Adat IstiadatTata Kehidupan Potensi Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu Desa Lingga Dalam Meningkatkan Kepariwisataan Kabupaten Karo

15 15  JABU SEDAPUR UJUNG KAYU RINTENENG :Didiami oleh sembuyak dari Ujung Kayu, bertugas untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur kepada tamu Jabu Bena Kayu.  JABU SEDAPUREN LEPAR BENA KAYU : Didiami oleh Puang Kalimbubu dari Jabu Bena Kayu, disebut juga Jabu Pendungin Ranan dan dalam Runggun Adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh Puang Kalimbubu.  JABU LEPAR BENA KAYU SUNGKUN BERITA : Didiami oleh sembuyak dari Jabu Bena Kayu, berfungsi untuk mendengarkan berita yang terjadi di luar rumah dan menyampaikannya kepada Jabu Bena Kayu.

2.4 Adat IstiadatTata Kehidupan

2.4.1 Susunan Masyarakat Masyarakat Lingga yang terdiri dari suku Batak Karo hidup dibawah lingkungan adat yang sangat berpengaruh, kehidupan mereka melambangkan Merga Silima, Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu Merga Silima. Masyarakat Karo membagi marga atas 5 bagian, yaitu : 1. Karo-karo 2. Sembiring 3. Ginting 4. Perangin-angin 5. Tarigan Universitas Sumatera Utara 16 16 Menurut sejarahnya merga berasal dari kata “Meherga” yang berarti berharga. Merga itu berfungsi sebagai tanda mengenal kelompok, garis keturunan dan sejarah tempat tinggal. Dengan adanya merga itu maka untuk setiap kelompok masyarakat yang mempunyai merga tentu dapat dikenal. Pada zaman dahulu, dataran tinggi Tanah Karo masih terdiri dari hutan lebih utama dipinggiran pegunungan, penduduk telah menempati daerahnya dengan kelompok yang berpencar. Adakalanya terjadi perpindahan karena gangguan alam, binatang buas, mencari tempat yang lebih baik. Kelompok penduduk itu hidup dengan sederhana dan diatur oleh norma-norma yang berlaku di lingkungannya. Pada umumnya kelompok penduduk itu adalah kelompok keluarga dari satu keturunan. Karena semakin banyak jumlah penduduk pada suatu kelompok maka timbul suatu gagasan untuk membuat atau memberi nama kelompoknya. Dengan adanya tanda kelompok itu diharapkan tidak akan teradi perselisihan atau perkelahian antara yang satu dengan kelompok yang lain bila bertemu, untuk lebih mengingatnya tanda kelompok tersebut jumlahnya dibuat lima yang sampai sekarang dikenal sebagai tanda garis keturunan dengan sebutan “Merga Silima” dan garis keturunan yang berlaku pada masyarakat Karo ialah garis keturunan ayah. 2.4.2 Kepercayaan Sejak berdirinya keajaan Lingga, penduduk masih mempunyai kepercayaan Animisme, namun sebagian penduduk sudah menganut Agama Protestan, Islam, Khatolik, Pantekosta. Universitas Sumatera Utara 17 17 Benda-benda atau tempat-tempat yang luar biasa, dianggap mempunyai roh dan memiliki kekuatan gaib. Adanya kepercayaan yang demikian, sangat mempengaruhi kehidupan mereka sehingga guru dukun sangat menentukan dalam setiap usaha yang akan dijalankan. Ada sebuah tempat yang dianggap suci oleh penduduk desa Lingga, yaitu sebuah kuburan dari Tengku Lau Bahun. Jika terjadi bencana di desa Lingga, maka seluru penduduk dating ke kuburan itu untuk meminta agar bencana iu dihentikan. Apabila panen jadi sangat berkurang, maka penduduk ke kuburan itu untuk meminta agar panen selanjutnya mendapat hasil yang baik, dan biasanya permintaan mereka dikabulkan. Juga bila sawah mereka diserang tikus dan burungburung, maka mereka pergi ke kuburan mengambil bunga-bunga yang ada disekitar kuburan itu untuk ditaburkan di sawah mereka. Setelah bunga itu ditaburkan, maka tikus dan burung-burung tidak lagi menyerang sawah mereka. Penduduk yang datang ke kuburan itu tidak saja yang menganut animisme tetapi juga yang telah beragama. Menurut kebiasaan dalam perjalanan pulang dari kuburan itu akan turun hujan sekalipun itu musim kemarau, apabila penduduk memohon untuk turun hujan. Menurut cerita yang terdapat pada penduduk Lingga, Tengkulau Bahum itu berasal dari Aceh, pertama kali datang ke Lingga kebetulan padi sedang menguning, tetapi tidak ada buahnya, maka oleh Tengku Lau Bahum dibacakan mantra-mantra, maka padi tersebut menjadi bagus dan hasil panennya baik. Konon ceritanya Tengku Lau Bahum ini pergi ke desa Sungka Buksi dan disana dia dibunuh dengan cara memasukkan pedang ke duburnya. Sewaktu Universitas Sumatera Utara 18 18 terbunuhnya Tengku Lau Bahum, padi yang terdapat di desa Lingga menjadi rusak, berwarna kemerah-merahan dan tidak berisi. Tiba-tiba ada seorang penduduk yang kesurupan dan mengatakan tanaman padi di Lingga ini bias menjadi bagus asalkan mayat Tengku Lau Bahum dibawa ke Lingga. Untuk mengambil mayat Tengku Lau Bahum ini penduduk Lingga harus berperang melawan penduduk Suka Baksi dan akhirnya penduduk Lingga menang dan berhasil membawa mayat Tengku Lau Bahum itu ke Lingga. Mayat Tengku Lau Bahun dimakamkan di suatu tempat 3 km dari desa Lingga, nama daerah tersebut adalah Tengku Lau Bahum. Demikianlah sehingga padi yang telah rusak tersebut menjadi bagus kembali dan berisi. Jadi sebenarnya nama dari Tengku Lau Bahunm ini tidak diketahui oleh penduduk Lingga, mereka menyebutnya Tengku Lau Bahun karena makamnya terdapat di daerah Tengku Lau Bahum.

2.5 Bangunan Tradisional Batak Karo