Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

6 hidup purpose in life dibandingkan dengan mereka yang berstatus berpisah atau bercerai, janda, dan tidak pernah menikah Ryff, 2014. Selain itu, individu yang berstatus cerai dan tidak pernah menikah memiliki skor total yang rendah dengan keseluruhan dimensi pada skala kesejahteraan psikologis. Namun, pada kelompok wanita yang berstatus janda dan tidak pernah menikah memiliki skor total yang lebih tinggi dari pada laki-laki dengan status pernikahan yang sama pada skala kesejahteraan psikologis Ryff, 2014. Namun sebagai catatan, individu dengan penguasaan lingkungan, harga diri serta optimisme yang tinggi lebih mampu untuk beradaptasi terhadap kehilangan pasangannya Ryff, 2014. Marks 1996 berpendapat bahwa ada dua hipotesis untuk menjelaskan mengenai efek perbedaan status pernikahan terhadap well-being individu yaitu hipotesis seleksi sosial social selection hypothesis dan hipotesis sebab-akibat sosial social causation hypothesis. Hipotesis seleksi sosial menjelaskan bahwa seseorang yang sehat secara mental dan emosi lebih mungkin memilih pasangannya untuk menikah dan lebih mungkin dipilih untuk menikah dari pada seseorang yang tidak sehat secara mental dan emosi Marks, 1996. Sebagai hasil dari hipotesis tersebut, individu yang menikah lebih menunjukkan profil psikologis yang lebih baik dari pada yang tidak pernah menikah Marks, 1996. Hipotesis mengenai sebab-akibat sosial social causation hypothesis berpendapat bahwa aspek pernikahan membuat seseorang lebih memiliki mental yang sehat Marks, 1996. Pearlin dan Johnson 1977, dalam Marks, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7 1996 menyatakan bahwa orang yang tidak menikah lebih rentan terhadap hal- hal berkaitan dengan beban hidup seperti misalnya isolasi sosial dari pada orang yang menikah. Hal ini menjelaskan kenapa mereka yang tidak menikah memiliki skor yang tinggi pada pengukuran tingkat depresi dari pada responden yang menikah Marks, 1996. Lowenthal dan Haven 1968, dalam Marks, 1996 menjelaskan lebih lanjut bahwa memiliki hubungan yang intim dengan orang kepercayaan memberikan pengaruh yang kuat terhadap well-being individu. Hubungan dengan orang kepercayaan tersebut dapat muncul dalam pertemanan atau hubungan keluarga, dan diharapkan hubungan tersebut dapat memberikan dampak terhadap kesehatan mental Marks, 1996. Dukungan emosional yang intim, kesempatan untuk pembukaan diri, dan kepercayaan menjadi bagian dan karakteristik yang penting untuk pasangan dalam pernikahan modern Rossi Rossi, 1990 dalam Marks, 1996. Berger dan Kellner 1964, dalam Marks, 1996 mengatakan bahwa pasangan yang baru saja menikah secara interaktif menciptakan rasa berbagi terhadap realita dan pemaknaan sosial yang menjadi pondasi penting terhadap terbentuknya kesejahteraan psikologis. Disisi lain, orang dewasa yang masih lajang atau tanpa pasangan secara umum memiliki permasalahan dalam menjalin relasi yang akrab dengan orang dewasa lainnya, menghadapi kesepian, dan menemukan posisi yang sesuai dalam masyarakat yang berorientasi pada pernikahan Koropeckjy-Cox, 2009, dalam Santrock 2012. Stres juga menjadi masalah yang biasa dihadapi pada orang dewasa yang masih lajang atau tanpa adanya pasangan Santrock, 2012. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8 Sedangkan dalam kasus perceraian, pasangan yang menceraikan mungkin memandang bahwa perceraian sebagai jalan keluar dari relasi yang tidak dicapai Santrock, 2012. Sebaliknya, pasangan yang diceraikan mungkin memandang perceraian sebagai sebuah pengkhianatan atau mengakhiri sebuah relasi yang telah dibangun, yang melibatkan komitmen dan kepercayaan Santrock, 2012. Bagaimana individu menginterpretasikan pengalaman yang mereka miliki merupakan kunci yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis yang dimiliki, dapat disimpulkan bahwa status pernikahan baik itu menikah, maupun jandaduda bercerai atau pasangannya meninggal merupakan pengalaman dalam kehidupan setiap individu yang dapat memberikan pengaruh terhadap terbentuknya kesejahteraan psikologis terutama dalam menghadapi masa pensiun di mana kehadiran pasangan akan memberikan dukungan sosial sebagai dasar dari rasa kebermaknaan individu yang merupakan bagian penting terbentuknya kesejahteraan psikologis Ryff, 1995. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Marks 1996 bahwa seseorang yang menikah lebih memiliki kepercayaan dalam keluarga dikarenakan kehadiran pasangan dapat memenuhi peran sebagai bagian dari dukungan sosial. Penelitian Soulsby dan Bennett mengenai peranan dukungan sosial 2015 menemukan bahwa individu yang kurang mendapat dukungan sosial dari pasangannya jandaduda, bercerai dan tidak menikah jauh memiliki kondisi psikologis yang buruk dari pada yang memiliki pasangan menikah. Cohen dan Wills 1985, dalam Aprianti, 2012 menjelaskan juga bahwa adanya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9 dukungan sosial terutama dari pasangan dapat membantu individu untuk mengatasi stres coping stress baik langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan penjabaran diatas muncul pertanyaan apakah perbedaan status pernikahan antara menikah dan jandaduda, yang dilihat dari kehadiran pasangan, mempengaruhi tingkat kesejahteraan pada karyawan yang telah pensiun. Pertanyaan tersebut akan dijawab melalui ada tidaknya perbedaan kesejahteraan psikologis pada masa pensiun ditinjau dari status pernikahan. Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan karena pada penelitian sebelumnya, belum secara khusus melihat kesejahteraan psikologis pada kelompok yang telah menghadapi masa pensiun. Selain itu, penelitian yang dilakukan sebelumnya belum memberikan gambaran terhadap budaya timur yang lebih kolektif di mana orang-orang lebih menghidupi nilai-nilai keharmonisan dalam kelompok, koperatif, solidaritas, saling bergantung satu sama lain, dan mengedepankan hubungan dengan orang lain daripada budaya barat yang cenderung lebih individualis McAdams, 2006. Budaya timur terutama yang berada di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, memandang pernikahan sebagai suatu hal yang sakral, suci dan normatif Jones, 2010. Retherford dan Ogawa 2006, dalam Jones, 2010 menambahkan pasangan memiliki peran dalam meningkatkan kontak dengan sosial. Apabila individu kurang mendapat dukungan sosial dari lingkungan maupun pasangan, hal tersebut dapat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan psikologis yang dimiliki Ryff, 1995; Marks, 1996. Sehingga penelitian ini 10 diharapkan mampu memberikan informasi serta pengetahuan lebih jauh terhadap kesejahteraan psikologis pada masa pensiun.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan kesejahteraan psikologis pada masa pensiun ditinjau dari status pernikahan ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kesejahteraan psikologis pada masa pensiun ditinjau dari status pernikahan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber informasi di bidang psikologi industri organisasi dan gerontologi dalam memahami kesejahteraan psikologis terutama pada masa pensiun.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Perusahaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu perusahaan untuk membuat pendampingan yang tepat dan lebih baik bagi karyawan yang akan menghadapi masa pensiun serta memberikan perhatian kepada karyawan yang memiliki skor kesejahteraan psikologis yang rendah khususnya pada karyawan dengan status pernikahan tertentu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11

