Model kepribadian sehat dalam Buddhisme Maitreya.

(1)

ABSTRAK

Tren perkembangan psikologi saat ini telah meluas ke arah psikologi pertumbuhan, yakni tidak lagi sekadar berurusan dengan penyakit mental pada manusia, namun juga membicarakan taraf pencapaian potensi psikologis terbaik yang bisa diraih manusia. Untuk mencapai hal ini dibutuhkan sebuah model kepribadian sehat untuk dijadikan sebagai acuan dan contoh dalam pengembangan potensi psikologis seorang manusia. Lebih jauh lagi, pemahaman sebuah model kepribadian sehat sangat erat kaitannya dengan pemahaman tokoh yang melahirkan model tersebut serta budaya setempat dimana model itu dikembangkan.

Bertolak dari pemikiran ini maka penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan model kepribadian sehat menurut Buddhisme Maitreya dengan menggunakan kerangka konseptual perbandingan sifat-sifat kepribadian sehat Schultz. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dan penganalisisan data penelitian menggunakan analisis isi. Hasil analisis berupa pembahasan disusun dalam bentuk teks naratif dengan sewaktu-waktu berpaling pada data untuk mengonfirmasi kesimpulan yang diambil.

Dari hasil penelitian dapat disusun sebuah pandangan khas Buddhisme Maitreya mengenai kepribadian sehat. Dari hasil penelitian juga dapat dilihat beberapa kesamaan dan perbedaan gagasan dalam konsep ajaran Buddhisme Maitreya dengan konsep para ahli psikologi pertumbuhan mengenai kepribadian sehat. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah sebaiknya menggunakan konsep teoretis yang lebih spesifik dan mendalam terhadap kelompok budaya lain yang ingin diteliti.

Kata kunci: model kepribadian sehat, Buddhisme Maitreya, penelitian deskriptif– kualitatif, analisis isi


(2)

ABSTRACT

The development trend of psychology recently has extended up at growth psychology that is not only dealing with mental illness of human but also discuss the level attainment of best psychological potency, which human being can reach. To reach this matter, it is required a healthy personality model to be made as reference and example in the development of psychological potency for human. Moreover, the understanding of healthy personality model is very close associated with the understanding of the figure bear the model and local culture where that model is developed.

Starting from this idea this research aim is to comprehend and describe healthy personality model according to Maitreya Buddhism by using conceptual framework of Schultz’s comparison attribute of healthy personality. This research conducted by using qualitative-descriptive approach and the analysis of research data use content analysis. The result of analysis in the form of discussion constructed in narrative text form with at any times look away to data to confirm the taken conclusion.

From the result of the research it can be compiled a typical view of Maitreya Buddhism regarding healthy personality. It is also could be seen some similarities and differences of idea between teaching concept of Maitreya Buddhism and concept of growth psychology experts concerning healthy personality. Suggestion for research hereinafter is better to use the specific and exhaustive theoretical concept to other cultural group that wish to be researched.

Keyword: healthy personality model, Maitreya Buddhism, qualitative–descriptive research, content analysis


(3)

MODEL KEPRIBADIAN SEHAT DALAM

BUDDHISME MAITREYA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh : Anthon Jason NIM : 019114167

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Anthon Jason

Nomor Mahasiswa : 019114167

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

MODEL KEPRIBADIAN SEHAT DALAM BUDDHISME MAITREYA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 20 Januari 2008

Yang menyatakan


(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Yogyakarta, 11 Februari 2008

Penulis


(8)

ABSTRAK

Tren perkembangan psikologi saat ini telah meluas ke arah psikologi pertumbuhan, yakni tidak lagi sekadar berurusan dengan penyakit mental pada manusia, namun juga membicarakan taraf pencapaian potensi psikologis terbaik yang bisa diraih manusia. Untuk mencapai hal ini dibutuhkan sebuah model kepribadian sehat untuk dijadikan sebagai acuan dan contoh dalam pengembangan potensi psikologis seorang manusia. Lebih jauh lagi, pemahaman sebuah model kepribadian sehat sangat erat kaitannya dengan pemahaman tokoh yang melahirkan model tersebut serta budaya setempat dimana model itu dikembangkan.

Bertolak dari pemikiran ini maka penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan model kepribadian sehat menurut Buddhisme Maitreya dengan menggunakan kerangka konseptual perbandingan sifat-sifat kepribadian sehat Schultz. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dan penganalisisan data penelitian menggunakan analisis isi. Hasil analisis berupa pembahasan disusun dalam bentuk teks naratif dengan sewaktu-waktu berpaling pada data untuk mengonfirmasi kesimpulan yang diambil.

Dari hasil penelitian dapat disusun sebuah pandangan khas Buddhisme Maitreya mengenai kepribadian sehat. Dari hasil penelitian juga dapat dilihat beberapa kesamaan dan perbedaan gagasan dalam konsep ajaran Buddhisme Maitreya dengan konsep para ahli psikologi pertumbuhan mengenai kepribadian sehat. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah sebaiknya menggunakan konsep teoretis yang lebih spesifik dan mendalam terhadap kelompok budaya lain yang ingin diteliti.

Kata kunci: model kepribadian sehat, Buddhisme Maitreya, penelitian deskriptif– kualitatif, analisis isi


(9)

ABSTRACT

The development trend of psychology recently has extended up at growth psychology that is not only dealing with mental illness of human but also discuss the level attainment of best psychological potency, which human being can reach. To reach this matter, it is required a healthy personality model to be made as reference and example in the development of psychological potency for human. Moreover, the understanding of healthy personality model is very close associated with the understanding of the figure bear the model and local culture where that model is developed.

Starting from this idea this research aim is to comprehend and describe healthy personality model according to Maitreya Buddhism by using conceptual framework of Schultz’s comparison attribute of healthy personality. This research conducted by using qualitative-descriptive approach and the analysis of research data use content analysis. The result of analysis in the form of discussion constructed in narrative text form with at any times look away to data to confirm the taken conclusion.

From the result of the research it can be compiled a typical view of Maitreya Buddhism regarding healthy personality. It is also could be seen some similarities and differences of idea between teaching concept of Maitreya Buddhism and concept of growth psychology experts concerning healthy personality. Suggestion for research hereinafter is better to use the specific and exhaustive theoretical concept to other cultural group that wish to be researched.

Keyword: healthy personality model, Maitreya Buddhism, qualitative–descriptive research, content analysis


(10)

KATA PENGANTAR

Dengan segenap rasa syukur dan sukacita penulis menghaturkan terima kasih kepada Tuhan, Bunda semesta alam, karena dalam kasih-Nya yang tidak pernah putus mengalir telah memberkati penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Juga kepada seluruh Buddha-Bodhisatva dan segenap makhluk yang mendukung penulis dengan menjadi sumber inspirasi, kearifan dan kebijaksanaan yang sangat berharga.

Skripsi ini merupakan karya tulis ilmiah yang disusun sebagai tugas akhir penelitian dalam rangka pelatihan dan pendidikan di bidang karya ilmiah universitas Sanata Dharma. Skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk meyelesaikan program S1 psikologi dan mendapatkan gelar sarjana psikologi.

Terselesaikannya skripsi ini merupakan hasil dari sebuah proses yang melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu. Pihak-pihak tersebut adalah:

• Pak Pratik sebagai dosen pembimbing atas segala jerih payahnya dalam membaca dan memberikan masukan dan saran yang sangat berharga bagi penulis.

• Segenap dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, orang-orang yang membuat penulis tumbuh dan berkembang.

• Papa, mama, kakak dan adik atas segala dukungan kasih, semangat, pengertian, dan kebaikan yang berlimpah kepada penulis.

• Pandita Halim Zen Bodhi dan Pandita Lusia Anggraini yang telah membuka pikiran penulis untuk bisa menulis dan menyelesaikan skripsi ini.


(11)

• Seluruh keluarga besar Vihara Bohicitta Maitreya dan Vihara Sukhavati Maitreya atas momen-momen yang indah dan berarti dalam kehidupan penulis.

• Serta seluruh pihak lain yang telah membantu penulis dalam proses penulisan skripsi ini. Meskipun tidak disebutkan disini, namun itu tidak bermaksud mengurangi rasa syukur dan terima kasih penulis kepada semuanya.

Pada akhirnya penulis terbuka terhadap segala kritik, saran dan masukan terhadap skripsi ini, demi kemajuan pengembangan ilmu pengetahuan. Setiap kekurangan dan kesalahan yang ada pada skripsi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

Yogyakarta, 22 Januari 2008


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR... xvi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan penelitian... 5

D. Manfaat penelitian... 5

BAB II. KEPRIBADIAN SEHAT... 6

A. Tinjauan umum... 6

B. Pandangan Para Ahli Psikologi Pertumbuhan... 7

1. Model Allport (Orang Yang Matang)... 7

2. Model Rogers (Orang Yang Berfungsi Sepenuhnya)... 13


(13)

4. Model Maslow (Orang Yang Mengaktualisasikan Diri)... 23

5. Model Jung (Orang Yang Terindividuasi)... 26

6. Model Frankl ( Orang Yang Mengatasi Diri)... 30

7. Model Perls (Orang “Disini Dan Kini”)... 33

C. Kesimpulan... 35

BAB III. BUDDHISME MAITREYA... 40

A. Sejarah Singkat Buddhisme Maitreya... 40

B. Keimanan Terhadap Buddha Maitreya... 41

1. Sabda-sabda Buddha Sakyamuni Tentang Buddha Maitreya Serta Perkembangan Keimanan Terhadap Buddha Maitreya di Dunia... 41

2. Siapakah Buddha Maitreya ?... 43

a. Ciri Khas Wujud Suci Buddha Maitreya... 44

b. Jejak Kasih Buddha Maitreya (berbagai inkarnasi Buddha Maitreya)... 45

3. Makna Iman Maitreya Dalam Buddhisme Maitreya... 50

C. Perkembangan Buddhisme Maitreya ... 50

1. Perkembangan di Dunia Internasional... 50

2. Perkembangan di Indonesia, MAPANBUMI (Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia)... 52

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN... 54

A. Jenis Penelitian ... 54

B. Metode Penelitian... 54

C. Identifikasi Variabel dan Batasan Istilah... 56

D. Sumber Data... 58

E. Alur penelitian, Penyajian Data dan Pembahasan... 59


(14)

BAB V. MODEL KEPRIBADIAN SEHAT DALAM BUDDHISME MAITREYA

(ORANG YANG MENGAKTUALISASIKAN NURANI)... 61

A. Konsep Ajaran Buddhisme Maitreya Dalam Perspektif Kepribadian Sehat... 61

1. Pandangan Buddhisme Maitreya Tentang Hakikat Manusia ( Diri dari Kepribadian Sehat) ... 61

HATI NURANI DAN DINAMIKANYA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI... 66

2. Signifikansi Hati Nurani (Kodrat Eksistensi Kepribadian Sehat)... 70

B. Aspek – aspek Kepribadian Sehat Buddhisme Maitreya (Hasil Analisis Kerangka Konseptual Penelitian Pada Data)... 78

1. Dorongan Pada Kepribadian Sehat... 79

2. Fokus Pada Kesadaran atau Ketidaksadaran... 81

3. Tekanan Pada Masa Lampau, Masa Sekarang, Serta Masa yang Akan Datang... 82

4. Tekanan Pada Peningkatan Atau Reduksi Tegangan... 84

5. Sifat Persepsi... 86

6. Peranan Pekerjaan, Tugas – Tugas dan Tujuan Bagi Kepribadian Sehat... 87

7. Hubungan Serta Tanggung Jawab Terhadap Orang Lain... 88

BAB VI KESIMPULAN, SARAN SERTA REFLEKSI... 91

A. Kesimpulan... 91

B. Saran... 92

C. Refleksi... 93

SENARAI ... 94


(15)

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Perbandingan sifat-sifat model kepribadian sehat menurut Schlutz... 35 Tabel 2. Aspek-aspek kepribadian sehat... 57 Tabel 3. Pembagian Siginifikansi Hati Nurani dalam Lokus Aktualisasi Serta

Bentuk Aktualisasinya... 78 Tabel 4. Ringkasan Aspek-aspek Kepribadian Sehat Buddhisme Maitreya


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Buddha Maitreya... 44 Gambar 2. Komponen-komponen analisis data... 55 Gambar 3. Dinamika Kepribadian Sehat Dalam Konsep Ajaran Buddhisme


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah hal yang didambakan oleh setiap manusia, baik secara sadar maupun tidak. Sementara orang tidak menyadari pentingnya kesehatan, sampai ketika ia jatuh sakit. Tanpa kesehatan, banyak hal menjadi tidak berarti dan sulit dilakukan. Sebaliknya dengan kesehatan yang baik, maka lebih banyak hal yang bisa dikerjakan dibanding ketika sakit.

