Latar Belakang Masalah Pendahuluan

1

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Dalam perkembangan demokrasi, perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan salah satu unsur penting. Hal ini berkaitan dengan penghargaan terhadap eksistensi hak asasi manusia itu sendiri. Salah satu bagian hak asasi manusia yang penting adalah kebebasan berekspresi, yang dapat menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengembangkan diri terutama dalam kerangka penguatan civil society. Pengakuan atas perlindungan kebebasan berekspresi freedom of expression ini secara universal dimuat di dalam Universal Declaration of Human Rights UDHR, yakni pada Article 19 yang menyatakan : Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right include freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers . Dalam muatan tersebut di atas, maka terdapat pengakuan atas kebebasan berekspresi yakni bahwa setiap individu diakui haknya untuk bebas berekspresi dan mendapatkan informasi dari 2 berbagai sarana media yang tersedia. Kajian yang sama, The International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR, suatu traktat perjanjian yang diakui oleh 145 negara, menekankan para setiap anggotanya untuk mengadopsi dan melindungi hak- hak yang t ermuat di dalam UDHR. Khususnya pada Article 19 ICCPR, memberikan jaminan atas kebebasan berekspresi, demikian : 1. Everyone shall have the right to freedom of opinion. 2. Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art or through any other media of his choice. Kedua konvensi tersebut memberikan pengakuan atas keberadaan hak atas kebebasan berekspresi bagi manusia, terutama pada penekanan bahwa hak tersebut merupakan hak yang penting yang dimiliki oleh manusia. Kebebasan berekspresi adalah salah satu hak penting dikarenakan kebebasan berekspresi merupakan hak dasar dalam konteks demokrasi. Kebebasan berekspresi melekat pada keberadaan media sebagai sarana mutakhir untuk mengakomodasinya. Dalam kaitannya dengan media pula, kebebasan berekspresi ditempatkan sebagai bagian yang terpenting dalam kehidupan demokrasi. Pentingnya kebebasan berekspresi freedom of expression, tidak 3 hanya terbatas pada makna dan artinya saja yang penting, namun kebebasan berkeskpresi juga dapat mengembangkan kehidupan demokrasi dengan memberikan peran kepada masyarakat luas. Peranan ini diperoleh dengan adanya akses informasi dan partisipasi mereka di dalam pembuatan kebijakan publik. Hal ini berarti pula bahwa kebebasan berekspresi bukan hanya monopoli bagi para seniman termasuk di dalamnya sastrawan tetapi juga bagi seluruh anggota masyarakat dalam suatu negara apa pun bentuk pemerintahannya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut 1 : “Freedom of expression is essential in enabling democracy to work and public participation in decision-making. Citizens cannot exercise their right to vote effectively or take part in public decision- making if they do not have free access to information and ideas and are not able to express their views freely. Freedom of expression is thus not only important for individual dignity but also to participation, accountability and democracy. Violations of freedom of expression often go hand in hand with other violations, in particular the right to freedom of association and assembly...” Keterkaitan tersebut di atas mengandung arti bahwa terdapat interaksi yang positif antara kebebasan berekspresi dengan eksistensi media. Baik dalam upaya penyebaran informasi maupun dalam upaya perwujudan hak asasi manusia. Kebebasan berekspresi sendiri membutuhkan media untuk 1 Freedom of Expression, lihat di http:www.hrea.orgindex.php?base_id=147 4 sarana aktualisasi. Kebebasan masyarakat untuk berpendapat dan mendapatkan informasi, terutama melalui media, dilindungi sebagai hak untuk berpendapat dan mendapatkan informasi. Negara dalam hal ini, adalah subjek utama yang menjadi pelindung hak-hak tersebut melalui peraturan- peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Peraturan ini mengatur mengenai bagaimana media perlu didudukkan dalam suatu kondisi yang ideal. Ada dua alasan utama bahwa media harus diatur. Pertama, adanya pertimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan publik. Secara sederhana dapat dipahami bahwa negara harus menempatkan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat yang terkait dengan hak asasi manusia, yakni dimana salah satu unsur hak asasi manusia adalah hak menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat sendiri dapat dilakukan melalui media massa secara bebas, sehingga media harus diatur. Kedua, adanya kepentingan bisnis. Bahwa pengelolaan media dilakukan oleh suatu organisasi yang pada umumnya berorientasi untuk mendapatkan keuntungan business oriented sehingga ada persinggungan antara kepentingan masyarakat pengguna media dengan kepentingan privat perusahaan. 2 2 Hari Wiryawan, Dasar-dasar Hukum Media. Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2007. Hal. 133-134. 5 Di sinilah peran negara sebagai pelindung hak, dalam tatanan hukum nasional menjadi penting. Bahkan dalam konteks kebebasan berekspresi dan aktualisasinya di ranah media, ada prinsip-prinsip yang sebaiknya menjadi acuan. Beberapa prinsip merupakan sebuah upaya untuk melakukan interpretasi progresif terhadap hukum dan standar internasional, praktik yang berlaku di berbagai negara yang muncul, antara lain, dalam hukum- hukum nasional dan keputusan pengadilan nasional, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh berbagai bangsa. The Camden Principles on Freedom of Expression and Equality memperjelas pengakuan negara terhadap kebebasan berekspresi pada upaya perlindungan dalam kerangka: 1 negara sebaiknya memastikan agar hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, melalui medium komunikasi apapun, termasuk hak atas informasi, tercantum dalam ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi nasional atau aturan-aturan yang setara, yang selaras dengan hukum hak asasi manusia internasional; 2 negara sebaiknya memastikan agar ketentuan-ketentuan yang terdapat di konstitusi nasional memaparkan cakupan dari pembatasan atas hak kebebasan berekspresi secara jelas; dan 3 Negara sebaiknya menyusun kerangka kerja hukum yang jelas untuk melindungi hak atas informasi, termasuk hak untuk mengakses informasi yang ada pada badan-badan publik dan mendorong 6 langkah-langkah proaktif untuk membuka informasi kepada publik. 3 Di samping itu masih dijelaskan juga melalui Prinsip Siracusa dan Prinsip Johannesburg yang memberikan gambaran penjelasan bagi pelaksanaan konvensi. 4 Di Indonesia, eksistensi atas kebebasan berekspresi berhadapan dengan beragam tantangan yang sangat kompleks dan menentukan bagi perkembangan hak asasi manusia. Di dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh ARTICLE 19 Organization, dapat ditemukan mengenai kondisi perkembangan kebebasan berekspresi di Indonesia beberapa tahun belakangan, sebagai berikut 5 : “Freedom of expression and access to diverse information in Indonesia face challenges, including:  the predominant culture of verbal communication in the country, which has to 3 Lihat pada Article 2 The Camden Principles on Freedom of Expressionand Equality. Prinsip ini disusun oleh ARTICLE 19 berdasarkan diskusi dengan sejumlah pejabat tinggi PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi internasional lain, para pakar dari kelompok masyarakat sipil dan akademisi di bidang hukum hak asasi manusia internasional tentang masalah kebebasan berekspresi dan kesetaraan yang berlangsung di London tanggal 11 Desember 2008 dan 23 – 24 Februari 2009. 4 Prinsip Siracusa berjudul asli Siracusa Principles on the Limitation and Derogation of Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights Annex, UN Doc ECN.419844 1984; dan Prinsip Johannesburg berjudul asli The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access To Information. 5 ARTICLE 19, The Conditions of the Communication Environment for Freedom of Expression in Indonesia: A report from the Freedom of Expression Project. Combine Resource Institution; Jakarta, 2009. Hal.28. Download di http:www.freedomofexpression.org.ukfilesIndonesia_freedom_expression.pdf 7 date resulted in limited production of informational content in the virtual media  the community’s highly traditional culture, which is often at odds with universal values, and has popularized dogmatic content, that applauds irrationality and bombastic promises state policies with regards to the virtual world. The UU ITE Electronics Transaction and Information Law and the RUU Tipiti Information Technology Crime bill may become new stumbling blocks. Problems may come both from the substance of these laws and from multiple interpretation of their meanings in the practice enforcement.” Nilai-nilai kebebasan berekspresi dalam Article 19 UDHR, pada dasarnya secara yuridis dapat dilihat dalam Pasal 28F UUD 1945 Amandemen yang menyatakan bahwa: setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Sejalan dengan prinsip ini, maka negara berkewajiban untuk memberikan peluang bagi adanya perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia, terutama kebebasan berekspresi dalam ranah publik. Dengan dimuatnya kebebasan berekspresi di dalam undang-undang dasar, maka akan berimplikasi pada pengaturan lebih lanjut di dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya. 8 Pengakuan atas hak asasi manusia sendiri diatur secara tersendiri di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini pula yang kemudian menjadi payung utama pengaturan mengenai eksistensi media di Indonesia. Selain itu, undang-undang tersebut menjadi embrio lahirnya reformasi sistem media nasional selama satu dekade terakhir. Adapun reformasi tidak otomatis membuat praktik produksi, orientasi, dan kecenderungan politik media kian didasarkan pada prinsip-prinsip keutamaan publik. Reformasi itu juga belum berujung pada lahirnya ruang publik ideal, yang relatif otonom dari dominasi rasionalitas modal maupun birokrasi, dan mampu menggerakkan diskursus sosial yang berkualitas, deliberatif, dan mempunyai signifikansi bagi nilai kewargaan. Reformasi sistem media itu belakangan mengalami anomali. Praktik bermedia dan perubahan kebijakan media kian menunjukkan gejala rekolonialisasi ranah media oleh imperatif-imperatif ekonomi atau birokrasi. Terutama pada media penyiaran, subsistem rasionalitas ekonomi pasar dan subsistem administratif negara secara sistemik mendeterminasi hampir semua aspek media: perizinan, permodalan, orientasi produksi, distribusi, dan relasi dengan masyarakat. 6 6 Agus Sudibyo, Anomali Ruang Publik Media. Republika, Senin, 9 Februari 2009. 9 Menunjuk pada isi yang dimuat dalam produk media, maka ada beberapa peraturan perundangan yang mengaturnya. Isi content media yang mengandung aspek perlindungan terhadap kebebasan berekspresi diatur dalam peraturan perundang-undangan diantaranya : a. Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers; b. Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran; c. Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; d. Undang-undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Masing-masing undang-undang memuat mengenai isi media, baik dalam batasan pengertiannya maupun sampai dengan hal-hal yang diperkenankan dalam isi media itu sendiri. Keempat undang-undang ini adalah peraturan yang mendasari aktivitas dunia bisnis media di Indonesia, sekaligus memberikan peluang teraktualisasinya kebebasan berekspresi di Indonesia. Masing-masing peraturan perlu dilihat apakah kebebasan berekspresi di Indonesia sudah mengakomodasi kepentingan hak asasi manusia, sebagaimana tertuang dalam berbagai prinsip-prinsip hukum yang diakui secara universal. Ukuran yang paling mungkin untuk 10 melihat hal tersebut adalah prinsip-prinsip yang terkandung dalam Universal Declaration of Human Rights terutama pada Article 19, serta prinsip-prinsip hukum universal yang diakui dan menjadi referensi atas perlindungan hak asasi manusia. Di setiap undang-undang tersebut di atas, masing-masing mengatur mengenai isi dari media yang diperkenankan untuk disebarluaskan oleh pelaku-pelaku media. Hal ini berarti bahwa ada batasan yang termuat di dalam undang-undang tersebut, batasan itu misalnya adalah bagaimana memberikan definisi mengenai isi di dalam media, sehingga memiliki kesamaan pemahaman dan upaya pernerjemahannya dalam aplikasi praksis yang dilakukan oleh para pelaku media. Dalam konteks yang demikian, secara faktual, perkembangan media dan terutama isinya mengalami perubahan yang pesat. Segala sumber media dapat menjadi sarana penyedia danatau penunjang informasi. Kepentingan bisnis media yang cenderung untuk meningkatkan peran bisnisnya profit oriented, menyebabkan pelaku media seperti menggunakannya secara berlebihan di satu sisi, namun di sisi lain menyebarkan informasi yang sejelas-jelasnya. Inilah kemudian yang menjadi permasalahan hukum yang muncul, yakni bahwa bagaimana sebenarnya kebebasan berekspresi diakomodasi dalam segala peraturan perundang- undangan tentang media. 