Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan dalam Politik

25 bahwa tindakan tertentu telah diambil. Salah satu contoh fungsi yang membius adalah kehadiran telenovela ditelevisi yang ditayangkan secara bersambung setiap hari, dengan tema perselingkuhan, kekerasan dan berbagai tema stereotipe, yang membius khalayak untuk terus mengikuti tayangan tersebut. Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan yang dimaksudkan media massa dalam penelitian ini adalah: surat kabar, majalah dan televisi. Keterdedahan atau terpaan media massa merupakan pengaruh yang didapat oleh individu dari penggunaan media terhadap kegiatan sehari-hari. Terpaan Media Massa yang akan di teliti adalah terpaan media massa surat kabar, terpaan media massa majalah dan terpaan media televisi.

2.6. Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan dalam Politik

Bagi Perempuan, Konsep ‘Demokrasi‘ dapat dikatakan sesuatu hal yang menjadi idaman ya ng juga merupakan mimpi buruk. Sejak Demokrasi yang diwariskan dari tradisi Yunani, dimana Perempuan dan budak tidak dilibatkan dalam demokrasi. Bahkan tidak ada dilibatkan sebagai pemilih dalam pemilu. Di Indonesia, Keterwakilan perempuan dalam politik membawa dua persoalan yaitu: pertama, masalah keterwakilan Perempuan yang sangat rendah di ruang publik dan kedua, masalah belum adanya platform partai yang secara konkrit membela kepentingan perempuan. Hal ini menjadi momen bagi aktivis wanita Indonesia untuk memperjuangkan hak publik perempuan terutama di politik. Keterwakilan perempuan Indonesia secara politik dipatok dengan kuota 30 persen. Pada pemilu 2004 telah dicoba diterjemahkan oleh berbagai partai pelaksana pemilu, tetapi keterwakilan tersebut belum mencapai target 30 persen yang dimaksudkan. Dalam UU RI No 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pasal 65 ayat 26 1 berbunyi: Setiap partai politik Peserta Politik dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD KabupatenKota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Dalam pasal ini terdapat pengertian bahwa platform untuk keterwakilan perempuan telah ditentukan sekurang- kurangnya 30 persen, artinya tidak kurang dari 30 persen. Penetapan terhadap kuota 30 persen bagi perempuan Indonesia dalam politik merupakan satu bentuk akses politik. Menurut Galnoor Nimmo, 2003 akses politik diartikan kepada seberapa besar kesempatan yang didapat dan dimiliki oleh seseorang terhadap politik. Lebih lanjut Galnoor mengatakan bahwa yang dimaksud akses adalah kesempatan seseorang untuk mengirimkan pesan politik dari bawah ke atas, dari “pinggiran “ ke pusat, dan dari individu– individu kepada para pemimpin. Secara de jure pengakuan akan pentingnya perempuan dalam pembangunan telah tersurat secara jelas dalam GBHN 1993, 2000. Namun pada kenyataannya perempuan berkecenderungan dijadikan objek dalam program pembangunan. Perempuan belum dapat berperan secara maksimal baik sebagai pelaku maupun sebagai penikmat pembangunan. Hal ini disebabkan pemahaman perempuan hanya sebatas peran domestik private sehingga kurang diperhatikan dalam pengambilan kebijakan. Di samping itu juga diperjelas dengan berkembangnya budaya patriarkhi yang menempatkan peran laki-laki sebagai makhluk yang berkuasa dengan berangkat pada pelabelan terhadap dirinya. Kondisi ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kesenjangan perempuan sebagai warga bangsa untuk ikut akses dalam politik dan program pembangunan Jurnal Perempuan, 2001 Sebagai contoh bentuk akses politik di beberapa negara yang mendongkrak jumlah anggota parlemen perempuan, seperti di Perancis ada Party Law Undang-undang Partai Politik, pada tahun 1999, Party Law merupakan amandemen konstitusi yang mensyaratkan setiap parpol 27 menyertakan perempuan sebanyak 50 persen. Di Indonesia telah hadir kuota 30 persen, untuk mendongkrak jumlah perempuan parlemen yang menduduki kursi di parlemen. Untuk memenuhi pasal 65 ayat 1 UU no.12 tahun 2003 tersebut ada pasal 65 ayat 2 yang berbunyi: Setiap Partai Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen seratus dua puluh persen jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan. Dalam pasal 65 ayat 2 ini terkandung makna bahwa partai boleh melakukan spekulatif terhadap harapan untuk mendapatkan kursi di parlemen tersebut. Untuk pemenuhan kuota 30 persen, setiap partai juga diharapkan mempunyai pe rhitungan spekulatif untuk pemenuhan kursi kuota 30 persen keterwakilan perempuan tersebut. Dalam pasal 65 ayat 2 ini lebih membuka peluang kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Menurut sensus yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik BPS 2002 jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau 51 persen dari seluruh Populasi atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga Negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun Jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga lembaga pembuat keputusanpengambilan keputusan politik di Indonesia. Data tentang distribusi perwakilan perempuan di beberapa lembaga di Indonesia tersaji pada Tabel 1. 28 Tabel 1 Distribusi Perwakilan Perempuan di Lembaga Indonesia. Lembaga Jumlah Perempuan Jumlah Laki-laki Presentase Jumlah perempuan MPR 18 177 9,2 DPR 45 455 9 MA 7 40 14,8 BPK 7 DPA 2 43 4,4 KPU 2 9 18,1 Gubernur Dati I 30 Bupati DatiII 5 331 1,5 Sumber Data : kumpulan jurnal pada tahun 2001 Mengapa perempuan perlu partisipasi dan ikut menjadi pembuat keputusan politik adalah karena; perempuan memiliki kebutuhan– kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri. Kebutuhan – kebutuhan ini meliputi: b. Isu-isu kesehatan reproduksi, seperti cara KB yang aman. c. Isu-isu kesejahteraan keluarga, seperti harga sembilan bahan pokok yang terjangkau, masalah kesehatan dan pendidikan anak. d. Isu-isu kepedulian terhadap anak, kelompok usia lanjut dan tuna daksa cacat tidak bekerja e. Isu-isu kekerasan seksual. Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat, seperti : a. Diskriminasi di tempat kerja yang menga nggap pekerja laki-laki lebih tinggi nilainya daripada perempuan. Misalnya penetapan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk beban kerja yang sama. Diskriminasi di hadapan hukum yang merugikan posisi perempuan misalnya : kasus perceraian. 29 b. Hanya dalam jumlah yang signifikan, perempuan dapat menghasilkan perubahan berarti, seperti: 1. Perubahan cara pandang dalam menyelesaikan masalah- masalah politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara–cara ahli kekerasan. 2. perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut memasukkan kebutuhan–kebutuhan khusus perempuan sebagai bagian dari agenda nasional. Langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan jumlah perempuan sebagai pembuat keputusan politik adalah memahami pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik dan mendukung upaya meningkatkan jumlah perempuan yang duduk dalam lembaga – lembaga politik hingga mencapai jumlah yang signifikan agar dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan keputusan politik. Mendukung penerapan pemilu dengan sistem campuran sebab sistem ini membuka kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk mencalonkan diri. Keterwakilan Perempuan dalam sistem pemilu perlu dianalisa model apa yang sebaiknya dilakukan agar keterwakilan betul-betul terwujud seperti yang diinginkan. Sebagaimana disampaikan oleh Annisa Kompas, 2003, ada 3 sistem pemilu yang dapat dilakukan yaitu : a. Sistem Distrik Dalam sistem ini pemilih memilih sendiri nama calon anggota legislatif caleg di unit pemilihannya. Sistem ini memungkinkan pemilih mengenal baik caleg pilihannya sehingga caleg bertanggungjawab langsung kepada pemilih. Hal yang didapat dalam sistem ini: caleg perempuan akan lebih sulit terpilih karena ia harus bersaing dengan caleg lain yang umumnya lebih unggul dalam hal dana, dukungan masyarakat, media massa, keluarga serta norma budaya yang telah sekian lama mengistimewakan peran laki-laki dalam bidang politik. Dengan 30 alasan itu, partai politik jarang mencalonkan caleg perempuan secara terbuka karena dianggap tidak dapat memenangkan persaingan suara dengan partai lain. b. Proporsional Dalam sistem ini pemilih memilih partai politik. Partai politik menentukan daftar nama caleg di setiap unit pemilihan. Sistem ini juga memungkinkan terpilihnya caleg dari luar daerah pemilihan karena penentuan daftar nama dilakukan sepenuhnya oleh parpol. Hal yang didapat dalam sistem ini: sistem ini membuka kesempatan lebih luas bagi perempuan karena caleg tidak perlu menghadapi pemilih secara langsung. Dengan demikian caleg juga tidak harus bersaing secara tajam dengan caleg lain, yang seringkali membutuhkan pengalaman berpolitik yang belum banyak dimiliki perempuan karena sosialisasi yang dialaminya sejak kecil. c. Sistem campuran Dalam sistem ini pemilih memilih sebagian caleg dengan cara distrik dan sebagian lagi dengan cara proporsional. Sistem ini membuka kesempatan yang luas bagi caleg perempuan sekaligus mengharuskan caleg untuk bertanggungjawab langsung kepada pemilihnya. Dengan demikian, sistem ini adalah yang paling baik karena meningkatkan keterwakilan perempuan serta akuntabilitas caleg. Mengacu kepada uraian di atas, dalam penelitian ini konsep keterwakilan perempuan yang mendapat kuota 30 persen adalah: keterwakilan perempuan dalam partai politik dengan kuota 30 persen yang dilaksanakan ole h partai peserta pemilu yang meliputi:1 akses politik, 2 partisipasi politik dan 3 keterwakilan politik. 31

