Penegakan Hukum Pidana Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)

(1)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP USAHA PEMANFAATAN

HASIL HUTAN KAYU

(STUDI KASUS TERHADAP

PUTUSAN MARI NO 68 K/PID.SUS/2008 AN ADELIN LIS)

TESIS

OLEH

MANUMPAK BUTARBUTAR

097005110/HK

[

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP USAHA PEMANFAATAN

HASIL HUTAN KAYU

(STUDI KASUS TERHADAP

PUTUSAN MARI NO 68 K/PID.SUS/2008 AN ADELIN LIS)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

MANUMPAK BUTARBUTAR

097005110/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MARI NO 68 K/PID.SUS/2008 AN ADELIN LIS)

Nama Mahasiswa : Manumpak Butarbutar Nomor Pokok : 097005110

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS K e t u a

)

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (

A n g g o t a A n g g o t a

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

Ketua Program Studi, Dekan Fakultas Hukum,

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah Diuji Pada

Tanggal 19 Januari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS:

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

2. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH 3. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS


(5)

ABSTRAK

Usaha pemanfaatan hasil hutan dilaksanakan melalui pemberian izin. Pemberian izin dilakukan melalui suatu proses administrasi Negara yang melahirkan hak atau wewenang dan kewajiban. Esensi izin adalah memberikan perlindungan batas hak maksimal dan disana melekat kewajiban minimal. Pemanfaatan hasil hutan dilaksanakan dengan prinsip keadilan, kelestarian. Prinsip keadilan bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat secara adil, sedangkan prinsip kelestarian hutan adalah dengan menggunakan hak pemanfaatan hasil hutan tetapi tetap terjaga fungsi hutan itu secara lestari. Namun fakta membuktikan bahwa dimana ada izin usaha pemanfaatan hutan disana ada terjadi kolaborasi antara pemegang izin dengan pihak pengawas (administrasi negara) untuk menggunakan hak melebihi batas maksimal dan kewajiban minimal. Usaha pemanfaatan hutan tersebut seolah-olah sah/legal sesuai izin yang dimiliki dengan memanfaatkan kelemahan kelemahan instrumen regulasi dan supervisi. Dimana ada usaha pemanfaatan hutan justru disana terjadi ketidak lestarian hutan dan disanapula ada perampasan hak orang lain untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merusah hutan.

Eksistensi pasal 50 yo pasal 78 UU Kehutanan yang mengatur ketentuan pidana kehutanan dalam rangka menegakkan hukum kehutanan ditambah dengan pasal 80 ayat (1) (2) tentang penegakan hukum keperdataan tentang ketentuan ganti rugi dan sanksi administrasi, pasal 77 yang mengatur kewenangan PPNS seolah tidak berdaya untuk mempertahankan fungsi hutan secara lestari, justru degradasi kerusakan hutan semakin besar. Praktek penegakan hukum pidana kehutanan tidak sebatas menjatuhkan sanksi pidana kehutanan, akan tetapi harus di sinergitaskan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang guna menyelamatkan harta kekayaan negara (asset rocovery) dan melacak harta kekayaan pelaku (follow the money)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendala dalam penegakan hukum pidana terhadap usaha pemanfaatan hasil hutan kayu bersumber dari pasal 80 ayat (2) UU Kehutanan menimbulkan multi tafsir diantara penegak hukum “Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif”. Seolah-olah pelanggaran terhadap tindak pidana diluar ketentuan pidana dalam pasal 78 UU Kehutanan yang dilakukan oleh pemegang izin hanya dikenakan sanksi administrasi yang penjatuhan sanksinya hanya ada pada pihak Kehutanan dan pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan tentang “pemegang izin dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan”. Tentang kriteria kerusakan hutan belum dirumuskan secara jelas, sehingga menimbulkan multi tafsir karena tidak ada ukuran berdasarkan hukum. Untuk itu diperlukan revisi terhadap pasal 80 (2) UU Kehutanan dan penjelasan terhadap pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan untuk dijadikan pedoman dalam penegakan hukum pidana kehutanan.


(6)

ABSTRACT

The attempt to use forest products is implemented by giving the license through State administration process to produce the right or authority and obligation. The essence of license is to provide the protection of the limitation of maximal right and minimal obligation which is attached to it. The attempt to use forest products is implemented by the principles of using justice and conservation. The principle of justice is aimed at the people’s welfare which is just, and the principle of forest conservation is done by using the right to use forest products while the function of the forest itself is maintained. The reality, however, is that where there is a license for using forest products, there is collaboration between the concessionaires and the advisors (state administration) in using more than maximal limitation right and minimal obligation. The use of the forest products appears as if it is a valid/legal license by using the weaknesses of regulation and supervision instruments. Where there is the use of forest products, there is no forest conservation and deprivation of people’s rights in order to enrich themselves or other people by damaging the forest.

The existence of Article 50, in conjunction with Article 78 of Law on Forestry which stipulates criminal law on forestry in order to enforce law on forestry, plus Article 80, paragraph (1) and (2) on civil law enforcement in compensation and administrative sanction, Article 77 which stipulates the authority of PPNS seems powerless in maintaining the function of forest conservation; on the contrary, forest degradation becomes apparent. The practice of criminal law enforcement on forestry is not only by imposing forestry criminal sanction but by synergizing the criminal actions on corruption eradication and money laundering to save asset recovery of the state and to trace or follow the money.

The result of the research showed that the obstacles in enforcing criminal law in using wood forest products were found in Article 80, paragraph (2) of Forestry Law caused multi-interpretation among law enforcements“ Every business concessionaire of forest, concessionaire of environmental service, concessionaire of the use of forest productions, or concessionaire of collecting forest products as it is stipulated in legal provisions, who violates this criminal law as it is stipulated in Article 78, will be imposed by the administrative sanction.” It seems that the violation of criminal law other than of Article 78 of Law on Forestry done by concessionaires, will be imposed by administrative sanction by the Forestry officials only. Article 50, paragraph (2) of Law on Forestry on “a concessionaire is prohibited to do any action which will damage forest.” Meanwhile, the criteria of forest damage have not yet been formulated clearly so that it causes multi-interpretation because there is no legal based standard. Therefore, revision on Article 80 (2) of Law on Forestry and the explanation of Article 50, paragraph (2) of Law on Forestry to be used as guidance in enforcing criminal law in forestry.


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, dan lindungan serta karunia-Nya, dengan perantaraan Putra-Nya Jesus Kristus memberikan kesehatan, kesempatan dan kemudahan dalam mengerjakan dan menyelesaikan Tesis ini dengan judul “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)” .

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi Tesis ini jauh dari sempurna, untuk itu, dengan hati yang tulus mohon dimaafkan dan penulis menghendaki masukan serta dan tanggapan para pembaca guna perbaikan dan penyempurnaannya.

Dalam mengerjakan dan menyelesaikan Tesis ini, penulis tidak terlepas dari bimbingan, arahan, dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu, pada kesempatan yang baik dan bersejarah ini, dari hati yang paling tulus dan sunguh-sungguh, penulis menyampaikan Rasa hormat dan mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang tidak dapat saya tuliskan satu-persatu, khususnya kepada:

1. Prof. Dr. Syahril Pasaribu., DTMH., MSc selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, (CTM), SpA(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.

2. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas yang arahan dan bimbingan selama mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum.


(8)

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku pembimbing, atas segala arahan dan dorongan yang diberikan selama menuntut ilmu di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr., Alvi Syahrin, SH., MS., sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan ide-ide dan memotivasi serta membimbing penulis dalam penulisan Tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr., Bismar Nasution, SH., MH., sebagai Dosen Pembimbing III yang telah memotivasi dan membimbing penulis dalam penulisan Tesis ini.

6. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS, dan Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM selaku penguji yang telah memberikan masukan dan memotivasi serta membimbing penulis dalam penulisan Tesis ini.

7. Bapak dan Ibu Guru Besar dan Dosen serta staf Tata Usaha Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu selama penulis menjalani studi.

8. Bapak Kombes Pol. Drs. Agus Andrianto, SH, sebagai Direktur Dit Reskrim Polda Sumut yang telah memberikan kesempatan dan motivasi mengikuti studi di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Ayahanda saya Adrianus Butar Butar (Almarhum) dan Ibunda saya Kornelia br Hasibuan (Almarhumah) yang semasa hidupnya selalu mendoakan dan mendorong saya untuk menuntut ilmu pengetahuan.


(9)

10.Ibu Mertua yang tercinta, yang selalu mendoakan dan mendorong, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini.

11.Istri saya Nurcahaya br Hutabarat, SPd, dan seluruh anak-anak, menantu serta cucu saya yang dengan gigih mendorong seraya mendoakan saya untuk menyelesaikan studi di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan menyelesaikan Tesis ini.

12.Sahabat sahabat Mahasiswa di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu mengingatkan dan mendorong saya untuk menyelesaikan Tesis ini.

Akhirnya semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penegakan hukum kehutanan di Indonesia dan kiranya Tuhan yang Maha Kuasa memberkati kita semua, amin.

Medan, Desember 2011

Penulis

M. Butar Butar


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI:

NAMA : MANUMPAK BUTAR BUTAR,Sst.Mk, SH,MH

TEMPAT LAHIR : MAROM

PANGKAT/ NRP : AKBP / 59030552

TGL.LAHIR : 03 Maret 1959

JABATAN : KASUBBID TEKKOM BID

SUKU BANGSA : BATAK

AGAMA : KRISTEN

II. PENDIDIKAN:

DIK UMUM DIK POLRI

1.

DIK / SUS

SD 1972 1. SECABA 1981 1. BADAS SERSE 1981

2. SMP 1975 2. SECAPA 1991 2. PADAS SERSE 1993

3. STM 1978 3. SELAPA 2001 3. PALAN SERSE TIK 1999

4. D4 Jemen Kepol 2001 5. PT Fak Hukum 2009 6. Prodi Magister

Ilmu Hukum 2012

III. TMT KEPANGKATAN :

1. SERDA : 26 JANUARI 1981

2. SERTU : 26 JANUARI 1984

3. SERKA : 01 APRIL 1987

4. CAPA : 20 MARET 1991

5. LETDA POL : 15 APRIL 1992

6. LETTU POL : 01 APRIL 1996

7. KAPTEN POL : 01 APRIL 1998

8. KOMPOL : 01 JULI 2002

9. AKBP : 01 JULI 2007

IV. RIWAYAT JABATAN:

NO. RIWAYAT PENUGASAN:

1. 1981 / 1983 BA RESERSE POLRES METRO JAKUT

2. 1983 / 1989 BA RESERSE POLSEK METRO PENJARINGAN

3. 1989 / 1990 BA RESERSE POLSEK METRO PADEMANGAN

4. 1990 / 1991 DIK SECAPA POLRI DIK REG XVIII / PAMAPTA POLRES BANGKA

5. 14- 09- 1991 KAPOLSEK JEBUS POLRES BANGKA

6. 31-10 –1991 KAPOLSEK BELINYU POLRES BANGKA

7. 10 -09- 1993 KAPOLSEK SUNGAI LIAT POLRES BANGKA


(11)

9. 10-09- 1998 KAPUSKODAL OPS POLRES BELITUNG 10. 11-08- 1999 KAPUSKODAL OPS POLRES BANGKA 11. 2000/ 2001 DIK SELAPA POLRI DIK REG XXVIII

12. 2001 / 2003 KASUBBAG BIN MIN PUSKODAL OPS POLDA SUMUT

13. 2003 / 2003 KASUBBAG BIN OPS BAG NARKOBA DIT RESKRIM POLDA SUMUT

14. 2003 / 2006 KANIT II SAT IV / TIPITER DIT RESKRIM POLDA SUMUT

15 2006 / 2011 KASAT IV/TIPITER DITRESKRIM POLDA SUMUT

16. 2008 /2010 PENGAWAS PENYIDIK PADA DIT RESKRIM POLDA SUMUT

17. 2008 /2010 KASUB SATGAS SIDIK TEAM AD HOC POLRI DAN BPN DALAM

PENANGANAN KASUS PERTANAHAN DI WILAYAH SUMATERA UTARA

18. 2011 / 2011 KASUBDIT IV/SUMDALING DITRESKRIMSUS POLDA SUMUT


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitan ... 7

F. Kerangka Teori dan Konsep... 8

G. Metode Penelitian ... 18

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANATERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN, PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU ... 24

A. Pengaturan hukum pidana materil terhadap tindak pidana kehutanan, khususnya pemanfaatan hasil hutan... 28

B. Pengaturan Hukum Pidana Formil Terhadap Tindak Pidana Kehutanan ... 59

BAB III PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU DALAM KASUS ADELIN LIS ... 66


(13)

B. Penegakan Hukum Pidana dalam Kasus Adelin Lis ... 74

C. Putusan PN. Medan ... D. Putusan MA RI ... 173

E. Eksekusi Oleh Jaksa/Penuntut Umum ... 181

BAB IV HAMBATAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU DALAM KASUS ADELIN LIS ... 183

A. Substansi Hukum ... 185

B. Struktur Hukum ... 193

C. Budaya Hukum ... 200

BAB V PENUTUP ... 205

A. Kesimpulan ... 205

B. Saran ... 210

DAFTAR PUSTAKA ... 213


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Data Perbandingan SKSHH dengan hasil Pengukuran Ahli ... 72


(15)

ABSTRAK

Usaha pemanfaatan hasil hutan dilaksanakan melalui pemberian izin. Pemberian izin dilakukan melalui suatu proses administrasi Negara yang melahirkan hak atau wewenang dan kewajiban. Esensi izin adalah memberikan perlindungan batas hak maksimal dan disana melekat kewajiban minimal. Pemanfaatan hasil hutan dilaksanakan dengan prinsip keadilan, kelestarian. Prinsip keadilan bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat secara adil, sedangkan prinsip kelestarian hutan adalah dengan menggunakan hak pemanfaatan hasil hutan tetapi tetap terjaga fungsi hutan itu secara lestari. Namun fakta membuktikan bahwa dimana ada izin usaha pemanfaatan hutan disana ada terjadi kolaborasi antara pemegang izin dengan pihak pengawas (administrasi negara) untuk menggunakan hak melebihi batas maksimal dan kewajiban minimal. Usaha pemanfaatan hutan tersebut seolah-olah sah/legal sesuai izin yang dimiliki dengan memanfaatkan kelemahan kelemahan instrumen regulasi dan supervisi. Dimana ada usaha pemanfaatan hutan justru disana terjadi ketidak lestarian hutan dan disanapula ada perampasan hak orang lain untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merusah hutan.

Eksistensi pasal 50 yo pasal 78 UU Kehutanan yang mengatur ketentuan pidana kehutanan dalam rangka menegakkan hukum kehutanan ditambah dengan pasal 80 ayat (1) (2) tentang penegakan hukum keperdataan tentang ketentuan ganti rugi dan sanksi administrasi, pasal 77 yang mengatur kewenangan PPNS seolah tidak berdaya untuk mempertahankan fungsi hutan secara lestari, justru degradasi kerusakan hutan semakin besar. Praktek penegakan hukum pidana kehutanan tidak sebatas menjatuhkan sanksi pidana kehutanan, akan tetapi harus di sinergitaskan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang guna menyelamatkan harta kekayaan negara (asset rocovery) dan melacak harta kekayaan pelaku (follow the money)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendala dalam penegakan hukum pidana terhadap usaha pemanfaatan hasil hutan kayu bersumber dari pasal 80 ayat (2) UU Kehutanan menimbulkan multi tafsir diantara penegak hukum “Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif”. Seolah-olah pelanggaran terhadap tindak pidana diluar ketentuan pidana dalam pasal 78 UU Kehutanan yang dilakukan oleh pemegang izin hanya dikenakan sanksi administrasi yang penjatuhan sanksinya hanya ada pada pihak Kehutanan dan pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan tentang “pemegang izin dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan”. Tentang kriteria kerusakan hutan belum dirumuskan secara jelas, sehingga menimbulkan multi tafsir karena tidak ada ukuran berdasarkan hukum. Untuk itu diperlukan revisi terhadap pasal 80 (2) UU Kehutanan dan penjelasan terhadap pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan untuk dijadikan pedoman dalam penegakan hukum pidana kehutanan.


(16)

ABSTRACT

The attempt to use forest products is implemented by giving the license through State administration process to produce the right or authority and obligation. The essence of license is to provide the protection of the limitation of maximal right and minimal obligation which is attached to it. The attempt to use forest products is implemented by the principles of using justice and conservation. The principle of justice is aimed at the people’s welfare which is just, and the principle of forest conservation is done by using the right to use forest products while the function of the forest itself is maintained. The reality, however, is that where there is a license for using forest products, there is collaboration between the concessionaires and the advisors (state administration) in using more than maximal limitation right and minimal obligation. The use of the forest products appears as if it is a valid/legal license by using the weaknesses of regulation and supervision instruments. Where there is the use of forest products, there is no forest conservation and deprivation of people’s rights in order to enrich themselves or other people by damaging the forest.

The existence of Article 50, in conjunction with Article 78 of Law on Forestry which stipulates criminal law on forestry in order to enforce law on forestry, plus Article 80, paragraph (1) and (2) on civil law enforcement in compensation and administrative sanction, Article 77 which stipulates the authority of PPNS seems powerless in maintaining the function of forest conservation; on the contrary, forest degradation becomes apparent. The practice of criminal law enforcement on forestry is not only by imposing forestry criminal sanction but by synergizing the criminal actions on corruption eradication and money laundering to save asset recovery of the state and to trace or follow the money.

The result of the research showed that the obstacles in enforcing criminal law in using wood forest products were found in Article 80, paragraph (2) of Forestry Law caused multi-interpretation among law enforcements“ Every business concessionaire of forest, concessionaire of environmental service, concessionaire of the use of forest productions, or concessionaire of collecting forest products as it is stipulated in legal provisions, who violates this criminal law as it is stipulated in Article 78, will be imposed by the administrative sanction.” It seems that the violation of criminal law other than of Article 78 of Law on Forestry done by concessionaires, will be imposed by administrative sanction by the Forestry officials only. Article 50, paragraph (2) of Law on Forestry on “a concessionaire is prohibited to do any action which will damage forest.” Meanwhile, the criteria of forest damage have not yet been formulated clearly so that it causes multi-interpretation because there is no legal based standard. Therefore, revision on Article 80 (2) of Law on Forestry and the explanation of Article 50, paragraph (2) of Law on Forestry to be used as guidance in enforcing criminal law in forestry.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kehutanan suatu sistem pengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Pemanfaatan hutan dan hasilnya bertujuan untuk mensejahterakan seluruh masyarakat secara berkeadilan (tidak dinikmati oleh perorangan, kelompok atau golongan), melainkan harus didistribusikan secara berkeadilan untuk dinikmati masyarakat luas dengan tetap menjaga fungsi hutan secara lestari.(vide pasal 1, 2 pasal 23 dan penjelasannya UU Kehutanan).

