Pengaruh Kompatibilitas terhadap Keputusan Adopsi Ide dan Alat Kontrasepsi Keluarga Berencana Pria di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan

(1)

PENGARUH KOMPATIBILITAS TERHADAP KEPUTUSAN ADOPSI IDE DAN ALAT KONTRASEPSI KELUARGA BERENCANA PRIA

DI KALANGAN PEGAWAI NEGERI SIPIL BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

DAN KELUARGA BERENCANA KOTA MEDAN

T E S I S

Oleh

MALEMMIN BR BRAHMANA 097032033/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH KOMPATIBILITAS TERHADAP KEPUTUSAN ADOPSI IDE DAN ALAT KONTRASEPSI KELUARGA BERENCANA PRIA

DI KALANGAN PEGAWAI NEGERI SIPIL BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

DAN KELUARGA BERENCANA KOTA MEDAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MALEMMIN BR BRAHMANA 097032033/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENGARUH KOMPATIBILITAS TERHADAP KEPUTUSAN ADOPSI IDE DAN ALAT

KONTRASEPSI KELUARGA BERENCANA PRIA DI KALANGAN PEGAWAI NEGERI SIPIL BADAN PEMBERDAYAAN

PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa : Malemmin br Brahmana Nomor Induk Mahasiswa : 097032033

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M) (

Ketua Anggota Dra. Syarifah, M.S)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 22 Desember 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. Dra. Syarifah, M.S

2. dr. Heldy BZ, M.P.H


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH KOMPATIBILITAS TERHADAP KEPUTUSAN ADOPSI IDE DAN ALAT KONTRASEPSI KELUARGA BERENCANA PRIA

DI KALANGAN PEGAWAI NEGERI SIPIL BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

DAN KELUARGA BERENCANA KOTA MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2012

Malemmin br Brahmana 097032033/IKM


(6)

ABSTRAK

Partisipasi pria dalam program KB di Indonesia masih rendah, yaitu sekitar 2% dari total akseptor KB. Upaya peningkatan partisipasi pria dalam ber-KB diukur melalui penggunaan alat kontrasepsi kondom dan Metode Operasi Pria.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kompatibilitas terhadap keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan. Jenis penelitian survei explanatory, berlangsung pada bulan Agustus hingga Desember 2011. Populasi adalah seluruh PNS pria dengan status menikah dan mempunyai anak yang tercatat di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan berjumlah 41 orang, dan seluruhnya dijadikan sampel penelitian. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan regresi logistik berganda pada α = 0.05.

Hasil penelitian menunjukkan secara statistik faktor pengalaman masa lalu, faktor norma-norma yang berlaku dan faktor kebutuhan adopter berpengaruh terhadap keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria pada kalangan PNS pria di BPPKB Kota Medan. Pengalaman masa lalu mempunyai pengaruh paling besar (dominan) terhadap keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria.

Disarankan kepada : 1) PNS pria di BPPKB Kota Medan perlu meningkatkan pengalaman melalui interaksi dengan akseptor KB pria yang telah merasakan kondom dan/atau vasektomi sebagai alat kontrasepsi KB pria yang kompatibel. 2) Perlu peran serta Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat memberi dukungan kepada PNS pria di BPPKB Kota Medan bahwa pembatasan jumlah anak tidak bertentangan dengan norma dan ajaran agama. 3) Perlu dukungan istri dan akseptor KB pria sehingga PNS pria di BPPKB Kota Medan merasa butuh menjadi akseptor KB pria. 4) BKKBN perlu memperbaiki administrasi dan kebijakan dalam revitalisasi program KB, khususnya KB pria.


(7)

ABSTRACT

Men participation at Indonesia in Family Planning program is still low, 2% of the total number of acceptors of Family Planning. The efforts to increase the participation is indicated by the utilization of condom and vasectomy.

The purpose of this explanatory survey study was to analyze the influence of compatibility on the decision to adopt the idea and family planning contraceptives for men at Medan Women Empowerment and Family Planning Board. The population of this study were all the 41 married men with children registered as the Civil Servants working for Medan Women Empowerment and Family Planning Board and all of them were selected to be the sample for this study. The research took place on Agustus to December 2011. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression test at α = 0.05.

The result of this study showed that statistically the factors of previous experience, existing norms, and need of adopter had influence on the decision to adopt the idea and family planning contraceptives for men at Medan Women Empowerment and Family Planning Board (BPPKB Medan). Previous experience was the most dominant factor in influencing the decision to adopt the idea and family planning contraceptives for men. Compatibility (previous experience, existing norms, and needs of adopter) had influence on the decision to adopt the idea and family planning contraceptives for men.

It is recommended to: 1) male civil servants in the civil servants of Medan women empowerment and family planning board need to improve the experience of family planning acceptors through interaction with men who have felt the condom and or vasectomy as a means of male contraception are compatible, 2) Keep the participation of religious figures and community leaders gave support the civil servants of Medan women empowerment and family planning board that limiting the number of children does not conflict with the norms and religious teachings, 3) Need to support his wife and family planning acceptors so that civil servants in of Medan women empowerment and family planning board feel the need to be male family planning acceptors, 4) the civil servants of Medan women empowerment and family planning board to improve the administration and policy in revitalizing the family planning program, especially family planning for men.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul " Pengaruh Kompatibilitas terhadap Keputusan Adopsi Ide dan Alat Kontrasepsi Keluarga Berencana Pria di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan ".

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan


(9)

Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M selaku ketua komisi pembimbing dan Dra. Syarifah, M.S selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai. 5. dr. Heldy BZ, M.P.H,dan dr. Ria Masniari Lubis, M.Si selaku penguji tesis yang

dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

6. Direktur Rumah Sakit Umum Kabanjahe yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan dan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

7. Rekan-rekan pada Poliklinik Gigi dan Mulut Rumah Sakit Umum Kabanjahe yang telah memberikan dukungan dan semangat.

8. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

9. Ayahanda N.Brahmana (alm) dan Ibunda M br Purba atas segala jasanya sehingga penulis selalu mendapat pendidikan terbaik.


(10)

12. Suamiku tercinta Ir. Budiman Panjaitan beserta anak-anakku tersayang Billy Manuel, Becky Marella, Benny Mauritz, yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan doa serta rasa cinta yang dalam setia menunggu, memotivasi dan memberikan dukungan moril agar bisa menyelesaikan pendidikan ini .

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Januari 2012 Penulis

Malemmin br Brahmana 097032033/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Malemmin br Brahmana, lahir pada tanggal 15 Oktober 1965 di Kabanjahe,

anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan N.Brahmana (alm) dan Ibunda M br Purba.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah Katolik, Kabanjahe, selesai Tahun 1978, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Kabanjahe,selesai Tahun 1981, Sekolah Menengah Atas di SMA Swasta Immanuel Medan, selesai Tahun 1984. Fakultas Kedokteran Gigi di Universitas Sumatera Utara Medan, selesai Tahun 1991.

Mulai bekerja sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan sejak tahun 1993, dokter gigi di Puskesmas Pallangga, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 1994 sampai bulan November tahun 1998, sejak tahun 1999 bekerja sebagai dokter gigi di RSU Kabanjahe sampai sekarang.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2009 hingga saat ini.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Hipotesis ... 12

1.5 Manfaat Penelitian ... 12

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Adopsi Inovasi ... 13

2.1.1 Pengertian Adopsi ... 13

2.1.2 Tahapan Proses Adopsi ... 14

2.1.3 Proses Pengambilan Keputusan ... 17

2.1.4 Kategori atau Tingkatan Adopsi ... 19

2.1.5 Inovasi ... 20

2.1.6 Karakteristik Inovasi ... 22

2.2 Program Keluarga Berencana ... 25

2.2.1 Pengertian Keluarga Berencana ... 25

2.2.1 Alat Kontrasepsi KB Pria ... 29

2.3 Pegawai Negeri Sipil (PNS) ... 36

2.4 Landasan Teori ... 38

2.5 Kerangka Konsep ... 39

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 40

3.1 Jenis Penelitian ... 40

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 40

3.2.2 Waktu Penelitian ... 40

3.3 Populasi dan Sampel ... 40

3.3.1 Populasi ... 40


(13)

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 41

3.4.1 Data Primer ... 41

3.4.2 Data Sekunder ... 41

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas ... 41

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 42

3.5.1 Variabel Independen ... 42

3.5.2 Variabel Dependen ... 42

3.6 Metode Pengukuran ... 42

3.6.1 Metode Pengukuran Variabel Bebas ... 42

3.6.2 Metode Pengukuran Variabel Terikat ... 44

3.7 Metode Analisis Data ... 44

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 47

4.1 Deskripsi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kota Medan ... 47

4.2 Identitas Responden ... 50

4.3 Pengalaman Masa Lalu tentang KB dan Alat Kontrasepsi KB Pria 51 4.4 Norma-Norma yang Berlaku ... 54

4.5 Kebutuhan Adopter ... 55

4.6 Keputusan Adopsi Ide dan Alat Kontrasepsi KB Pria ... 57

4.7 Tabel Silang Kompatibilitas dengan Keputusan Adopsi Ide dan Alat Kontrasepsi KB Pria ... 58

4.8 Analisis Multivariat ... 61

BAB 5. PEMBAHASAN ... 65

5.1 Keputusan Adopsi Ide dan Alat Kontrasepsi KB Pria ... 65

5.2 Pengaruh Pengalaman Masa Lalu terhadap Keputusan Adopsi Ide dan Alat Kontrasepsi KB Pria ... 70

5.3 Pengaruh Norma-Norma yang Berlaku terhadap Keputusan Adopsi Ide dan Alat Kontrasepsi KB Pria ... 75

5.4 Pengaruh Kebutuhan Adopter terhadap Keputusan Adopsi Ide dan Alat Kontrasepsi KB Pria ... 79

5.6 Keterbatasan Penelitian ... 85

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

6.1 Kesimpulan ... 86

6.2 Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Pengukuran Variabel Independen dan Dependen ... 44 4.1 Distribusi Identitas Responden di Badan Pemberdayaan Perempuan dan

Keluarga Berencana (BPPKB) Kota Medan ... 50 4.2 Distribusi Pengalaman Masa Lalu tentang KB dan Alat Kontrasepsi KB

Pria ... 53 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengalaman Masa Lalu

dengan Program KB dan Kontrasepsi KB pria ... 54 4.4 Distribusi Responden berdasarkan Norma-Norma yang Berlaku dengan

Program KB dan Kontrasepsi KB pria ... 55 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Norma-Norma yang Berlaku 55 4.6 Distribusi Kebutuhan Adopter Responden tentang Program KB dan

Kontrasepsi KB pria ... 56 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kebutuhan Adopter tentang

Program KB dan Kontrasepsi KB pria ... 57 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Keputusan Adopsi Ide dan Alat

Kontrasepsi KB Pria ... 57 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Keputusan Adopsi Ide dan

Alat Kontrasepsi KB Pria ... 58 4.10 Hubungan Pengalaman Masa Lalu dengan Keputusan Adopsi Ide dan

Alat Kontrasepsi KB Pria ... 59 4.11 Hubungan Norma-Norma yang Berlaku dengan Keputusan Adopsi Ide

dan Alat Kontrasepsi KB Pria ... 60 4.12 Hubungan Kebutuhan Adopter dengan Keputusan Adopsi Ide dan Alat

Kontrasepsi KB Pria ... 60 4.13 Hasil Uji Multivariat Regresi Logistik ... 61


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Model Proses Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi... 38 2.2 Kerangka Konsep Penelitian. ... 39


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 92

2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 97

3 Uji Univariat ... 100

4 Uji Bivariat ... 105


(17)

ABSTRAK

Partisipasi pria dalam program KB di Indonesia masih rendah, yaitu sekitar 2% dari total akseptor KB. Upaya peningkatan partisipasi pria dalam ber-KB diukur melalui penggunaan alat kontrasepsi kondom dan Metode Operasi Pria.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kompatibilitas terhadap keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan. Jenis penelitian survei explanatory, berlangsung pada bulan Agustus hingga Desember 2011. Populasi adalah seluruh PNS pria dengan status menikah dan mempunyai anak yang tercatat di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan berjumlah 41 orang, dan seluruhnya dijadikan sampel penelitian. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan regresi logistik berganda pada α = 0.05.

Hasil penelitian menunjukkan secara statistik faktor pengalaman masa lalu, faktor norma-norma yang berlaku dan faktor kebutuhan adopter berpengaruh terhadap keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria pada kalangan PNS pria di BPPKB Kota Medan. Pengalaman masa lalu mempunyai pengaruh paling besar (dominan) terhadap keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria.

Disarankan kepada : 1) PNS pria di BPPKB Kota Medan perlu meningkatkan pengalaman melalui interaksi dengan akseptor KB pria yang telah merasakan kondom dan/atau vasektomi sebagai alat kontrasepsi KB pria yang kompatibel. 2) Perlu peran serta Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat memberi dukungan kepada PNS pria di BPPKB Kota Medan bahwa pembatasan jumlah anak tidak bertentangan dengan norma dan ajaran agama. 3) Perlu dukungan istri dan akseptor KB pria sehingga PNS pria di BPPKB Kota Medan merasa butuh menjadi akseptor KB pria. 4) BKKBN perlu memperbaiki administrasi dan kebijakan dalam revitalisasi program KB, khususnya KB pria.


(18)

ABSTRACT

Men participation at Indonesia in Family Planning program is still low, 2% of the total number of acceptors of Family Planning. The efforts to increase the participation is indicated by the utilization of condom and vasectomy.

The purpose of this explanatory survey study was to analyze the influence of compatibility on the decision to adopt the idea and family planning contraceptives for men at Medan Women Empowerment and Family Planning Board. The population of this study were all the 41 married men with children registered as the Civil Servants working for Medan Women Empowerment and Family Planning Board and all of them were selected to be the sample for this study. The research took place on Agustus to December 2011. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression test at α = 0.05.

The result of this study showed that statistically the factors of previous experience, existing norms, and need of adopter had influence on the decision to adopt the idea and family planning contraceptives for men at Medan Women Empowerment and Family Planning Board (BPPKB Medan). Previous experience was the most dominant factor in influencing the decision to adopt the idea and family planning contraceptives for men. Compatibility (previous experience, existing norms, and needs of adopter) had influence on the decision to adopt the idea and family planning contraceptives for men.

It is recommended to: 1) male civil servants in the civil servants of Medan women empowerment and family planning board need to improve the experience of family planning acceptors through interaction with men who have felt the condom and or vasectomy as a means of male contraception are compatible, 2) Keep the participation of religious figures and community leaders gave support the civil servants of Medan women empowerment and family planning board that limiting the number of children does not conflict with the norms and religious teachings, 3) Need to support his wife and family planning acceptors so that civil servants in of Medan women empowerment and family planning board feel the need to be male family planning acceptors, 4) the civil servants of Medan women empowerment and family planning board to improve the administration and policy in revitalizing the family planning program, especially family planning for men.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Badan Kependudukan PBB (UNFPA), menyatakan bahwa jumlah penduduk dunia tahun 2010 telah mencapai 7 miliar jiwa atau bertambah 1 miliar jiwa hanya dalam waktu 10 tahun. Jumlah penduduk dunia tumbuh begitu cepat, dahulu untuk bertambah 1 miliar jiwa, dunia butuh waktu 130 tahun (1800-1930). Kini, dalam 13 tahun, penduduk bertambah 1 miliar jiwa dari 5 miliar jiwa tahun 1987 menjadi 6 miliar jiwa tahun 2000 (Endang, 2002).

Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2000, penduduk Indonesia berjumlah sekitar 205,1 juta jiwa dengan jumlah tersebut, Indonesia berada pada urutan keempat negara berpenduduk terbesar di dunia setelah Cina dengan jumlah penduduk 1,3 miliar jiwa, India 1,1 miliar jiwa dan Amerika Serikat 300 juta jiwa.dan data sementara hasil Sensus Penduduk tahun 2010 pada bulan Oktober tahun 2010 merilis jumlah total penduduk Indonesia mencapai 237,56 juta jiwa dengan tingkat laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,49 persen

Tahun 2010 menunjukkan pertumbuhan penduduk di Indonesia sangat cepat yakni tercatat sekitar 3,2 juta per tahun atau setara dengan jumlah penduduk negara Singapura, dengan permisalan di Indonesia terbentuk satu negara Singapura setiap atau bertambah 32,46 juta jiwa sejak tahun 2000. Secara hitungan kasar, artinya setiap hari lahir 10000 bayi di Indonesia (BPS, 2010).


(20)

tahunnya. Jika laju pertumbuhan tidak bisa dikendalikan, diperkirakan jumlah penduduk di Indonesia

Laju pertumbuhan penduduk ini dapat ditekan dengan adanya birth control. Di Indonesia birth control ini dikenal dengan nama Keluarga Berencana (KB). Program KB Nasional merupakan program pembangunan sosial dasar yang sangat penting artinya bagi pembangunan nasional dan kemajuan bangsa. Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, disebutkan bahwa KB adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga serta peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera (BKKBN, 2004).

pada 2045 mencapai dua kali lipat dari jumlah sekarang, menjadi sekitar 450 juta jiwa, hal ini berarti satu dari 20 penduduk dunia adalah orang Indonesia. Angka ini melebihi jumlah penduduk Amerika (BKKBN Pusat, 2010). Bisa dibilang ledakan penduduk bukan lagi mitos, tetapi sudah menjadi realitas mengerikan yang harus kita tanggung bersama sama.

Pada masa orde baru, program KB mulai menjadi perhatian pemerintah, dimana pemerintahan orde baru yang menitikberatkan pada pembangunan ekonomi, mulai menyadari bahwa program KB sangat berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi. Selama hampir 30 tahun program KB berjalan, dari tahun 1970-2000, baru masyarakat Indonesia bisa menerima bahwa KB adalah kebutuhan, masyarakat mulai sadar dan mengerti bahwa ternyata program KB untuk mengatur jarak kelahiran dan jumlah anak.


(21)

Selama dari tahun 1970 hingga tahun 2000, TFR (Total Fertility Rate) atau rata-rata kemampuan seorang perempuan melahirkan bayi selama masa reproduksinya sebesar 5,6, artinya pada tahun tersebut, rata-rata perempuan Indonesia melahirkan bayi antara 5 hingga 6 orang bayi selama masa suburnya. Pada tahun 2000, TFR turun menjadi 2,8. Artinya di era 2000-an ini kemampuan seorang perempuan ber reproduksi menghasilkan 2 hingga 3 orang anak selama masa suburnya (Bertrand, 2007).

Program KB merupakan langkah tepat untuk mengatasi laju pertumbuhan penduduk agar rakyat Indonesia mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang memadai serta memutus mata rantai kemiskinan.

Sejak sistem sentralisasi bergeser menjadi desentralisasi, banyak kepala daerah yang enggan mendukung program KB karena dianggap sebagai kegiatan menghambur-hamburkan uang. Mereka lebih mengutamakan pembangunan fisik yang hasilnya bisa langsung dirasakan. Pola pikir seperti itu merupakan cermin kurangnya pemahaman sebagian masyarakat terhadap peran KB.

Kini keberhasilan Indonesia dalam program KB mendapat tantangan cukup besar, mengingat saat ini indikator kependudukan yang dulu signifikan sekarang stagnan. Program KB di Tanah Air pada era reformasi tidak seintensif pada era Orde Baru (BKKBN, 2004).

KB adalah program jangka panjang karena dampaknya baru bisa dirasakan beberapa dasawarsa kedepan. Program KB lebih dari sekadar upaya kuantitatif untuk menurunkan angka kelahiran dan kematian. Peran Keluarga Berencana sebenarnya


(22)

bersifat kualitatif dalam hal perbaikan penanganan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.

Sejalan dengan era globalisasi, reformasi dan demokrasi yang menjadi paradigma universal saat ini, dalam melaksanakan visi dan misi program, pengelolaan Keluarga Berencana Nasional (KBN) pada masa-masa mendatang akan semakin memperlihatkan isu-isu yang berkembang di masyarakat, baik di tingkat Nasional maupun Internasional.

Isu kesetaraan gender muncul melalui Konferensi Internasional tentang pembangunan dan kependudukan (ICPD) The International Conference on

Population and Development (ICPD) 1994 di Cairo, menyatakan bahwa penggunaan

alat kontrasepsi merupakan bagian dari hak-hak reproduksi, yaitu bagian dari hak-hak azasi manusia yang universal. Hak-hak reproduksi yang paling pokok adalah hak setiap individu dan pasangan untuk menentukan kapan akan melahirkan, berapa jumlah anak dan jarak anak yang dilahirkan, serta memilih upaya untuk mewujudkan hak-hak tersebut yang intinya menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi bagi semua orang tanpa diskriminasi (Handayani, 2008).

Dari sekian banyak sasaran yang akan dicapai oleh program KB dalam jangka panjang demi tercapainya ”Keluarga Berkualitas 2015”, adalah upaya mencapai peningkatan kesertaan pria dalam ber-KB. Penjiwaan program KB bukan hanya menjadi ranah perdebatan sebatas “tubuh” perempuan saja, tetapi dalam konteks pentingnya partisipasi pria untuk ikut mensukseskan program KB (Satria, 2005).


(23)

Ketidakadilan gender memang sangat memengaruhi keberhasilan program KB. Bahkan para provider dan penentu kebijakan, masih menganggap penggunaan kontrasepsi adalah urusan perempuan. Mengingat perempuan yang sudah mengalami masa hamil, persalinan, menyusui, mendidik, mengasuh, juga acap kali diharuskan membantu suami mencari nafkah, masih harus menggunakan alat kontrasepsi yang terkadang tidak cocok, bahkan menimbulkan komplikasi. Suami yang punya andil dalam proses reproduksi tidak mau berperan dengan memakai alat kontrasepsi (BKKBN, 2003).

Masalah kesehatan reproduksi bukan hanya milik perempuan. Setelah menikah, lelaki juga punya peran sama dalam menjaga kesehatan reproduksi pasangan. Kepedulian pria dalam kesehatan reproduksi berpengaruh terhadap kesehatan ibu. Perhatian dan dukungan suami meningkatkan keberhasilan dalam menyelamatkan kehamilan dan persalinan.

Upaya peningkatan partisipasi pria dalam ber-KB yang selama ini diukur dengan tingkat kesetaraan KB melalui penggunaan atat kontrasepsi kondom dan MOP telah mendapat perhatian serius pemerintah sejak isu kesetaraan gender dalam ber-KB keras menggema. Program KB pria yang kini semakin marak digalakkan pemerintah dalam upaya menekan laju pertumbuhan penduduk adalah Medis Operasi Pria (MOP), sebagai bentuk perubahan paradigma program KB. Jika selama ini yang lebih berperan dalam mengikuti program KB adalah kaum wanita dengan berbagai metode KB, maka dengan perubahan paradigma, kaum pria juga bisa berperan aktif dalam ber-KB. Bentuk partisipasi pria/suami dalam KB dapat dilakukan secara


(24)

langsung dan tidak langsung. Partisipasi pria/suami secara langsung adalah menggunakan salah satu cara atau metode kontrasepsi, seperti kondom, MOP (vasektomi) serta KB alamiah yang melibatkan pria/suami (metode sanggama terputus dan metode pantang berkala (Gema, 2006).

Data SDKI (2007) menunjukkan, partisipasi pria dalam ber-KB di Indonesia kurang dari 2% dari total akseptor KB, dengan rincian kondom sebanyak 1,3% dan MOP/vasektomi sebanyak 0,2%. Artinya, tidak berbeda secara signifikan dengan hasil SDKI 2002 yang berada dalam kisaran 1,3 % dengan rincian Kondom 0,9 % dan MOP/vasektomi 0,4 %.

Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) per Juni 2010 menunjukkan, jumlah wanita di Indonesia yang memakai alat kontrasepsi lebih dari 31 juta orang, sementara pria yang memakai alat kontrasepsi hanya sekitar 950.000 saja.

Capaian ini secara global berada jauh di bawah rata-rata dunia di mana pengguna Kondom mencapai 4,8 % dan MOP 3,4 %. Khusus di negara-negara maju seperti Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa, kepesertaan KB Kondom mencapai 14,3 % dan MOP 5,3 %.

Provinsi Sumatera Utara (Sumut) selama tahun 2010 tercatat berhasil menuai prestasi, dalam hal menekan jumlah penduduk. Artinya tingkat kesejahteraan penduduk Sumut sudah lebih baik dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Hal itu bisa dibuktikan dengan penurunan angka kelahiran anak (TFR/Total Fertility Rate) di


(25)

Provinsi Sumut yang mencapai 3,5 dari proyeksi sebesar 4,2 yang ditentukan oleh BKKBN Pusat (BKKBN Prov. Sumut, 2010).

Pada tahun 2010 akseptor KB Pria di Sumut MOP tercapai 2.088 akseptor melebihi target nasional sebanyak 2000 akseptor, sedangkan kondom tidak mencapai target nasional sebanyak 85000 akseptor dimana realisasi hanya sebanyak 80.042 akseptor (BKKBN Provinsi Sumut, 2010).

Kota Medan pada tahun 2009 akseptor KB pria tercapai 9.351 akseptor sedangkan target nasional sebanyak 16.650 akseptor. Realisasi akseptor KB pria tersebut di atas dengan rincian MOP sebanyak 450 akseptor dan kondom sebanyak 8.901 akseptor. Tahun 2010 akseptor KB pria di kota Medan meningkat signifikan yaitu MOP sebanyak 513 akseptor dan kondom sebanyak 10.705 akseptor (BPPKB Kota Medan).

Salah satu faktor yang memengaruhi upaya mensukseskan program KB pria adalah sifat dan metodenya. Selain itu, inovasi yang harus diadopsi dalam KB pria haruslah mempunyai banyak penyesuaian (daya adopsi) terhadap kondisi fisik, psikis, sosial, ekonomi dan budaya.

Menurut Notoatmodjo (2003), yang mengutip pendapat Anderson, karakteristik individu dalam memilih pelayanan kesehatan termasuk dalam memilih metode kontrasepsi dapat digolongkan antara lain : ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin, umur, struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, dan kesukuan dan manfaat-manfaat kesehatan.


(26)

Kecepatan adopsi suatu inovasi tergantung pada beberapa hal yaitu sifat inovasi, sifat adopter dan perilaku pengantar perubahan. Hasil penelitian yang dilakukan Ekarini (2008), diketahui ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan terhadap partisipasi pria dalam ber-KB di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Selanjutnya penelitian Simanjuntak (2008) menunjukkan bahwa istri berpengaruh signifikan terhadap tingkat adopsi inovasi KB pria di kalangan prajurit Wilayah Medan.

Demikian juga penelitian Wijayanti (2004) di desa Timpik kecamatan Susukan Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa semua responden menyatakan MOP belum membudaya atau belum umum dilakukan oleh laki-laki. Kondisi sosial budaya masyarakat yang patrilinial yang memungkinkan kaum perempuan berada dalam sub ordinasi menyebabkan pengambilan keputusan dalam KB didominasi oleh kaum pria.

Ada beberapa faktor yang membuat pria enggan untuk ber-KB di antaranya adalah rendahnya pengetahuan dan pemahaman tentang hak-hak reproduksi, keterbatasan jenis alat kontrasepsi pria, kondisi sosial, adanya rumor tentang vasektomi serta penggunaan kondom untuk hal yang bersifat negatif (BKKBN Sumut, 2009).

Pemahaman tentang KB sebagian besar masih berkonotasi hanya kaum wanita saja yang dianjurkan memakai kontrasepsi. Kaum suami yang berstatus sebagai kontributor kehamilan nyaris tak punya peran signifikan dalam upaya mengatur jumlah kelahiran anak. Sesungguhnya, partisipasi pria memiliki nilai strategis dalam


(27)

meningkatkan cakupan program KB dan kesehatan reproduksi, yakni partisipasi pria dalam praktik KB, pemeliharaan kesehatan ibu dan anak, serta pencegahan kematian maternal. Pada kenyataannya nilai strategis itu belum terjadi di Indonesia (BKKBN, 2003).

Keberadaan anggota atau kelompok dalam masyarakat, termasuk tokoh masyarakat dapat memberikan dampak yang berarti pada akseptabilitas berbagai metode kontrasepsi. Masyarakat cenderung memiliki pendapat yang sama tentang akseptabilitas berbagai metode kontrasepsi berdasarkan apa yang dikatakan pemimpinnya. Dengan demikian apabila pemimpin tersebut setuju atau menentang suatu metode kontrasepsi akan cenderung diadopsi anggota masyarakatnya.

Dalam mewujudkan program KB pria, tidak terlepas kaitannya dengan petugas yang berperan langsung dalam pengembangan program KB pria, seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) pria pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) yang bertugas sebagai penyelenggara dalam memberikan informasi tentang program dan pelayanan KB kepada masyarakat dan bukan hanya sebatas menjalankan tugas dan fungsinya semata, akan tetapi PNS pada BPPKB juga harus memiliki kesadaran individu sebagai orang yang siap untuk mengabdi kepada bangsa dan negara dalam mewujudkan program kependudukan, salah satu diantaranya adalah dengan ikut menjadi peserta program KB

Dari data PNS di BPPKB Kota Medan dengan jumlah pegawai 189 orang terdiri dari 44 orang laki-laki dan 145 orang perempuan. Laporan dari BPPKB Kota


(28)

Medan menunjukkan data akseptor KB pria aktif sampai tahun 2010 berjumlah 5 orang dengan perincian : MOP 1 orang, dan kondom 4 orang.

Survei pendahuluan yang dilakukan pada bulan Maret tahun 2011 dengan melakukan wawancara terhadap 10 orang PNS pria di BPPKB Kota Medan diketahui beberapa permasalahan yang menyebabkan PNS pria tidak ikut serta dalam program KB pria karena alat kontrasepsi yang diperuntukkan bagi pria dianggap kurang sesuai dengan yang diharapkan, misalnya: (a) penggunaan kondom dirasakan mengurangi kenyamanan, (b) Metode Operasi Pria (MOP) atau vasektomi dianggap cukup rumit karena harus melalui proses operasi.

Berdasarkan alasan yang dinyatakan PNS pria di BPPKB Kota Medan menggambarkan bahwa inovasi tentang alat kontrasepsi KB pria dirasakan kurang sesuai atau kurang konsisten dengan pengalaman masa lalu dalam penggunaan alat kontrasepsi, ada anggapan program KB pria tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang berlaku di masyarakat serta program KB pria dianggap bukan merupakan kebutuhan pria.

Temuan pada survei pendahuluan menunjukkan bahwa keengganan pria pada BPPKB Kota Medan untuk menjadi akseptor KB pria terkait dengan ketidaksesuaian alat kontrasepsi pria (kondom dan MOP/vasektomi) yang dikembangkan dalam program KB saat ini.

Menurut Rogers (1983) dalam model pengambilan keputusan adopsi inovasi, tahap adopsi dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan (persuasi) dari inovasi. Pada tahap persuasi dipengaruhi oleh persepsi tentang karakteristik inovasi meliputi : keunggulan


(29)

relatif (relative advantage), kompatibilitas (compatibility), kerumitan (complexity), kemampuan diuji cobakan (trialability) serta kemampuan untuk diamati

(observability). Mengacu kepada teori Rogers (1983) yang telah disebutkan di atas,

maka inovasi program KB pria melalui penggunaan alat kontrasepsi kondom dan MOP/vasektomi dapat berhasil apabila KB Pria tersebut memiliki keunggulan, dapat diujicobakan, dapat diamati, kompatibel serta tidak rumit dalam pelaksanaannya.

Dari berbagai hasil penelitian dan laporan dari BPPKB Kota Medan tersebut diperoleh suatu gambaran bahwa peran pria dalam mengikuti program KB belum optimal, maka peneliti bermaksud meneliti tentang pengaruh kompatibilitas terhadap keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah apakah ada pengaruh kompatibilitas terhadap keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kompatibilitas terhadap keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan.


(30)

1.4 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh kompatibilitas terhadap keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai khasanah menambah ilmu kesehatan masyarakat, khususnya tentang administrasi kebijakan dan kesehatan yang berkaitan program Keluarga Berencana (KB).

2. Memberikan masukan bagi BPPKB Kota Medan dalam strategi meningkatkan kesadaran PNS pria tentang ide dan alat kontrasepsi Keluarga Berencana (KB).


(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Adopsi Inovasi 2.1.1 Pengertian Adopsi

Menurut Notoatmodjo (2003), adopsi adalah perilaku baru seseorang sesuai dengan latar belakang pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap rangsangan/stimulus. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi telah melalui proses seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran tidak akan berlangsung lama.

Rogers dan Shoemaker (1971) mengatakan adopsi adalah proses mental, dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan dan penolakan ide baru tersebut. Sedangkan Feder dkk (1981) adopsi didefinisikan sebagai proses mental seseorang dari mendengar, mengetahui inovasi sampai akhirnya mengadopsi. Di lain pihak Samsudin (1994) menyatakan bahwa adopsi adalah suatu proses dimulai dan keluarnya ide-ide dari suatu pihak, disampaikan kepada pihak kedua, sampai ide tersebut diterima oleh masyarakat sebagai pihak kedua.


(32)

2.1.2 Tahapan Proses Adopsi

Menurut Rogers (1983) proses keputusan adopsi inovasi memiliki lima tahap, yaitu : knowledge (pengetahuan), persuasion (kepercayaan), decision (keputusan), implementation (penerapan) dan confirmation (penegasan/pengesahan). Kelima

langkah ini dapat diuraikan seperti di bawah ini : a. Knowledge

Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Selama tahap ini individu akan menetapkan “apa inovasi itu ? bagaimana dan mengapa ia bekerja ?. Menurut Rogers (1983), pertanyaan ini akan membentuk tiga jenis pengetahuan (knowledge) :

Stage (Tahap Pengetahuan)

Awareness-knowledge merupakan pengetahuan akan keberadaan suatu

inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka maka masyarakat tidak merasa memerlukan akan inovasi tersebut. Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran, atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi.

How-to-knowledge, yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan

suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian


(33)

sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan penggunaan inovasi ini.

Principles-Peranan para agen perubahan dalam menghasilkan ketiga jenis pengetahuan tersebut kebanyakan memusatkan perhatian pada usaha untuk menciptakan

knowledge, yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip

keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja. Suatu inovasi dapat diterapkan tanpa pengetahuan ini, akan tetapi penyalahgunaan suatu inovasi akan mengakibatkan berhentinya inovasi tersebut.

awareness-knowledge yang sebenarnya untuk tujuan ini akan lebih efisien dengan

menggunakan jalur media masa.

Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi, maka tahap ini berlangsung setelah knowledge stage dalam proses keputusan inovasi. Rogers menyatakan bahwa

knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini

individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi.


(34)

c. Decision

Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Menurut Rogers adoption (menerima) berarti bahwa inovasi tersebut akan digunakan secara penuh, sedangkan menolak berarti “not to adopt an

innovation”. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada keadaan

suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini. Rogers menyatakan ada dua jenis penolakan, yaitu

Stage (Tahap Keputusan)

active rejection dan Active

passive rejection. rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi dan berfikir

akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak inovasi tersebut.

passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berfikir untuk mengadopsi

inovasi.

Pada tahap

d. Implementation Stage (Tahap Implementasi)

implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan

tetapi sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidakpastiannya akan terlibat dalam difusi. Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Maka si pengguna akan memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang mengadopsi inovasi itu adalah suatu


(35)

organisasi, karena dalam sebuah inovasi jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda.

Ketika keputusan inovasi sudah dibuat, maka si pengguna akan mencari dukungan atas keputusannya ini. Menurut Rogers keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu.

e. Confirmation Stage (Tahap Konfirmasi)

2.1.3 Proses Pengambilan Keputusan

Beberapa faktor yang mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan adopsi inovasi adalah:

1. Karakteristik Inovasi: Tahapan ini merupakan tahap awal ketika masyarakat mulai melihat, dan mengamati inovasi dari berbagai sumber, khususnya media massa. Pengadopsi awal biasanya merupakan orang-orang yang rajin membaca koran dan menonton televisi, sehingga mereka bisa menangkap inovasi baru yang ada. Jika sebuah inovasi dianggap sulit dimengerti dan sulit diaplikasikan, maka hal itu tidak akan diadopsi dengan cepat oleh mereka, lain halnya jika yang dianggapnya baru merupakan hal mudah, maka mereka akan lebih cepat mengadopsinya. Beberapa


(36)

jenis inovasi bahkan harus disosialisasikan melalui komunikasi interpersonal dan kedekatan secara fisik.

2. Pengadopsian: Dalam tahap ini masyarakat mulai menggunakan inovasi yang mereka pelajari. Diadopsi atau tidaknya sebuah inovasi oleh masyarakat ditentukan juga oleh beberapa faktor. Riset membuktikan bahwa semakin besar keuntungan yang didapat, semakin tinggi dorongan untuk mengadopsi perilaku tertentu. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh keyakinan terhadap kemampuan diri seseorang. Sebelum seseorang memutuskan untuk mencoba hal baru, orang tersebut biasanya bertanya pada diri mereka sendiri apakah mereka mampu melakukannya. Jika seseorang merasa mereka bisa melakukannya, maka mereka akan cenderung mangadopsi inovasi tersebut. Selain itu, dorongan status juga menjadi faktor motivasional yang kuat dalam mengadopsi inovasi. Beberapa orang ingin selalu menjadi pusat perhatian dalam mengadopsi inovasi baru untuk menunjukkan status sosialnya di hadapan orang lain. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh nilai yang dimiliki individu tersebut serta persepsi dirinya. Jika sebuah inovasi dianggapnya menyimpang atau tidak sesuai dengan nilai yang dianut, maka ia tidak akan mengadopsinya. Semakin besar pengorbanan yang diberikan untuk mengadopsi sebuah inovasi, semakin kecil tingkat adopsinya.

3. Pengembangan jaringan sosial: Seseorang yang telah mengadopsi sebuah inovasi akan menyebarkan inovasi tersebut kepada jaringan sosial di sekitarnya, sehingga sebuah inovasi bisa secara luas diadopsi oleh masyarakat. Difusi sebuah inovasi tidak lepas dari proses penyampaian dari satu individu ke individu lain melalui


(37)

hubungan sosial yang mereka miliki. Dalam proses adopsi inovasi, komunikasi melalui saluran media massa lebih cepat menyadaran masyarakat mengenai penyebaran inovasi baru dibanding saluran komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal mempengaruhi manusia untuk mengadopsi inovasi yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh media massa.

2.1.4 Kategori atau Tingkatan Adopsi

Rogers (1983) dan sejumlah ilmuwan komunikasi lainnya mengidentifikasi 5 kategori pengguna atau mengadopsi inovasi :

1. Inovator: Adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baru. Hubungan sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya. Orang-orang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun terdapat jarak geografis. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memeiliki gaya hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi.

2. Pengguna awal: Kelompok ini lebih lokal dibanding kelompok inovator. Kategori adopter seperti ini menghasilkan lebih banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi tentang inovasi. Mereka dalam kategori ini sangat disegani dan dihormati oleh kelompoknya karena kesuksesan mereka dan keinginannya untuk mencoba inovasi baru.

3. Mayoritas awal: Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya, mereka akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan


(38)

dalam mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti ini menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat.

4. Mayoritas akhir: Kelompok yang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan mengadopsi inovasi sebelum mereka mengambil keputusan. Terkadang, tekanan dari kelompoknya bisa memotivasi mereka. Dalam kasus lain, kepentingan ekonomi mendorong mereka untuk mengadopsi inovasi.

5. Laggard: Kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan adopsi inovasi. Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal hal baru. Kelompok ini biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran sama dengan mereka. Sekalinya sekelompok laggard mengadopsi inovasi baru, kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap mereka ketinggalan zaman.

2.1.5 Inovasi

Menurut Drucker (1985) inovasi adalah tindakan yang memberikan sumber daya kekuatan, kemampuan baru untuk menciptakan kesejahteraan. Salah satu bekal yang berguna bagi usaha memasyarakatkan ide-ide baru itu adalah pemahaman yang mendalam mengenai bagaimana ide-ide itu tersebar ke dalam suatu sistem sosial dan memengaruhinya. Masyarakat yang sedang membangun berkepentingan dengan inovasi, dengan penemuan-penemuan baru baik itu berupa gagasan, tindakan atau


(39)

barang-barang baru. Inovasi merupakan pangkal terjadinya perubahan sosial yang merupakan inti dan pembangunan masyarakat (Drucker, 1985).

Menurut Drucker (1985), setiap ide/gagasan baru pernah menjadi inovasi. Setiap inovasi pasti berubah seiring berlalunya waktu. Komputer, alat kontrasepsi KB,dan lain-lain, barangkali dianggap sebagai inovasi di beberapa negara tetapi di Amerika Serikat (USA) mungkin telah usang.

Suatu inovasi mungkin telah lama diketahui seseorang. tetapi dia belum mengembangkan sikap suka atau tidak suka, menerima atau menolak inovasi tersebut. (Hanafi, 1997). Havelock 1973 (dalam Nasution, 1990) menyatakan bahwa inovasi merupakan segala perubahan yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh masyarakat yang mengalaminya.

KB Pria di Indonesia bisa disebut sebagai suatu inovasi dimana pengertian inovasi adalah segala sesuatu ide, cara-cara ataupun objek yang dipersepsikan oleh seorang sebagai sesuatu yang baru (Rogers 1983). Baru dalam ide yang inovatif tidak berarti harus baru sama sekali kebaruan inovasi ini diukur secara subyektif menurut pandangan individu yang menangkapnya. Jika sesuatu ide dianggap baru oleh seseorang maka itu adalah inovasi (bagi orang itu).

Upaya memperkenalkan ide baru KB pria ke masyarakat akan menjadikan perubahan-perubaban pada sistem sosial, baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat secara keseluruhan, baik bagi yang menerima maupun yang menolak ide tersebut, yang menerima barangkali akan lebih sejahtera kehidupannya sedangkan


(40)

yang menolak barang kali akan menimbulkan masalah-masalah baru dalam kehidupannya (Gema, 2006).

2.1.6 Karakteristik Inovasi

Rogers (1983) mengemukakan lima karakteristik inovasi meliputi: keunggulan relatif (relative advantage), kompatibilitas (compatibility), kerumitan (complexity), kemampuan diuji cobakan (trialability), dan kemampuan untuk diamati

(observability).

a. Keunggulan Relatif (Relative Advantage)

Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik/unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti segi eknomi, prestise social, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi.

Untuk meningkatkan laju dari inovasi adopsi dan untuk membuat keuntungan relatif lebih efektif, pembayaran insentif keuangan langsung atau tidak langsung dapat digunakan untuk mendukung individu dari suatu sistem sosial dalam mengadopsi suatu inovasi. Insentif adalah bagian dari faktor dukungan dan motivasi. Faktor lain motivasi dalam proses difusi adalah atribut kompatibilitas. Kesesuaian Dalam beberapa penelitian difusi, keuntungan relatif dan kompatibilitas dipandang sebagai serupa, meskipun mereka secara konseptual berbeda.


(41)

b. Kompatibilitas (Compatibility)

Kompatibilitas (compatibility) adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible)

Salah satu faktor yang mempengaruhi adopsi KB Pria adalah kompatibilitas. Pengertian ”kompatibilitas” dalam kamus bahasa Indonesia berarti keadaan penyesuaian diri atau kesesuaian. Kompatibilitas KB pria yakni derajat dimana KB pria tersebut dianggap konsisten dengan : (a) pengalaman masa lalu, (b) norma norma yang berlaku dan (c) kebutuhan adopter (Rogers, 1983).

c. Kerumitan (Complexity)

Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi.

Rogers (1983) mendefinisikan kompleksitas sebagai "tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dipahami dan digunakan", berlawanan dengan atribut lain, kompleksitas berkorelasi negatif dengan tingkat adopsi. Dengan demikian, kompleksitas yang berlebihan dari suatu inovasi adalah hambatan penting dalam adopsi


(42)

d. Kemampuan diuji cobakan (Trailability)

Kemampuan untuk diuji cobakan adalah derajat dimana suatu inovasi dapat diuji-coba batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat di uji-cobakan dalam seting sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat dengan cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus mampu menunjukan (mendemonstrasikan) keunggulannya.

e. Kemampuan untuk diamati (Observability)

Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi.

Karakteristik terakhir inovasi adalah keteramatan. Rogers (1983) keteramatan didefinisikan sebagai "sejauh mana hasil dari suatu inovasi yang dilihat oleh orang lain". Serupa dengan keuntungan relatif, kompatibilitas, dan trailability, keteramatan juga berkorelasi positif dengan tingkat adopsi dari suatu inovasi. Secara ringkas, Rogers (2003) berpendapat bahwa inovasi relatif menawarkan keuntungan lebih, kompatibilitas, kesederhanaan, trailability, dan keteramatan akan diadopsi lebih cepat daripada inovasi lainnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif; kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi.


(43)

2.2 Program Keluarga Berencana

2.2.1 Pengertian Program Keluarga Berencana

Dalam kamus Barat pada umumnya, Family planning diartikan sebagai pembatasan kelahiran dan jarak antar anak. The American Heritage (2007) menyebutkan bahwa KB adalah suatu program untuk mengatur jumlah dan jarak anak dalam keluarga melalui penggunaan kontrasepsi atau metode pengaturan kelahiran lainnya WHO (2011)

Dalam konteks Indonesia, definisi family planning dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Disebutkan bahwa Keluarga Berencana adalah upaya peningkatan kepedulian dan peranserta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, serta peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.

Dalam buku Pegangan Penyuluh Keluarga Berencana (BKKBN, 2004) disebutkan bahwa Program KB Nasional adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera menuju keluarga berkualitas.

Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai penjabaran visi dan misi Pemerintah untuk kurun waktu 2004-2009, menyebutkan Program KB Nasional merupakan rangkaian pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas sebagai


(44)

langkah penting dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Pembangunan ini diarahkan sebagai upaya pengendalian kuantitas penduduk.

Beberapa negara melaksanakan program KB dalam upaya mengurangi tingkat kelahiran dan mencegah ledakan penduduk. Di China, sebagai negara dengan penduduk terbanyak di dunia, program KB mulai benar-benar diterapkan tahun 1970-an. Program yang dicanangkan adalah: menunda perkawinan, menunda memunyai anak serta menjaga jarak kelahiran antar-anak. Slogannya adalah: satu anak itu baik, dua anak masih dapat diterima dan tiga anak itu terlalu banyak. Dengan menerapkan program KB, diperkirakan dapat menekan 300 juta kelahiran antara tahun 1970-1994 (Lie, 1998). Pada awalnya, masyarakat tradisional Cina lebih suka menikah muda, memunyai anak pada usia muda serta memunyai banyak anak. Mereka biasanya memunyai anak antara 5-6 orang. Dalam pandangan mereka, “lebih banyak anak berarti suatu kebahagiaan yang besar” (Lie, 1998).

Meskipun secara formal disebutkan bahwa kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki di bidang politik, ekonomi, sosial dan kehidupan keluarga, akan tetapi dalam kenyataannya beban kaum perempuan dalam program KB masih lebih berat. Tahun 1992, tingkat partisipasi KB mereka adalah 83,5 persen. Adapun sisanya adalah tingkat partisipasi laki-laki, yang berarti masih di bawah 20 persen. Alat kontrasepsi yang popular di kalangan laki-laki adalah vasektomi yang dipilih oleh sekitar 22,62 juta laki-laki. Kondisi ini tidak meningkat jauh. Partisipasi laki-laki dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang kompleks seperti sosial, ekonomi, politik dan terutama budaya. Kunci keberhasilan pelaksanaan KB mereka adalah pada


(45)

tiga hal yang utama yakni: pendidikan, pelayanan regular dan penggunaan alat kontrasepsi.

Di India, program KB dimulai tahun 1950-an, tetapi belum optimal. Akhir 1960-an, barulah dilakukan program besar-besaran untuk menurunkan kelahiran dari 41 per 1000 menjadi 20-25 per 1000 pada pertengahan tahun 1970-an. Kebijakan Kependudukan Nasional yang diadopsi tahun 1976 menyatakan perlunya pengintegrasian antara program KB dengan tingkat kesejahteraan penduduk. Pembuat kebijakan berasumsi bahwa ukuran/jumlah keluarga yang terlalu besar adalah bagian dari kemiskinan, sehingga harus dikikis dengan strategi terintegrasi. Untuk itu, pendidikan tentang kependudukan dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum sekolah (Wikipedia, 2010).

Di Malaysia, Family Planning dimulai sekitar 1950. Metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan adalah pil. Menurut survei tahun 1957, sebanyak 31 persen perempuan di kota dan dua persen di desa menggunakan alat tersebut. Saat ini, kebutuhannya adalah: melatih petugas kesehatan, menginformasikan dan memotivasi keluarga untuk menerima KB, melanjutkan program pendididikan, mereformasi hukum anti aborsi, serta mengintegrasikan pelayanan KB dengan pelayanan kesehatan.

Di Banglades yang pada tahun 2003 menjadi negara terpadat terbanyak ke-7 di dunia (sekitar 135 juta) yang hampir setengahnya miskin, program KB mulai dilaksanakan tahun 2003 dengan nama The Health Nutrition and Population Sector


(46)

lapangan dan klinik-klinik pembantu yang menyediakan layanan KB serta kunjungan rumah ke rumah (Rob, 2006).

Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa program KB merupakan salah satu solusi bagi negara-negara “besar” dalam upaya mengendalikan penduduk. Pelaksanaan program KB dilakukan oleh para petugas yang secara resmi diberi mandat untuk itu. Mereka adalah para pegawai negeri sipil baik yang berstatus sebagai penyuluh fungsional (yang disebut dengan Penyuluh KB/PKB) maupun bukan fungsional (yang disebut Petugas Lapangan Keluarga Berencana/PLKB).

Keberhasilan penyuluhan KB pada periode awal pelaksanaannya tidak terlepas dari peran petugas lapangannya. Petugas Lapangan KB (PLKB) adalah tenaga penyuluh yang sejak awal perkembangan program KB telah sangat berjasa. Seiring dengan berkembangnya program, tugas mereka pun semakin berat. Tidak hanya mencari akseptor, tetapi juga harus melakukan pencatatan pelaporan, pendistribusian alat kontrasepsi ulangan, kegiatan gizi keluarga dan sebagainya. Tahun 1981, dijadikan Pegawai Negeri Sipil. Tahun 1988, status mereka dinaikkan menjadi pejabat fungsional. Bagi mereka yang tidak memenuhi persyarakat pendidikan, tidak bisa beralih menjadi tenaga fungsional, akan tetapi tetap memiliki tugas penyuluhan dan pelayanan KB. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP/120/M.PAN/9/2004 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Keluarga Berencana dan Angka Kreditnya (BKKBN, 2004:3) menyebutkan bahwa Penyuluh KB (PKB) adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan


(47)

kegiatan penyuluhan, pelayanan, evaluasi dan pengembangan Keluarga Berencana Nasional. Dengan kata lain, PKB adalah PLKB yang berstatus sebagai pejabat fungsional (BKKBN, 2002).

Tugas pokok mereka adalah (1) melakukan penyuluhan KB Nasional dan (2) memberikan pelayanan KB. Kegiatan penyuluhan KB adalah kegiatan

penyampaian informasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga dan masyarakat guna mewujudkan keluarga berkualitas. Sedangkan pelayanan KB adalah pemberian fasilitas kepada keluarga dan masyarakat guna memenuhi kebutuhannya dalam mewujudkan keluarga berkualitas. Tugas memberikan penyuluhan KB Nasional meliputi: persiapan penyuluhan, pelaksanaan penyuluhan dan pembinaan generasi muda. Adapun tugas pelayanan KB mencakup: persiapan pelayanan, pelaksanaan pelayanan dan pengembangan model pelayanan. 2.2.2 Alat Kontrasepsi KB Pria

Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti ‘mencegah’ atau ‘melawan’ dan konsepsi yang berarti pertemuan antara sel telur yang matang dan sel sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma tersebut (Hartanto, 2004).

Pelayanan kontrasepsi merupakan salah satu komponen dalam pelayanan kependudukan/KB. Selain Pelayanan kontrasepsi juga terdapat komponen pelayanan kependudukan/KB lainnya seperti Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), konseling, pelayanan infertilitas, pendidikan seks (sex education), konsultasi


(48)

pra-perkawinan dan konsultasi pra-perkawinan, konsultasi genetik, tes keganasan dan adopsi (Depkes RI, 2005).

Tidak ada satupun metode kontrasepsi yang aman dan efektif bagi semua klien karena masing-masing mempunyai kesesuaian dan kecocokan individual bagi setiap klien. Namun secara umum persyaratan metode kontrasepsi ideal adalah : a. Aman, artinya tidak akan menimbulkan komplikasi berat jika digunakan

b. Berdaya guna, dalam arti jika digunakan sesuai dengan aturan akan dapat mencegah kehamilan. Ada beberapa komponen dalam menentukan keektifan dari suatu metode kontrasepsi diantaranya adalah keefektifan teoritis, keefektifan praktis, dan keefektifan biaya. Keefektifan teoritis (theoritical effectiveness) yaitu kemampuan dari suatu cara kontrasepsi untuk mengurangi terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, apabila cara tersebut digunakan terus menerus dan sesuai dengan petunjuk yang diberikan tanpa kelalaian. Sedangkan keefektifan praktis (use effectiveness) adalah keefektifan yang terlihat dalam kenyataan di lapangan setelah pemakaian jumlah besar, meliputi segala sesuatu yang mempengaruhi pemakaian seperti kesalahan, penghentian, kelalaian, dan lain-lain (Saifuddin, 2006).

c. Dapat diterima, bukan hanya oleh klien melainkan juga oleh lingkungan budaya di masyarakat. Ada dua macam penerimaan terhadap kontrasepsi yakni penerimaan awal (initial acceptability) dan penerimaan lanjut (continued acceptability). Penerimaan awal tergantung pada bagaimana motivasi dan persuasi yang diberikan oleh petugas KB. Penerimaan lanjut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur,


(49)

motivasi, budaya, sosial ekonomi, agama, sifat yang ada pada KB, dan faktor daerah (desa/kota).

d. Terjangkau harganya oleh masyarakat

e. Bila metode tersebut dihentikan penggunaannya, klien akan segera kembali kesuburannya, kecuali untuk kontrasepsi mantap.

Alat kontrasepsi untuk pria yang ada sampai saat ini masih sangat terbatas yaitu kondom dan Medis Operasi Pria (MOP) biasa juga disebut vasektomi.

a. Kondom

Kondom adalah sarung karet tipis, cara kerjanya adalah dengan mencegah sperma bertemu dengan ovum. Secara teori tingkat efektivitas kondom sebesar 98 % namun dalam prakteknya hanya mencapai 85 % (Saifuddin, 2006).

Kondom efektif jika digunakan secara benar tiap kali berhubungan. Namun efektivitasnya kurang jika dibandingkan metode pil, AKDR, suntikan KB. Keuntungan menggunakan alat kontrasepsi kondom adalah : (a) dapat dipakai sendiri, (b) dapat mencegah penularan penyakit kelamin, (c) tidak mempengaruhi kegiatan menyusui, (d) tidak mengganggu kesehatan, (e) tidak ada efek samping sistemik, (f) tersedia secara luas (toko farmasi dan toko-toko yang ada di masyarakat), (g) tidak perlu resep atau penilaian medis.

Penggunan kondom sudah lebih mengemuka namun hambatan pemasyarakatan kondom di kalangan pria karena masih adanya stigma negatif terhadap alat kontrasepsi tersebut, kesan bahwa kondom sebagai alat kontrasepsi yang tingkat kegagalannya tinggi, kurang enak dipakai, rumit penggunaannya dan sebagian


(50)

di antara pria ada yang merasa jijik, terlebih kondom selama ini dianggap dekat dengan pandangan miring masyarakat seperti kondom identik dengan pelacuran, kenakalan pria, seks bebas dan sebagainya.

b. Metode Operasi Pria (MOP) atau Vasektomi

Program KB pria yang kini semakin marak digalakkan pemerintah dalam upaya menekan laju pertumbuhan penduduk adalah terutama Metode Operasi Pria (MOP), sebagai bentuk perubahan paradigma program KB adalah pemotongan/pengikatan kedua saluran sperma laki-laki (vasektomi).

Prinsip dasar dari vasektomi adalah bagaimana menjadikan pipa saluran spermatozoa atau sel benih vasa deferens pria agar betul-betul dibuat buntu. Operasi vasektomi sebagai metode mencegah pertemuan sel telur dengan sperma secara teori dan praktek mempunyai tingkat efektivitas 99,9 % dengan keuntungan paling efektif mengakhiri kesuburan selamanya (keberhasilan pembalikan tidak bisa dijamin). Metode vasektomi baik untuk pasangan yang: sudah yakin tidak ingin punya anak lagi, jika hamil akan membahayakan jiwanya serta menginginkan metode yang tidak mengganggu.

Vasektomi dulu sebelum tahun 1990 dikenal dengan vasektomi konvensional, dimana dalam pelaksanaannya dapat memakan waktu 1 (satu) jam lebih. Namun sehubungan tuntutan masyarakat yang hidup di era globalisasi mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat di era sebelumnya. Saat ini segala sesuatu dituntut untuk lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik. Selain kualitas yang baik, masyarakat juga menginginkan suatu kepuasan termasuk kenyamanan dalam setiap


(51)

pelayanan, maka saat ini telah dikembangkan Vasektomi Tanpa Pisau (VTP) yang merupakan inovasi teknik Vasektomi yang terbukti lebih cepat, lebih baik dan lebih sehat dibandingkan cara vasektomi yang terdahulu (Rahardjo, 1995).

Vasektomi Tanpa Pisau (VTP) adalah tindakan pengikatan vas deferens/saluran sperma kiri dan kanan, sehingga pada waktu ejakulasi cairan mani yang keluar tidak lagi mengandung sperma, sehingga tidak terjadi kehamilan. Vasektomi Tanpa Pisau (VTP) diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1990 dan disambut dengan baik oleh kaum pria karena menurunkan derajat kengerian para pria terhadap pembedahan Vasektomi, dimana pada Vasektomi cara konvensional menggunakan pisau bedah sedangkan pada Vasektomi Tanpa Pisau (VTP) tindakan dilakukan tanpa menggunakan pisau bedah (Rahardjo, 1995).

Efek samping yang umum terjadi pada vasektomi adalah: infeksi dan epididimitis terjadi pada 1-2% pasien. Resiko keluhan pasca vasektomi yang paling sering berupa pembengkakan kantong buah zakar, selain rasa nyeri berkepanjangan di sekitar situ (post vasectomy pain syndrome). Pada nyeri yang berkepanjangan biasanya lantaran kondisi buah zakar memang sudah bermasalah sebelum vasektomi dilakukan. Mungkin sudah ada infeksi menahun di sana, kalau bukan ada tumor atau kanker buah zakar. Untuk mencegah yang tidak mengenakkan itu, sebaiknya kantong buah zakar diberikan kompres es dalam 24 jam pasca vasektomi, selain tetap memakai celana berpenyangga, dan pastikan tidak terinfeksi. Pembengkakan, muncul gejala merah meradang pada kantong buah zakar, berarti kemungkinan sudah terjadi infeksi di sana


(52)

MOP merupakan salah satu bentuk sterilisasi permanent MOP ditolak banyak pria, sebahagian dari mereka merasa ada ego yang terampas ketika kemampuan reproduksinya dihambat dengan tindakan operasi pada tubuhnya sendiri .Kemampuan reproduksi bagi pria masih menjadi lambang kejantanannya sebagai pria .Banyak pria merasa takut bila menjadi peserta MOP atau vasektomi, karena pemahaman yang mengindentikkan MOP dengan kebiri. Selain itu pemahaman yang keliru seperti anggapan MOP dapat membuat impoten, menurunkan libido, membuat pria tidak bisa ejakulasi, atau MOP merupakan tindakan operasi yang menyeramkan. Muncul pula kekhawatiran para istri karena beranggapan suami yang vasektomi atau sterilisasi berpeluang lebih besar untuk menyeleweng.

Adanya paradigma yang sudah mengakar dan sulit untuk mengubahnya berkaitan dengan budaya patriarki, yakni peran pria demikian besar dibanding wanita. Dengan demikian sesuatu yang berkenaan dengan mengubah atau mengurangi kemampuan pria, walau bersifat semu, akan berhadapan dengan stigma tersebut. Kemudian, masalah juga terjadi berkaitan dengan tabu, merupakan aib untuk menunjukkan alat kelamin didepan orang lain kecuali pasangan untuk melakukan hubungan sex. Memang ada pengecualian khusus jika berkaitan dengan perawatan medis untuk

Penelitian Ernayati (2007) menemukan bahwa alasan pria peserta KB aktif dalam melakukan KB adalah: (1) untuk menekan jumlah anak karena mereka telah memiliki anak lebih dari 3, (2) karena kesetaraan gender. Para pria yang melakukan penyakit semacam disfungsi ereksi maupun penyakit yang berkenaan dengan kantung kemih (Azwar, 2005).


(53)

KB disini ingin membuktikan urusan KB bukanlah semata-mata urusan perempuan tapi pria pun juga bisa ikut berpartisipasi dalam KB, (3) kesadaran para suami untuk ikut berpartisipasi dalam KB. Alasan pria memilih alat kontrasepsi bermacam-macam, alasan memilih kondom karena harganya yang murah dan mudah dicari, sedangkan yang memilih vasektomi karena tingkat kegagalan dari vasektomi sangat tipis, selain itu tidak ada efek samping dan merasa aman dan nyaman ketika sedang melakukan aktifitas seksual. Dalam hal tindakan pria peserta KB aktif dalam memilih alat kontrasepsi pertama kali mereka memperoleh pengetahuan tentang KB dari PLKB Kelurahan, setelah itu yang mereka lakukan yaitu dengan mendatangi klinik KB untuk berkonsultasi mengenai alat kontrasepsi yang tepat untuk mereka apakah dengan kondom atau vasektomi. Setelah itu mereka melakukan tindakan dengan berpartisipasi dalam KB dengan kondom atau vasektomi.

Hasil penelitian Suprihastuti (2000) menyatakan bahwa adanya kemudahan dan ketersediaan sarana pelayanan ternyata berdampak positif terhadap penggunaan sesuatu alat kontrasepsi. Aksesibilitas pria terhadap informasi mengenai KB rendah karena masih terbatasnya informasi tentang peranan pria dalam KB dan KR; dan aksesibilitas pria terhadap sarana pelayanan kontrasepsi rendah. Dimana Puskesmas terdapat pelayanan KIA yang umumnya melayani Ibu dan Anak saja sehingga pria merasa enggan untuk konsultasi dan mendapat pelayanan, demikian pula terbatasnya jumlah sarana pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pria serta waktu buka sarana pelayanan tersebut.


(54)

2.3 Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, tentang Pokok-pokok Kepegawaian, pengertian pegawai negeri didefinisikan atau dirumuskan sebagai berikut : “Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negara, atau diserahi tugas negara lainnya, dan gaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, yang termasuk dalam pegawai negeri ialah : Pegawai Negeri terdiri dari PNS (Pusat, Daerah), Anggota Tentara Nasional, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya mengenai kedudukan dan tugas Pegawai Negeri adalah sebagai aparatur pelaksana pemerintah dalam mencapai tujuan Nasional, menyelenggarakan pemerintahan dan melaksanakan pembangunan. Pemerintah tidak hanya menjalankan fungsi umum pemerintahan, tetapi juga harus mampu melaksanakan fungsi pembangunan, atau dengan perkataan lain pemerintah bukan hanya menyelenggarakan tertib pemerintahan, tetapi juga harus menyelenggarakan dan memperlancar pembangunan untuk kepentingan rakyat banyak.

Agar Pegawai Negeri Sipil sebagai Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka ia harus mempunyai kesetiaan dan ketaatan penuh terhadap Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah, sehingga dengan demikian dapat memusatkan segala perhatian dan pemikiran serta mengerahkan segala daya dan tenaganya untuk


(55)

menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Pegawai negeri diharapkan memiliki gairah dan etos kerja, penuh inisiatif, dedikatif serta langkah-langkah positif guna mewujudkan prestasi kerja dan kariernya. Selain itu, pegawai negeri diharapkan dapat menjaga sikap mental dalam melaksanakan kedinasannya, serta dapat dijadikan suri tauladan atau panutan di tengah-tengah masyarakat. Kemudian tentang Kewajiban Pegawai Negeri disebutkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea ke-IV disebutkan tugas pemerintah secara umum adalah memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena pegawai negeri adalah aparatur pemerintah, maka bisa disebut bahwa pegawai negeri mempunyai tugas yang sangat penting, yakni : “melayani kepentingan umum” (public

service).

Selanjutnya PNS di BPPKB Kota Medan yang menjadi lokus penelitian secara khusus berfungsi membantu pemerintah dalam memberikan informasi tentang program dan pelayanan KB kepada masyarakat dan bukan hanya sebatas menjalankan tugas dan fungsinya semata, akan tetapi PNS pada BPPKB juga harus memiliki kesadaran individu sebagai orang yang siap untuk mengabdi kepada bangsa dan negara dalam mewujudkan program kependudukan, salah satu diantaranya adalah dengan ikut menjadi peserta program KB


(56)

2.4 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori Rogers, 1983

Gambar 5.1 A Model of stages in the innovation-decision process (Sumber: Rogers, 1983)

Mengacu kepada landasan teori di atas, maka penelitian ini fokus pada karakteristik inovasi yakni kompatibilitas. Kompatibilitas adalah sejauh mana suatu inovasi dianggap konsisten dengan pengalaman masa lalu, norma-norma yang berlaku dan kebutuhan adopter (Rogers, 1983). Sejalan dengan itu, kompatibilitas KB pria pada PNS akan mempengaruhi keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria. Kompatibilitas ide dan alat kontrasepsi keluarga berencana pria seharusnya memberi kenyamanan bagi pengguna alat kontrasepsi KB Pria.

I. KNOW LEDGE II. PERSU ASION III. DECI SION

IV. IMPLE MENTATION

V. CONFIR MATION PRIOR

CONDITIONS 1. Previous practice 2. Felt needs/ problems 3. Innovatileness 4. Norms of the social

systems

Characteristis of the Decision-Making unit 1 Socio-economic

characteristic 2. Personality Variables 3. Communication

behavior

Perceived Characteristic of the innovation 1 Relativity

advantage 2. Compatibility 3. Complexity 4. Trialability 5. Observability 1. Adoption 2. Rejection COMMUNICATION CHANNEL Continued Adoption Later Adoption Disconituance Continued Rejection


(57)

2.5 Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian KOMPATIBILITAS

- Pengalaman Masa Lalu - Norma-Norma yang berlaku - Kebutuhan adopter

Keputusan Adopsi Ide dan Alat Kontrasepsi KB Pria


(58)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian survei explanatory, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh variabel independen berupa kompatibilitas terhadap variabel dependen yaitu keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi KB pria melalui uji hipotesis.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kota Medan dengan alasan belum optimalnya peserta KB pria di kalangan PNS pada BPPKB Kota Medan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Agustus sampai dengan Desember 2011.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh PNS pria dengan status menikah dan mempunyai anak yang tercatat di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan berjumlah 41 orang.

3.3.2 Sampel

Sehubungan dengan jumlah populasi relatif sedikit, maka seluruh populasi dijadikan sebagai sampel penelitian.


(59)

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer dalam penelitian merupakan data yang diperoleh secara langsung dari PNS pria di BPPKB Kota Medan menggunakan kuesioner yang telah disusun dan mengacu pada variabel yang diteliti.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari laporan-laporan maupun dokumen pada BPPKB Kota Medan yang digunakan untuk membantu analisis data primer.

3.4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas a. Uji Validitas

Kelayakan dalam menggunakan instrumen yang akan dipakai untuk penelitian diperlukan uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan kepada 30 responden di Dinas Kesehatan Kota Medan dengan alasan mempunyai karakteristik yang relatif sama. Uji validitas dilakukan dengan mengukur korelasi antara variabel atau item dengan skor total variabel menggunakan rumus teknik korelasi Pearson Product Moment Corelation Coeficient (r), dengan ketentuan nilai koefisien korelasi >0,3 (valid) (Gozhali, 2005).

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah suatu indeks yang menunjukkan sejauh mana alat ukur dapat dipercaya dan dapat diandalkan. Uji reliabilitas ini menggunakan koefisien

Alpha Cronbach, apabila nilai Alpha Cronbach > 0,6 dikatakan reliabel (Gozhali,


(60)

Hasil uji validitas dan reliabilitas seluruh item kuesioner tentang : pengalaman masa lalu, norma yang berlaku dan kebutuhan adopter menunjukkan nilai koefisien korelasi >0,3 dan nilai Alpha Cronbach > 0,6, sehingga disimpulkan valid dan reliabel (Lampiran-2).

3.5 Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1 Variabel Independen

1. Pengalaman masa lalu adalah adalah informasi yang didapatkan responden sejak masa lalu hingga saat sekarang sebagai sumber pengetahuan terhadap keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi KB pria.

2. Norma-norma yang berlaku adalah nilai atau kepercayaan yang berkembang di masyarakat yang diyakini responden terhadap keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi KB pria.

3. Kebutuhan adopter adalah kondisi yang memungkinkan responden merasa membutuhkan atau tidak untuk keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi KB pria. 3.5.2 Variabel Dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi KB pria, yaitu menerima atau tidak menerima.

3.6 Metode Pengukuran

3.6.1 Metode Pengukuran Variabel Bebas


(61)

1. Pengalaman Masa Lalu

Pengukuran variabel pengalaman masa lalu dengan menggunakan skala ordinal, untuk soal no 1,4, 7, 8, 9 dan 10 jika responden menjawab Ya diberi skor 2 menjawab Tidak diberi skor 1, untuk soal 2, 3 ,5 dan 6 jika menjawab lebih dari 2 jawaban diberi skor 2 dan menjawab 1 jawaban diberi skor 1, maka pengkategorian adalah:

a. Baik, jika responden memperoleh pengalaman masa lalu yang mendukung terhadap ide dan alat kontrasepsi pria, memperoleh skor 16-20.

b. Tidak baik, jika responden memperoleh pengalaman masa lalu yang tidak mendukung terhadap ide dan alat kontrasepsi pria, memperoleh skor 10-15. 2. Norma-norma yang berlaku

Pengukuran variabel norma-norma yang berlaku dengan menggunakan skala ordinal, jika responden menjawab Ya diberi skor 2, menjawab Tidak diberi skor 1, maka pengkategorian adalah :

a. Baik, jika responden memiliki penilaian yang mendukung terhadap keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi KB pria, memperoleh skor 7-8.

b. Tidak baik, jika responden memiliki penilaian yang tidak mendukung keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi KB pria, memperoleh skor 4-6. 3. Kebutuhan adopter

Pengukuran variabel kebutuhan adopter menggunakan skala ordinal, jika responden menjawab Ya diberi skor 2, Tidak diberi skor 1, maka pengkategorian adalah :


(1)

ADOPTER4

31 75.6 75.6 75.6

10 24.4 24.4 100.0

41 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

ADOPTER5

24 58.5 58.5 58.5

17 41.5 41.5 100.0

41 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

ADOPTER6

20 48.8 48.8 48.8

21 51.2 51.2 100.0

41 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

IDE

24 58.5 58.5 58.5

17 41.5 41.5 100.0

41 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

KONDOM

32 78.0 78.0 78.0

9 22.0 22.0 100.0

41 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(2)

VASEK

41 100.0 100.0 100.0

Tidak Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(3)

Crosstabs

Pengalaman masa lalu * Keputusan Adopsi ide dan alat

Crosstab

20 1 21

16.4 4.6 21.0

95.2% 4.8% 100.0%

12 8 20

15.6 4.4 20.0

60.0% 40.0% 100.0%

32 9 41

32.0 9.0 41.0

78.0% 22.0% 100.0% Count

Expected Count % within Pengalaman masa lalu

Count

Expected Count % within Pengalaman masa lalu

Count

Expected Count % within Pengalaman masa lalu

Tidak baik

Baik Pengalaman

masa lalu

Total

Tidak

menerima Menerima Keputusan Adopsi ide

dan alat

Total

Chi-Square Tests

7.424b 1 .006

5.510 1 .019

8.195 1 .004

.009 .008

7.243 1 .007

41 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.39.

b.


(4)

Norma-norma yang berlaku * Keputusan Adopsi ide dan alat

Crosstab

27 2 29

22.6 6.4 29.0

93.1% 6.9% 100.0%

5 7 12

9.4 2.6 12.0

41.7% 58.3% 100.0%

32 9 41

32.0 9.0 41.0

78.0% 22.0% 100.0% Count

Expected Count % within Norma-norma yang berlaku

Count

Expected Count % within Norma-norma yang berlaku

Count

Expected Count % within Norma-norma yang berlaku

Tidak baik

Baik Norma-norma

yang berlaku

Total

Tidak

menerima Menerima Keputusan Adopsi ide

dan alat

Total

Chi-Square Tests

13.107b 1 .000

10.277 1 .001

12.300 1 .000

.001 .001

12.788 1 .000

41 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.63.


(5)

Kebutuhan adopter * Keputusan Adopsi ide dan alat

Crosstab

23 1 24

18.7 5.3 24.0

95.8% 4.2% 100.0%

9 8 17

13.3 3.7 17.0

52.9% 47.1% 100.0%

32 9 41

32.0 9.0 41.0

78.0% 22.0% 100.0% Count

Expected Count % within

Kebutuhan adaptor Count

Expected Count % within

Kebutuhan adaptor Count

Expected Count % within

Kebutuhan adaptor Tidak baik

Baik Kebutuhan

adaptor

Total

Tidak

menerima Menerima Keputusan Adopsi ide

dan alat

Total

Chi-Square Tests

10.686b 1 .001

8.329 1 .004

11.334 1 .001

.002 .002

10.425 1 .001

41 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.73.


(6)

REGRESI LOGISTIK

Model Summary

19.124 .444 .681

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Classification Tablea

32 0 100.0

3 6 66.7

92.7 Observed

Tidak menerima Menerima Keputusan Adopsi

ide dan alat Overall Percentage Step 1

Tidak

menerima Menerima Keputusan Adopsi ide

dan alat

Percentage Correct Predicted

The cut value is .500 a.

Variables in the Equation

3.196 1.512 4.469 1 .035 24.432

2.681 1.280 4.388 1 .036 14.594

2.927 1.422 4.240 1 .039 18.678

-15.333 5.276 8.446 1 .004 .000

Pengalaman Norma Kebutuhan Adopter Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variable(s) entered on step 1: ALAMK, NORMAK, ADOPTERK. a.