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Kehadiran UU RI No. 12 tahun 2003, yang mencantumkan pasal 65 ayat 1 yang berbunyi; setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD KabupatenKota untuk setiap daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen, telah membuka kesempatan kepada Perempuan Indonesia untuk terlibat secara langsung dalam praktek pengambilan kebijakan dan keputusan pada legislatif. Dalam praktek pemilu 2004, ternyata pelaksanaan kuota 30 persen keterwakilan perempuan tidak tercapai, banyak partai yang belum melaksanakan secara penuh pelaksanaan kuota untuk perempuan tersebut. Banyak persepsi yang berkembang di masyarakat tentang pelaksanaan kuota 30 persen keterwakilan perempuan tersebut. Hal ini menyangkut kepada keputusan menerima dan menolak terhadap pelaksanaan kuota 30 persen tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa partai politik yang tidak melaksanakan sampai mencapai kuota 30 persen. Penentuan keputusan untuk menerima atau menolak suatu ide atau gagasan merupakan suatu proses yang pada dasarnya tidak pernah berhenti melainkan senantiasa mengalami perubahan. Proses ini oleh Rogers dan Shoemaker 1971 disebut sebagai proses konfirmasi yang memungkinkan terjadinya perubahan keputusan, misalnya yang telah memutuskan menerima menjadi menolak dan kemudian mencari alternatif lain atau sebaliknya, yang telah memutuskan menolak mungkin pula beralih menjadi menerima. Begitu juga dengan pandangan adanya kuota 30 persen untuk keterwakilan perempuan di legislatif. menjadi proses konformasi. Dengan berkembangannya paradigma di masyarakat yang menganggap perempuan hanya berfungsi secara domestik bukan di publik