Mengikatnya Perjanjian Kontrak BarangJasa Pemerintah

perjanjian arbitrase, Pasal 2 tentang persyaratan dalam penyelesaian sengketa arbitrase dan Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 tentang syarat arbitrase. 6. Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Undang-undang ini terdiri atas 7 Bab dan 22 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah ketentuan umum, pembuatan perjanjian internasional, pengesahan dari perjanjian internasional, pemberlakuan dari perjanjian internasional, penyimpanan dari perjanjian internasional dan pengakhiran dari perjanjian internasional. Traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara dua negara atau lebih dalam bidang keperdataan, khususnya kontrak. Ini terutama, erat kaitannya dengan perjanjian internasional. Contohnya, perjanjian bagi hasil yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia Company tentang perjanjian bagi hasil tembaga dan emas. Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang berperkara, terutama dalam perkara perdata. Contohnya, putusan HR 1919 tentang pengertian perbuatan melawan hukum. Dengan adanya putusan HR 1919, maka pengertian melawan hukum tidak dianut arti luas, tetapi arti sempit. Putusan HR 1919 ini dijadikan pedoman oleh para hakim di Indonesia dalam memutuskan sengketa perbuatan melawan hukum.

B. Mengikatnya Perjanjian Kontrak BarangJasa Pemerintah

Sebelum membahas perjanjian kontrak, ada baiknya dimulai dari pembahasan mengenai asas kebebasan berkontrak contracs vrijheid atau party Universitas Sumatera Utara autonomie ; yang merupakan tiang pokok bangunan Hukum Perdata dibidang Hukum Perikatan. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUHPerdata yang jika dianalisa terdiri dari 3 asas utama yaitu asas konsensualisme terjadinya perjanjian cukup dengan adanya persetujuan kehendak para pihak, asas kekuatan mengikat dari perjanjian perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan asas kebebasan berkontrak para pihak bebas menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Dalam perjalanan waktu terhadap asas kebebasan berkontrak ini dipandang perlu untuk diadakan pembatasan terhadap batas-batas kebebasannya; oleh karena manusia disamping sebagai mahluk individu, dia merupakan mahluk sosial dan keberadaan hukum tidak hanya untuk melindungi kepentingan individu namun juga kepentingan masyarakat. Pada keadaan memaksa, keadaan yang berubah itu membuat tidak mungkinnya atau terhalangnya pemenuhan prestasi; sedangkan pada perubahan keadaan, berubahnya keadaan menimbulkan keberatan untuk memenuhi perjanjian, karena apabila itu dipenuhi, maka salah satu pihak akan menderita kerugian. Dan apabila dianalisa lebih lanjut maka pada keadaan memaksa pemenuhan prestasi oleh debitur praktis menimbulkan keberatan, sebaliknya pada perubahan keadaan, pemenuhan prestasi dari debituradalah sangat berat dilaksanakan. Dari analisa tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam keadaan memaksa titik beratnya terletak pada posisi debitur yaitu debitur terhalang untuk memenuhi prestasi, sedangkan dalam perubahan keadaan titik beratnya terletak pada posisi Universitas Sumatera Utara kreditur apakah pihak kreditur berdasarkan itikad baik dan kepatutan dapat menuntut pemenuhan prestasi dari debitur. Semenjak abad petengahan para pihak dalam perjanjian tidak mau dirugikan oleh terjadinya suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, sehingga pihak tersebut berlindung pada janji gugur secara diam-diam yang disebut sebagai klausula rebus sic stantibus. Klausula ini menyatakan bahwa perjanjian dianggap berlaku secara tetap selama keadaan tidak berubah dan kalau keadaan berubah maka perjanjian menjadi gugur. 22 Dalam perkembangannya Klausula Rebus sic Stantibus mulai ditinggalkan dan masyarakat mulai membedakan antara keadaan memaksa dan perubahan keadaan, sehingga dalam Pasal 1245 KUHPerdata sebagai suatu alasan pembenar rechtvaardigingsgrond bagi debitur untuk tidak melaksanakan kewajibannyaprestasinya, dengan alasan bahwa akan bertentangan dengan kepatutan jika debitur dalam keadaan seperti itu tetap diwajibkan memenuhi prestasinya yang sebenarnya tidak dapat ia laksanakan. Namun sejak tahun 1915 keputusan-keputusan Hakim sudah mulai meninggalkan force majuereovermacht untuk menyelesaikan hal-hal mengenai perubahan keadaan dan telah mempergunakan Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata sebagai pedoman. Hal ini dipelopori oleh Levebach dengan teorinya “economies synallagma” yang artinya Jadi dalam klausula ini tidak dibedakan apakah ketidak-dapatan pemenuhan prestasi diakibatkan oleh keadaan memaksa atau sekedar perubahan keadaan; sehingga di masa itu pihak debitur begitu mengalami suatu perubahan keadaan dapat berlindung pada janji gugur; ini berarti perjanjian menjadi batal demi hukum dengan adanya perubahan keadaan. 22 Salim, H.S., Op.Cit, hlm. 17. Universitas Sumatera Utara harus adanya keseimbangan antara kedua belah pihak dalam pengertian ekonominya, jadi antara prestasi dan kontra prestasi secara timbal balik adalah seimbang nilainya dan apabila terjadi ketegangan yang secara objektif merugikan atau menguntungkan salah satu pihak, hal ini merupakan resiko yang harus dipikulnya. Sehingga dengan demikian dalam hal terjadi perubahan keadaan perlulah diperhatikan pembagian resiko antara para pihak terhadap suatu kerugian. Perkembangan di Indonesia terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 April 1955 mengenai Sengketa Kebon Kopi, yang singkatnya berbunyi: Adalah pantas dan sesuai dengan rasa keadilan, apabila dalam hal menggadai tanah kedua belah pihak masing-masing memikul separuh dari risiko kemungkinan perubahan harga nilai uang rupiah, diukur dari perbedaan harga emas pada waktu menggadaikan dan waktu menebus tanah itu. Jadi menurut yurisprudensi di Indonesia resiko atas perubahan keadaan sesuai dengan rasa keadilan dan kepantasan kepatutan adalah dibagi dua.

C. Bentuk-Bentuk Kontrak Pengadaan BarangJasa Pemerintah