b. Bagi para pensiunan

1 Memberikan gambaran mengenai kesejahteraan psikologis pada pensiunan sehingga diharapkan dapat mengelola, menjaga, serta mengembangkannya dengan lebih baik. 2 Memberikan gambaran kepada pensiunan yang masih memiliki dan tinggal bersama dengan pasangan agar lebih mampu untuk saling mendukung dalam menjalani kehidupan masa pensiun sehingga dapat mengurangi faktor penyebab stres yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis. 3 Memberikan gambaran kepada pensiunan yang sudah tidak memiliki pasangan agar lebih menyadari dan menerima kehadiran keluarga, saudara, maupun teman-teman di sekitar sehingga diharapkan mampu mengembangkan kesejahteraan psikologis menjadi baik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kesejahteraan Psikologis

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis

Kebahagiaan dapat diartikan sebagai suatu kesenangan, ketenteraman hidup, keberuntungan, serta kemujuran yang bersifat lahir batin KBBI, 2008. Menurut Aristoteles 1947 dalam Ryff, 1989 dalam Nicomachean Ethics miliknya berpendapat bahwa kebahagiaan atau dalam Bahasa Yunani diterjemahkan sebagai eudaimonia, merupakan pencapaian tertinggi yang dicapai oleh manusia. Namun, Waterman 1984 dalam Ryff, 1989 berpendapat bahwa penerjemahan eudaimonia lebih merujuk pada eudaimonic dan hedonic. Hedonic merupakan pengalaman yang dirasakan atau didapatkan berdasarkan kepuasan akan kebutuhan fisik, sosial, maupun intelektual. Sedangkan, eudaimonic lebih mengarah pada bagaimana individu menggunakan potensi yang dimilikinya yang dapat membantu memaknai dan mencapai tujuan hidupnya Waterman, 1993. Terdapat dua model kesejahteraan yang dapat menjelaskan perbedaan dua kebahagiaan di atas yaitu kesejahteraan subjektif dan kesejahteraan psikologis. Model yang pertama menjelaskan mengenai kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan subjektif atau subjective well-being adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman hidupnya yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afeksi dalam hidup Ariati, 2010. Kesejahteraan 13 subjektif yang juga merujuk pada kesejahteraan emosional ini terbagi dalam tiga unsur yang saling berhubungan yaitu kepuasan hidup life satisfication, kehadiran afek positif positive afffect, dan tidak adanya afek negatif negative affect Snyder, Lopez, Pedrotti, 2011. Menurut Waterman dalam Baumgardner Crothers, 2009 kebahagian yang ingin dicapai dari kesejahteraan subjektif merupakan kebahagiaan hedonic karena lebih mengarah pada kepuasan fisik. Model kesejahteraan selanjutnya adalah kesejahteraan psikologis atau psychological well-being. Kesejahteraan psikologis menurut Ryff dalam Baumgardner Crothers, 2009 merupakan kebahagian yang bersifat eudaimonic sehingga memberikan kesempatan untuk tumbuh dan mengembangkan kemampuan. Ryff 1989 dalam Eldeleklioglu et al., 2010 menambahkan adanya kesejahteraan psikologis akan membuat seseorang menyadari akan potensi yang dimiliki, kualitas hubungan interpersonal yang baik, dan meningkatkan tujuan dalam hidup. Gagasan kesejahteraan psikologis dirumuskan oleh Ryff berdasarkan beberapa pandangan terhadap fungsi psikologis secara positif positive psychological functioning yang menggabungkan konsep self-realization milik Maslow, fully functioning people milik Roger, maturity milik Allport, dan individualization milik Jung Ryff Keyes, 1995; Ryff, 1995; Eldeleklioglu et al., 2010. Selain itu, Ryff 1989 juga menambahkan teori dari perspektif perkembangan hidup dengan menekankan berbedaan tantangan yang dihadapi dalam setiap tahapan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14 siklus hidup. Perspektif tersebut meliputi model tahapan psikososial milik Erikson dan deskripsi Buhler tentang perubahan kepribadian dalam masa dewasa dan lansia Ryff, 1989. Ryff 1989 juga menambahkan kriteria mental yang sehat milik Jahoda yang tidak hanya mendefiniskan well- being sebagai tidak munculnya penyakit namun juga memberikan definisi secara luas apa makna kesehatan psikologis yang baik. Berdasarkan penjelasan dan perspektif diatas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah berfungsinya sikap-sikap psikologis positif sehingga mampu mengarahkan individu untuk menggunakan potensi yang dimiliki. Adanya kesejahteraan psikologis akan memberikan kesempatan individu untuk tumbuh, menyadari serta mengembangkan kemampuanpotensi yang dimiliki, menciptakan kualitas hubungan interpersonal yang baik, dan meningkatkan tujuan dalam hidup.

2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis

Ryff memformulasikan konsep kesejahteraan psikologis ke dalam enam dimensi untuk mengungkapkan fungsi psikologis yang positif pada individu van Dierendonck et al., 2008. Dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff 1989, 1995, 2014, Ryff dan Singer 1996 antara lain :

a. Penerimaan Diri

Salah satu kriteria agar seseorang dapat dikatakan sejahtera adalah mempunyai penerimaan diri atau menerima dirinya. 15 Penerimaan diri didefinisikan sebagai ciri utama mental yang sehat seperti halnya karakteristik aktualisasi diri, berfungsi optimal dan maturity atau kedewasaan. Ryff, 1995 Teori-teori mengenai life span juga menekankan pada penerimaan diri dan kehidupan masa lalu Ryff, 1989. Individu dengan skor penerimaan diri yang tinggi memiliki karakteristik sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima beberapa aspek dalam diri termasuk kualitas diri yang baik maupun yang buruk, dan memiliki perasaan positif terhadap kehidupan masa lalunya. Sedangkan, individu yang memiliki skor rendah pada penerimaan diri digambarkan memiliki karakteristik merasa tidak puas dengan dirinya, kecewa dengan apa yang terjadi di kehidupan masa lalunya, memiliki masalah dengan kualitas pribadi, dan ingin menjadi berbeda daripada dirinya sekarang Ryff, 2014.

b. Hubungan Positif Dengan Orang Lain

Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama dari mental yang sehat. Aktualisasi diri digambarkan sebagai memiliki perasaan yang kuat akan rasa empati dan kasih sayang terhadap semua orang dan mampu mencintai, persahabatan yang mendalam, dan lebih memahami orang lain. Kehangatan dengan orang lain sering dihubungkan sebagai bentuk kedewasaan maturity. Teori fase perkembangan orang dewasa juga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI