Pengaruh Kebutuhan Adopter terhadap Keputusan Adopsi Ide dan Alat Kontrasepsi KB Pria

mengadopsi metode kontrasepsi KB pria dapat dilakukan setelah ada keputusan kolektif. Tetapi keputusan kontingen itu bisa merupakan kombinasi dari dua atau lebih keputusan inovasi. Sejak lama para ahli mengetahui, keputusan seseorang untuk menerima atau menolak inovasi bukanlah tindakan yang sekali jadi, melainkan proses yang terdiri dari serangkaian tindakan dalam jangka waktu tertentu. Pandangan tradisional mengenai proses keputusan inovasi, disebut “proses adopsi”, yang dikemukakan ahli-ahli sosiologi pedesaan, terbagi dalam lima tahap : 1 tahap kesadaran, di mana seseorang mengetahui adanya ide-ide baru tetapi kekurangan informasi mengenai hal itu. 2 tahap menaruh minat, di mana seseorang mulai menaruh minat terhadap inovasi dan mulai mencari informasi lebih banyak mengenai inovasi itu. 3 tahap penilaian, di mana seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru itu dihubungkan dengan situasi dirinya sendiri saat ini dan masa mendatang dan menentukan mencobanya atau tidak. 4 tahap pencobaan, di mana seseorang menerapkan ide-ide baru itu dalam skala kecil untuk menentukan kegunaannya, apakah sesuai dengan situasi dirinya. 5 tahap penerimaan adopsi, di mana seseorang menggunakan ide baru itu secara tetap dalam skala yang luas.

5.4 Pengaruh Kebutuhan Adopter terhadap Keputusan Adopsi Ide dan Alat Kontrasepsi KB Pria

Hasil uji statistik regresi logistik berganda, diketahui faktor kebutuhan adopter sebagai indikator dalam kompatibilitas program dan alat kontrasepsi KB pria berpengaruh terhadap keputusan adopsi ide dan alat kontrasepsi KB pria. Universitas Sumatera Utara Mengacu kepada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa kalangan PNS pria di BPPKB Kota Medan yang membutuhkan program KB dan alat kontrasepsi KB pria lebih berpeluang mengambil keputusan dengan mengadopsi ide dan alat kontrasepsi pria dibandingkan yang menyatakan program KB dan alat kontrasepsi KB pria tidak dibutuhkan. Responden yang menyatakan seorang pria pantas menjadi akseptor KB sebesar 68,3 serta 85,4 responden menyatakan urusan hamil dan melahirkan tidak hanya urusan wanita. Namun sebesar 53,7 responden menyatakan KB Pria tidak sesuai dengan kodrat dan 68,3 responden menyatakan tidak sesuai dengan agama maupun agama. Persentase jawaban responden dari kedua pertanyaan di atas tentang norma-norma yang berlalu terkait dengan program KB dan alat kontrasepsi pria menunjukkan pandangan PNS pria di BPPKB Kota Medan dari aspek budaya secara pribadi individual dapat menerima program KB yang ditujukan kepada kalangan pria, namun pada saat program KB tersebut dihubungkan dengan kesesuaian program KB dengan pandangan budaya yang berlaku umum sosial seperti kesesuaian dengan kodratnya sebagai pria maupun agama ternyata tidak sesuai. Responden yang membutuhkan adopter karena istri tidak memungkinkan menggunakan alat kontrasepsi, sehingga bersedia menggantikannya menjadi akseptor KB pria dinyatakan oleh seluruh responden 100. Hal ini sesuai dengan penelitian Fitria 2010 yang menemukan pada salah satu respondennya bahwa sebelum suaminya menggunakan kontrasepsi kondom, dia yang ber-KB dengan metode suntik. Awalnya menggunakan metode suntik 1 bulan sekali, tetapi badannya jadi Universitas Sumatera Utara kurus sekali dan tidak pernah datang bulan. Kemudian dia beralih menggunakan metode suntik 3 bulan badannya jadi gemuk sekali dan dengan efek yang seperti itu, mbak dani memutuskan untuk berhenti berKB dan membicarakan dengan suami. Akhirnya sejak saat itu, suamilah yang menggunakan kondom. Responden yang membutuhkan adopter karena jumlah anak sudah cukup, sehingga bersedia menggantikannya menjadi akseptor KB pria dinyatakan oleh 48,8 responden. Dengan demikian masih lebih besar persentase responden yang memepertimbangkan jumlah anak untuk menerima ide program KB pria atau menggunakan alat kontrasepsi KB pria. Sesuai penelitian Widiastuti 2002 bahwa penentuan banyaknya anak seringkali ditentukan oleh seorang suami dan tidak memikirkan bagaimana keinginan seorang istri, karena anggapan istri harus menuruti segala keinginan dari suaminya, termasuk dalam penentuan pemakaian kontrasepsi, seringkali suami hanya ingin istrinya yang memakai alat kontrasepsi. Dalam hal ini masih sangat diperlukan kerjasama dari berbagai pihak diantaranya perempuan istri untuk mendorong suaminya agar menjalankan program keluarga berencana dengan menggunakan alat kontrasepsi yang tepat agar terdapat sinergi dari kedua belah pihak dalam menjalankan fungsi keluarga. Disamping itu peran dari pelaksana lapangan program keluarga berencana biasa disebut PLKB diantaranya dokter dan bidan agar memberikan sosialisasi yang tepat guna kepada para anggota masyarakat dan perlu di ingat bukan hanya kepada para ibu-ibu saja, melainkan suami juga perlu mendapatkan pengarahan yang tepat tentang hal ini. Stereotip bahwa program Universitas Sumatera Utara keluarga berencana hanya dilakukan oleh perempuan hendaknya harus kita rubah, sebab pengadaan program keluarga berencana itu sendiri pada dasarnya berbasis gender. Berlaku kepada perempuan dan laki-laki dengan tujuan untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera seperti yang digaungkan oleh pemerintah selama ini. Berdasarkan temuan tersebut terdapat ketimpangan dan ketidakadilan gender dalam pelaksanaan program keluarga berencana. Disini dapat kita asumsikan bahwa sebenarnya yang selama ini terjadi dalam program keluarga berencana adalah sebagai upaya untuk menggiring perempuan dalam menggunakan alat kontrasepsi. Tetapi disini peran suami tidak begitu terlihat, karena stereotip yang telah tertanam selama ini yang membawa kita pada suatu definisi program keluarga berencana adalah program untuk ibu-ibu semata, padahal seorang suami ikut berperan di dalam menciptakan kesejahteraan bagi keluarganya termasuk dalam penentuan jumlah anak. Fenomena tentang kesediaan suami untuk menggunakan alat kontrasepsi karena jumlah anak sudah cukup ditemukan Fitria 2010 dalam penelitiannya, bahwa seorang pegawai negeri sipil di salah satu kelurahan di Surakarta ini, memilih menggunakan metode vasektomi dengan alasan telah mempunyai 3 anak dari pernikahan dan mempunyai kemauan untuk mensejahterakan keluarga dengan tidak mau menambah anak lagi. Setelah berdiskusi dengan istri yang ternyata juga tidak berkeberatan dengan keputusan suaminya dan mendukung keputusan tersebut. Istrinya merasa bangga karena suaminya mempunyai inisiatif untuk ber-KB dengan tujuan kesejahteraan keluarga. Dengan kesediaan melakukan operasi vasektomi responden tersebut mendapatkan penghargaan atas operasi yang dijalani pada saat itu, Universitas Sumatera Utara karena termasuk pria yang mempunyai kesadaran dalam program keluarga berencana di Kota Surakarta. Setelah itu, beliau juga sering di kirim untuk mengikuti lomba dan sebagai motivator bagi calon akseptor pria lain di wilayah Surakarta dan Jawa Tengah. Program KB adalah program yang berwawasan gender, artinya program telah memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam berpartisipasi dalam program yang diwujudkan dengan menyediakan alat kontrasepsi yang dapat digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam menggunakan alat kontrasepsi hendaknya dalam pelaksanaan progam KB hendaknya penyediaan alat kontrasepsi disediakan baik yang dapat digunakan oleh laki-laki dan perempuan baik jenis dan jumlah juga sosialisasi dilaksanakan secara setara agar ada pilihan. Pandangan positif seseorang terhadap suatu objek atau program keluarga berencana dan alat kontrasepsi KB pria tidak akan selalu diikuti dengan perilaku yang positif pula pula. Namun pandangan yang baik mampu memprediksi tingkah laku ketika individu memiliki sikap yang kuat terhadap isu tertentu. Ada beberapa strategi yang dilakukan untuk mengubah pandangan seseorang. Pengubahan ini menggunakan dasar komponen pandangan untuk mendapatkan hasil yang optimal dan disesuaikan dengan kebutuhan. Beberapa strategi tersebut antara lain : a. Mengubah komponen afektif Hal yang biasa bagi organisasi untuk meningkatkan rasa suka konsumen secara tidak langsung, jika kondisi ini berhasil maka rasa suka yang meningkat tersebut Universitas Sumatera Utara cenderung meningkatkan kepercayaan positif yang dapat mengarah ke perilaku pengadopsian. Sementara itu, cara umum untuk mempengaruhi komponen afektif secara langsung adalah melalui classical conditioning. b. Mengubah komponen perilaku Perilaku adopsi atau penerimaan mungkin mendahului perkembangan kognisi dan afektif. Seseorang pria yang tidak menyukai alat kontrasepsi KB pria tertentu karena yakin produk tersebut tidak memberikan manfaat yang diharapkan, tetapi karena terbujuk, akhirnya ia ingin mencoba dan percobaan itu mengubah persepsinya. Hal ini kemudian menuntunnya pada peningkatan pengetahuan yang dapat mengubah komponen kognitif. c. Mengubah komponen kognitif Pendekatan yang paling umum untuk mengubah pandangan adalah berfokus pada komponen kognitif. Dengan berubahnya kepercayaan, perasaan dan perilaku, maka pandangan juga akan berubah. Sesuai pendapat Oktaviani 2009 kebijakan formal tentang peningkatan peranserta pria tentang keluarga berencana dan kesehatan reproduksi secara jelas baru terlihat semenjak dicanangkannya era baru program KB nasional tahun 2000. Kebijakan program peningkatan peranserta pria masih relatif baru, sehingga penerapan di lapangan masih belum merata. Ada wilayah yang sudah menerapkan kebijakan tersebut, ada yang baru disosialisasikan, ada yang sama sekali belum disentuh. Salah satu sasaran dari sekian banyak sasaran yang akan dicapai oleh Universitas Sumatera Utara program KB dalam jangka panjang demi tercapainya Keluarga Berkualitas 2015, adalah upaya mencapai peningkatan kesertaan pria dalam program KB.

5.6 Keterbatasan Penelitian