Penanggulangan Penebangan Pohon di Luar RKT melalui Tindakan

BAB IV PENANGGULANGAN PENEBANGAN POHON DI LUAR RENCANA

KARYA TAHUNAN BAGI PEMEGANG IUPHHK

A. Penanggulangan Penebangan Pohon di Luar RKT melalui Tindakan

Pencegahan Pengrusakan hutan di Indonesia dilakukan oleh korporasi dalam berbagai bentuk dan taktik sehingga sulit untuk diidentifikasi atau dilacak. Perbedaan pandangan atau belum adanya kesamaan persepsi dalam pemahaman perusakan hutan menyebabkan beragamnya tafsiran terhadap besarnya dampak kerusakan hutan. Belum adanya kesepahaman tentang definisi kayu legal dan belum adanya standar data hutan yang disepakati bersama akan memberi peluang terhadap pemanfaatan kayu secara illegal karena masih terdapatnya kesenjangan gap dari perbedaan pandangan tersebut sehingga berdampak pada upaya penegakan hukum yang dilakukan secara preventif dan represif belum berjalan optimal karena masih ditemuinya beberapa kendala antara lain: 91 1. Masih terdapatnya kerancuan atau duplikasi antara peraturan perundang- undangan satu dengan lainnya; 2. Ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhab industri perkayuan; 3. Masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan; 4. Lemahnya komitmen para pihak dalam mendukung upaya pemberantasan tindak pidana kehutanan; 5. Belum terbentunya sistem penanggulangan gangguan hutan secara sinergi dan komprehensif. 91 Alvi Syahrin, Strategi Manajemen Dalam Rangka Mengoptimalkan Upaya Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kehutanan , tidak dipublikasi, hal. 917 Mashudi : Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, 2009 USU Repository © 2008 Oleh karenanya, keseragaman pemahaman persepsi yang sama multi pihak tentang definisi kayu legal merupakan hal yang sangat krusial dan penting dan perlu diberikan petunjuk praktis yang jelas, sehingga pembeli buyer dan konsumen consumer dapat secara jelas membedakan antara kayu legal dan illegal. Selain itu, sampai saat ini masih terjadi tumpang tindih dalam hal pemberian ijin pemungutan hasil hutan kayu mulai dari penebangan, pemrosesan sampai pengangkutannya. Hal ini terjadi karena masih terdapatnya kerancuan dan kontradiktif antara aturan pusat dengan yang diterapkan oleh daerah. Misalnya adanya pemberian ijin yang dikeluarkan Pejabat Daerah yang bertentangan dengan kebijakan peraturan yang ditetapkan pusat Departemen Kehutanan. Oleh karenanya perlu kesepakatan dan komitmen bersama antara pusat dan daerah dalam hal pemberian ijin, sehingga dapat secara jelas diketahui pihak-pihak yang berwewenang dan punya otorita dalam menerbitkan ijin tersebut pada masing-masing tahapan dari penebangan, pemprosesan sampai pengangkutannya. Kegiatan-kegiatan meliputi: 92 1. Menyetujui sumber kayu yang legal saat ini termasuk HPH, HTI, IPK HTI, IPK Kebun, Hutan Rakyat, dll melalui pembangunan kesepakatan dan konsultsi berbagai pemangku kepentingan; 2. Membuat pedoman umum bagi institusi-institusi yang berwenang memberikan ijin pemanfaatan kayu melalui proses konsultasi dan konsensus bersama, diantaranya dengan pemerintah daerah; 3. Mengidentifikasi dan mengesahkan sumber kayu lain yang dihasilkan dari kegiatan pengelolaan hutan secara tradisional misalnya hutan adat yang dikelola secara lestari; 4. Menetapkan jumlah tebangan tahunan secara berkesinambungan untuk semua sumber kayu yang legal Atas dasar kajian NRM-MFP dengan menggunakan 92 Strategi Nasional Untuk Pemberantasan Penebangan Dan Peredaran Kayu Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Republik Indonesia, http:www.yahoo.com, diakses tanggal 6 Januari 2009 Mashudi : Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, 2009 USU Repository © 2008 Forest Futures Scenario Analysis, ditunjukkan bahwa pada saat ini produksi lestari dari hutan alam di Indonesia sebanyak 19 juta m3 kayu per tahun; 5. Menyelesaikan pemetaan, penatabatasan dan pengukuhan batas kawasan hutan, HPH dan HTI sebagai dasar yang sah dan untuk memberi kepastian hukum terhadap sumber kayu legal. Sumber-sumber kayu yang dianggap legal: a. HPH konsesi untuk kayu di hutan produksi dengan ijin dari Dephut; b. HTI di hutan produksi ijin konsesi hutan tanaman oleh Dephut; c. IPK HTI dengan stok tebangan 20 m³ ijin tebangan oleh Pemprov mewakili pemerintah pusat; d. IPK Kebun ijin tebangan oleh Pemprov