coverage Ratio (DSCR) Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2003/2004-2007

(dalam Rp.000)

No. PENDAPATAN 2003 2004 2005 2006 2007

1

Sisa Perhitungan Tahun Lalu

40.669.847,55 38.657.477,70

36.334.438,23

56.707.183,56 132.456.965,64 2 PAD

24.244.639,45 23.265.679

18.829.845,77

28.962.980,84 38.587.341,09 3

Bagi Hasil Pajak Bukan

Pajak 16.704.544 18.188.244 13.624.554

25.031.745,75 24.328.804 4

Sumbangan Daerah


(5)

5 Bantuan (DAU/DAK) 146.420.000 155.524.000 177.900.000 296.771.000 336.609.000 Jumlah 245.488.039 253.550.985,70 269.358.124 432.321.910 573.991.110,70

No. BELANJA

1 Belanja Rutin 158.687.784 187.512.049 200.709.442 323.420.719 349.161.370,70 2

Pembayaran Pokok

Angsuran Bunga 2.578.512 11.162.684,70 3.681.943 2.458.988 10.559.080 3 Belanja Pembangunan 84.221.743 54.876.253 64.966.737 106.442.203 214.270.657,90

Jumlah 245.488.093 253.550.985,70 269.358.124 432.421.910 573.991.110,70 Belanja Wajib (BW)* 164.587.784 195.212.049 213.613.442 348.110.719 382.820.370,70

DSCR** 13,32 1,07 1,77 1,14 2,4

Maksimal Pokok

Angsuran*** 13.732.163 4.792.583,60

2.602.498,72

1.125.602,80 10.018.309,76

Sumber data : APBD Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2003/2004-2007 (data diolah)

Rasio Pertumbuhan APBD Kabupaten Tahun Anggaran 2003/2004-2007

(dalam Rp.000)

No. Keterangan 2003 2004 2005 2006 2007

1

Pendapatan Asli

Daerah 28.021.236,57 20.821.713,51 22.244.318,39 28.664.514,77 43.662.551,22

2 Pertumbuhan PAD - (25,69 %) 6,83 % 28,86 % 52,32 %

3 Total Pendapatan 243.345.278 256.838.430,10 290.512.393,80 462.627.797,40 615.862.965,40 4

Pertumbuhan

Pendapatan - 3,01 % 13,11 % 59,25 % 33,12 %

5 Belanja Rutin 129.338.836,29 166.785.921,70 176.829.794 239.313.206,80 255.002.589,20 6

Pertumbuhan


(6)

7

Belanja

Pembangunan 81.348.964 44.109.084 58.090.635 92.046.871,26 186.063.115,60

8

Pertumbuhan Belanja

Pembangunan - 45,77 % 31,69 % 58,45 % 102,14 %

Sumber Data : APBD Kabupaten Bungo Tahun Anggaran 2003/2004-2007 (data diolah)