Pada masa lampau, para ilmuwan mendefinisikan kesehatan secara sederhana yaitu “tidak adanya gangguan kesehatan atau penyakit”. Akan tetapi, ketika WHO (World Health Organization) didirikan pada tahun 1948, kesehatan didefinisikan sebagai A complete state of physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity .

Berdasarkan definisi di atas, kita menyadari bahwa individu bisa sehat dalam salah satu aspek kehidupannya (misalnya tekanan darah normal), tapi tidak sehat dalam aspek yang lain (misalnya menderita depresi). Dalam Notosoedirjo dan Latipun (2005), dijelaskan bahwa :

“Sehat mengandung pengertian keadaan yang sempurna secara biopsikososial, lebih dari sekadar terbebas dari penyakit atau kecacatan. Sakit juga mengandung makna biopsikososial, yang meliputi konsep disease (berdimensi biologis),illness (berdimensi psikologis) dansickness (berdimensi sosiologis). Faktor subjektif dan kultural juga turut menentukan konsep sehat dan sakit.” (hal. 11)

Untuk mengetahui kesehatan fisik seorang individu tidaklah terlampau sulit, setidaknya pada saat sekarang. Hal ini bisa dilakukan dengan mengukur dan menilai tekanan darah, kadar kolesterol, fungsi organ tubuh, dan lain sebagainya. Sebaliknya untuk mengetahui kesehatan individu dari segi mental (psikologis) dan sosial lebih


(19)

sulit dan menantang. Pikiran, persepsi-persepsi internal, motif-motif pribadi, semuanya bersifat subjektif dan lebih sulit untuk dikuantifikasi.

Sebenarnya, pengertian kesehatan mental sangat banyak, pandangan dari tiap ahli saling melengkapi satu sama lain. Namun demikian, merumuskan pengertian kesehatan mental secara komprehensif bukan suatu hal yang mudah dilakukan. Untuk membantu memahami makna kesehatan mental, terdapat prinsip-prinsip yang dapat dijadikan sebagai pegangan bagi kita (Altrocchi, 1980; Lehtinen, 1989 dalam Notosoedirjo dan Latipun, 2005: 26-27). Prinsip-prinsip kesehatan mental adalah sebagai berikut:

1. Kesehatan mental adalah lebih dari tiadanya perilaku abnormal. Prinsip ini menegaskan bahwa orang yang dikatakan sehat mentalnya tidak cukup kalau dikatakan sebagai orang yang tidak mengalami abnormalitas atau orang yang normal. Karena pendekatan statistik memberikan kelemahan pemahaman normalitas itu. Konsep kesehatan mental lebih bermakna positif ketimbang makna keadaan umum atau normalitas sebagaimana konsep statitistik.

2. Kesehatan mental adalah konsep yang ideal. Prinsip ini menegaskan bahwa kesehatan mental menjadi tujuan yang amat tinggi bagi seseorang. Apalagi disadari bahwa kesehatan mental itu bersifat kontinum. Jadi sedapat mungkin orang mendapatkan kondisi sehat yang paling optimal, dan berusaha terus untuk mencapai kondisi sehat yang setinggi-setingginya.

3. Kesehatan mental sebagai bagian dan karakteristik kualitas hidup. Prinsip ini menegaskan bahwa kualitas hidup seseorang salah satunya ditunjukkan oleh kesehatan mentalnya.

Secara khusus, penulis tertarik pada kondisi-kondisi puncak di mana kesehatan mental seorang manusia mencapai titik optimum. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa kesehatan mental bersifat kontinum. Dalam Notosoedirjo dan Latipun (2005: 27)


(20)

lebih lanjut dijelaskan bahwa kalangan ahli kesehatan mental telah membuat kriteria-kriteria atau kondisi optimum seseorang dapat dikatakan berada dalam kondisi sehat. Meskipun istilah yang digunakan untuk menyebut kondisi optimum itu berbeda-beda, serta kriteria yang dibuat pun tidak sama secara tekstual, namun memiliki maksud yang sama. Misalnya, Maslow menyebut kondisi optimum itu dengan self-actualization, Rogers menyebutnya fully functioning, Allport memberi nama mature personality, dan sebagainya.

Penelitian ini memilih menggunakan istilah healthy personality (kepribadian sehat). Istilah healthy personality (kepribadian sehat) dipinjam dari Duane Schultz (1993). Kepribadian sehat yang dimaksud lebih dari sekadar terbebas dari gangguan mental, namun bagaimana seorang manusia memaknai hidupnya secara penuh, merasakan kepenuhan hidup, dan menjadi seorang yang mampu mengaktualisasikan dirinya.

Salah satu kunci untuk memahami kesehatan mental adalah dengan mendefinisikannya dalam konteks kultural, yaitu lahir dari cara pandang sekelompok orang terhadap sebuah fenomena. Dalam hal ini penulis tertarik untuk mengeksplorasi kesehatan mental yang optimal menurut pandangan Buddhisme Maitreya, yaitu model kepribadian sehat dalam konteks konsep ajaran Buddhisme Maitreya.

Keimanan utama dalam Buddhisme Maitreya adalah pengagungan terhadap Buddha Maitreya. Maitreya atauMaitri berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti Cinta kasih. Dikatakan bahwa selama berkali-kali kehidupan, Buddha Maitreya telah membina diri secara intensif dengan berfokus pada pengamalan cinta kasih semesta. Ikrar agung Buddha Maitreya adalah merombak dunia yang penuh kekacauan menjadi dunia damai sentosa, dunia yang kotor menjadi Bumi Suci, dunia yang penuh kegelapan dan penuh dosa menjadi kerajaan Tuhan, samudra duka menjadi Sukhavati Maitreya. Ikrar agung-Nya yang adalah membawakan kebahagiaan semesta bagi


(21)

langit, bumi, umat manusia, serta laksa benda dan kehidupan. Doktrin inilah yang melatarbelakangi kelahiran Maha Tao Maitreya/Buddhisme Maitreya (Wang Che Kuang, 2002). Buddha Maitreya mengajarkan bahwa hanya dengan mengembangkan keindahan kodrati yang kita miliki sebagai manusia kita dapat mendatangkan keterbebasan dan kebahagiaan pada diri sendiri, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi keluarga, kerukunan dan kedamaian bagi masyarakat, kemakmuran, stabilitas, dan kesentosaan bagi negara, terang dan kedamaian bagi dunia.

Lebih lanjut M. S Yen dan M. S Wang (Majalah Maitreyawira, “Visi Tunggal...”, 2004), pemimpin tertinggi Buddhisme Maitreya, mengatakan bahwa “Visi perjuangan umat Maitreya sedunia adalah satu dan sama, yaitu mewujudkan nurani sadar cemerlang dan mewujudkan Bumi Suci Maitreya” (hal. 20). Visi inilah yang menjadi titik akhir dalam perjalanan pembinaan diri bagi umat Maitreya sedunia. Nurani yang sadar cemerlang adalah perwujudan dari keindahan kodrati manusia (baca: kepribadian sehat). Perjuangan mewujudkan keindahan kodrati manusia adalah perjuangan mencemerlangkan nurani, perjuangan selanjutnya yaitu mencemerlangkan nurani orang lain, demikianlah Bumi Suci Maitreya bisa terwujud. Seperti yang dijelaskan oleh M. S Wang (2003), bahwa “hanya dengan mewujudkan keindahan kodrati manusia, maka terciptalah hidup yang bahagia-leluasa dan penuh makna, keluarga yang harmonis sejahtera, masyarakat yang rukun-damai, bangsa yang makmur sentosa dan dunia yang damai bahagia.” (hal. 12).

Berdasarkan uraian diatas, maka melalui penelitian ini ingin diketahui bagaimana model kepribadian sehat menurut konsep ajaran Buddhisme Maitreya. Konsep ajaran yang ingin ditemukan dalam Buddhisme Maitreya yaitu yang merepresentasikan model kepribadian sehatnya, berupa karakteristik dari potensi psikologis manusia yang terbaik yang mampu dicapai.


(22)

B. Perumusan Masalah

Bagaimana model kepribadian sehat dalam konsep ajaran Buddhisme Maitreya tentang kepribadian sehat menurut kerangka konseptual sifat kepribadian sehat dari Schultz?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan konsep ajaran Buddhisme Maitreya tentang kepribadian sehat menurut kerangka konseptual sifat kepribadian sehat dari Schultz.

D. Manfaat Penelitian 1. Teoretis

Berfungsi sebagai pembanding ataupun sebagai pelengkap terhadap teori-teori psikologi pertumbuhan yang sudah ada. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memperkaya teori kepribadian dengan menemukan teori-teori yang lebih grounded, yang dikembangkan oleh masing-masing kebudayaan atau kelompok tertentu.

2. Praktis

Untuk meningkatkan pemahaman terhadap Buddhisme Maitreya dari perspektif psikologis. Hal ini berguna khususnya bagi umat Buddhisme Maitreya sendiri. Bagi orang-orang di luar Buddhisme Maitreya penelitian ini juga berguna untuk meningkatkan pemahaman terhadap Buddhisme Maitreya, sehingga sikap toleransi antar umat beragama dapat dibangun dari pandangan yang benar dan seimbang terhadap konsep ajaran agama lain.


(23)

BAB II

KEPRIBADIAN SEHAT

A. Tinjauan umum

Pada bagian teoretis mengenai kepribadian sehat ini, penulis ingin memperjelas konsep mengenai kepribadian sehat yang diacu oleh penulis. Disini penulis mengacu pada konsep yang digunakan oleh Duane Schultz (1993) yang menggunakan istilah healthy personality/kepribadian sehat untuk menggambarkan tingkat kesehatan psikologis yang paling sempurna. Jadi kepribadian sehat yang dimaksud adalah optimalisasi dari kesehatan mental.

Studi tentang healthy personality (kepribadian sehat) tampak diabaikan pada masa awal perkembangan ilmu psikologi tradisional, yaitu psikoanalisis dan behaviorisme. Baik psikoanalisis maupun behaviorisme tidak berbicara mengenai potensi kita untuk bertumbuh, namun yang menjadi perhatian adalah memeriksa sakit jiwa bukan kesehatan jiwa yang optimal. Akan tetapi dalam beberapa dekade belakangan ini, studi-studi dan ahli psikologi yang mempelajari potensi manusia untuk bertumbuh dan berkembang telah meningkat.

Ahli-ahli psikologi pertumbuhan ini (kebanyakan dari mereka lebih senang disebut sebagai ahli psikologi humanistik) memiliki suatu pandangan yang segar terhadap kodrat manusia. Apa yang mereka lihat terhadap manusia berbeda dari apa yang digambarkan oleh behaviorisme dan psikoanalisis. Seperti yang dikatakan oleh Eddington dan Shuman (2005):

Whereas behaviorists see individuals as passive responders to external stimuli and psychoanalysts see people as victims of biological forces and childhood conflicts, the humanistic psychologists believe we can strive to become all we are capable of becoming and in the process transform from normality to healthy personality. (hal. 2)


(24)

Selanjutnya Eddington dan Shuman (2005) juga menyatakan bahwa “Healthy personality has proven to be a difficult and elusive concept to define” (hal. 2). Pernyataan ini menunjukkan bahwa hanya terdapat sedikit persesuaian pendapat di kalangan ahli-ahli psikologi yang mempelajari bidang ini. Hal yang dapat dicapai pada tingkat pengetahuan kita adalah meneliti konsepsi-konsepsi tentang kesehatan psikologis yang positif itu, kemudian melihat apa yang dikatakan oleh konsepsi-konsepsi itu tentang diri kita (Schultz, 1993).

B. Pandangan Para Ahli Psikologi Pertumbuhan

Para ahli psikologi pertumbuhan di dunia Barat telah membahas orang-orang dengan kesehatan mental yang optimal. Dalam bukunya, Schultz (1993) memaparkan tujuh model kepribadian sehat menurut tujuh orang ahli psikologi, yang disebutnya para ahli psikologi pertumbuhan atau psikologi humanistik. Model-model kepribadian sehat itu antara lain dikemukakan oleh: Gordon Allport, Carl Rogers, Erich Fromm, Abraham Maslow, Carl Jung, Viktor Frankl, dan Fritz Perls.