Hutan yang berfungsi produksi (hutan produksi) adalah kawasan hutan yang ditumbuhi oleh pepohonan keras yang perkembangannya selalu diusahakan dan dikhususkan untuk dipungut hasilnya, baik berupa pohon kayu maupun hasil-hasil sampingan lainnya, seperti getah, damar, akar, dan lain-lain.1

Hutan yang didominasi unsur pepohonan (pohon kayu), dikaitkan dengan kemanfaatan dan peranan hutan, maka pohon kayu berfungsi sebagai modal pembangunan nasional baik manfaat ekologi, sosial budaya, maupun manfaat ekonomi serta sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global yang saling keterkaitan dengan dunia Internasional, maka unsur pohon kayu dalam pengertian

1


(18)

hutan memiliki nilai kemanfaatan dan peranannya yang sangat besar dan strategis. 2

Namun pada sisi lain di Irian, Kalimantan, di Sumatera dalam angka kuantitatif terjadi deforestasi jutaan hektar setiap tahunnya melalui: konversi hutan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit, untuk pertambangan dan akibat illegal logging.

Berkaitan dengan hutan produksi, Indonesia telah membangun kurang lebih 64,3 juta hektar atau 33% dari luas kawasan hutan yang ada untuk mempertahankan fungsi hutan produksi sejak tahun 2001.

3

Khusus di wilayah Sumatera Utara telah terjadi deforestasi puluhan ribu hektar setiap tahunnya melalui: konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, untuk pertambangan dan akibat illegal logging ratusan ribu meter kubik kayu berbagai jenis setiap tahunnya yang berasal dari hutan lindung, hutan konservasi dan atau hutan produksi tanpa hak dengan menyalahgunakan izin yang diperoleh dari pejabat yang berwenang berupa Hak Penguasaan Hutan (HPH) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-Alam), adanya penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) pada hutan alam, adanya penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Kayu Tanaman Masyarakat (IPKTM) dan Izin Pemungutan Kayu (IPK) pada hutan produksi, pada hutan lindung

2

Undang-undang Kehutanan dan Perubahannya, Op. Cit, hal 37, tentang penjelasan umum UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan.

3

Diakses tanggal 14 Desember 2010 pkl 12.00 wib d 20071122783/deforestasi-illegal-logging.html “Deforestasi dan Illegal Logging”.


(19)

dan hutan konservasi 4. Puluhan kasus perambahan dan pendudukan kawasan hutan Mangrove di Propinsi Sumatera Utara untuk dialih fungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit dan lahan pertambakan udang. 5

Usaha dan/atau kegiatan pengalihan fungsi hutan, pemanfaatan hasil hutan, perambahan dan pendudukan kawasan hutan tersebut telah menimbulkan kerusakan hutan (kerusakan ekologi), kerugian negara dengan nilai mencapai ratusan miliaran rupiah, 6 dan terjadi pengalihan fungsi pokok hutan produksi, lindung dan konservasi menjadi perkebunan mencapai ribuan hekar yang selalu berlindung dibalik campur tangannya administrasi negara selaku pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan kebijakan publik; ribuan mater kubik kayu dari hutan alam berbagai jenis disita, hilangnya hak-hak negara berupa PSDH dan DR bernilai ratusan miliaran rupiah, dan sebagainya. 7

Data hasil penyidikan pada penyidik Polri Polda Sumut dan jajarannya khusus kasus pemanfaatan hasil hutan kayu secara illegal (illegal logging) pada periode lima tahun terakhir (2006-2010) ada 1.210 ( seribu dua ratus sepuluh) kasus, yang dapat diselesaikan pada tingkat penyidikan dan diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebanyak 654 (enam ratus lima puluh empat) kasus, atau 54,04%, dengan barang bukti kayu bulat dan olahan dari berbagai jenis sebanyak ±12.966 M³, sebagian besar

4 Data dari Sat IV/Tipiter Direktorat Reskrim Polda Sumut periode tahun 2005-2010. Dan

data diakses melalui

5

Laporan Penelitian Pengegakan Hukum Terhadap Perusakan Ekosistem Hutan Mangrove, Direktorat Penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi Kepolisian (PTIK) Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 2009, hal 37-60.

6

Loc Cit Data dari Sat IV/Tipiter Direktorat Reskrim Polda Sumut periode tahun 2005-2010 dan hasil penelitian “Bambang Hero”, IPB Bogor

7


(20)

telah dilelang dengan nilai lelang Rp. 6.251.171.350 (enam miliar dua ratus lima puluh satu juta seratus tujuh puluh satu ribu tiga ratus lima puluh rupiah). Dari sejumlah kasus tersebut, ada 22 (dua puluh dua) kasus dengan dengan latar belakang memiliki izin dalam bentuk IUPHHK dan IPKTM diputus bervariasi, ada yang terbukti secara sah dan meyakinkan, ada yang terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan atau bebas murni (vrijspraak), dan ada putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging). Pertimbangan hukum dalam putusan bebas, yaitu karena telah memiliki izin, belum dilakukan penata batasan kawasan hutan sehingga tidak ada kepastian hukum atas batas-batas kawasan hutan dan non kawasan hutan.

Khusus dalam kasus an Terdakwa ADELIN LIS selaku Direktur Keuangan /umum PT.KNDI yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam hal pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dalam hutan produksi dengan fasilitas negara dalam bentuk IUPHHK diputus bebas (vrijpraak) di PN. Medan dengan pertimbangan, bahwa PT. KNDI ada memiliki izin , maka oleh karenanya seandainya ada melakukan “perbuatan melawan hukum, yakni tidak melakukan kewajiban hukumnya, hanya dikenakan sanksi administrasi berdasarkan PP. No. 34 tahun 2002”.8

8

Putusan PN Medan an. Adelin Lis No: 2240/Pid.B/2007/PN. Medan, tanggal 05 Nopember 2007 dan Surat Menhut RI nomor: S.613/Menhut-II/2006 tanggal 27 Septermber 2006.

Sementara itu dalam dakwaan JPU mendalilkan bahwa “perbuatan melawan hukum” tidak sama atau identik dengan tindak pidana atau perbuatan pidana oleh karena yang dimaksud dengan melawan hukum adalah suatu kewajiban atau larangan


(21)

yang ditetapkan oleh suatu peraturan tertulis dan apabila tidak dilaksanakan atau dilanggar maka mengakibatkan suatu tindak pidana, misalnya perbuatan “mark up”, dan perbuatan “tidak sesuai dengan bestek”.9 Oleh karena itu JPU menempuh upaya kasasi. Pertimbangan hukum dalam putusan MARI tentang pengertian” perbuatan melawan hukum” menggunakan yurisprudensi perkara Lindenbaum Cohen tahun 1919, bahwa perbuatan melawan hukum meliputi perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku, MARI: mendalilkan “bahwa pelanggaran hukum administrasi negara termasuk dalam kwalifikasi bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, yang merupakan salah satu kriteria suatu perbuatan melawan hukum”.10

Dalam hal pengenaan “sanksi administratif”, JPU berdasarkan ketentuan pasal 80 ayat (2) UU Kehutanan menyatakan: “Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif”.

Terjadi multi tafsir dalam penegakan hukum pidana kehutanan oleh karenanya peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan

9

Memori Kasasi JPU akta Nomor: 85/Akta.Pid / 2007/PN.Mdn tanggal 27 Nopember 2007, hal 109

10


(22)

MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)” sangat penting untuk diteliti, walaupun sudah ada penelitian-penelitian sebelumnya terhadap putusan tersebut.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dirumuskan permasalahan untuk dijawab dalam penelitian, sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan, khususnya pemanfaatan hasil hutan kayu ?

2. Bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kasus Adelin Lis ?

3. Apa hambatan dalam penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kasus Adelin Lis ?

C. Tujuan penelitian

Berdasarkan pada pokok permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang:

1. Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan, khususnya pemanfaatan hasil hutan kayu.

2. Penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kasus Adelin Lis.

3. Hambatan dalam penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kasus Adelin Lis.


(23)

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun untuk praktis, yaitu:

1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian lanjutan, serta menambah kepustakaan.

2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi khususnya dalam proses penegakan hukum pidana (law in action) terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dan para pelaku usaha pemanfaatan hasil hutan kayu.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berkaitan dengan kasus Adelis Lis sudah pernah dilakukan oleh mahasiswa magister ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas nama Marsudi, dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan” dan permasalahan: pertama, Apakah penebangan kayu diluar RKT bagi pemilik IUPHHK memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dalam UU kehutanan ?; kedua, Bagaimanakah pertanggung jawaban pidana penebangan pohon diluar RKT bagi pemegang IUPHHK?; Ketiga, bagaimana penanggulangan penebangan pohon diluar RKT bagi pemegang IUPHHK? Sedangkan atas nama Robet Kennedy, dengan judul “ Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya


(24)

Penanggulangan Money Laundering: Studi Kasus Adelin Lis (Direksi PT Keang Nam Development Indonesia)” dengan permasalahan: Pertama, bagaimana pengaturan hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana kehutanan dan money laundering di Indonesia?; kedua, Bagaimana pertanggung jawaban pelaku tindak pidana kehutanan dalam kasus Adelin Lis, atau direksi PT KNDI?; Ketiga, bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kehutanan dalam upaya menanggulangi money laundering? 11

Keduanya memiliki rumusan permasalahan yang berbeda, sedangkan permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian lanjutan ini juga berbeda dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini juga menjunjung tinggi kode etik penulisan karya ilmiah, oleh karena itu, penelitian ini adalah benar keasliannya baik dilihat dari judul, permasalahan, pembahasannya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Untuk menjawab permasalahan di muka, maka dalam penelitian ini, digunakan teori sistem hukum sebagai pisau analisisnya yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, yang memandang hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub-sistem, yakni substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum 12

11

website perpustakaan USU Program Magister Ilmu Hukum http://repository.usu.ac.id/ . Alasan penggunaan teori ini didasarkan pada pandangan bahwa pembahasan terhadap penegakan hukum

12

Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Terjemahan M. Khozim, Bandung, 2009, hal 12.


(25)

pidana kehutanan, khususnya dalam pemanfaatan hasil hutan kayu tidak dapat dianalisis hanya secara parsial, akan tetapi harus secara komprehensip atau secara utuh dan sistemis, pembahasan dimulai dari aspek substansi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana kehutanan, termasuk instrumen pemanfaatan hasil hutan kayu, terhadap aspek struktur hukumnya meliputi lembaga penegak hukum kehutanan mulai dari penyidik (Polri, PPNS Kehutanan), jaksa penuntut umum, hakim, pengacara, termasuk instrumen (manusia) yang terkait dengan perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu yang belum sinergi, dan aspek kultur hukumnya, yakni budaya hukum penegak hukum yang kurang konsisten dalam penegakan hukum pidana kehutanan terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu karena dipengaruhi faktor kepentingan, seperti suap.

Perumusan masalah tersebut, diangkat dari studi kasus dalam penegakan hukum pidana kehutanan, yakni UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan, yang diubah dengan UU No 19 tahun 2004, tentang penetapan Perpu No 1 tahun 2004, tentang perubahan atas UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan, khususnya penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dengan IUPHHK dari Menteri Kehutanan RI: SK Menhut RI No. 805/Kpts-VI/1999, tanggal 30 September 1999 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) berdasarkan putusan MARI No 68 K/PID.SUS/2008, an Adelin Lis selaku direktur keuangan PT Keang Nam Development & Co (PT KNDI) dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan illegal logging pada kawasan hutan produksi tetap di Desa Singkuang, Kec. Muara Batang Gadis, Kab Madina, Propinsi


(26)

Sumatera Utara. Adelin Lis dipidana Penjara 10 tahun dan wajib membayar uang sebesar Rp.119.802.393.040 dan US$ 2.938.556,24 13

(1) Substansi hukum pasal 80 ayat (1) (2) UU kehutanan menetapkan ganti rugi dan sanksi administrasi apabila pemegang IUPHHK melanggar ketentuan pidana diluar pasal 78, yakni:

. Persoalan-persoalan yang timbul dari rumusan permasalahan diasumsikan sebagai berikut:

Ayat (1) “Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biayarehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan”

Ayat (2) “Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.”

Penetapan rumusan ini menimbulkan multi tafsir dan kontroversial terhadap prinsip-prinsip dan cita-cita pengaturan kehutanan termasuk penegakan hukum pidana kehutanan itu sendiri.

Timbulnya multi tafsir dan kontroversial diantara penegak hukum berdasarkan fakta hukum dalam kasus Adelin Lis, yakni :

1). Terbitnya surat Menhut RI No.S.613/Menhut-II/2006, tanggal 27 September 2006 yang menyatakan bahwa “penebangan diluar RKT

13

Diakses terakhir tanggal 30 Juli 2011, melalui- putusan/ 12fe57d986ae4d4b34603935ed40720a


(27)

dipandang sebagai pelanggaran administratif dan bukan merupakan perbuatan pidana”;14

2). Jaksa Penuntut Umum menuntut dengan pidana kehutanan, dan pidana korupsi;

3). Judex facti memutuskan putusan bebas (vrijpraak), akan tetapi pada putusan kasasi membatalkan putusan tersebut dengan putusan

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan kehutanan.

(2) Peluang multi tafsir atas sanksi dalam pasal 78 terhadap pasal 80 ayat (2) UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan, timbul hambatan dalam penegakan hukumnya, terutama pelaksanaan eksekusi, baik terhadap Adelin Lis tidak dapat dilakukan karena setelah putusan bebas oleh PN Medan yang bersangkutan melarikan diri dan saat penelian status Daftar Pencarian orang (DPO) maupun pelaksanaan eksekusi terhadap harta kekayaannya untuk membayar uang pengganti oleh Jaksa Penuntut Umum belum dapat dilakukan.

Lawrence M. Friedman membagi sistem hukum kedalam tiga subsistem, yakni substansi, struktur dan kultur hukum/budaya hukum 15

14

Putusan Yudex Facti tersebut telah dianulir dengan putusan MARI No 68/PIDSUS/2008 hal 252 memutuskan: 1) Bahwa Menhut tidak mempunyai kompetensi untuk menyatakan suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau tindakan administratif; 2) Bahwa yang berwenang menyatakan apakah suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana adalah hakim; 3) Bahwa tindakan hakim yang membenarkan isi kedua surat tersebut adalah suatu pembenaran bagi lembaga lain selain pengadilan untuk bertindak sebagai hakim.


(28)

Substansi hukum adalah aturan, norma, peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berada dalam sistem hukum itu. Substansi hukum tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam kitap-kitab hukum (law in books), 16 tetapi juga pada tataran hukum yang hidup (living law) 17

Struktur hukum adalah agensi-agensi, organ-organ, pejabat-pejabat, badan dan lembaga yang mengawasi peraturan hukum dan melaksanakan fungsi struktural tersebut yang diawasi dengan sebuah sistem pengawasan yang memadai

yakni “produk” berupa keputusan-keputusan administrasi negara yang dihasilkan oleh pejabat publik dalam lingkup sistem hukum itu, misalnya surat keputusan.

18

Kultur hukum (budaya hukum) lahir dari sejumlah fenomena yang saling berkaitan. Pertama, dari pemahaman publik mengenai pola-pola sikap dan perilaku terhadap sistem hukum antara seorang ke orang lain akan berbeda, misalnya apakah pengadilan itu telah adil?, kapan orang-orang bersedia menggunakan pengadilan?, unsur hukum mana yang sah (ligitimate), bagaimana pemahaman mereka mengenai hukum? Kedua, satu jenis kultur hukum kelompok, yakni kultur hukum para

. Setiap peraturan perundang-undangan harus mempunyai lembaga pengawas dan berfungsi untuk menegakkan undang-undang. Lembaga pengawas ditetapkan pada pasal 59 sampai pasal 64 dalam UU Kehutanan, yakni pemerintah pusat, daerah dan masyarakat.

15

Lawrence M. Friedman. “American Law An Introduction,” (Secon Edition), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,Jakarta: Tata Nusa, 2001), hal 7.

16 Ibid hal 7 17

Ibid hal 8 18

Lawrence M. Friedman. “American Law An Introduction,” (Secon Edition), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,Jakarta: Tata Nusa, 2001), hal 7.


(29)

profesional hukum bisa meliputi persoalan-persoalan kepercayaan, nilai, pemikiran dan harapan manusia terhadap hukum dan sistem hukum, dan prinsip-prinsip para pengacara, hakim dan lain-lainnya yang bekerja dalam lingkaran ajaib sistem hukum 19

. Budaya hukum dapat diartikan pula sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum sangat dipengaruhi oleh “sub-budaya hukum” berdasarkan ras, seperti orang kulit putih, kulit hitam, berdasarkan agama, yakni Katholik, Protestan, Yahudi, Polisi, Penjahat, Penasehat hukum, Pengusaha dan lain sebagainya. Sub-budaya hukum yang sangat menonjol dan sangat berpengaruh terhadap hukum adalah budaya dari “orang dalam” (insiders) yaitu hakim, dan mereka yang terlibat bekerja dalam sistem hukum itu 20

Selain menggunakan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, juga menggunakan teori hukum pembuktian untuk menjawab permasalahan penegakan hukum dari perpektif hukum pembuktian mulai pada tahap penyidikan sampai pada proses pemeriksaan sidang pengadilan hingga putusan hakim atas perkara Adelin Lis berkekuatan hukum yang tetap (inkracht).

.

2. Kerangka Konsepsi (Definisi Operasional)

Dalam melakukan penelitian tesis ini, dijelaskan beberapa istilah sebagai definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan, yaitu:

19

Ibid Lawrence M. Friedman. “Sistem Hukumperspektif ilmu sosial”, Penterjemah: M. Khozim, diterjemahkan dari buku Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York: Russel Sage Fundation, 1975),Bandung, Nusa Media, 2009, hal 254-255

20

Lawrence M. Friedman. “American Law An Introduction,” (Secon Edition), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,Jakarta: Tata Nusa, 2001), hal 10


(30)

a) Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum atau “penerapan hukum” adalah pelaksanaan penegakan hukum secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari terhadap pelanggaran hukum. Dalam bahasa asing (Belanda: Rechtdtoepassing, rechtshandhaving; dan Amerika: Law enforcement, application); 21 Peradilan adalah proses mengadili, yaitu pada saat hakim memeriksa dan mengadili suatu perkara. Hakim memeriksa kenyataan yang terjadi, dan menghukuminya dengan peraturan yang berlaku. Hasil akhir proses peradilan adalah putusan pengadilan atau putusan hakim. 22 Yang dimaksud penegakan hukum dalam penelitian ini adalah suatu proses penegakan hukum pidana dengan hukum formal yang dirumuskan dalam hukum formal, yakni: kitab undang-undang hukum acara pidana, yakni UUNo. 8 tahun 1981, tentang KUHAP, yang lebih dikenal dengan administrasi keadilan (administration of justice); 23

21

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal 181

dan ketentuan formal yang melekat pada undang-undang yang bersangkutan, contoh: Pasal 78 ayat (14) (15) UU Kehutanan, yang menetapkan: tentang pertanggung jawaban tindak pidana dijatuhkan pada pengurusnya dan hak/wewenang penegak hukum dalam mengurus barang bukti dengan merampas untuk Negara atas “semua hasil hutan (corpora delicti ) dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat angkutnya (instrumental delicti) yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran” dan pasal 79 ayat (1) UU Kehutanan, yang menetapkan hak/wewenang penegak hukum melelang untuk Negara atas “kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa

22

Ibid hal 182

23


(31)

temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran dan hukum pidana formal lainnya yang terkait terhadap penegakan hukum materiil.

b) Hukum Pidana: Menurut Moeljatno 24

“Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1). Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut atau disebut perbuatan pidana (criminal act). 2). Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan atau Pertanggungjawaban hukum pidana (criminal liability

atau criminal responsibility) 3). Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

(a) Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, kita menganut asas yang dinamakan asas legalitas (principles of legality), yakni asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang (pasal 1 ayat 1 KUHP) atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada dan berlaku bagi terdakwa (pasal 4 ayat (2) UUDS dahulu) sebelum orang dapat dituntut untuk dipidana karena perbuatannya.

(b) Barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam dengan pidana. Akan tetapi ini belum berarti bahwa tiap-tiap orang yang melakukan perbuatan tersebut lalu mesti dipidana. Sebab untuk memidana seseorang disamping melakukan perbuatan yang dilarang, dikenal asas yang berbunyi: “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.” Dalam bahasa belanda “Geen straf zonder schul.” Jerman: “Keine Straf ohne Schuld.” Dalam hukum pidana Inggris asas dikenal dalam bahasa Latin yang berbunyi: “Actus non facit, nisi mens sit rea. (An act does not make a person guilty, unless the mind is guilty). Asas tersebut tidak kita dapat dalam KUHP sebagaimana halnya dengan asas legalitas. Juga tidak ada dalam lain-lain perundangan. Asas ini adalah asas yang ada dalam hukum yang tidak tertulis, yang hidup dalam anggapan masyarakat dan yang tidak kurang mutlak berlakunya daripada asas yang tertulis dalam perundangan. Buktinya ialah, andaikata ada orang yang dipidana tanpa mempunyai kesalahan, misalnya dia

24


(32)

melakukan perbuatan yang tidak tahu, bahkan tidak mungkin untuk mengetahuinya bahwa merupakan perbuatan pidana, niscaya hal itu akan melukai perasaan keadilan. Seyogianya dalam hal yang demikian, sipelanggar diberi peringatan dahulu. Perwujudan dalam KUHP tentang tidak dipidananya orang yang telah melakukan perbuatan pidana, misalnya pasal 44 KUHP mengenai orang yang tidak mampu bertanggungjawab, pasal 48 KUHP mengenai orang yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa (overmacht).

c) Tindak pidana, Menurut Moeljatno, adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana, adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan itu ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan, atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakukan orang) sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya. 25 Kata “tindak pidana” merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana”, Tirtaamidjaja menggunakan istilah “pelanggaran pidana”, sedangkan Utrecht menggunakan istilah “peristiwa pidana”. Sinonim dari tidak pidana adalah “delik”, yang dalam bahasa latin adalah delictum yang artinya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap perundang-undangan pidana. 26

25

Dikutip dari buku Pietrus Waine “Penyidikan Tindak Pidana Tertentu (beberapa Ketentuan Pidana di Luar KUHP”, Sanggar Krida Aditama Semarang, 2008, hal 11

Dalam penelitian ini akan digunakan Tindak Pidana.

26


(33)

d) Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah segala bentuk usaha yang memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok hutan, sebagaimana ditetapkan pada pasal 1ayat (7) PP. No 34 tahun 2002, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.

e) Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan Produksi pada hutan alam dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu disingkat IUPHHK melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pemeliharaan (pembibitan, permudaan pengayaan/ rehabilitasi/reklamasi), dan pemasaran (vide pasal 28 ayat (2) UU Kehutanan dan pasal 1ayat (13) PP. No 34 tahun 2002, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan).

f) Yang dimaksud dengan Tindak Pidana kehutanan adalah perbuatan yang ditentukan sebagai perbuatan pidana sebagaimana telah diatur dan ditetapkan dalam pasal 78 UU Kehutanan. Dalam penelitian ini terbatas pada tindak pidana kehutanan pada pasal 78 ayat (1) (5) (7) jo pasal 50 ayat (2), ayat (3) huruf e,f, h UU Kehutanan. g) Yang dimaksud dengan Tindak pidana Korupsi adalah perbuatan yang ditentukan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diatur dan ditetapkan dalam pasal 2 s/d pasal 24 UU No. 31 tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah di ubah dengan UU No. 20 tahun 2001. Dalam penelitian ini terbatas pada tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian Keuangan Negara sebagaimana di tetapkan pada pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun


(34)

1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang di ubah dengan UU No. 20 tahun 2001 (untuk selanjutnya disebut UU TPK).

G. Metode Penelitian.

Ada 2 (dua) jenis penelitian hukum, yakni penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris (sosiologis).27 Adapun metode penelitian yang akan digunakan dalam mengeksplorasi permasalahan penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal yang mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books), atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas, mempersoalkan hukum sebagai apa yang seharusnya (das sollen).28 Penelitian hukum normatif akan mengkaji objek dari sistematika berdasar ketaatan pada struktur hukum secara hierarkis untuk memberikan sebuah pendapat hukum yang menempatkan sistem norma sebagai objek kajiannya. Sistem norma dimaksud terdiri dari substansi, struktur dan kultur hukum itu sendiri. 29

27

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1983), hal 51, dikutip oleh Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyajakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal 153

Di dalam penelitian ini menggunakan metode studi kasus (case study), yakni suatu studi terhadap kasus an. Adelin Lis atas putusan MARINo. 68.K/PID.SUS/2008, tanggal 31 Juli 2008 dari perpektif hukum pidana dan hukum administrasi negara untuk dapat menjawab permasalahan, apa

28

Ibid hal 36

29


(35)

yang seharusnya (aliran hukum positivisme) akan dibandingkan dengan apa yang senyatanya (aliran hukum sosiologisme). Peter Mahmud, penelitian hukum normatif yang mengkaji sistem norma dapat menggunakan logika deduktif dengan alat

silogisme yang menempatkan dalil, kaidah hukum dalam perundang-undangan, prinsip-prinsip hukum, dan ajaran atau doktrin hukum sebagai premis mayor dan menghubungkannya dengan fakta atau peristiwa tindak pidana yang dipersangkakan terhadap Adelin Lis sebagai premis minor untuk membuat suatu kesimpulan yang bertujuan untuk membangun preskritif kebenaran hukum.30

Dalam studi kasus (case study) ini, akan menganalisa alasan-alasan hukum (ratio decidendi atau reasoning) apa yang digunakan oleh majelis hakim PN Medan untuk sampai kepada putusan pidana bebas murni (vrisjpraak) bagi Adelin Lis dan sebaliknya oleh majelis hakim kasasi yang memutuskan perkara Adelin Lis terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan.

31 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif menempatkan sistem norma sebagai objek kajian.32

30 Peter Mahmud Marzuki, “

Penelitian Hukum” Kencana, Jakarta, 2008, hal 41-51, hal 94. Penelitian hukum normatif dengan pendekatan kasus (case approach),adalah dengan melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan studi kasus (case study) hanya terhadap suatu kasus tertentu yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dari perspektif hukum pidana, hukum administrasi negara, hukum tata negara.

Alasan penggunaan metode penelitian hukum normatif ini analisis kualitatif yang didasarkan pada hubungan dinamis antara teori sistem norma atau sistem hukum menurut

31

Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Op. Cit. hal 191

32


(36)

Lawrence M. Friedman, terori hukum pembuktian dalam penegakan hukum, konsep-konsep atau definisi operasional dan data yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah perundang-undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu.

Sifat penelitian adalah penelitian deskritif, yakni menggambarkan atau memaparkan secara tepat, akurat dan sistematis gejala-gejala hukum terkait dengan penegakan hukum pidana yang dikaitkan dengan hukum administrasi negara kaitannya dengan pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kasus Adelin Lis selaku Direktur PT KNDI.

2. Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif yang menitik beratkan pada data sekunder atau pada penelitian kepustakaan atau data kepustakaan atau dikenal dengan bahan hukum, maka sumber bahan hukum yang digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu:

a. Bahan hukum primer, yang terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau keputusan pengadilan (lebih-lebih bagi penelitian yang berupa studi kasus), dan perjanjian Internasional (traktat) yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen (Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan);

2) Undang-Undang No 41 tahun 1999, tentang kehutanan yang diubah dengan UU No 19 tahun 2004;


(37)

3) Undang-Undang No 31 tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang di ubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

4) Undang-Undang No 40 tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas. 5) UU No 17 tahun 2003, tentang keuangan negara

6) Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2002, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan yang di ubah dengan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.

7) Peraturan Pemerintah No 45 tahun 2004, tentang Perlindungan Hutan, yang di ubah dengan Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2009, tentang Perlindungan hutan.

8) Peraturan Pemerintah No 44 tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan. 9) Permenhut RI No 126 tahun 2003

10)Permenhut RI No 48 tahun 2006

11)Peraturan Menteri Kehutanan RI No 55 tahun 2006

12)SK Menhut RI No. 805/Kpts-VI/1999, tanggal 30 September 1999

13)Kep Dirjen Pengusahaan Hutan No. 151/KPTS/IV/-BPHH/1993, tanggal 19 Oktober 1993.


(38)

14)Putusan PN Medan Nomor: 2240/Pid.B/2007/PN. Medan, tanggal 05 Nopember 2007 dan putusan MARINo. 68.K/PID.SUS/2008, tanggal, 31 Juli 2008.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer, seperti rancangan perundang-unangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar (koran), pamplet, lefleat, brosur, dan berita internet, digunakan untuk membantu memahami bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer, yang terdiri dari:

1) Buku-buku 2) Jurnal-Jurnal 3) Majalah-Majalah 4) Artikel-artikel; dan 5) Berbagai tulisan lainnya

c. Bahan hukum tertier diperlukan untuk berbagai hal dalam hal penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer khususnya kamus-kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedi, leksikon, dan lain-lain.

3. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Keseluruhan data sekunder ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library research) dengan studi dokumen dari berbagai sumber yang dipandang relevan,


(39)

antara lain instansi terkait penelitian Direktorat Reskrim Polda Sumut, perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan mengakses melalui internet dan narasumber yang ahli dibidang hukum administrasi negara dan hukum perseroan terbatas untuk menambah bahan hukum sekunder dalam penelitian hukum normatif.

4. Metode Analisa Data

Analisa data merupakan kegiatan dalam penelitian berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori sistem hukum oleh Lawrence M. Friedman, dan teori hukum pembuktian menurut KUHAP, termasuk konsep operasional yang berkaitan dengan rumusan permasalahan yang telah ditetapkan dimuka. Metode analisa data ini bersifat kualitatif yang disajikan secara deskritif analitis, dengan menggambarkan dan memaparkan pertimbangan-pertimbangan hukum dalam mengambil suatu putusan atas perkara Adelin Lis, baik pada tingkat Pengadilan Negeri sampai pada tingkat kasasi guna membuat suatu jawaban terhadap permasalahan yang telah dirumuskan, kemudian menarik suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan teori.


(40)

BAB II

PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN, KHUSUSNYA PEMANFAATAN

HASIL HUTAN KAYU

Kata pengaturan ditinjau dari tata bahasa adalah kata benda (nomina) dengan awalan peng dan akhiran an dari kata dasar atur (kata kerja). Makna pengaturan adalah perbuatan mengatur, proses mengatur atau cara mengatur (kata benda).33 Kata “hukum pidana” Menurut Moeljatno 34

“Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1). Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut atau disebut perbuatan pidana (criminal act). 2). Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan atau Pertanggungjawaban hukum pidana (criminal liability

atau criminal responsibility) 3). Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut”.

Lawrence M. Friedman, dari perspektif sistim hukum dalam penegakan hukum, memandang bahwa hukum pidana adalah Substansi hukum dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam kitap-kitab hukum (law in books), tetapi meliputi

33

Kamus Besar Bahsa Indonesia Edisi Ketiga, Dep Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka-2000) hal 76

34


(41)

aturan, norma, peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berada dalam sistem hukum itu.35

Menurut Moeljatno,

36

substansi hukum pidana menetapkan dasar-dasar dan aturan-aturan hukum pidana, meliputi hukum pidana materiil, dan formil. Hukum pidana materiil (substantive criminal-law) yang mengatur tentang dasar-dasar dan aturan untuk menentukan larangan dan sanksi pidana, yakni, perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut atau disebut perbuatan pidana (criminal act) dan yang mengatur tentang dasar-dasar dan aturan untuk menentukan pertanggungjawaban hukum pidana (criminal liability atau

criminal responsibility). Sedangkan hukum pidana formil atau hukum acara pidana (criminal procedure) mengatur dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang melanggar larangan tersebut dan mengatur prosedur menuntut ke muka pengadilan orang-orang yang disangka/didakwa melakukan perbuatan pidana.37

Menurut E.Y.Kanter dan S.R. Sianturi, membagi hukum pidana itu antara lain hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. 38

35 Lawrence M. Friedman

Ibid hal 7

36

Moeljatno, Loc. Cit.

37

Moeljatno, Op.Cit, hal 1 dan hal 7, baca juga C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal 264 tentang “Pembagian Hukum Pidana” hukum pidana obyektif (jus punale), yang dapat dibagi ke dalam: a. Hukum pidana materiil; b. Hukum pidana formil (hukum acara pidana).

38

E.Y.Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002)hal 8


(42)

“Hukum Pidana materil berisikan tingkah laku yang diancam dengan pidana, siapa yang dapat dipidana dan berbagai macam pidana yang dapat dijatuhkan. Dengan perkataan lain hukum pidana material berisikan norma dan sanksi hukum pidana serta ketentuan-ketentuan umum yang membatasi, memperluas atau menjelaskan norma dan pidana tersebut.

Hukum pidana formal atau juga disebut hukum acara pidana adalah garis hukum, yang menjadi dasar atau pedoman bagi penegak hukum dan keadilan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pidana materil. Dengan perkataan lain hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana caranya negara dengan perantaraan badan-badannya (Polisi, Jaksa, Hakim) dapat menjalankan kewajibannya untuk menyidik, menuntut, menjatuhkan dan melaksanakan pidana. Dihubungkan dengan pembedaan hukum pidana objektif dan subjektif, maka hukum pidana materil dan formal termasuk dalam pembagian hukum pidana dalam arti objektif.”

Menurut Simons, dikutip Andi Hamzah,39

Menurut Van Bemmelen, dikutip Andi Hamzah dalam bukunya lebih memerinci tahap-tahap hukum acara pidana (hukum pidana formil) itu yang dimulai dengan “mencari kebenaran” dan diakhiri dengan pelaksanaan pidana dan tindakan Hukum pidana secara luas adalah hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum Pidana materiil bermakna

abstrak atau dalam keadaan diam. Hukum pidana materiil adalah mengandung petunjuk-petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan-peraturan tentang syarat-syarat hal dapat dipidananya seseorang (strafbaarheid), penunjukan orang yang dapat dipidana dan ketentuan tentang pidananya, ia menetapkan siapa dan bagaimana orang itu dapat dipidana. Juga menurut Simons, Hukum Pidana formil bersifat nyata atau

konkret atau disebut juga sebagai hukum acara pidana. Hukum Pidana formil mengatur tentang cara negara dengan perantaraan para pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana.

39


(43)

tata tertib yaitu dimulai dari: Penyelidikan, dilimpahkan kepada hakim untuk diadili dan diputus.40

Hazewinkel – Suringa menyatakan hukum pidana materiil dalam arti obyektif dan abstrak (ius poenale) adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.41

40

Ibid hal 2-3: “Van Bemmelen merumuskan tentang Hukum pidana Formil atau hukum acara Pidana (suatu terjemahan) mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana: 1) negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; 2) sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; 3) mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya; 4) mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah di peroleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan kemudian membawa terdakwa ke depan hakim tersebut; 5) hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib; 6) upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut; 7) akhirnya, melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu”.

Untuk menentukan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, hukum pidana di Indonesia menganut asas yang dinamakan asas legalitas (principle of legality), yakni tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan oleh suatu aturan undang-undang (pasal 1 ayat (1) KUHP) dan asas yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu” tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Belanda:Geen straf zonder schuld)”.

41

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, edisi revisi, (Jakarta: Rineka Cipta-2008) hal 4 dan baca juga pendapat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, (Jakarta; Storia Grafika- 2002) hal 20-21: “Hukum pidana objektif (ius poenale) adalah seluruh garis hukum mengenai tingkah laku yang diancam dengan oidana, mengenai jenis dan macam pidana, dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan dan dilaksanakan pada waktu tertentu dan dalam batas-batas daerah (- hukum) tertentu. Artinya semua warga dari daerah (- hukum) tersebut wajib mentaati hukum pidana dalam objektif tersebut. dihubungkan dengan pembedaan hukum pidana objektif dan subjektif, maka hukum pidana material dan formal termasuk dalam pembagian hukum pidana dalam arti objektif”. Baca lagi dalam buku Zainal Abidin Farid “Hukum Pidana Satu” (Jakarta: Sinar Grafika-2010) hal 1-2.


(44)

Hukum pidana kehutanan yang bersifat hukum pidana materil ditetapkan dalam pasal 38 ayat (4) dan pada pasal 50 ayat (1), (2), dan (3) huruf (a) s/d huruf (m) mengatur perbuatan yang dilarang, pasal 78 ayat (1) s/d ayat (12) menetapkan subjek hukum dan sanksi pidana, pasal 78 ayat (13) menetapkan klasifikasi atau sifat tindak pidana kehutanan (kejahatan dan pelanggaran), pasal 78 ayat (14) mengatur subjek hukum atau prinsip dipertanggung jawab (pidana)-kan kepada pengurus badan usaha atau badan hukum dan prinsip pemberatan pidana, pasal 78 ayat (15) dan pasal 79 ayat (1) menetapkan prinsip “semua hasil hutan dari hasil kejahatan atau pelanggaran dirampas untuk negara” dan prinsip “kekayaan negara” harus dilelang untuk negara, pasal 80 ayat (1), sedangkan hukum pidana kehutanan yang bersifat hukum pidana formal diatur dalam pasal 77 ayat (1) (2) (3) mengatur dasar kewenangan penyidikan.

A. Pengaturan Hukum Pidana Materiil Terhadap Tindak Pidana Kehutanan, Khususnya Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu.

Ketentuan perbuatan yang dilarang diatur pasal 38 ayat (4) dan pada pasal 50 ayat (1), (2), dan (3) huruf (a) s/d huruf (m) UU Kehutanan.42

1. Pengaturan Larangan Pidana Kehutanan

ditetapkan sebagai berikut:

Penetapan larangan dalam hukum pidana kehutanan oleh pembuat UU Kehutanan dimaksudkan dapat menjadi kenyataan melalui proses penegakan hukum pidana kehutanan untuk mencegah kerusakan hutan dan mewujudkan cita-cita hukum

42


(45)

kehutanan agar pemanfaatan hutan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang berkeadilan dan berkelanjutan atau lestari.43

a. Perbuatan Yang Dilarang Dalam Tindak Pidana Kehutanan

Sehingga ketentuan larangan ditetapkan secara eksplisit dan ada yang diperjelas serta diperluas baik dalam penjelasan UU Kehutanan dan dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menhut RI sebagai berikut:

Secara umum, perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana kehutanan, yaitu diatur dalam:

1). Pasal 38 ayat (4) UU Kehutanan “dilarang melakukan penambangan dengan pola penambangan terbuka pada kawasan hutan lindung. Pasal 38 ayat (4) ini berkaitan pasal 38 ayat (1) (2) yakni penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan antara lain kegiatan ekploitasi pertambangan dengan pola tertutup hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, dan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri (vide penjelasan pasal 38 ayat (1) UU Kehutanan). Artinya, apabila kegiatan pertambangan dengan pola pertambangan terbuka dilakukan dengan sengaja walaupun ada izin pinjam pakai dari Menteri adalah perbuatan yang dilarang. Pembentuk undang-undang kehutanan tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan pola pertambangan

43

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, ( Yogyakarta: Genta Publishing-2009) hal 24 dan baca juga penjelasan umum UU Kehutanan pada alinea kedua.


(46)

terbuka. Menurut Van der Vlies,44 perumusan tentang asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (algemene beginselen van behoorlijke regelgeving), antara lain “asas kejelasan tujuan” dan “asas ketertiban dan kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel).” sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam penegakan hukumnya dan dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.45

2). Pasal 50 ayat (1) tentang larangan merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. Maksud frasa “Prasarana dan sarana perlindungan hutan” dalam penjelasan pasalnya adalah prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, ilaran api, menara pengawas, dan jalan pemeriksaan. Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda larangan, dan alat angkut (vide penjelasan pasal 50 ayat (1) UU Kehutanan).

3). Pasal 50 ayat (2) “Pemegang izin, yakni izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil

44

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang, (Jakarta: Raja Grafindo Persada-2010) hal 113

45

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan penjelasannya”, (Bandung: Fokusmedia-2011) hal 32 dan 34: UU No. 10 tahun 2004, penjelasan pasal 5 huruf f: “yang dimaksud dengan “Asas Kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.” Pasal 5 huruf i: “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum”.


(47)

hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.”

Ketentuan pada pasal ini adalah delik meteriil karena untuk terpenuhinya unsur objektif, yakni “kerusakan hutan” harus dapat dibuktikan terjadinya akibat yang nyata berupa kerusakan hutan sebagai syarat utama untuk dipidananya sipembuat delik. Yang dimaksud kerusakan hutan, adalah kerusakan baik dari aspek fisik, sifat fisik dan hayatinya. Pembentuk undang-undang kehutanan dalam merumuskan maksud kerusakan hutan sangat bersifat umum, yakni hanya merumuskan terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Secara khusus PP 45 tahun 2004, tentang perlindungan hutan, pada pasal 46 ayat (3) ada menjelaskan maksud perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, masih dapat mengundang perdebatan yakni:

“Yang dimaksud dengan perubahan fisik adalah kondisi terjadinya perubahan bentuk lapangan dan atau tegakan hutan, yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi hutan baik pada hutan produksi, hutan lindung atau hutan konservasi. Indikasi perubahan fisik berupa perubahan bentang alam, tegakan pohon atau penutupan vegetasi.

Yang dimaksud dengan perubahan sifat fisik adalah kondisi terjadinya perubahan sifat fisik tanah, yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi hutan baik pada hutan produksi, hutan lindung, atau hutan konservasi. Indikasi perubahan sifat fisik meliputi perubahan: sifat kimia tanah, iklim mokro atau kualitas air.

Yang dimaksud dengan perubahan hayati adalah kondisi terjadinya perubahan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi hutan baik pada hutan produksi, hutan lindung, atau hutan konservasi. Indikasi perubahan hayati meliputi perubahan: keragaman dan kerapatan jenis flora, keragaman dan kelimpahan jenis fauna.”


(48)

Walaupun secara khusus pada pasal 46 ayat (3) PP 45 tahun 2004, telah menjelaskan maksud perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, masih terdapat ruang untuk diperdebatkan karena peraturan pemerintah ini tidak merumuskan standar indikator kerusakan akibat adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayatinya, misalnya, bagaimana ukuran perubahan fisik bentang alam, tegakan pohon atau penutupan vegetasi, bagaimana ukuran perubahan sifat fisik kimia tanah, iklim mokro atau kualitas air, dan bagaimana ukuran perubahan keragaman dan kerapatan jenis flora, keragaman dan kelimpahan jenis fauna yang dapat dikategorikan bahwa hutan telah mengalami kerusakan. Pasal 46 ayat (4) PP No.45 tahun 2004, menyatakan “Ketentuan lebih lanjut tentang tingkat kerusakan hutan diatur oleh Menteri”, namun Menhut RI belum ada mengeluarkan kriteria kerusakan hutan sampai saat ini.

Bandingkan dengan UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup perubahan atas UU No 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan lingkungan hidup pada pasal 21 telah menetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dengan belum ditetapkannya kriteria baku kerusakan hutan maka produk hukum tersebut dapat menimbulkan multi tafsir yang akhirnya menimbulkan ketidak pastian hukum. Hal tersebut menjadi celah untuk diperdebatkan dan bertentangan dengan “asas kepastian hukum (het rechtszekerheids-beginsel).” 46

46


(49)

4). Pasal 50 ayat (3) huruf: (a) tentang larangan mengerjakan, menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Pembentuk undang-undang merumuskan pengertian tentang mengerjakan, menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan dalam penjelasan pasal 50 ayat (3) huruf a sebagai berikut:

1). Maksud mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya.

2).Maksud menggunakan kawasan hutan adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.

3).Maksud menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk membangun tempat pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya. Menurut Zain, kawasan hutan adalah suatu wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah baik yang berhutan dan tidak berhutan.47

47

Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, (Jakarta: Rineka Cipta-1997) hal 2 Menurut UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan, pasal 1 ayat (3) menetapkan tentang pengertian kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan” mengandung pengertian yang bersifat komuliatif dan afternatif. Kegiatan bersifat komulatif adalah proses


(50)

pengukuhan kawasan hutan,48 yang dimulai dari kegiatan penunjukan sampai kegiatan penetapan kawasan hutan yaitu mulai tahap:49

“Penunjukan,

penataan batas, pemetaan, sampai pada tahap penetapan kawasan hutan. Kegiatan bersifat alternatif yakni bersifat pilihan, yaitu baru tahap penunjukan kawasan hutan, yaitu tahap persiapan berupa: 1). Pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar; 2). Pembuatan pancang batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong batas luar; 3). Pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan 4). Pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan, terutama di lokasi yang berbatasan dengan hak-hak masyarakat, misalnya hutan hak, tanah hak (vide penjelasan pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan). Pada tahap penunjukan kawasan hutan belum ada kegiatan penataan batas, pemetaan, sampai pada tahap penetapan kawasan hutan (vide pasal 1 ayat (9) dan pasal 17 PP No. 44 tahun 2004, tentang perencanaan kehutanan)”.

Makna pentingnya penegasan tentang kawasan hutan dalam penegakan hukum kehutanan adalah untuk memberikan kepastian hukum atas tata batas, luas kawasan hutan untuk dipertahankan manfaatnya secara lestari. Menurut Satjipto Raharjo, dalam penegakan hukum adalah suatu proses untuk

48 PP No 44 Tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan Pasal 1 ayat (8) Pengukuhan

kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan

kawasan hutan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas dan luas kawasan hutan.

49

Ibid PP No 44 tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan Pasal 1 ayat (9) Penunjukan

kawasan hutan adalah penetapan awal peruntukan suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan.Pasal

1 ayat (10) Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pemancangan patok batas, pengumuman, inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran dan pemetaan serta pembuatan Berita Acara Tata Batas. Pasal 1 ayat (11) Penetapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas dan luas suatu kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap. PP No 44 tahun 2004, pasal

21, Pemetaan kawasan hutan dalam rangka kegiatan pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui

proses pembuatan peta: (a) penunjukan kawasan hutan: wilayah propinsi skala 1 : 250.000, peta parsial skala 1 : 50.000; (b) rencana trayek batas dengan skala 1 : 250.000; (c) pemancangan patok batas sementara dengan skala 1 : 25.000; (d) penataan batas kawasan hutan dengan skala 1 : 25.000; (e) penetapan kawasan hutan dengan skala 1 : 100.000.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Andi Hamzah, “Asas-sas Hukum Pidana”, Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta, 2008 Arief, Arifin M.P “Hutan & Kehutanan”, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Atmosudirjo, S. Prajudi, “Hukum Administrasi Negara” Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, tentang: Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, Jakarta: Raja Grafindo Persada-2002

Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Jakarta: Rineka Cipta-1997 Alvi Syahrin, et.all, Sophia Hadyanto & Partners, Forensic Legal Auditor

Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Edisi Revisi, Jakarta: Sofmedia-2009

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni-1982

______Direktorat Penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi Kepolisian Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, (PTIK) tentang “Laporan Penelitian Pengegakan Hukum Terhadap Perusakan Ekosistem Hutan Mangrove’, Jakarta, 2009.

Djenal Hoesen Koesoemahatmadja dalam bukunya yang berjudul: Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, Bandung: Alumni-1979

Friedman, Lawrence M. “American Law An Introduction,” (Secon Edition), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,Jakarta: Tata Nusa, 2001.

Friedman, Lawrence M. “Sistem Hukum perspektif ilmu sosial”, Penterjemah: M. Khosim, diterjemahkan dari buku Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York: Russel Sage Fundation, 1975), Bandung: Nusa Media, 2009.


(2)

Kansil, C.S.T., “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi, “ Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya” Jakarta: Storia Grafika, 2002.

Kelsen, Hans. “ Teori Hukum Murni”, Dasar-dasar ilmu hukum Normatif, diterjemahkan oleh Raisul Muttagien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, Nusamedia & Nuansa, Bandung, Cet III, 2007.

Komariah Enong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni-2002

Marzuki, Peter Mahmud, “Pengantar Ilmu Hukum”, Jakarta, Prenada Media Group, 2008.

Marzuki, Peter Mahmud, “Penelitian Hukum” Kencana, Jakarta, 2008,

Moeljatno “Asas-asas Hukum Pidana”, Jakarta: Rineka Cipta (Edisi Revisi), 2008 Nurdjana, IGM, Teguh Prasetyo, Sukardi, “Korupsi & Illegal Logging Dalam Sistem

Desentralisasi” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, dikutip oleh Y.Sri Pudyatmoko, dalam bukunya,

Perizinan Problem Dan Upaya Pembenahan, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia/Grasindo-2009

Pradjonggo Tjandra Sridjaja KPHA., Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Surabaya: Indonesia Lawyer Club, Surabaya-2010.

Rahardjo,Satjipto Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru-1984

Rahardjo, Satjipto , “Ilmu Hukum”, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Rahardjo, Satjipto, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009


(3)

Salim H.S. “Dasar-dasar hukum kehutanan ,Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Sasangka, Hari, Lily Rosita, “Hukum pembuktian Dalam Perkara Pidana”, Bandung, Mandar Maju, 2003

Soekanto, Soerjono, 1983, “Pengantar Penelitian Hukum”, Jakarta, UI Press, dikutip oleh Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris”, Yogyajakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Waine, Pietrus, “Penyidikan Tindak Pidana Tertentu (beberapa Ketentuan Pidana di Luar KUHP”), Semarang: Sanggar Krida Aditama, 2008.

Wojowasito, Kamus Umum, Belanda – Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve-2003),

Fajar Mukti ND, dan Achmad Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar-2010).

Chairul Huda, Dari Tiada Piana Tanpa Kesalahan Menuju kepada Tiada Pertanggung jawaban, Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006).

Yahya Harahap M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Jakarta: Pustaka Kartini-1993

R. Soesilo, “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, Bogor: Politea-1994

Soerodibroto R. Soenarto, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan Perpandingan Hukum,

Bandung: Armico-1984

Himpunan Peraturan Korupsi, Kolusi, dan Nopotisme, Jakarta: Eko Jaya, 2006 Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.

P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, Edisi Kedua Jakarta: Sinar Grafika-2010.


(4)

B. ARTIKEL, MEDIA MASSA, DAN INTERNET, YURISPRUDENSI

Bismar Nasution, “Kejahatan Korporasi dan Pertanggung jawabannya“

Disampaikan dalam ceramah di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, bertempat di Tanjung Morawa Medan, pada tanggal 27 April 2006.

Diakses tanggal 14 Desember 2010 pkl 12.00 wib di 20071122783/deforestasi-illegal-logging.html “Deforestasi dan Illegal Logging”. Data dari Sat IV/Tipiter Direktorat Reskrim Polda Sumut periode tahun 2005-2010.

Dan data diakses melalui

kasus+di+sumatera.

Diakses terakhir tanggal 30 Juli 2011, melalui-putusan/ 12fe57d986ae4d4b34603935ed40720a

Runtung Sitepu, Pendapat Hukum tentang Hak atas tanah PT Sibuah Raya, dan pendapat hukum masalah “kawasan hutan”

Yenti Garnasih, “Materi & Kumpulan Makalah Dalam Pelatihan Penerapan UU Anti Pencucian Uang Untuk Memberantas Kegiatan Illegal Logging di Wilayah Sumatera Utara”, tanggal 10 Januari s/d 11 Januari 2005.

website perpustakaan USU Program Magister Ilmu Hukum

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen. UU. No 8 tahun 1981, tentang KUHAP

Undang-undang Nomor: 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan, lembaran Negara tahun 1999, yang diubah dengan undang-undang nomor: 19 tahun 2004, Bandung: Fokusmedia-2011

Undang-Undang Nomor: 20 tahun 2001, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.


(5)

Undang-Undang UU RI No 40 tahun 2007, tentang perubahan atas Undang-Undang nomor: 1 tahun 1995, tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang UU RI No 8 tahun 2010, tentang Tindak Pidana Pencician Uang perubahan atas Undang-Undang nomor: 25 tahun 2003 dan perubahan atas Undang nomor: 15 tahun 2002, tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Undang-Undang No 17 tahun 2003, tentang Keuangan Negara

Undang-Undang No 2 tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-Undang No 4 tahun 2004. Kehakiman yang telah diubah dengan UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman”

UU No 5 tahun 1986, tentang PTUN

Undang-Undang No 16 tahun 2004, tentang kejaksaan pengganti Undang-Undang No 5 tahun 1991, tentang Kejaksaan.

PP 34 Tahun 2002 yang diubah dengan PP No 6 Tahun 2007, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan.

PP 45 tahun 2004, tentang perlindungan hutan.

Peraturan Pemerintah No 44 tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan. Putusan MK Nnomor: 003/PUU-IV/2006 Terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Putusan PN Medan No 2240/Pid.B/2007/PN Medan, tanggal 5 Nopember 2007 Memori Kasasi JPU akta Nomor: 85/Akta.Pid / 2007/PN.Mdn tanggal 27 Nopember 2007

Putusan MARI No 68 K/PID.SUS/2008 tanggal 31 Juli 2008, An Adelin Lis Dikases terakhir tanggal 30 Juli 2011, melalui- http:// putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/12fe57d986ae4d4b34603935ed40720

Surat Menhut RI nomor: S.613/Menhut-II/2006 tanggal 27 Septermber 2006. SK Menhut RI No. 805/Kpts-VI/1999, tanggal 30 September 1999

Website perpustakaan USU Program Magister Ilmu Hukum


(6)

D. KAMUS

Kamus Besar Bahsa Indonesia Edisi Ketiga, Dep Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka-2000)

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka- 2005).


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan Anak(Studi Kasus Putusan No.300/PID.B/2013/PN.KBJ)

3 151 127

Analisa Hukum Pidana Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No :743/pid/2008/PT-Mdn)

0 71 97

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

1 72 106

Analisis Hukum Terhadap Pidana di Bidang Kehutanan (Studi Putusan No.481/K/Pid.B/2006 PN Jkt.Pst & Putusan Mahkamah Agung No. 2462/K/Pid/2006 dengan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus)

6 90 359

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia)

1 45 146

Perlindungan Hukum Terhadap Rahasia Dagang Perusahaan Dalam Hubungan Kerja”. (Studi Kasus Putusan MARI Nomor 783 K Pid.Sus 2008)

0 0 15

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA K

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)

0 0 23

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)

0 1 14