11 Perkembangan peristiwa-peristiwa tentang kondisi penyebaran isi yang timpang, menimbulkan dorongan untuk menyadari bahwa kebebasan berekspresi merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan media di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan isi yang hendak ditampilkan oleh para pelaku media dan disebarkan secara luas kepada masyarakat. Masyarakat kemudian dipersilakan untuk menilai dan mengelola sendiri informasi isi media yang diperolehnya. Inilah yang kemudian menjadi persoalan, apakah hukum mampu mengakomodasi kepentingan isi media di Indonesia. Isi-isi media melalui berbagai saluran menjadi aspek penting dalam upaya pembatasan danatau pengendaliannya secara tepat, dengan tetap menempatkan kebebasan berekspresi sebagai isu sentral yang harus dilindungi. Bilamana dikaji secara komprehensif, ada sisi keberpihakan media kepada mayoritas yang disertai derasnya pemberitaan yang menstigmatisasi minoritas inilah yang kemudian kerap menggiring pemerintah atau aparat untuk menerbitkan regulasi dan mengambil kebijakan yang merampas hak-hak dan kebebasan warga negaranya demi memenuhi preferensi dan kepentingan kelompok masyarakat yang paling banyak tirani mayoritas. Hal ini pula yang menyangkut pemaknaan kebebasan berekspresi dalam pengelolaan isi media yang hendak disebarkan kepada masyarakat. Isi ini adalah berkaitan dengan 12 bagaimana hal-hal yang sifatnya informatif yang diperkenankan oleh undang-undang untuk dapat menjadi konsumsi masyarakat luas, dan hal-hal apa yang dilarang atau tidak diperbolehkan untuk disiarkanditampilkan dimuat. Dengan melihat beberapa pengaturan mengenai hal tersebut, maka dapat dilihat bagaimana sebenarnya upaya negara memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat menggunakan media sebagai sumber informasi, dan bagaimana negara melalui peraturan perundang-undangannya memberikan perlindungan terhadap informasi yang menyesatkan. Selain itu dapat pula dilihat bagaimana negara mampu tunduk pada menerjemahkan makna hak asasi manusia, terutama kebebasan berekspresi bagi manusia. Diantaranya dapat dilihat dalam Pasal-Pasal yang mengatur mengenai pengertiannya masing-masing sebagai berikut: 13 Tabel 1.1. Isi Media dalam undang-undang UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers; Pasal 5 ayat 1: Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pasal 13 Perusahaan pers dilarang memuat iklan : a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat; b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran; Pasal 36 1 Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. 2 -... 3 Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak- anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan danatau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. 4 Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. 5 Isi siaran dilarang: a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan danatau bohong; b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. 6 Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan danatau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. 14 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 1 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. 2 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. 3 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik. 4 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan danatau pengancaman. UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman Pasal 6 Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang: a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; b. menonjolkan pornografi; c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, danatau antargolongan; d. menistakan, melecehkan, danatau menodai nilai-nilai agama; e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; danatau f. merendahkan harkat dan martabat manusia. 15 Di sisi lain, perlu untuk dicermati bagaimana peraturan perundang-undangan itu secara komprehensif, satu dengan yang lain mengakomodasi keberagaman yang ada di Indonesia. Yakni bahwa keberagaman itu menyebabkan adanya tuntutan untuk dapat mengharmonisasikan ketentuan- ketentuan tersebut. Harmonisasi ini diperlukan demi tercciptanya persepsi hukum yang sama mengenai ketentuan tentang kebebasan berekspresi di dalam pengaturan tentang isi media di Indonesia, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan tentang media. Harmonisasi itu diperlukan guna kebebasan berekspresi yang diatur di dalam isi media, baik media siar, media pers, media internet, media film dan lain sebagainya, memiliki batasan- batasan yang tepat agar tidak terlalu luas maknanya, atau sebaliknya, terlalu sempit dimaknai. Harmonisasi peraturan perundang-undangan tentang media dapat memberikan tatanan aturan yang baik dan terarah demi perlindungan terhadap kebebasan berekspresi itu sendiri.

B. Rumusan masalah