Selanjutnya penulis akan membicarakan model-model kepribadian sehat ini. Teori-teori mereka ini dipilih karena mereka tergolong ke dalam mainstream psikologi pertumbuhan. Teori-teori mereka tergolong diantara pendirian-pendirian yang diakui dan dikembangkan secara lebih lengkap dan pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu psikologi pada saat ini cukup besar.

1. Model Allport (Orang Yang Matang)

Allport mengembangkan teorinya berdasarkan data yang diperoleh dari studi tentang orang dewasa yang sehat dan matang. Allport percaya bahwa orang-orang yang matang dan sehat diarahkan ke masa kini dan ke masa depan. Dalam Schultz (1993: 19) dijelaskan bahwa orang-orang yang matang dan sehat ini memiliki


(25)

kekuatan untuk mengontrol kehidupan mereka, dalam tingkat yang rasional dan sadar ke arah masa depan. Sebaliknya orang-orang yang neurotik terikat oleh masa kanak-kanak dan pengalaman-pengalaman traumatik mereka. Alih-alih membuat sebuah garis kontinum antara orang yang neurotik dan sehat, Allport malah melihat sebuah jurang atau dikotomi antara orang yang neurotik dan sehat. Hal ini karena Allport melihat tidak ada kesamaan fungsional antar orang yang neurotik dan orang yang sehat, mereka berbeda dalam jenisnya, bukan dalam tingkatnya (Schultz, 1993: 20).

Allport menekankan pentingnya menerangkan motivasi bagi ahli-ahli yang ingin mempelajari kepribadian, karena motif-motif orang dewasa adalah otonom secara fungsional (functionally outonomous) terhadap masa kanak-kanak (Schultz, 1993: 20). Orang yang matang (baca: sehat) akan membuat rencana-rencana yang sesuai dengan cita-cita, aspirasi dan harapan-harapan mereka. Meskipun tidak terikat oleh masa lalu, tapi pandangan mereka terhadap dunia adalah objektif, dan sesuai realitas. Hal ini berarti mereka tetap belajar dari masa lampau, namun tidak berfokus pada masa lampau, dan tidak terikat oleh pengalaman-pengalaman traumatik di masa lampau.

Yang terpenting bagi kepribadian yang sehat adalah bagaimana mencari suatu arah ke masa depan, dimana mereka dapat menuangkan aspirasi-aspirasi, harapan-harapan, dan cita-cita mereka ke dalamnya. Perjuangan untuk mewujudkan semua itu mendorong orang yang matang untuk semakin bertumbuh dan berkembang (bukan sekedar reduksi tegangan). Allport (1955, dalam Eddington dan Shuman, 2005), menjelaskan: The possession of long-range goals, regarded as central to one s personal existence, distinguishes the human from the animal, the adult from the child, and in many cases the healthy personality from the sick. (hal. 2). Lebih lanjut Allport menyatakan dengan jelas: “Keselamatan hanya berlaku bagi dia yang tidak


(26)

henti-hentinya menyibukkan diri dalam mengejar tujuan-tujuan yang pada akhirnya tidak tercapai sepenuhnya” (dalam Schultz 1993: 24).

Memang tujuan-tujuan yang dicita-citakan oleh orang yang sehat pada dasarnya tidak dapat dicapai (Schultz, 1993: 23). Hal ini tampak menjadi suatu paradoks bagi orang dengan kepribadian sehat, tetapi begitulah kenyataannya. Tujuan akhir bagi orang yang matang ini pada dasarnya memang tidak pernah dapat dicapai. Yang dapat dicapai adalah subtujuan-subtujuan dari tujuan yang sebenarnya.

Karena manusia yang sehat memiliki kebutuhan terus-menerus akan variasi, akan sensasi-sensasi dan tantangan baru (lihat Schultz, 1993: 22), maka dapat dibayangkan kalau tujuan-tujuan terakhir sudah tercapai, sama halnya dengan perahu layar yang tidak memiliki angin lagi untuk berlayar, tenaga pendorongnya telah hilang. Oleh karena itu Allport mengemukakan prinsip untuk menjelaskan kebutuhan dalam menemukan motif-motif baru apabila ternyata motif-motif yang ada ternyata tidak cukup atau tidak cocok lagi. Dia menyebutnya principle of organizing the energy level . Orang yang matang dan sehat terus-menerus membutuhkan motif-motif kekuatan dan daya hidup yang cukup untuk menghabiskan energinya (Schultz, 1993: 24). Prinsip ini juga dipakai Allport untuk menjelaskan kenakalan dan kriminalitas yang dilakukan oleh anak remaja. Menurut Allport mereka tidak mempunyai jalan untuk menyalurkan energinya secara konstruktif, sehingga energi keluar melalui jalan destruktif.

Allport (dalam Schultz, 1993: 25) juga memasukkan “prinsip penguasaan dan kemampuan” (principle of mastery and competence). Menurut prinsip ini, orang-orang yang matang dan sehat didorong untuk melakukan yang tertinggi dan terbaik dalam usaha mereka mewujudkan tujuan akhir yang mereka impikan.


(27)

Tujuh kriteria kematangan berikut ini merupakan pandangan-pandangan Allport tentang sifat-sifat khusus dari kepribadian sehat (Schultz, 1993: 30-36):

1. Perluasan perasaan diri

Disini Allport mengemukakan pentingnya seorang individu yang ingin menjadi matang dan sehat untuk mengembangkan perhatian di luar dirinya. Disini Allport sedikit menyamakan ‘perhatian’ dengan ‘diri’. Dengan meluaskan perhatian yang awalnya hanya berpusat pada individu, maka dirinya pun ikut meluas dan berkembang. Perluasan perasaan diri meliputi tidak hanya benda-benda dan orang-orang disekitar individu, namun juga meliputi nilai-nilai, cita-cita, dan terutama yang ditekankan oleh Allport adalah aktivitas.

Orang harus menjadi partisipan yang langsung dan penuh. Allport menamakan hal ini “partisipasi otentik yang dilakukan oleh orang dalam beberapa suasana yang penting dari usaha manusia” (dalam Schultz, 1993: 30). Penting bagi seorang individu yang sehat dan matang untuk melibatkan diri dalam aktivitas yang relevan dan penting bagi dirinya. Ketika aktivitas-aktivitas itu mendukung tercapainya tujuan-tujuan hidup, menciptakan perasaan yang berharga pada diri, maka saat mengerjakannya akan membuat individu menjadi sehat secara psikologis. Perasaan partisipasi otentik ini berlaku bagi aktivitas kita dengan orang-orang terdekat, spritualitas, serta nilai-nilai yang kita anut, sehingga ini dapat menjadi perluasan perasaan diri.

2. Hubungan diri yang hangat dengan orang-orang lain

Allport membedakan dua macam kehangatan dalam hubungan dengan orang-orang lain, kapasitas untuk keintiman dan kapasitas untuk perasaan terharu (dalam Schultz, 1993: 31). Suatu perasaan perluasan diri yang berkembang dengan baik terhadap orang-orang di sekitar kita akan memperlihatkan apa yang disebut Allport sebagai kapasitas untuk keintiman. Ketika individu yang matang dan sehat telah


(28)

melibatkan dirinya secara penuh ke dalam orang-orang di sekitarnya, ini berarti orang-orang itu adalah orang-orang yang mendukung tujuan hidupnya, yang membuat hidupnya menjadi berharga. Maka bagi individu yang sehat dan matang memberi cinta untuk orang-orang di sekitarnya sama pentingnya dengan kesejahteraannya sendiri. Oleh karena itu cinta dari orang yang matang tidak bersyarat, tidak melumpuhkan dan tidak mengikat. Untuk dapat mencintai dengan sepenuh hati dan memperlihatkan kapasitas keintiman, maka seorang individu harus mempunyai perasaan identitas diri yang berkembang dengan baik.

Jenis lain dari kehangatan hubungan diri dengan orang-orang lain adalah sejenis perasaan empati yang meluas yang disebut ‘perasaan terharu’. Schultz (1993: 31) menjelaskan bahwa perasaan terharu, tipe kehangatan yang kedua adalah suatu pemahaman tentang kondisi dasar manusia dan perasaan kekeluargaan dengan semua bangsa. Dengan memiliki kapasitas perasaan terharu ini, maka orang yang matang mampu memaklumi setiap tingkah laku orang-orang lain. Dia mampu menerima kesalahan-kesalahan orang lain dan memahami sifat universal dari pengalaman-pengalaman dasar manusia.

3. Keamanan emosional

Keamanan emosional yang merupakan sifat ketiga dari kepribadian sehat ini dtandai dengan penerimaan diri yang baik. Orang yang sehat dan matang akan mampu menerima kelemahan dan kekuatan yang ada pada diri mereka, namun tidak berarti membuat mereka menjadi menyerah terhadap keadaan diri mereka. Orang yang matang dan sehat juga mengenali dan mampu mengontrol emosi-emosi mereka, sekaligus menyalurkannya dengan cara yang konstruktif, bukan direpresikan atau disalurkan dengan cara yang destruktif.

Dengan kemampuan untuk mengontrol emosi-emosi yang mereka rasakan, maka orang-orang yang matang ini akan mampu bertahan dalam menghadapi


(29)

ketakutan-ketakutan hidup dan ancaman-ancaman terhadap ego mereka. Berarti mereka telah memiliki perasaan dasar akan keamanan, terutama keamanan emosional.

4. Persepsi realistis

Orang-orang yang sehat akan melihat dunia sebagaimana adanya, baik ataupun buruk dapat dibedakan dengan jelas. Mereka dapat mengontrol prasangka pribadi, perasaan-perasaan, serta kebutuhan-kebutuhan mereka supaya tidak mendistorsi realitas yang mereka hadapi. Dengan kata lain orang yang sehat melihat dunia secara objektif sedangkan orang sakit mencampurkan khayalan mereka ke dalam realitas. 5. Ketrampilan-ketrampilan dan tugas-tugas

Disini Allport menekankan pentingnya mempunyai pekerjaan-pekerjaan yang baik, yang memerlukan komitmen dan dedikasi yang tinggi. Hal ini akan membuat orang menjadi lebih sehat dan matang. Dengan melakukan pekerjaan atau aktivitas yang bernilai dan memerlukan komitmen dan dedikasi, akan memberikan perasaan kontinuitas dan perasaan positif untuk hidup.

6. Pemahaman diri

Orang-orang yang matang dan sehat akan menuju ke arah pemahaman diri yang baik. Hal ini terutama juga ditunjang oleh keterbukaannya pada pendapat orang lain dalam merumuskan gambaran dirinya yang objektif. Diri dapat dibedakan sebagai diri yang menurut keadaan sesungguhnya, diri menurut gambaran yang dimiliki oleh individu itu sendiri, dan diri menurut pendapat orang lain. Semakin dekat hubungan ketiga gagasan ini, maka individu akan semakin matang.

Selain itu Allport mengemukakan bahwa individu yang memiliki wawasan diri lebih baik adalah lebih cerdas dan memiliki perasaan humor lebih baik (bukan humor yang menyangkut seks dan agresi) (Schultz, 1993).


(30)

7. Filsafat hidup yang mempersatukan

Sifat ketujuh yang digambarkan Allport tentang kepribadian sehat dan matang ini adalah tentang nilai-nilai yang dimiliki individu, serta pengaruhnya dalam memberi “arah” (directness) bagi individu tersebut. Nilai-nilai itu mungkin berupa tujuan-tujuan, cita-cita, aspirasi, harapan-harapan yang diperjuangkan oleh individu tersebut. Perjuangan itulah yang penting bagi orang yang sehat dan matang. Adanya arah dan tujuan ke masa depan akan menyatukan semua segi kehidupan, serta memberi suatu keberhargaan dan perasaan kontinuitas pada kehidupan. Suara hati ikut berperan dalam memilih nilai-nilai. Suatu filsafat hidup yang mempersatukan hanya akan tercipta oleh suara hati yang matang, yang bisa memilih nilai-nilai yang cukup kuat untuk menyatukan semua segi kehidupan. Schultz (1993: 36) menjelaskan bahwa suara hati yang matang adalah suatu perasaan kewajiban dan tanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada orang-orang lain, yang berakar dalam nilai-nilai agama atau nilai-nilai etis.

2. Model Rogers (Orang Yang Berfungsi Sepenuhnya)

Rogers, sama seperti Allport, menekankan pentingnya kesadaran bagi kepribadian yang sehat. Yang berbeda adalah bahwa dorongan yang kuat pada kepribadian yang sehat menurut Allport adalah tujuan ke masa depan, sedangkan menurut Rogers kecenderungan aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat serta potensi-potensi psikologis yang unik (Schultz, 1993: 46).

Rogers percaya bahwa masa kini dan bagaimana kita menjalaninya adalah jauh lebih penting daripada masa lampau. Meskipun fokus Rogers adalah pada masa kini, tetapi dia juga menyadari bahwa masa lampau dapat mempengaruhi cara kita memandang masa kini. Cara pandang seseorang terhadap realitas akan berbeda-beda,


(31)

tergantung pengalaman yang dialaminya. Menurut Rogers persepsi yang unik terhadap realitas merupakan hal nyata dan penting bagi setiap orang. Oleh karena itu setiap orang harus dipahami dan diperiksa melalui pengalaman-pengalaman subjektifnya sendiri (Schultz, 1993).

Dorongan untuk tumbuh dan berkembang bukan semata-mata berasal dari usaha untuk mereduksikan tegangan ataupun untuk mempertahankan keseimbangan homeostatis. Kecenderungan aktualisasi diri merupakan dorongan utama pada diri individu untuk tumbuh dan berkembang dan jauh lebih kuat daripada rasa sakit dan perjuangan. Rogers membandingkannya dengan perjuangan dan rasa sakit yang terjadi pada anak yang belajar berjalan. Meskipun berkali-kali jatuh dan merasa sakit, namun anak itu tetap berusaha untuk berjalan lagi. Hal inilah yang disebut sebagai kecenderungan aktualisasi oleh Rogers (Schultz, 1993: 44).

Kecenderungan aktualisasi ini ada pada setiap makhluk hidup, setidaknya pada tingkat biologis dan dari segi fisiologis. Pada manusia kita dapat melihat kecenderungan aktualisasi diri beralih dari yang fisiologis kepada yang psikologis. Orang-orang yang berfungsi secara penuh (berkepribadian sehat) berarti menjalani kecenderungan aktualisasi dirinya dengan optimal. Aktualisasi diri itu sendiri bukanlah sebuah hasil akhir, namun merupakan proses yang tetap dan berkesinambungan dalam kehidupan orang yang berfungsi sepenuhnya. Kecenderungan aktualisasi adalah satu motivasi dasar yang tidak hanya mempengaruhi tingkah laku manusia, melainkan semua organisme yang hidup dan seluruh universum. Kecenderungan aktualisasi ini mau mewujudkan dan mengembangkan semua kemungkinan inheren dari organisme, sehingga organisme bukan hanya dipertahankan tetapi juga diperkaya. Setiap organisme adalah inisiator aktif yang menunjukkan suatu tendensi konstruktif yang terarah kepada tujuan tertentu yaitu perwujudan diri.


(32)

Ada tiga hal yang dikemukakan Rogers (Schultz, 1993: 50-51) mengenai aktualisasi diri. Pertama, aktualisasi diri lebih merupakan sebuah arah, sebuah proses. Aktualisasi diri adalah kondisi yang tidak pernah selesai dan tidak statis sampai akhir hayat. Kedua, aktualisasi diri bukanlah proses yang mudah untuk dijalani. Seringkali proses itu menyakitkan dan penuh dengan ujian, namun ini adalah proses yang menantang dan membuat kehidupan menjadi lebih kaya dan berarti. Oleh karena itu Rogers menyatakan bahwa kebahagiaan bukan suatu tujuan dalam diri orang yang mengaktualisasikan diri tersebut. Ketiga, orang-orang yang mengaktualisasikan diri tidak hidup di dalam topeng-topeng ketika menghadapi realitas. Mereka adalah diri mereka sendiri, apa adanya. Mereka dapat hidup menurut arah dan jalan yang dipilih oleh mereka sendiri. Meskipun masyarakat atau orang tua dapat memberi nilai-nilai kepada mereka, tetapi mereka bebas untuk memilih apa yang akan mereka ambil dan jalani. Meskipun demikian Rogers mengatakan bahwa mereka tetap dapat hidup dan berprilaku dalam batas-batas sanksi dan garis-garis pedoman yang jelas dari masyarakat.

Rogers (dalam Schultz, 1977: 51-55) memberikan lima sifat dari orang-orang yang berfungsi sepenuhnya, yaitu:

1. Keterbukaan pada pengalaman

Sifat yang pertama dari fully functioning person adalah keterbukaan kepada pengalaman (openness to experience). Artinya, kebebasan dari rasa takut terhadap pengalaman yang terjadi di sekitarnya. Individu tidak bersikap kaku dan defensif terhadap pengalaman, melainkan menerimanya dan menggunakannya sebagai dasar bagi penilaian dan pilihan dalam bertingkah laku. Keterbukaan pada pengalaman juga berarti individu mampu untuk menyampaikan semua perasaan-perasaan pribadi dan pesan yang datang dari luar ke sistem syaraf tanpa terdistorsi. Keterbukaan pada pengalaman juga berarti bahwa rasionalitas lebih berpengaruh daripada irasionalitas.


(33)

Dalam keadaan seperti itu diharapkan individu dapat hidup dan bertingkah laku sesuai potensi kodrat aslinya dan mengalami lebih banyak pengalaman emosional yang lebih mendalam daripada orang yang defensif.

2. Kehidupan eksistensial

Kehidupan eksistensial atau hidup secara eksistensial (existential living), sifat kedua dari fully functioning person, berarti individu dapat merasakan bahwa setiap momen kehidupan memiliki kekayaan dan keunikan yang terus-menerus dan senantiasa dirasa baru dan segar. Setiap momen adalah unik, belum pernah ada dalam cara yang persis sama. Setiap saat yang ada dalam hidup akan dijalani dengan sepenuh-penuhnya sebagai sesuatu yang memiliki makna dalam hidup. Individu akan menjadi pusat pengalaman yang aktif bagi dunianya yang senantiasa berubah. Setiap masa sekarang dialami sebagai proses yang terus berubah dan terus mengalir ke masa depan. Mengalami sesuatu secara eksistensial berarti seperti hidup dalam kapal yang mengikuti aliran sungai yang terus berubah. Setiap detik akan memberikan pengalaman baru, ketika individu mampu menarik makna dari setiap momen kehidupan. Inilah yang membuat kehidupannya menjadi kaya dan berarti. Individu rela menjadi suatu proses, merespons setiap kemungkinan-kemungkinan yang berkembang dan tidak akan puas tinggal dalam struktur kaku yang sudah ada.

3. Kepercayaan terhadap Organismenya sendiri

Sifat ketiga dari fully functioning person adalah kepercayaan terhadap organismenya sendiri (a trust in one s own oganismic). Disini individu tidak dikuasai oleh faktor luar dalam membuat suatu keputusan tentang dirinya. Individu mampu untuk mempercayai pengalaman indrawi dan perasaannya sendiri terhadap dunia nyata. Pengalaman ini dapat mereka gunakan sebagai pedoman yang sah dan sumber yang tepat untuk menentukan apa yang baik dan yang tidak baik bagi mereka pada saat itu. Mereka tidak tunduk begitu saja pada aturan-aturan sosial dan


(34)

tekanan-tekanan dari orang lain (persetujuan, kritk, celaan, maupun dorongan). Kepercayaan organismik menekankan perasaaan-perasaan batin sebagai dasar pokok untuk mengambil keputusan-keputusan yang baik. Dengan demikian mereka lebih berhati-hati dan bisa memperhitungkan semua segi yang relevan dalam mengambil keputusan.

4. Perasaan Bebas

Sifat kepribadian sehat dari fully functioning person yang keempat adalah perasaan bebas (a sense of freedom). Sebenarnya sifat ini sudah terkandung dalam sifat-sifat yang telah dibicarakan di atas. Rogers melihat bahwa berdasarkan konteks pengalaman pribadi, manusia adalah pusat dan aktor kebebasan yang seharusnya merencanakan arah hidupnya sendiri dan menciptakan makna hidup pribadinya. Dengan adanya perasaan bebas maka individu yang sehat dapat melihat banyak kemungkinan yang bisa dipilih dalam kehidupannya dan akan bertanggung jawab atas tindakannya beserta segala konsekuensi yang ditimbulkannya. Sebaliknya orang yang defensif (tidak sehat) yang tidak memiliki perasaan bebas melihat keterbatasan-keterbatasan dalam pilihan hidupnya, karena merasa dikontrol oleh kekuatan luar. Dengan demikian ia tidak akan siap untuk bertanggung jawab terhadap keputusannya sendiri.

5. Kreativitas

Sifat khas kelima darifully functioning person adalah kreativitas (creativity). Orang yang berfungsi sepenuhnya adalah orang-orang yang bebas dalam berpikir dan mengambil tindakan, maka kreativitas mereka dapat diwujudkan keluar. Mereka adalah manusia-manusia kreatif yang menciptakan ide-ide dan rencana-rencana konstruktif serta dapat mewujudkan kebutuhan dan potensinya secara kreatif dan dengan cara yang memuaskan. Mereka bukanlah orang-orang dengan konformitas sosial yang berlebihan sehingga menjadi pasif dan tidak bisa menyesuaikan diri


(35)

dengan tekanan-tekanan sosial dan kultural.

3. Model Fromm (Orang Yang Produktif)

Dalam Schultz (1993: 63), dijelaskan bahwa Fromm melihat kepribadian hanya sebagai suatu produk kebudayaan, karena itu dia percaya bahwa kesehatan jiwa harus didefinisikan menurut bagaimana baiknya individu-individu menyesuaikan diri dengan masyarakat. Yang terpenting adalah bagaimana sebuah masyarakat dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan anggotanya. Masyarakat yang sehat akan menghasilkan manusia-manusia yang sehat, sebaliknya masyarakat yang sakit akan menghasilkan individu-individu yang tidak produktif, tidak sehat dan penuh dengan permusuhan.

Fromm melihat irasionalitas masyarakat ketika terjadi Perang Dunia I. Fromm melihat bagaimana suatu kekuatan yang berlandaskan sosio-ekonomi, politik dan historis-budaya sewaktu Perang Dunia I itu menjadi sebab terjadinya kekejaman antar sesama manusia. Setiap anggota masyarakat yang hidup dalam kekuatan itu mau tidak mau terpengaruh dan menjadi masyarakat penuh dengan kecurigaan, ketidakpercayaan dan permusuhan. Fromm mempelajari hal ini lebih dalam pada ahli-ahli terkemuka dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik seperti Karl Marx, Max Weber dan Hebert Spencer.

Karena kesehatan jiwa seorang individu tergantung dari masyarakat dimana dia berada, maka tentunya definisi kesehatan jiwa ini dapat berbeda-beda pada setiap masyarakat, sesuai dengan waktu dan tempat yang berbeda-beda. Dalam penelitiannya yang mendalam terhadap sejarah panjang spesies manusia, Fromm mengemukakan banyak tingkah laku yang dianggap sehat pada suatu masa, namun tidak sehat pada masa yang lain.


(36)

dasarnya adalah sama, yang berbeda adalah cara bagaimana kebutuhan itu dipuaskan. Kebutuhan-kebutuhan itu misalnya kebutuhan fisiologis dasar, seperti makan, minum seks dan beristirahat. Namun pada manusia ada kebutuhan-kebutuhan psikologis yang tidak ada atau sedikit dimiliki oleh organisme lain. Dalam Schultz (1993: 66) dijelaskan bahwa orang-orang yang sehat memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis secara kreatif dan produktif, sementara orang-orang yang sakit memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan cara-cara yang irasional. Produktif disini berarti menggunakan seluruh kemampuan dalam usaha memenuhi kebutuhan psikologis. Mereka menjadi diri mereka sekuat kemampuan mereka untuk menjadi, menggunakan seluruh kapasitas mereka untuk berkembang.

Fromm (dalam Schultz 1993: 66-70) mengemukakan 5 kebutuhan yang berasal dari dikotomi kebebasan dan keamanan. Dalam 5 kebutuhan ini kita dapat melihat bagaimana cara orang yang sehat memuaskan kebutuhan ini serta bagaimana orang yang sakit memuaskan kebutuhannya.

1. Hubungan (Relatedness)

Yang dimaksud Fromm dengan kebutuhan ‘hubungan’ ini adalah cara kita dalam berhubungan dengan dunia, dengan alam beserta orang-orang di sekitar kita. Cara yang sehat dalam berhubungan dengan dunia ini adalah melalui ‘cinta’ (love). Cinta yang dimaksud Fromm lebih luas dari sekadar cinta asmara antara dua orang muda-mudi, tetapi meliputi juga solidaritas kepada semua orang, mencintai mereka, juga termasuk mencintai diri sendiri. Sedangkan cara yang tidak sehat dalam berhubungan dengan dunia adalah ‘bersikap tunduk’ (submissive) kepada dunia atau dengan bersikap ‘menguasainya’ dengan memaksa orang lain tunduk kepadanya.

2. Transendensi (Transcendence)

Kebutuhan yang kedua ini lahir dari kebutuhan manusia untuk bersikap aktif dalam menyikapi kodrat dirinya sebagai ciptaan, sehingga terdorong untuk mencipta,


(37)

menjadi arsitek bagi kehidupannya sendiri. Kebutuhan ini dapat juga diartikan sebagai kebutuhan untuk berkreativitas. Tentu saja cara yang sehat dalam memuaskan kebutuhan ini tidak lain adalah dengan ‘mencipta’. Namun jika manusia tidak mampu untuk berkreativitas, tidak mampu untuk mencipta, maka jalan lain yang tidak sehat adalah ‘destruktivitas’. Ketika orang tidak mampu untuk mencipta sebagai jalan dalam menyikapi kodratnya, mengatasi keadaan pasif, maka dia akan terdorong untuk bersikap merusak atau destruktif.

3. Berakar (Rootedness)

Menurut Fromm manusia telah lama terpisah dengan alam, karena telah mengatasi alam. Akibatnya adalah terputusnya ikatan dengan alam, dan tanpa ikatan-ikatan ini manusia menjadi tidak berdaya. Dalam teorinya, Fromm menyebut hakikat keberadaan manusia adalah kesepian dan ketidakberartian (loneliness and insignificance). Oleh karena itu perlu dibangun ikatan-ikatan baru untuk menyatu dengan alam. Cara yang ideal (baca: sehat ) dalam memenuhi kebutuhan ini adalah dengan membangun suatu perasaan ‘persaudaraan’ (brotherliness) dengan sesama umat manusia. Persaudaraan ini adalah persaudaraan semesta yang membangun solidaritas dengan seluruh umat manusia tanpa memandang perbedaan. Ini adalah cara yang sehat dalam berakar, berkoneksi dan berhubungan dengan dunia. Cara yang tidak sehat adalah dengan membangun ‘ikatan-ikatan sumbang’. Ikatan-ikatan sumbang adalah ikatan yang membatasi manusia untuk hanya mencintai beberapa orang atau kelompok tertentu. Rasa nasionalisme dan patriotisme menurut Fromm juga termasuk ikatan-ikatan sumbang yang diciptakan oleh manusia. Selama seseorang masih membatasi perasaan kemanusiaannya hanya untuk orang-orang tetentu atau kelompok tertentu, ia belum mengembangkan seluruh potensinya sebagai manusia.


(38)

4. Perasaan Identitas (A sense of Identity)

Meskipun manusia perlu senantiasa berhubungan dengan dunia, namun ia juga membutuhkan perasaan untuk bisa menampilkan dirinya yang unik, yang berbeda, yang bisa mencirikan keberadaannya sebagai individu yang terpisah dengan orang lain dalam hal yang pribadi. Manusia butuh personalitas untuk mengembangkan dirinya. Cara yang sehat dalam memuaskan kebutuhan ini menurut Fromm (dalam Schultz 1993: 69) adalah ‘individualitas’ (individuality), yaitu proses dimana seseorang mencapai suatu perasaaan tertentu tentang identitas dirinya. Lebih lanjut Fromm menjelaskan bahwa cara yang sehat untuk mencapai individualitas ini tidak lain adalah dengan memutuskan ikatan-ikatan sumbang yang ada pada diri individu. Sebaliknya, cara yang tidak sehat dalam mencapai perasaan identitas ini adalah ‘menyesuaikan diri’ dengan sifat-sifat suatu bangsa, ras, agama, atau pekerjaan. Dalam hal ini individu hanya meminjam nilai-nilai dari kelompok, sehingga identitas yang didapat adalah identitas kelompok, bukan identitas diri yang asli.

5.Kerangka orientasi (A Frame of Orientation)

Kerangka orientasi adalah semacam kacamata yang digunakan individu untuk memaknai dan memahami gejala yang ada pada dunia di sekitarnya. Dalam Schultz (1993: 70 ) dikatakan bahwa dasar yang ideal (sehat) untuk kerangka orientasi adalah ‘pikiran’, yakni sarana yang digunakan seseorang untuk mengembangkan suatu gambaran realistis dan objektif tentang dunia. Sedangkan cara yang tidak ideal (tidak sehat) adalah lewat ‘irasionalitas’, yakni orang menggunakan pandangan yang subjektif ketika melihat dunia. Dunia dengan segala macam peristiwa dan gejalanya tidak dilihat sebagaimana adanya karena terdistorsi oleh motif-motif yang ada pada diri individu.

Lebih lanjut Fromm memberikan gambaran yang lebih jelas tentang orang dengan kepribadian yang sehat (Schultz 1993: 71). Mereka adalah orang yang mampu untuk


(39)

mencintai sepenuhnya, kreatif, memiliki kemampuan-kemampuan pikiran yang sangat berkembang, mengamati dunia dan diri secara objektif, memiliki suatu perasaan identitas yang kuat, berhubungan dan berakar di dunia, subjek atau pelaku dari diri dan nasib, dan bebas dari ikatan-ikatan sumbang.

Ada empat segi dalam kepribadian sehat yang ditambahkan oleh Fromm (Schultz 1993: 72-73), yaitu cinta yang produktif, pikiran yang produktif, kebahagiaan, dan suara hati.

Cinta yang produktif adalah cinta yang tidak mengikat, yaitu ketika seorang individu menjalin hubungan dengan sesamanya ia masih dapat mempertahankan identitas dirinya. Melalui cinta ini, individu bisa semakin mengembangkan dirinya dan menjadi lebih terbuka. Menurut Fromm cinta yang produktif tidak mudah untuk dilakukan, karena cinta yang produktif meliputi juga empat sifat yang menantang yaitu: perhatian, tanggung jawab, respek (rasa hormat) dan pengetahuan. Ketika seorang individu benar-benar mau melakukan cinta yang produktif, maka berarti ia mau memberikan perhatian yang penuh terhadap orang lain. Memperhatikan perkembangan mereka dan turut memikul tanggung jawab atas diri mereka, dalam artian siap mendengarkan kebutuhan-kebutuhan mereka. Respek dan pengetahuan berarti menghormati individu yang dicintai serta memiliki pengetahuan akan diri mereka sehingga individu dihormati sesuai dengan individualitas mereka apa adanya.

Pikiran yang produktif tercapai ketika seorang individu mau mencurahkan seluruh kemampuannya untuk melihat objek dan masalah secara menyeluruh, objektif, penuh rasa hormat, penuh pertimbangan, perhatian yang mendalam (ketelitian), serta mampu berpikir secara cerdas.

Fromm menyamakan kebahagiaan dengan kesehatan mental yang baik, tidak seperti ahli lainnya yang umumnya menganggap kebahagiaan hanyalah hasil


(40)

sampingan dari kepribadian sehat. Fromm menyatakan bahwa kehidupan produktif akan menghasilkan kebahagiaan.

Suara hati dibedakan menjadi dua, suara hati sehat yang disebut suara hati humanistis dan suara hati tidak sehat yang disebut suara hati otoriter. Suara hati humanistis adalah suara hati yang berasal dari diri internal individu. Suara hati ini akan membimbing individu dalam melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang cocok dengan dirinya. Sebaliknya suara hati otoriter berasal dari kekuatan luar yang kemudian terinternalisasi dalam diri individu. Kekuatan luar itu bisa siapa saja atau apa saja yang punya kekuasaan pada diri individu. Suara hati otoriter ini akan menghambat pertumbuhan yang penuh dari individu karena suara hati ini seringkali tidak cocok dengan keadaan diri individu yang sesungguhnya.

4. Model Maslow (Orang Yang Mengaktualisasikan Diri)

Agak berbeda dengan ahli yang lain, Maslow mendasarkan penelitiannya tentang kepibadian sehat pada orang yang benar-benar ‘terpilih’, yaitu orang-orang yang tampaknya extremely healthy atau the healthiest personalities. Dia percaya, dengan mempelajari orang-orang ini dia akan memperoleh informasi tentang sifat-sifat kepribadian sehat yang paling dalam dan lengkap dari diri manusia. Maslow memulai penyelidikannya tentang orang-orang yang bermental sehat ini bukan sebagai suatu proyek ilmiah, melainkan sekadar sebagai upaya memuaskan rasa ingin tahunya. Ia tidak sadar bahwa ternyata hasil yang didapatkan akan begitu menakjubkan. Meski penelitian itu sendiri jauh dari persyaratan metodologi penelitian yang ilmiah, namun hasil-hasilnya tetap bernilai penting dan berguna (Goble, 1987).

Maslow menyimpulkan dari hasil penyelidikannya bahwa semua individu punya kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi untuk mencapai tingkat perkembangan diri yang lebih tinggi. Kebutuhan itu dapat berupa kebutuhan instinktif


(41)

maupun kebutuhan lain yang lebih tinggi seperti estetika, cinta dan aktualisasi diri. Setiap kebutuhan bersifat hirarkis. Artinya setiap kebutuhan harus dipuaskan terlebih dahulu, atau paling tidak sebagian, baru bisa mencapai kebutuhan lain yang lebih tinggi. Yang terakhir adalah kebutuhan aktualisasi diri. Hirarki kebutuhan itu adalah (Eddington dan Shuman, 2005): (1) kebutuhan-kebutuhan fisiologis (physiological needs); (2) kebutuhan-kebutuhan akan rasa aman (safety needs); (3) kebutuhan-kebutuhan akan memiliki dan cinta (love and belonging needs); (4) kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan (esteem needs); (5) kebutuhan-kebutuhan kognitif (cognitive needs); (6) kebutuhan-kebutuhan estetika (aesthetic needs); dan (7) kebutuhan-kebutuhan akan aktualisasi diri (self-actualizing needs).

Kebutuhan-kebutuhan itu janganlah dipandang kaku. Meskipun bersifat hirarkis, namun tidak dapat dijamin bahwa kebutuhan-kebutuhan akan rasa aman tidak akan muncul sebelum kebutuhan akan makanan terpuaskan sepenuhnya, atau bahwa kebutuhan akan cinta akan muncul sebelum kebutuhan akan rasa aman terpenuhi. Kebanyakan orang di dalam masyarakat telah mampu memuaskan sebagian besar kebutuhan-kebutuhan dasar mereka meski belum secara penuh, dan masih ada beberapa kebutuhan dasar yang belum terpuaskan sama sekali. Kebutuhan-kebutuhan dasar yang sama sekali belum terpuaskan itulah yang memiliki pengaruh terbesar pada tingkah laku. Begitu terpuaskan, maka suatu kebutuhan tidak lagi memiliki pengaruh yang berarti pada motivasi.

Lalu bagaimana pandangan Maslow tentang orang-orang dengan kepribadian sehat? Dia menyebut orang-orang ini sebagai orang-orang yang ‘teraktualisasikan dirinya’. Menurut Maslow (Goble 1987: 50), aktualisasi diri hanya terdapat pada orang-orang berusia lanjut, cenderung dipandang sebagai keadaan puncak atau keadaan akhir, suatu tujuan jangka panjang, bukan sebagai proses dinamis yang terus aktif sepanjang hidup, lebih sebagai Ada daripada Menjadi.


(42)

Sehubungan dengan motivasi orang yang mengaktualisasikan diri, Maslow menulis (Schultz, 1993) “motif yang paling tinggi ialah tidak didorong dan tidak berjuang”(hal. 94). Orang-orang yang sangat sehat ini bukannya didorong-dorong oleh kebutuhan mereka, atau pun karena ada suatu tegangan yang perlu direduksikan, namun mereka bergerak sendiri ke arah kepribadian sehat karena mereka berkembang. Maslow menyebut dorongan pada pengaktualisasi-pengaktualisasi diri ini metamotivation, sedangkan dorongan yang didasarkan pada kekurangan atau karena ada yang tidak beres pada organisme disebut deficiency motivation atau D-motivation.

Ada kalimat yang bagus dari Maslow (1967, dalam Eddington dan Shuman, 2005) yang cukup baik untuk menggambarkan apa itu aktualisasi diri: If you deliberately plan to be less than you are capable of being, then I warn you that you ll be unhappy for the rest of your life. (hal. 2). Orang yang mengaktualisasikan diri adalah orang yang menjadi sekemampuan mereka untuk menjadi dan berkembang. Mereka mengungkapkan diri mereka sebagai manusia yang mengalami kepenuhan, spontanitas, keunikan dan kegembiraan.

Dalam Schultz (1993: 95) diungkapkan bahwa orang-orang yang sangat sehat (pengaktualisasi-pengaktualisasi diri) memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi: memenuhi potensi-potensi mereka dan mengetahui serta memahami dunia sekitar mereka.

Secara eksplisit Maslow (Schultz, 1993) memberikan 15 sifat yang menggambarkan pengaktualisasi-pengaktualisasi diri ini, yaitu sebagai berikut: (1) mengamati realitas secara efisien; (2) pcnerimaan umum atas kodrat, orang-orang lain dan diri sendiri; (3) spontanitas, kesederhanaan, kewajaran; (4) fokus pada masalah-masalah di luar diri mereka; (5) kebutuhan akan privasi dan independensi; (6) berfungsi secara otonom; (7) apresiasi yang senantiasa segar; (8)


(43)

pengalaman-pengalaman mistik atau puncak; (9) minat sosial; (10) hubungan antarpribadi; (11) struktur watak demokratis; (12) perbedaan antara sarana dan tujuan, antara baik dan buruk; (13) perasaan humor yang tidak menimbulkan permusuhan; (14) kreativitas; dan (15) resistensi terhadap inkulturasi.

5. Model Jung (Orang Yang Terindividuasi)

Teori kepribadian Jung pada awalnya bermula dari psikoanalisis, karena memang dari aliran psikologi inilah dia pertama kali mengenal psikologi, namun kemudian akhirnya ia berpisah dengan Freud dan psikoanalisis. Meskipun teori kepribadian Jung biasanya dipandang sebagai teori psikoanalitik karena tekanannya pada proses-proses tak sadar (dalam hal ini ia bahkan melebihi psikoanalisis), namun berbeda dalam sejumlah hal penting dengan teori psikoanalisis Freud. Pandangan Jung tentang kepribadian adalah prospektif dalam arti bahwa ia melihat ke masa depan atau ke arah garis perkembangan individu di masa depan dan retrospektif dalam arti bahwa ia memperhatikan masa lampau.

Ciri khas dari teori Jung ialah tekanannya yang kuat pada dasar-dasar ras dan filogenetik kepribadian. Kepribadian adalah hasil warisan akumulatif dari generasi terdahulu. Manusia saat ini dibentuk dari pengalaman-pengalaman kumulatif nenek moyangnya yang merentang jauh ke belakang. Jung menyelidiki sejarah manusia untuk mengungkap apa saja yang bisa diungkapnya tentang asal-usul ras dan evolusi kepribadian (Schultz, 1993).

Kepribadian yang sehat menurut Jung adalah individuasi. Individuasi adalah pengintregasian kepribadian yang merupakan hakekat kodrati manusia. Dalam Schultz (1993: 122) dikatakan, kesehatan psikologis menurut Jung adalah bimbingan dan pengarahan secara sadar terhadap kekuatan-kekuatan tak sadar. Alam kesadaran dan ketidaksadaran harus dintegrasikan sehingga kedua sisi bisa berkembang dengan


(44)

bebas. Proses ini adalah proses menjadi diri atau realisasi diri, perkembangan diri ke arah kesatuan yang stabil.

Dalam tulisan-tulisannya, Jung tidak menyajikan suatu daftar yang eksplisit tentang orang yang terindividuasi ini, namun gambaran-gambarannya tersebar dalam tulisan-tulisannya. Dalam Schultz (1993: 135-140) disajikan beberapa sifat dan karakteristik yang menyertai proses individuasi pada seseorang. Schultz tidak menyajikan sifat-sifat ini dalam poin-poin yang tersusun rapi, akan tetapi berupa deskripsi yang tersebar dalam paragraf-paragraf. Sejumlah sifat itu adalah sebagai berikut:

1. Menyadari segi-segi diri yang telah diabaikan. Syarat pertama dalam proses individuasi adalah individu menyadari segi-segi dalam dirinya yang telah diabaikan, yaitu kekuatan-kekuatan ketidaksadaran dalam diri kita. Untuk itu kita harus berjuang dalam mengenali ketidaksadaran, menghadapinya dengan terbuka dan tanpa syarat. Dalam Schultz (1993: 136) dijelaskan bahwa kita harus membawa suara ketidaksadaran kepada kesadaran kita, mendengar, menerima, dan mengikuti apa yang dikatakannya kepada kita. Bukan hanya ketidaksadaran, namun kita juga harus menyadari setiap segi kepribadian kita, setiaparchetypus, dan membawanya ke dalam suatu kesimbangan yang harmonis. Bahkan kita juga tidak hidup dengan faktor-faktor yang murni rasional saja, Jung menulis (dalam Schultz, 1993) “kita tidak akan pernah mengidentifikasikan diri kita dengan pikiran karena manusia tidak pernah akan menjadi makhluk pikiran saja” (hal. 136).

2. Sifat yang kedua ini berkaitan erat ataupun dapat dikatakan lanjutan dari sifat yang pertama. Individu yang terindividuasi ini (Jung mengatakan orang-orang ini adalah orang-orang dalam usia setengah baya) harus melepaskan atau tidak lagi terikat dengan tujuan-tujuan material yang pernah dimiliki dalam masa remaja dan dewasanya. Semua segi kepribadian yang menonjol dan dimiliki sebelumnya harus


(45)

bisa dilepaskan, karena dalam individuasi tidak ada satu fungsi atau satu sikap pun yang dominan. Semua sisi kepibadian yang pernah ada tidak boleh lagi mendominasi, namun harus di imbangi dengan segi kepribadian yang selama ini diabaikan. Semua segi kepribadian ini dibawa ke dalam suatu keseimbangan yang harmonis.

Perubahan dalam orang-orang yang menuju individuasi itu antara lain berupa perubahan pada kodrat archetypus-archetypus mereka. Ada empat archetypus utama yang diperkenalkan oleh Jung, yaitu persona, bayang-bayang,anima/animus, dan diri. Menurut Jung kita harus menerima semua perubahan pada archetypus kita, dimulai dari pelepasan persona (topeng-topeng) yang selama ini kita pakai. Lalu kita juga harus bisa menerima kekuatan-kekuatan bayang-bayang, baik yang bersifat destruktif maupun yang bersifat konstruktif. Kemudian kita harus menerima biseksualitas kita (anima dan animus). Kedua sisi kepribadian dalam diri kita harus diungkapkan untuk mengganti dominasi yang eksklusif dari salah satu pihak. Dengan pengungkapan ini maka orang-orang yang terindividuasi akan mencapai suatu tingkat pengetahuan diri yang tinggi dalam semua segi kepribadian mereka, baik pada tingkat sadar maupun pada tingkat tidak sadar. Dengan pengetahuan diri, maka orang-orang yang terindividuasi akan mengalami penerimaan diri. Mereka bukannya menyerah pada satu sisi kepribadian mereka yang ditekan selama ini, ataupun menyembunyikannya lebih lama lagi, namun mereka menerimanya apa adanya.

3. Sifat ketiga dalam proses individuasi ini yaitu integrasi diri. Ini juga merupakan kelanjutan dari proses yang kedua. Seperti yang dikatakan diatas, semua segi kepribadian tidak boleh lagi ada yang dominan. Semua segi kepribadian, baik itu kompleks-kompleks, sifat-sifat jenis kelamin, sikap-sikap, fungsi-fungsi psikologis, dalam tingkat sadar maupun tak sadar, semuanya dintegrasikan dan diharmoniskan. (Schultz, 1993).


(46)

ungkapan-diri. Semua segi kepribadian yang disadari, diintegrasikan dan diungkapkan haruslah dianggap sebagai suatu ungkapan diri.

Semua proses di atas bukanlah sebuah proses yang mudah. Orang-orang yang terindividuasi ini biasanya adalah orang-orang yang telah berusia setengah baya atau lebih tua dan telah melewati krisis-krisis yang hebat akibat perubahan kodrat kepribadian yang dialaminya.

Ada ciri-ciri tambahan dari orang-orang yang terindividuasi yang merupakan implikasi dari proses yang dilewati mereka saat menuju individuasi (Schultz 1993: 140). Ciri-ciri tersebut yang pertama adalah penerimaan dan toleransi terhadap kodrat manusia. Akibat terbukanya gudang ketidaksadaran kolektif (akumulasi dari semua pengalaman ketidaksadaran manusia), maka mereka akan mempunyai wawasan yang luas terhadap tingkah laku manusia pada umumnya. Mereka dapat memahami mengapa suatu tindakan tertentu diambil oleh orang tertentu. Dengan begitu berarti mereka punya rasa empati yang lebih besar terhadap sesamanya.

Yang kedua adalah bahwa orang-orang yang sehat menerima apa yang tidak diketahui dan misterius. Semua hal yang berada dalam batas-batas pikiran dan logika rasional telah dirasakan oleh mereka. Kini mereka mulai menerima kekuatan-kekuatan ketidaksadaran, mimpi-mimpi, fantasi-fantasi dan segala peristiwa supernatural dan spiritual. Bukan berarti mereka membuang semua logika rasional dan kesadaran mereka, namun mereka menempanya untuk membimbing mereka dalam menerima kekuatan-kekuatan ketidaksadaran.

Yang ketiga adalah apa yang disebut Jung sebagai suatu kepribadian yang universal. Sifat dari orang dengan kepribadian sehat ini adalah bahwa mereka kehilangan kualitas-kualitas yang dominan pada diri mereka. Hal ini dapat terjadi karena proses individuasi yang telah mereka alami di atas, sehingga keunikan pada individu ini telah hilang. Mereka tidak dapat lagi digolongkan dengan tipe-tipe


(47)

kepribadian tertentu. Tidak ada lagi, misalnya, sebutan kepribadian introvert atau ekstrovert pada diri mereka, karena keduanya sama dominannya pada diri mereka.

6. Model Frankl ( Orang Yang Mengatasi Diri)

Teori-teori dan terapi Frankl tumbuh dan berkembang terutama berdasarkan pengalamannya di kamp-kamp maut konsentrasi Nazi selama tiga tahun. Pada saat itu seluruh keluarganya dibantai dan banyak teman-temannya yang mati karena disiksa atau dimasukkan di kamar gas. Selama disana dia melihat dan merasakan sendiri banyak penderitaan, kekejaman dan kengerian yang sangat mendalam. Tidak banyak orang yang dapat bertahan ketika menghadapi kenyataan seperti itu. Dia melihat hanya orang-orang yang memiliki harapan, cita-cita yang belum selesai, atau iman yang kuat cenderung mampu untuk bertahan dengan lebih baik. Frankl menulis tentang kawan-kawan setahanannya (Schultz 1993): “celakalah dia yang tidak lagi melihat arti dalam kehidupannya, tidak lagi melihat tujuan, tidak lagi melihat maksud, dan karena itu tidak ada sesuatu yang dibawa serta. Dia segera kehilangan” (hal 151).

Frankl menamakan sistem terapi atau teorinya dengan sebutan logotherapy. Kata ini berasal dari bahasa Yunani “logos” yang dapat diartikan sebagai “arti” (meaning) dan terapi. Logoterapi mengatakan bahwa hakikat dan keberadaan manusia untuk hidup adalah untuk menemukan arti dalam hidupnya. Logoterapi sebenarnya adalah suatu metode psikoterapi yang dikembangkan oleh Frankl untuk membantu pasiennya menemukan arti dalam hidupnya. Lebih berupa sebuah sistem atau metode, daripada sebuah teori. Namun penulis tidak akan membahas teknik-teknik dan metode yang digunakan Frankl dalam psikoterapinya, karena fokus tulisan pada bagian ini adalah membicarakan pandangan Frankl tentang orang-orang dengan kepribadian yang sehat.


(48)

1993: 150), yakni kebebasan berkeinginan, keinginan akan makna, dan makna hidup. Dengan tiga konsep ini tampak jelas Frankl menolak pandangan bahwa manusia ditentukan oleh dorongan seksual, atau oleh instink-instink biologisnya atau oleh konflik-konflik masa kanak-kanaknya. Frankl berpendapat, kita sendirilah yang harus bertanggung jawab atas diri kita. Kita yang harus menemukan arti pada kehidupan kita, jangan sampai hidup kita ditentukan oleh sesuatu hal ataupun orang dari luar diri kita. Logoterapi menunjukkan kepada manusia untuk mencari arti bagi kehidupannya agar bisa mencapai tingkat kesehatan psikologis yang lebih baik.

Untuk memberi arti pada kehidupan, Frankl (Schultz 1993) melalui sistem logoterapinya mengemukakan tiga cara, yakni: apa yang kita berikan bagi dunia berkenaan dengan suatu ciptaan, apa yang kita ambil dari dunia dalam pengalaman, dan sikap yang kita ambil terhadap penderitaan (hal. 152). Berkaitan dengan tiga cara ini, terdapat tiga sistem nilai yang fundamental yang dikemukan Frankl (Schultz 1993). Nilai-nilai itu adalah nilai-nilai daya cipta (kreatif), nilai-nilai pengalaman, dan nilai-nilai sikap.

Nilai-nilai daya cipta berhubungan dengan bagaimana individu menciptakan suatu karya bagi kehidupannya. Nilai-nilai daya cipta mendorong kreativitas dan produktivitas, baik berupa hasil yang kelihatan maupun berupa ide-ide yang brilian. Ini sepenuhnya adalah tentang memberi kepada dunia. Yang kedua adalah nilai-nilai pengalaman, yakni berkaitan dengan penghayatan individu dalam menerima dunianya. Individu memenuhi arti bagi kehidupannya dengan menyerahkan diri kepada dunia. Yang ketiga adalah nilai-nilai sikap, nilai ini berperan terutama ketika individu mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, yang menimbulkan ketakutan, keputusasaan, situasi dimana kita tak mampu untuk mengubahnya atau menghindarinya. Satu-satunya cara ketika kita menghadapi hal-hal seperti ini adalah dengan menerimanya, namun yang paling penting adalah kita harus tetap dapat


(49)

menemukan dan memberi arti bagi kehidupan kita, sampai momen kehidupan kita yang terakhir. Disinilah nilai-nilai sikap memegang peranan penting dalam memberi arti bagi kehidupan. Orang-orang yang mampu untuk mencapai ketiga nilai-nilai ini disebut mencapai keadaan transendensi-diri, yakni keadaan terakhir untuk kepribadian sehat.

Frankl tidak menyajikan suatu daftar dari sifat-sifat kepribadian yang sehat. Akan tetapi dapat dikemukan secara umum, beberapa sifat mereka adalah (dalam Schultz, 1977: 159):

1. Mereka bebas memilih langkah tindakan mereka sendiri.

2. Mereka secara pribadi bertanggung jawab terhadap tingkah laku hidup mereka dan sikap yang mereka anut terhadap nasib mereka.

3. Mereka tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar diri mereka. 4. Mereka telah menemukan arti dalam kehidupan yang cocok dengan mereka. 5. Mereka secara sadar mengontrol kehidupan mereka.

6. Mereka mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman, atau nilai-nilai sikap.

7. Mereka telah mengatasi perhatian-terhadap diri. (hal. 159).

Selain itu ada beberapa sifat lain yang tidak dimasukkan Schultz dalam daftar diatas. Ia menjelaskan pemikiran Frankl tentang sifat-sifat kepribadian sehat ke dalam paragraf-paragraf. Tiga sifat lain yang dijelaskannya ialah: (1) Mereka berorientasi kepada masa depan, diarahkan kepada tujuan-tujuan dan tugas-tugas yang akan datang; (2) Memiliki komitmen terhadap pekerjaan. Salah satu cara untuk memperoleh arti ialah dengan mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, memberi sesuatu kepada dunia, dan nilai-nilai ini dapat diungkapkan dengan sangat baik melalui pekerjaan atau tugas seseorang. Segi yang penting dari pekerjaan bukan isi dari pekerjaan tersebut, melainkan cara bagaimana kita melakukannya. Inilah yang memberikan arti kepada kehidupan; (3) Memiliki kemampuan untuk memberi dan menerima cinta. Dengan cinta kita dapat membuat orang yang dicintai sanggup merealisasikan potensi-potensi yang belum dimanfaatkan dengan menyadarkan mereka tentang potensi mereka untuk menjadi apa.


(50)

7. Model Perls (Orang “Disini Dan Kini”)

Fritz Perls adalah seorang ahli psikoanalisis asal Afrika Selatan yang mengalami reorientasi aliran psikologi karena kekecewaannya dengan Freud. Perls kemudian menjadi seorang tokoh hebat dalam aliran terapi Gestalt. Semua filsafat tentang kodrat manusia yang diajarkannya dipraktekkan dalam kehidupannya sendiri. Perls adalah seorang individu yang memiliki kecakapan luar biasa, kuat, dinamis, sensitif, dan intuitif dalam interaksi-interaksi klinisnya. Karya Perls sangat berpengaruh dalam gerakan potensi manusia (pertumbuhan manusia) di Amerika Serikat. Gaya hidup dan penampilan Perls mungkin menjadi daya tarik tersendiri, karena hal itu sesuai dengan keadaan jiwa masyarakat pada saat itu yaitu sekitar akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an (Schultz, 1993).

Hampir sama seperti Frankl, pendekatan Perls terhadap kepibadian sebenarnya lebih merupakan sebuah terapi daripada sebuah teori (Schultz 1993: 171). Akan tetapi tentunya sebuah terapi pun harus memiliki kerangka yang jelas tentang bagaimana sebuah sistem kepribadian bekerja.

Selain karena konflik pribadinya dengan Freud, teori-teori Perls tentang kepribadian juga banyak dipengaruhi oleh orang-orang seperti Kurt Goldstein, Max Wertheimer, Martin Buber dan lain sebagainya. Perls kemudian banyak mengkritik doktrin-doktrin psikoanalisis ortodoks. Perls juga meminjam hasil-hasil kerja akademis dari para pendiri dan ahli psikologi Gestalt. Meskipun dia mengagumi hasil karya para pendahulu psikologi Gestalt, namun Perls berkata bahwa dia bukanlah ahli Gestalt murni dan dia tidak pernah diterima oleh ahli-ahli Gestalt akademis (Schultz: 172). Perls mengemukakan suatu dorongan yang berbeda dengan para ahli lain dalam tulisan ini, yaitu bahwa kita didorong oleh situasi-situasi yang belum selesai atau Gestalt-Gestalt yang tidak sempurna. Perls menyebutnya situasi yang belum selesai (unfinished situation).


(1)

67. Kesejatian hati berarti keteguhan hati yang tak berubah. Lawan dari keteguhan hati adalah hati yang labil, selalu berubah-ubah. p.102

68. Mengapa hidup kita sarat akan penderitaan dan kegelisahan? Mengapa hidup ini dipenuhi dosa dan kegelapan? Jawabannya karena kita munafik. Hati kita tidak tulus, sering berprasangka, dan selalu berubah-ubah, tidak berpendirian. p.102

69. Jalan pembinaan adalah sebuah jalan yang bertujuan mendatangkan berkah bagi seluruh umat manusia, mendatangkan berkah bagi seluruh umat manusia, mendatangkan harapan dan kegemilangan bagi dunia, mendatangkan kebahagiaan dan sukacita abadi bagi umat manusia. p.106

HTO

70. Keabadian, hidup abadi, bebas dari ikatan lahir-mati adalah buah dari perjuangan memanifestasikan kesadaran nurani. Berdedikasi besar bagi umat manusia, hidup pun menjadi abadi. p. 110

FKS PPT 71. Pedoman dan prinsip yang harus dipegang teguh selamanya adalah, ”kesuksesan

pembinaan dan pengamalan ketuhanan 70% bergantung pada kekuatan Ilahi, dan 30% mengandalkan kekuatan sendiri”. p. 117

72. Memiliki iman yang benar pada Buddha Maitreya berarti meneladani pribadi luhur Buddha Maitreya, bukanlah melekat pada sosok pratima Buddha Maitreya atau kata ’Buddha Maitreya” ini. p. 120

DKS

73. Iman yang benar berarti meneladani pribadi luhur Buddha Maitreya, yaitu berjiwa kasih, berprilaku kasih, dan berwajah kasih. p. 120

DKS 74. Hati Buddha Maitreya adalah hati yang memandang dunia – seluruh bangsa dan negara –

sebagai satu keluarga. p. 122

HTO 75. Buddha Maitreya tidak membedakan apa latar belakang religi kita, termasuk kepada

yang tidak berkeyakinan sekalipun. Beliau tidak membedakan antara siapa yang mengenal maupun tidak mengenal-Nya. Beliau tak membedakan apakah kita menghormati dan bersembah sujud pada-Nya atau tidak. Asalkan kita berniat menjauhi kegelapan menuju kegemilangan, menjauhi kejahatan menuju kebajikan, menjauhi tekanan jiwa dan kesedihan menuju sukacita, maka Buddha Maitreya akan mengandeng tangan kita dan senantiasa menuntun kita mencapai tujuan. p. 122

76. Orang yang paling bahagia, paling bijaksana, paling diberkati adalah orang yang mempunyai jiwa kasih. Semakin penuh akan kasih, diri kita akan semakin memiliki berkah dan kebahagiaan. Hidup pun semakin sempurna. p. 123

77. Melaksanakan tugas-tugas yang mendatangkan berkah dan kebaikan bagi sesama inilah wujud nyata jiwa kasih. p.124

PPT 78. Didalam diri Buddha, Bodhisatva, dan orang suci sesungguhnya tidak ada sesuatu yang

luar biasa. Buddha, Bodhisatva dan orang suci hanyalah senantiasa berteguh dalam di dalam jiwa kasih, dan merealisasikannya dalam keseharian. Inilah yang disebut perilaku kasih. p.125

79. Mengapa di belakang kata ’senyuman’ harus ditambahi kata ’kasih’? Karena senyuman tanpa kasih tidaklah mulia. p.126

80. Didalam Maha Tao Maitreya yang menjunjung tinggi kuasa Firman Tuhan, membina diri tidak boleh terikat pada individu tertentu. Yang harus selalu kita ikuti adalah Tuhan, Buddha Maitreya, dan Dwiguru Agung Nurani. p.131

81. Kita harus memahami bagaimana proses terjadinya pertemuan antara Buddha Maitreya dengan siswa – siswa-Nya, yaitu pertemuan melalui kasih dalam hati (penekanan sesuai aslinya). p. 134

82. Yang dimaksud tuntunan Buddha Maitreya menuju terang adalah, melalui perjuangan kita dalam meneladani semangat Buddha Maitreya, disertai kekuatan Ilahi Buddha Maitreya, pada akhirnya kita pun dapat memulihkan terang nurani. p. 139


(2)

persen, namun juga sangatlah penting dan menentukan! p. 139

84. Melalui Buddha Maitreya-lah kita jadi mengerti bagaimana sesungguhnya manifestasi terang nurani yang tak terbatas. p. 140

SP 85. Kita harus berjuang mengenapi 30% penentu kesuksesan, yaitu iman sejati dan

perjuangan kita sebagai manusia. p. 140

DKS 86. Kebahagiaan sesungguhnya adalah kodrat nurani. Kebahagiaan sejati tidak terdapat di

luar diri, karena itu tidak perlu dicari dan dikejar. p.142

87. Nurani kita sama dengan nurani Buddha Maitreya, sama-sama meiliki kebahagiaan universal. Masalahnya adalah, maukah kita berjuang untuk memancarkannya? p.144 88. Oleh karena itu, ketika kita melihat Buddha Maitreya sebenarnya yang kita lihat

bukanlah orang lain, melainkan aku sejati, sang hati nurani! p.147

SP 89. Marilah kita sadari, bahwa didalam diri kita juga terdapat Maitreya. Maitreya adalah hati

nurani, hati nurani adalah Maitreya. p.147

SP 90. Mengapa Buddha Maitreya senantiasa memancarkan senyum kasih? Karena senyum

kasih adalah manifestasi hati nurani. Buddha Maitreya hanya melaksanakan kewajiban nurani-Nya saja. p. 147

91. Jadi, melihat senyuman kasih Buddha Maitreya sesungguhnya adalah melihat sosok diri kita yang asali. p.148

SP 92. Beriman kepada Buddha Maitreya bukanlah mengimani pratima-Nya, melainkan

beriman teguh kepada hati nurani, beriman teguh kepada percikan roh Tuhan, beriman teguh kepada sang aku sejati! p.150

DKS

93. Marilah bersama kita memohon Buddha Maitreya untuk menuntun kita berpaling ke dalam diri, berintrospeksi – menilik diri, kembali kepada aku sejati, kembali kepada hati nurani,menyadari bahwa sang aku sesungguhnya adalah mahasejati, mahabajik, dan mahaindah (cetak tebal dari penulis). p.150

DKS FKS

94. Masa depan umat manusia akan penuh dengan keindahan, kegemilangan, keceriaan, berkah, dan kebahagiaan. p.152

TML 95. Para ilmuwan terus berpikir, bagaimana menemukan sebuah tempat yang sesuai bagi

kehidupan manusia selain di planet bumi ini, seperti di bulan, di Mars ataupun planet lainnya. Sungguh memprihatinkan, seakan bumi ini sudah tidak layak huni lagi. Demikianlah, para ilmuwan umumnya hanya terfokus pada pencarian solusi ke luar diri – pada pengembangan iptek dan kebendaan. Seharusnya kita mencari jawaban ke dalam diri dan memikirkan cara untuk melestarikan bumi ini agar tetap layak huni. p.153

PPT

96. Selama enam puluh ribu tahun kita terlena, menghabiskan waktu dalam ketidaktahuan dan kesesatan. Kini tibalah saatnya kita bangkit dan sadar. p. 158

FKS TML 97. Keluhuran nurani yang sadar cemerlang melebihi keluhuran Nirwana, alam Buddha,

Tanah Suci, Kerajaan Tuhan, dan alam Surga. Memiliki sebuah nurani yang sadar cemerlang melebihi keluhuran kedudukan Buddha, Nabi dan Bodhisatva. p. 164

DKS

98. Terang Nurani adalah yang termulia…. . Keluhuran terang nurani jauh melebihi keluhuran segala pengorbanan dan dedikasi. Mengapa? Karena terang nurani adalah sumber dan dasar dari segalanya! Tanpa kesadaran nurani, berarti semua aktivitas dan pengorbanan kita adalah sia-sia, karena tanpa didasari kesadaran nurani, maka segala hal yang kita lakukan masih berada dalam kefanaan! p.164-165

DKS FKS

99. Yang Suci Hao Che Ta Ti bersabda, “Jika di dalam hati masih ada keterikatan, berarti kita adalah pendosa”. p. 166

100. Tanpa didasari kesadaran nurani, berarti persujudan, pertobatan, dan penyelamatan umat manusia yang kita lakukan didasari dengan hati duniawi yang fana, yang bertolak belakang dengan kebenaran nurani. p.168


(3)

101. Bila di dalam hati masih ada konsep akulah yang menyelamatkan , berarti masih ada ikatan hati. p.168

102. Pelaksanaan segala urusan haruslah dilandasi kesadaran nurani. Lepas dari kesadaran nurani, sia – sialah semua jerih payah! p.170

DKS FKS 6. Mengasihi semesta memancarkan keindahan kodrati manusia

No. Unit data Kode

1. Dengan memancarkan keindahan kodrati dari dalam dirinya, barulah seorang manusia menampilkan harkat yang sesungguhnya, memancarkan kemuliaan sebuah kehidupan. p.10

2. Bahaya terbesar dewasa ini adalah manusia tidak lagi menghormati harkat setiap individu, malah menginjak-injak kemuliaan kehidupan. p.10

3. Manusia dan alam semesta pada hakekatnya seraga, satu keluarga, erat tak terpisahkan! p.11

4. Kekayaan dan kebijaksanaan sejati adalah secara tegas meyakini harkat sebagai seorang manusia, juga meyakini kemuliaan kehidupan. p.15

5. Yang paling penting adalah bagaimanan kita memancarkan keindahan kodrati sebagai seorang manusia, memancarkan kemuliaan kehidupan. Bagaimanakah caranya? Datangkanlah berkah dan kebahagiaan untuk orang disekitarmu, berdedikasilah untuk masyarakat, bangsa, negara, bahkan untuk dunia. p.18

PPT

6. Seiring berpancarnya keindahan kodrati dari dalam diri, maka kita akan mendatangkan kebahagiaan, sukacita, optimisme, harapan, serta kecemerlangan bagi diri sendiri dan orang lain. p.19

PPT

7. Manusia umumnya bersikukuh pada ‘pandanganku’, ‘pemikiranku’, dan ‘ideku’, sulit untuk mengalah dan menerima pendapat orang lain walaupun sebenarnya baik. Manusia cenderung bersikap subyektif dan individualis. Relasi manusia menjadi rumit, sesama manusia sulit hidup bersama. Kalau saja kita menginsafi harkat sejati setiap manusia, mengakui kemuliaan kehidupan sesama, maka kita menjadi fleksibel bagai air, tidak terikat pada pandangan sendiri, tidak lagi menganggap diri sendiri yang paling benar. p.33

SP

8. Pada hakekatnya sekuntum bunga, sehelai rumput, dan sebatang pohon juga merupakan anggota keluarga kita! p.39

9. Melalui apakah kita mengenali dan melihat Sang Pencipta? Yaitu melalui keberadaan langit, bumi, laksa makhluk dan benda! Sebenarnya cahaya surya, sinar rembulan, angin, awan, hujan, embun, udara, semuanya adalah wujud nyata kasih Sang Bunda kepada anak-anak-Nya di muka bumi. p.43

10. Apakah kebodohan terbesar manusia? Kebodohan terbesar umat manusia yaitu lupa bahwa dirinya merupakan bagian dari semesta. Manusia menjauhkan diri dari alam semesta. Inilah yang menyebabkan kita terjatuh ke dalam lembah penderitaan. p.46 11. Inilah yang sering disabdakan oleh Orang-orang suci yang hidup selaras dengan langit

dan bumi, yaitu ikut ambil bagian dalam maenyadarkan umat manusia. p.47

PPT 12. Karena memisahkan diri dari alam semesta yang bahagia, sejahtera, dan indah ini,

barulah manusia bisa merasa sepi, hampa dan kosong! p.49

13. Mengasihi manusia, mengasihi alam semesta, menghormati harkat setiap orang, menghormati kemuliaan setiap kehidupan adalah pondasi dari semangat mengasihi alam. p.56

14. Sungguh alam semesta adalah rumah kita yang sebenarnya. p.63

15. Alam selalu tepat waktu dan paling dapat dipercaya, sepanjang masa tak pernah berubah. Manusia sungguh harus belajar dari alam, meneladani pribadi langit dan bumi, matahari


(4)

dan rembulan. p.66

16. Alam semesta adalah ladang mutiara kebijaksanaan yang tak ada habisnya. p.67 17. Hanya jiwa yang hening yang mampu menambang ilham yang tak berkesudahan. p.72 18. Jika kita semua memancarkan getaran kesucian, kebajikan, prikebenaran, sukacita,

kedamaian, keharmonisan, kehangatan, dan getaran tersebut memenuhi alam semesta, maka cuaca di seluruh pelosok bumi dengan sendirinya kembali normal, bencana alam dan segala musibah pun sirna. p.74

PPT

19. Seharusnya manusialah pengendali teknologi, bukan teknologi yang mengendalikan manusia. p.83

20. Kapan Buddha Maitreya datang ke dunia, ini bukanlah hal terpenting. Yang paling penting adalah meneladani semangat Buddha Maitreya hingga mengakar dalam hidup kita, hingga mempengaruhi pola pikir, prilaku, dan ucapan kita, hingga mempengaruhi seluruh manusia di dunia. p.88

SP

21. Pada dasarnya Buddha maitreya tidak ingin kita terikat pada kata ‘Maitreya’. Buddha Maitreya hanya ingin kita merealisasikan makna ‘Maitreya’ dalam hidup kita, yaitu hidup yang sejalan dengan kasih, sejalan dengan hati nurani, sejalan dengan alam semesta. (cetak tebal sesuai aslinya) p.95


(5)

RINGKASAN HASIL ANALISIS PENGKODEAN ASPEK-ASPEK KEPRIBADIAN SEHAT PADA DATA

Aspek-aspek pada kepribadian

sehat

Hal-hal yang ingin diungkap

Kode Unit data yang relevan*

1. Dorongan pada

kepribadian sehat

a. Dorongan yang membuat seseorang menjadi kepribadian yang sehat

b. Harapan atau cita-cita yang dimiliki orang yang berkepribadian sehat

DKS (1b: 3, 4, 9), (1c: 2), (1e: 10), (1f: 1, 6), (1g: 3, 14), (1h: 10, 14, 18), (1i: 4, 9), (1j: 7, 11), (2: 1, 2, 5, 20, 24), (3: 9, 34, 56), (4: 3, 7, 14, 19, 35, 51, 53, 55, 61, 62, 87, 97, 98, 109, 113), (5: 8, 11, 28, 58, 72, 73, 85, 92, 93, 97, 98, 102), (6: 21)

2. Fokus pada kesadaran atau ketidaksadaran

a. Keyakinan untuk dapat secara sadar mengontrol kehidupan

b. Keyakinan bahwa ada kekuatan ketidaksadaran yang juga mengontrol dan mempengaruhi kehidupan

FKS (1a: 14), (1b: 3, 8), (1c: 3), (1d: 5), (1e:1, 5, 6, 13), (1g:11, 12), (1i: 10), (1j: 8), (3: 1, 16, 20, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31), (4: 21, 22, 28, 34, 35, 41, 47, 59, 108, 110, 111, 112), (5: 43, 44, 47, 70, 93, 96, 98, 100, 102) 3. Tekanan pada

masa lampau, masa sekarang, serta masa yang akan datang

a. Pandangan orang yang berkepribadian sehat terhadap masa lampau, masa sekarang, dan masa depannya

b. Pengaruh pandangan tersebut bagi kepribadian sehat

TML (1e:5), (1c: 10, 11, 16), (1j: 7, 10, 11), (2:14, 20), (3: 55), (5: 7, 9, 14, 94, 96)

4. Tekanan pada peningkatan atau reduksi tegangan

a. Sikap orang yang berkepribadian sehat dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupannya b. Pengaruh peningkatan maupun reduksi tegangan dalam kehidupan

seseorang bagi kepribadian sehat

TPR (1c:12), (1d: 6, 7), (1g: 7, 12), (3:37, 38), (4:73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82), (5: 37)

5. Sifat persepsi a. Jalan penemuan ‘kebenaran’ bagi orang yang berkepribadian sehat yang selanjutnya dipakai untuk mengambil keputusan dalam

menghadapi realitas kehidupan sehari-hari

SP (1c: 7, 9, 10, 11, 15, 16, 17, 18), (1d: 4), (1e: 14, 15), (1f: 7), (1h: 1, 5, 7, 8, 9), (1i: 1), (1j: 1, 3), (2: 11, 19, 21, 24), (3:40, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 54), (4: 50, 108, 110, 111, 112) (5:21, 22, 23, 24, 84, 88, 89, 91), (6:7, 20)


(6)

6. Peranan pekerjaan, tugas-tugas dan tujuan bagi kepribadian sehat

a. Peranan pekerjaan, tugas-tugas dan tujuan bagi kepribadian sehat b. Pengaruh pekerjaan, tugas-tugas dan tujuan bagi kepribadian sehat

PPT (1e:8), (1g: 5, 8, 9, 13), (1j: 9), (2: 14), (4: 26, 30, 83, 91, 92, 97), (5: 39, 40, 56, 60, 61, 70, 77, 95), (6: 5, 6, 11, 18)

7. Hubungan serta tanggung jawab terhadap orang lain

a. Sikap orang yang berkepribadian sehat dalam berhubungan dengan orang lain b. Tanggung jawab terhadap orang lain c. Pengaruh hubungan dengan orang lain bagi kepribadian sehat

HTO (1a: 1, 2, 4, 5, 6, 8, 9, 11, 12, 13), (1c:12), (1e:2, 5, 10, 11, 12), (1i:11), (2: 6, 16), (4: 4, 42, 44, 45, 54, 68, 72, 85, 94, 101, 102), (5: 8, 9, 19, 31, 33, 36, 41, 49, 50, 51, 55, 62, 69, 74)

* Keterangan cara melihat unit data : Contoh : (1b: 3, 4, 9)

1b: Menunjukkan buku sumber no.1b, yaituHati Nurani Yang Paling Berlimpah

3, 4, 9 Angka selanjutnya, didepan titik dua menunjukkan urutan unit data dalam tabel pada buku sumber1b, yaitu unit data ke-3, ke-4, dan ke-9.

Masing-masing buku sumber akan dipisahkan oleh tanda kurung. Dengan demikian maka angka2: menunjukkan buku sumber no. 2 yaitu Maha Tao Maitreya, angka3: menunjukkan buku sumber no. 3, yaituPribadi maha kasih lugu polos, amalkan enam perbuatan mulia sang pengasih, dan seterusnya. Dengan aturan penomoran unit data seperti ini maka pembaca bisa sewaktu-waktu dengan mudah melihat pada unit data yang dimaksud dan juga memudahkan dalam penulis dalam penyajian data.