mewakili pemerintah pusat; e. Hutan rakyat di luar kawasan hutan; f. Ijin Bupati untuk pelaksanaan penebangan di luar batas kawasan hutan, untuk industri danatau masyarakat adat; g. Hutan kemasyarakatan HKm ijin hutan rakyat di hutan produksi di keluarkan oleh Dephut; h. HPH kecil ijin 5000 ha kayu hutan alam berlaku untuk 25 tahun, dikeluarkan oleh Bupati antara 27 Januari 1999 dan 8 Juni 2002 jika potensi kayunya masih ada; i. KDTI dikeluarkan oleh Dephut kepada Masyarakat Adat Pesisir, Krui, Lampung Barat; j. Konsesi Kopermas yang disahkan oleh Menteri Kehutanan dan atau dikeluarkan antara 27 Januari 1999 dan 8 Juni 2002; k. Impor yang sah; l. Lelang yang sah Petunjuk yang jelas harus disusun untuk mengidentifikasi pelelangan yang sah, untuk menghindari permainan pengesahan kayu ilegal. Sumber-sumber kayu yang dianggap tidak legal: a. Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung; b. Ijin Bupati di dalam kawasan hutan misalnya IPKTM, HPHH, IPPK yang diterbitkan setelah 8 Juni 2002; c. IPK HTI dengan stok tebangan 20m3; d. Konsensi Kopermas yang dikeluarkan oleh Pemrerintah Daerah setelah Desember 2004. Selanjutnya berdasarkan adanya kolusi antara petugas dengan pengusaha dalam rangka pengesahan Rencana Karya Tahunan RKT dengan cara melaporkan jumlah potensi tegangan tegak per blok lebih besar dari jumlah sebenarnya sehingga pemegang HPH memperoleh jatah tebang yang lebih besar dari yang seharusnya menurut Laporan Hasil Cruising LHC. Sebagai dampaknya potensi kerusakan hutan Mashudi : Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, 2009 USU Repository © 2008 produksi menjadi lebih besar, untuk itu diperlukan berbagai upaya untuk mencegahnya sebagai berikut: 93 1. Upaya-upaya preventif : a. Rencana Karya Tahunan RKT harus disusun berdasarkan potensi hutan yang sesungguhnya sesuai dengan hasil inventarisasi tegakan; b. Jatah tebang yang diberikan tidak boleh melebihi potensi hutan yang sesungguhnya untuk mencegah terjadinya over cutting dan penebangan di luar areal HPH; c. RKT harus disetujui oleh pemerintah setempat berdasarkan hasil evaluasi Laporan Hasil Cruising LHC yang dilakukan oleh instansi terkait; d. Pemerintah setempat harus menetapkan sanksi administrasi dan keuangan terhadap pelanggaran proses pengesahan RKT. 2. Upaya-upaya detektif : a. Meneliti hasil-hasil evaluasi LHC yang dilakukan instansi yang berwenang untuk mengetahui patensi hutan yang sesungguhnya; b. Membandingkan RKT yang telah disahkan dengan LHC yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan; c. Membandingkan laporan produksi perusahaan pemegang HPH dengan LHC; d. Pemeriksaan fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya over cutting , perambahan ke luar area yang ditetapkan, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Dalam pengajuan ijin baru maupun perpanjangan HPH, pengusaha yang bersangkutan harus melampirkan hasil pekerjaan pemotretan udara, pemetaan, inventarisasi hutan dan pemetaan batas areal kerja HPH. Pelaksanaan pemotretan dan pemetaan tersebut dapat dilaksanakan oleh pemegang HPH sendiri atau pihak ketiga. Dalam kenyataannya pemberi ijin baru dan perpanjangan ijin HPH tetap diberikan oleh aparat terkait kepada pemegang HPH walaupun hasil pekerjaan pemotretan dan pemetaan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini terjadi karena adanya kolusi antara aparat terkait dengan pengusaha HPH maupun pihak ketiga yang 93 Ibid Mashudi : Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, 2009 USU Repository © 2008 melaksanakan pekerjaan pemotretan dan pemetaan. Dengan ijin HPH tersebut pengusaha pemegang HPH dapat melaksanakan pengelolaan hutan tanpa memperhatikan potensi dan batas areal kerja HPH sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan hutan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah potensi menimbulkan kerusakan hutan sebagai berikut: 94 1. Upaya-upaya preventif : a. Adanya pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan ijin pengelolan hutan untuk mencegah adanya penebangan di luar areal kerja HPH dan adanya pelanggaran penebangan yang tidak memperhatikan TPTI; b. Adanya mekanisme pengecekan silang terhadap hasil pekerjaan pemotretan dan pemetaan yang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang yang independen; c. Adanya peraturan pengenaan sanksi terhadap aparat terkait dan pengusaha atas pelanggaran ketentuan perikatan perjanjian secara tegas dan pasti. 