Tekanan Pada Peningkatan Atau Reduksi Tegangan

5. Sifat Persepsi

Dalam perspektif religi, muara kebenaran adalah Tuhan. ‘Penemuan’ kebenaran dengan kata lain adalah penemuan Tuhan. Bagaimana Tuhan dapat ditemukan, atau di pahami, dihayati keberadaannya, atau dapatkah Tuhan ditemukan? Dalam pandangan Buddhisme Maitreya, eksistensi manusia dan Tuhan sungguh sangat dekat, bahkan tidak ada jarak sedikit pun. Tanda keberadaan-Nya dapat dilacak oleh sesuatu dalam diri setiap manusia tanpa terkecuali. Dan sesuatu itu tidak lain adalah nurani. Nurani menjadi pedoman kebenaran yang paling mendasar bagi pribadi sehat. Dalam data disebutkan 1c: 7 “Nurani adalah pedoman untuk merealisasikan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.”. Penemuan kebenaran dalam literatur penting bagi sang pencari kebenaran. Demikian pula dalam pandangan Buddhisme Maitreya pentingnya untuk menghayati kebenaran dalam literatur. Namun ada dua kelemahan dengan metode ini, yang pertama adalah bagaimanapun kata punya keterbatasan, dan yang kedua pemahaman kita sendiri pun sering kali terkungkung. Oleh karena itu, dikatakan jalan penemuan kebenaran bagi sang pencari ada di dalam pengamalan nyata nurani yang tiada henti. Karena kebenaran nurani adalah sesuatu yang baru akan muncul di dalam aktualisasi, bukan sekadar dalam konsep intelektual. Memahami hal ini, seorang pribadi sehat tidak akan kukuh pada pandangannya sendiri, mampu menerima pandangan orang lain dan lebih-lebih tidak akan berputar-putar dalam konsep pemikirannya sendiri. Dalam data disebutkan 1e: 15 “Pemahaman intelektual tidaklah cukup, kita harus memasuki kesempurnaan penginsafan nuraniah....Gapailah dengan mengamalkannya secara terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mencapai puncak kesadaran Nurani”. Demikianlah pribadi sehat dalam pandangan Buddhisme Maitreya adalah dia yang menggunakan perspektif nurani dalam kehidupannya. Dalam kerangka sifat kepribadian sehat Schultz persepsi ini bersifat objektif. Hal ini berbeda dengan model dari Rogers yang memandang bahwa individu yang sehat akan bertindak menurut perasaan organismiknya terhadap suatu situasi, sehingga sifat persepsinya adalah subjektif. Dalam Buddhisme Maitreya, seorang pribadi sehat tidak akan terpaku pada pengalamannya sendiri namun juga menerima segala pertimbangan dari orang lain dan mengolahnya dengan pikiran untuk membantunya mengamati dunia luar dengan lebih lengkap, sehingga sifat persepsinya adalah objektif.

6. Peranan Pekerjaan, Tugas-Tugas Dan Tujuan Bagi Kepribadian Sehat

Dalam pandangan Buddhisme Maitreya, bumi adalah sebuah ladang raksasa, lahan pekerjaan yang tiada habisnya. Setiap orang mempunyai tempat dan perannya masing-masing. Terlebih bagi kepribadian sehat tidak akan kebinggungan apa yang harus dilakukan olehnya. Melalui pekerjaan, tugas-tugas, dan tujuan-tujuan dalam hidupnya dia mengaktualisasikan nuraninya. Karena nurani yang sesungguhnya ada di dalam aktualisasi nyata, maka pekerjaan dan tugas menjadi sarana yang sangat penting baginya. Dalam data 1j: 9 disebutkan, “Jika kita bermaksud mencari Hati Nurani yang Bebas Leluasa itu di dalam berbagai buku dan kitab, maka sampai kapanpun tidak akan menemukannya, karena realitas Hati Nurani yang sesungguhnya berada dalam pengamalan secara nyata”. Dalam pekerjaan dan tugas, seorang pribadi sehat akan berjuang mencapai tujuannya yaitu aktualisasi nurani secara nyata. Dalam aktualisasi nurani secara berkesinambungan itulah seorang pribadi sehat mengembangkan dirinya, membina kepribadiannya. Dia akan selalu sadar semua tugas dan pekerjaan yang dilakukannya merupakan sarana untuk mencapai tujuannya. Antara sarana dan tujuan sangatlah berbeda, namun manusia biasa seringkali mencampuradukannya. Bagi seorang pribadi sehat, dia akan sangat sadar tujuannya, oleh karena itu dia akan bisa menjalani tugas dan pekerjaannya dengan hati yang penuh kewajaran. Hal ini seringkali sulit bagi seorang manusia biasa karena tugas dan pekerjaan itu seringkali sulit dan melelahkan. Keadaan ini juga diterangkan oleh Maslow dalam Schultz, 1993 bahwa orang-orang yang sehat sepenuhnya senang “melakukan” atau “menghasilkan”. Dalam data 4: 30 disebutkan, “Seumur hidup berjuang demi Wadah Ketuhanan dan umat manusia, namun dalam hati merasa itu merupakan sebuah hal yang sudah semestinya. Seperti saat haus kita minum, lapar – makan, lelah – istirahat. Demikianlah sangat biasa. Inilah kewajiban nurani, merupakan pancaran kebajikan tiada tara dari percikan roh Tuhan”. Secara sederhana, dalam pandangan Buddhisme Maitreya setiap manusia sebenarnya diundang untuk berparitisipasi dalam perubahan dunia yang sekarang menuju Bumi Sukhavati. Dan hal itu tidak selalu berarti dengan melakukan hal-hal ‘besar’, tetapi dengan kembali menjadi dirinya yang berhati nurani. Dalam data 5: 60 disebutkan, “Mengapa kini dunia sarat akan bencana? Karena Bumi telah kehilangan hawa kebenaran. Oleh karena itu, kita harus membangun kembali hawa kebenaran. Kita harus memiliki hati yang gembira, bersukacita dan bebas leluasa. Kemudian pancarkanlah hingga hawa sukacita, kebahagiaan dan kehangatan, dan kedamaian tersebar dan memenuhi atmosfer Bumi”.

7. Hubungan Serta Tanggung Jawab Terhadap Orang Lain

Dalam pandangan Buddhisme Maitreya setiap manusia adalah emanasi Tuhan, tak ada yang bukan datang dari-Nya. Lebih dari asal yang sama, setiap manusia berada dalam jaring-jaring psikis yang saling bertautan, baik saling mengenal ataupun tidak. Sebab hati nurani dalam diri setiap manusia bukan entitas yang saling terpisah. Demikianlah yang dikatakan tentang sifat universalitas hati nurani. Dengan pemahaman seperti ini, maka seorang pribadi sehat akan bersikap menghormati setiap