2. Upaya-upaya detektif : a. Melakukan penelitian terhadap ijin baru dan perpanjangan ijin HPH apakah telah didukung dengan data yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. Membandingkan hasil pemotretan dan pemetaan areal kerja HPH yang dilaksanakan oleh pihak ketiga dengan hasil foto dan pemetaan yang dilakukan oleh pihak berwenang yang independen; c. Melakukan pengecekan ke lapangan untuk mengetahui bahwa kayu yang ditebang telah sesuai dengan ketentuan TPTI dan areal kerja HPH tidak menyeberang ke areal kerja HPH yang lain. Disamping itu, adanya kolusi antara petugas dengan perusahaan pemegang HPH dengan membiarkan kegiatan penebangan hutan yang tidak memenuhi kriteriabatasan Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI sehingga mengakibatkan kerusakan hutan, untuk mengantisipasinya diperlukan berbagai upaya yakni: 95 1. Upaya-upaya preventif 94 Ibid 95 Ibid Mashudi : Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, 2009 USU Repository © 2008 a. Adanya ketentuan dan sanksi yang tegas bagi aparat terkait dan perusahaan pemegang HPH untuk melakukan penebangan hutan sesuai kriteria Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI; b. Adanya sistem pengawasan pada instansi terkait terhadap kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH; c. Adanya pengawasan dengan melibatkan masyarakat dan LSM di bidang lingkungan hidup atas kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH. 2. Upaya-upaya detektif a. Melakukan penelitian terhadap pencatatan dan pelaporan kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH untuk mengetahui apakah hasil penebangannya telah sesuai dengan kriteria Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI; b. Melakukan analisa terhadap berbagai laporan yang berkaitan dengan kegiatan penebangan hutan untuk mengetahui kemungkinan adanya hasil penebangan yang tidak sesuai ketentuan; c. Melakukan pengujian secara uji petik ke penampungan hasil penebangan dan bandingkan dengan pencatatan atau pelaporan kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH untuk mengetahui adanya hasil penebangan yang tidak dilaporkan atau tidak sesuai dengan kriteria Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI; d. Melakukan penelitian dengan cara sampling terhadap areal hutan bekas penebangan untuk mengetahui bahwa kayu yang ditebang telah sesuai dengan ketentuannya TPTI; e. Melakukan pengujian sampling melalui wawancara kepada penduduk setempat untuk mendapatkan informasi mengenai frekwensi pengiriman kayu hasil penebangan ke luar areal hutan. f. Perusahaan perkebunan besar swasta PPBS pemegang ijin pembukaan perkebunan yang telah mendapatkan pencadangan lahan ribuan hektar, namun tidak melakukan kegiatan sebagaimana mestinya sehingga banyak lahan yang terlantar, karena PPBS hanya mengambil kayunya saja. Hal ini terjadi karena adanya kolusi antara petugas dengan PPBS dalam pemberian ijin, sedangkan perusahaan yang bersangkutan tidak memenuhi syarat sebagai PPBS. 3. Upaya-upaya preventif: a. Menetapkan persyaratan-persyaratan yang memadai bagi PPBS untuk mendapatkan ijin pembukaan perkebunan dalam rangka melindungi lahanhutan dan menjaga kesinambungan operasi kerja PPBS; b. Menetapkan secara tegas batas hak dan kewajiban, wewenang dan sanksi atas penggunaan ijin pembukaan perkebunan; c. Instansi yang bertanggungjawab menetapkan peraturan untuk menolak semua bentuk investasi perkebunan yang akan menebang hutan di kawasan non budidaya kehutanan dan tidak menerbitkan hak pemanfaatan hasil hutan HPHH skala besar 100 hektar; Mashudi : Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, 2009 USU Repository © 2008 d. Memperketat pengawasan atas segala kegiatan PPBS di lapangan oleh Instansi terkait. 4. Upaya-upaya detektif a. Melakukan penelitian apakah persyaratan-persyaratan bagi PPBS untuk mendapatkan ijin pembukaan perkebunan telah cukup memadai untuk lahanhutan yang telah dibuka agar dapat terpelihara kembali termasuk batas hak dan kewajiban, wewenang dan sanksi yang dikenakan bagi PPBS yang melanggar; b. Melakukan penelitian apakah ijin pembukaan perkebunan untuk kawasan non budidaya kehutanan telah diberikan kepada PPBS hanya untuk lokasi lahanhutan dibawah 100 hektar; c. Melakukan penelitian apakah segala kegiatan PPBS di lapangan telah dilakukan pengawasan yang ketat oleh instansi terkait. B. Penanggulangan Melalui Kerjasama antara Stakeholder di bidang Kehutanan Perusakan hutan termasuk penebangan kayu di luar RKT meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan exploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi di semua lini tahapan produksi kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan, tahap pemprosesan dan tahap pemasaran; dan bahkan meliputi penggunaan cara-cara yang korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran keuangan, seperti penghindaran pajak. Pelanggaranpelanggaran juga terjadi karena kebanyakan batas-batas administratif kawasan hutan nasional, dan kebanyakan unit- unit hutan produksi yang disahkan secara nasional yang beroperasi di dalam kawasan ini, tidak didemarkasi di lapangan dengan melibatkan masyarakat setempat. Langka-langkah sebagai upaya untuk menanggulangi perusakan hutan didasarkan atas beberapa tahapan yakni dimulai dari tahapan langkah persiapan yang membangun kerangka kerja dan membuat pedoman untuk pemberantasan perusakan Mashudi : Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, 2009 USU Repository © 2008 hutan; langkah deteksi untuk pengumpulan dan analisa informasi, penyimpanan sampai penyingkapan informasi tentang penebangan kayu illegal, pemrosesan sampai ke pengangkutannya; langkah pencegahan dengan cara membuat rencana rasionalisasi industri perkayuan yang komprehensif termasuk kegiatan promosi kayu legal; sampai pada langkah penanggulangannya termasuk pembangunan kapasitas penegakan hukum, perbaikan perauturan perundangan yang menunjang proses penguatan hukum sampai pada tindakan akhir penghukuman pelaku kejahatan kehutanan. 96 Deteksi adalah pemantauan termasuk penyediaan informasi secara sistemik tentang tempat kejadian perusakan hutan, taksiran besarnya dampak dan tingkat kejahatannya. Informasi ini penting untuk merancang kebijakan dan pengembangan strategi untuk mencegah dan memberantas illegal logging. Pencegahan adalah upaya yang dilakukan untuk menghilangkan penyebab terjadinya illegal logging yang merupakan langkah jangka menengah dan panjang, melalui restrukturisasi dan rasionalisasi industri perkayuan secara komprehensif dan penegasan legalitas sumber kayu. Penanggulangan Supresi adalah upaya penegakan hukum, termasuk proses pengadilan kejahatan bagi mereka yang terlibat tindakan kejahatan di bidang kehutanan termasuk perdagangan dan pengangkutan kayu illegal, serta upaya untuk memberi efek jera. Memperkuat penegakan hukum juga akan memperbaiki tata kelola pengurusan hutan dan memberi kepastian hokum. Selain itu juga memperkuat 96 Ibid Mashudi : Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, 2009 USU Repository © 2008 kerangka kebijakan pengurusan bidang kehutanan dan sumberdaya alam dan meningkatkan upaya pengelolaan hutan secara lestari. Selama 3 tahun terakhir, telah dilakukan pembahasan yang mendetail mengenai perusakan hutan dengan melibatkan konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan stakeholder. Proses ini telah menghasilkan beberapa strategi pencegahan, deteksi dan penanggulangan yang dapat dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan untuk memberantas pembalakan liar dan meningkatkan penegakan hukum di Indonesia. Untuk menyempurnakan proses ini, beberapa kegiatan jangka pendek yang dapat diprioritaskan selama beberapa tahun ke depan telah diidentifikasi sebagai berikut: 97 1. Memonitor dan mempercepat proses pengadilan terhadap orang yang melakukan tindakan kejahatan kehutanan dan yang mengorganisasi serta membiayai kegiatan ilegal logging dalam skala yang besar sebagai tindakan ‘shock terapi’. Dalam hal ini Presiden secara langsung memerintahkan untuk menahan, memberikan sangsi administrasi dan atau pidana terhadap orang yang terbukti secara aktif memerintahkan, menebang, memproses atau mengangkut kayu ilegal. Sasaran untuk kegiatan ini termasuk: a. Polisi senior atau pejabat bea cukai atau pejabat yang berkompeten yang memerintahkan pemusnahan barang bukti tindak pidana kehutanan sebelum dilakukan proses pengadilan; b. Pimpinan Bos ”mafia hutan” yang sudah dikenal atau kegiatannya sudah diketahui secara luas berkaitan dengan tindakan kriminal di bidang kehutanan. c. Pemilik industri hasil hutan kayu dalam skala besar yang diketahui menggunakan kayu yang asal usulnya sulit dilacak atau kayu yang bermasalah; d. Bupati yang mengeluarkan ijin penebangan di dalam kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam termasuk hutan lindung; e. Gubernur atau Kepala Dinas Kehutanan Provinsi yang tidak memberlakukan perintah Menteri Kehutanan untuk menghentikan produksi di pabrik-pabrik yang dicurigai beroperasi secara ilegal atau bahkan melegalisir pemrosesan kayu ilegal; 97 Ibid Mashudi : Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, 2009 USU Repository © 2008 f. Petugas P2SKSHH yang mengeluarkan dokumen transportasi SKSHH untuk kayu ilegal. 2. Membentuk dengan segera sistim monitoring pelacakan kasus Case Tracking Monitoring System untuk memonitor kejahatan yang dilaporkan, melakukan investigasi kejahatan dan memantau proses jalannya pengadilan. 3. Memperbaiki komunikasi dan menyelesaikan perbedaan diantara berbagai pemangku kepentingan, terutama yang terkait dengan: a. Otoritas pemberi izin; b. Sumber-sumber kayu yang legal dan illegal; c. Kepemilikan hutan dan tanah; d. Hak adat atas hutan dan hasil-hasil tanah. 4. Meningkatkan kesadaran mengenai pengrusakan hutan di Indonesia dan secara internasional melalui berbagi media televisi, radio, suratkabar, dll. Selanjutnya menyangkut penegakan hukum oleh criminal juctice system terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dan berakibat menghambat proses penegakan hukum di bidang kehutanan khususnya pemberantasan penebangan kayu di luar RKT selama ini terutama dalam hal menindak pelaku aktor pemegang HPH dan IUPHHK yang menyalahgunakan izin pemanfaatan hutan secara melawan hukum. Hal ini dapat dikontruksikan dari proses penyidikan Polri sebagai berikut: 98 a. Keterlibatan aparat dinas terkait maupun aparat pemerintah setempat jelas merupakan hambatan yang cukup berarti. b. Dengan dukungan dana yang melimpah dan dilakukan oleh aktor yang memiliki net work yang sangat luas maka ada upaya-upaya yang dilakukan pelaku untuk mengaburkan danatau menghalangi proses penyidikan, sehingga menyulitkan penyidik melaksanakan tugasnya. c. Medan yang berat dan akses jalan yang minim ke lokasi adalah hambatan alami yang membutuhkan kesamaptaan jasmani yang prima dari setiapanggota penyidikpenyelidik. 98 Hasil wawancara dengan M. Butar-Butar, Penyidik pada Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara, tanggal 6 Januari 2009 Mashudi : Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, 2009 USU Repository © 2008 d. Ijin HPHIUPHHK kepada perusahaan terkait memberi payung hukum bahwa tindakan mereka dapat diarahkan kepada pelanggaran administratif. e. Masa penahanan yang terbatas memberi limit waktu penyidikan yang perlu diperhatikan oleh penyidik. f. Dukungan masyarakat setempat dan buruhpekerja perusahaan kepada pelaku illegal logging karena dianggap sebagai dewa penolong. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kurangnya kesadaran hukum masyarakat yang mencakup budaya hukum bahwa kejahatan illegal logging perlu diberantas dan sangat berdampak negatif. g. Kemungkinan interpretasi hakim dan penegak hukum lainnya yang beranggapan bahwa peristiwa ini bukan pidana namun hanyalah pelanggaran administratif belaka. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencan Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan hutan dan Penggunaan Kawasan hutan : 1 Pasal 86 : Apabila melanggar ketentuan diluar ketentuan Pidana sebagaimana diatur dalam pasal 78 Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dikenakan sanksi administratif. 2 Pasal 91 ayat 1 huruf b.4 : Pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK pada hutan alam dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 15 lima belas kali provisi sumber daya hutan PSDH terhadap volume kayu hasil tebangan yang dilakukan diluar blok tebangan yang di sahkan. h. Penebangan kayu didalam areal hak pengusahaan hutan HPH dan penebangan dilakukan diluar rencana kerja tahunan RKT yang disahkan merupakan pelanggaran Administrasi. Mashudi : Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, 2009 USU Repository © 2008

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN